Tulisan ini menyajikan analisis mendalam mengenai sejarah material teks Al-Qur’an, mulai dari transmisi lisan pada masa Nabi Muhammad SAW hingga standardisasi ortografis (Rasm) dan penandaan (Dhabt) di masa kekhalifahan berikutnya. Laporan ini mengintegrasikan narasi tradisional Islam dengan wawasan filologis dan perspektif historis-kritis modern, menunjukkan bahwa otentisitas teks Al-Qur’an dijamin melalui proses evolusi kelembagaan yang bertahap.

Pengantar: Landasan Konseptual Sejarah Teks Al-Qur’an

Definisi Terminologi Kunci dan Kerangka Metodologis

Untuk memahami sejarah penulisan teks suci ini, penting untuk membedakan beberapa konsep inti. Al-Qur’an secara teologis merujuk pada Wahyu Ilahi (Kalamullah), sedangkan Mushaf merujuk pada bentuk fisiknya sebagai buku. Proses Kodifikasi atau Jam’u al-Qur’an adalah pengumpulan ayat-ayat yang awalnya tersebar menjadi satu kesatuan. Lebih lanjut, istilah Rasm merujuk pada ortografi atau kerangka konsonan dasar teks, sementara Qira’at adalah variasi cara baca atau resitasi yang otoritatif dan sah, yang diturunkan melalui jalur sanad yang valid. Akhirnya, Dhabt adalah proses penambahan tanda baca dan titik pada teks yang terjadi belakangan.

Dalam pandangan Muslim, keaslian teks Al-Qur’an dijamin secara historis melalui transmisi yang bersifat mutawatir, yakni riwayat yang disalurkan melalui jalur yang begitu banyak sehingga mustahil mengandung kesalahan atau pemalsuan. Analisis historis ini akan mengikuti tiga fase utama: masa transmisi awal yang lisan dan tersebar (masa Nabi Muhammad), masa pengumpulan institusional (masa Abu Bakar), dan masa standardisasi teks dan ortografi (masa Uthman dan Umayyah). Pemahaman terhadap urutan fase ini sangat penting karena menjelaskan mengapa tindakan kodifikasi menjadi keharusan historis, terutama dalam menanggapi krisis yang mengancam pemeliharaan dan kesatuan teks.

Fase Awal: Transmisi pada Masa Kenabian (610-632 M)

Dualitas Transmisi: Hafalan (Sadr) dan Pencatatan Awal (Sutur)

Pada masa hidup Nabi Muhammad SAW, metode utama pemeliharaan Al-Qur’an adalah transmisi lisan. Para Sahabat mempelajari ayat-ayat secara langsung (talaqqi musyafahah) dari mulut Nabi, yang kemudian mereka hafal (sadr). Hafalan ini menjadi otoritas utama dalam transmisi teks. Di sisi lain, penulisan juga dilakukan sebagai alat bantu. Nabi menunjuk Kuttab al-Wahy (Penulis Wahyu), termasuk Sahabat terkemuka seperti Zaid bin Thabit, Umar bin Al-Khattab, Uthman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Ayat-ayat yang dicatat segera setelah diturunkan, menggunakan media tulis yang umum saat itu seperti tulang belulang, pelepah kurma, kulit binatang, dan batu pipih. Teks tertulis ini bersifat tersebar (mufarraq), belum dibundel menjadi satu Mushaf lengkap. Hal ini dimungkinkan karena Nabi masih hidup dan dapat secara langsung mengoreksi setiap kesalahan yang mungkin terjadi.

Larangan Pencatatan Selain Al-Qur’an dan Ahruf Sab’ah

Nabi Muhammad SAW secara eksplisit melarang para Sahabat menulis hal-hal lain darinya, seperti perkataan atau ajaran pribadinya (Hadith), bersamaan dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Larangan ini berfungsi sebagai mekanisme pengamanan tekstual yang vital, memastikan bahwa Kalamullah (Firman Allah) tidak tercampur atau rancu dengan perkataan manusia, bahkan perkataan Nabi sendiri. Dengan demikian, penulisan di masa ini difokuskan secara eksklusif untuk menjaga kemurnian korpus Al-Qur’an.

Selain itu, selama periode kenabian, terdapat izin otoritatif untuk adanya variasi dalam resitasi, yang dikenal sebagai Ahruf Sab’ah (Tujuh Ragam Bacaan). Variasi ini diakomodasi untuk memfasilitasi hafalan dan pengucapan oleh berbagai suku Arab yang memiliki dialek berbeda, terkadang melibatkan penggunaan sinonim minor. Izin ini adalah strategi inklusif yang mengakui fakta sosio-linguistik saat itu, memungkinkan adopsi Islam yang lebih luas. Namun, fleksibilitas dialektal ini, yang awalnya merupakan kemudahan atau rahmat, kelak akan menjadi kerentanan struktural yang memicu krisis tekstual setelah ekspansi geografis Islam, karena perbedaan lisan ini mulai disalahpahami sebagai perbedaan teks yang esensial.

Fase I: Kodifikasi (Pengumpulan) di Masa Khalifah Abu Bakar (632-634 M)

Katalisator Krisis: Perang Yamamah

Periode kodifikasi resmi Al-Qur’an dimulai setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, di bawah kekhalifahan Abu Bakar (632-634 M). Katalisator utama adalah Pertempuran Yamamah (11 H/632 M), bagian dari Perang Riddah melawan kaum murtad. Di medan perang Yamamah, kerugian yang dialami umat Muslim sangat besar, terutama karena banyak huffaz (penghafal Al-Qur’an) gugur. Tradisi menyebutkan jumlah korban huffaz mencapai sekitar 360 orang

Kematian massal para penghafal menimbulkan kekhawatiran serius Umar bin Khattab tentang risiko hilangnya bagian-bagian Al-Qur’an yang hanya tersimpan dalam memori mereka. Umar mendesak Khalifah Abu Bakar untuk segera mengumpulkan semua teks tertulis yang tersebar menjadi satu volume.

Proyek Jam’u al-Qur’an oleh Zaid bin Thabit

Meskipun menyadari pentingnya saran Umar, Abu Bakar dan Zaid bin Thabit sempat menunjukkan keengganan awal karena Nabi Muhammad tidak pernah secara eksplisit memerintahkan pengumpulan teks dalam bentuk Mushaf. Mereka khawatir melakukan sesuatu yang tidak ada presedennya dari Nabi. Namun, setelah melihat urgensi dan menyimpulkan bahwa tindakan ini adalah keharusan demi kemaslahatan Ummah dan pelestarian wahyu, Abu Bakar setuju.

Zaid bin Thabit, yang merupakan seorang penulis wahyu terkemuka dan hafiz, ditugaskan memimpin proyek ini. Metodologi verifikasi yang diterapkan sangat ketat, menekankan kehati-hatian metodologis. Setiap ayat yang dikumpulkan dari bahan tertulis (pelepah kurma, tulang, dll.) harus divalidasi oleh setidaknya dua orang huffaz yang bersaksi, membuktikan bahwa ayat tersebut memang telah didengar dan dihafal dari Nabi. Standar ganda ini menegaskan bahwa pada titik ini, otoritas lisan (sadr) masih dipertahankan sebagai otoritas tertinggi, dan teks tertulis (sutur) hanya berfungsi sebagai pendukung memori kolektif yang terinstitusionalisasi.

Transmisi dan Penyimpanan Mushaf

Hasil kerja Zaid bin Thabit adalah Mushaf koleksi tunggal yang utuh, yang menjadi arsip resmi negara. Setelah Abu Bakar wafat, Mushaf induk ini diserahkan kepada Khalifah Umar bin Khattab, dan setelah wafatnya Umar, Mushaf tersebut disimpan oleh Hafsah binti Umar, salah seorang istri Nabi. Mushaf ini akan memainkan peran sentral sebagai Mushaf al-Imam (Mushaf Induk) dalam fase standardisasi berikutnya.

Fase II: Standardisasi Teks (Al-Mushaf al-Imam) di Masa Khalifah Uthman (644-656 M)

Latar Belakang Konflik: Perbedaan Qira’at dan Perpecahan Umat

Pada masa Khalifah Uthman bin Affan, wilayah kekuasaan Islam telah meluas secara dramatis. Populasi Muslim tersebar di pusat-pusat baru seperti Syam, Irak, dan Mesir, yang mengakibatkan terhambatnya komunikasi intelektual antara para ulama di berbagai daerah. Dalam konteks ini, variasi dalam resitasi (qira’at), yang sebelumnya diizinkan oleh Ahruf, mulai menimbulkan perselisihan yang intens.

Perbedaan dialektal yang diakomodasi oleh Ahruf ini disalahpahami sebagai kesalahan tekstual oleh komunitas Muslim di wilayah baru. Konflik ini mencapai titik krisis, di mana kelompok-kelompok qira’at mulai saling menyalahkan, bahkan hampir saling mengkafirkan.1 Perpecahan ini merupakan ancaman langsung terhadap kesatuan Ummah.

Keputusan Standardisasi oleh Uthman

Untuk mengatasi ancaman perpecahan tersebut, Uthman mengambil keputusan tegas untuk menstandardisasi teks. Beliau meminta Mushaf Hafsah (Mushaf induk yang dikumpulkan Abu Bakar)  dan membentuk komite inti, yang sekali lagi mencakup Zaid bin Thabit, bersama Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-As, dan AbdurRahman bin Al-Harith bin Hisham.

Instruksi Uthman sangat jelas: jika komite berselisih mengenai cara penulisan suatu kata, mereka harus menuliskannya dalam logat Quraisy, karena Al-Qur’an diwahyukan dalam bahasa ibu mereka. Keputusan ini secara efektif membatasi ruang lingkup Ahruf yang sah dan menetapkan kerangka konsonan standar (Rasm) berdasarkan dialek Quraisy. Tindakan ini mewakili pergeseran otoritas yang penting, memindahkan penekanan dari otoritas lisan yang tersebar ke otoritas tertulis yang seragam secara visual demi stabilitas imperium.

Implementasi Kebijakan dan Pemusnahan Varian

Setelah komite menyelesaikan tugasnya, beberapa salinan resmi (Maṣāhif al-Amṣār) dibuat dari Mushaf induk, dan satu salinan dikirim ke setiap wilayah Islam.

Kebijakan yang paling kontroversial namun penting adalah perintah Uthman agar semua bahan Al-Qur’an lain, termasuk mushaf-mushaf pribadi Sahabat yang merupakan varian pra-standar, harus dibakar atau dihancurkan. Tindakan ini bertujuan untuk menghilangkan sumber kebingungan dan memastikan bahwa hanya teks yang distandardisasi dan diverifikasi yang beredar di seluruh kekhalifahan. Proses standardisasi Uthman ini adalah proyek pemersatu yang bersifat otoritatif-politik, yang bertujuan mendamaikan perselisihan lisan dengan menetapkan teks tertulis tunggal.

Analisis Filologis Teks Standar: Rasm Uthmani dan Qira’at

Definisi dan Karakteristik Rasm Uthmani

Rasm Uthmani adalah bentuk penulisan Mushaf yang dihasilkan dan disepakati oleh komite Uthman. Ia merupakan ortografi kuno yang berbeda dari Rasm Imla’i (ejaan standar fonetik modern)Keunikan Rasm Uthmani terletak pada kaidahnya yang bersifat non-fonetik (non-qiyasi), yang mencakup aturan seperti al-hadhf (penghilangan huruf, misalnya alif), al-ziyādah (penambahan huruf), atau penggantian struktur kalimah tertentu.

Secara teologis, para ulama berpendapat bahwa Rasm Uthmani bersifat tauqifi—kaidah penulisan ini diturunkan atau disepakati berdasarkan petunjuk Nabi, dan oleh karena itu harus dipertahankan secara turun-temurun.3 Kurangnya pengetahuan masyarakat Islam kontemporer terhadap perbedaan antara Rasm Uthmani dan Rasm Imla’i dapat menimbulkan kebingungan dalam penulisan Mushaf

Fungsi Rasm dalam Memelihara Qira’at

Keistimewaan filologis Rasm Uthmani adalah kemampuannya untuk menjadi kerangka konsonan yang fleksibel. Pada dasarnya, Rasm Uthmani adalah skrip tanpa titik diakritik dan tanda vokal yang dirancang sedemikian rupa sehingga satu kerangka konsonan yang sama dapat dibaca melalui berbagai Qira’at kanonik yang berakar pada tradisi lisan yang sah (misalnya, Qira’at Sab’ah). Dengan demikian, kerangka Rasm Uthmani berfungsi sebagai penjamin keutuhan visual teks, sementara tetap mengakomodasi dan memelihara kekayaan ragam resitasi lisan yang diwariskan dari Nabi

Table 1: Perbedaan Utama Antara Rasm Uthmani dan Rasm Imla’i (Ejaan Standar Modern)

Aspek Perbedaan Rasm Uthmani Rasm Imla’i (Qiyasi) Implikasi Terhadap Teks Suci
Definisi Bentuk tulisan Al-Qur’an yang disepakati oleh Sahabat. Ejaan standar bahasa Arab modern, ditulis sebagaimana diucapkan.
Prinsip Ortografi Non-fonetik (melibatkan penghilangan, penambahan, atau penggantian huruf). Fonetik, berbasis kaidah linguistik baku. Rasm Uthmani dianggap tauqifi, harus dipatuhi untuk Mushaf.
Fungsi Utama Mengakomodasi dan memelihara ragam qira’at kanonik yang berbeda dalam satu kerangka. Mempermudah literasi dan komunikasi umum. Preservasi ganda: Tulisan (Rasm) dan Lisan (Qira’at).

Perkembangan Pasca-Uthmani: Dhabt al-Qur’an (Penandaan Teks)

Kebutuhan Tanda Baca (Harakat dan Nuqat)

Mushaf Uthmani yang dihasilkan pada abad ke-7 M merupakan scriptio defectiva (tulisan tanpa titik dan tanpa tanda vokal). Hal ini tidak menimbulkan masalah bagi para Sahabat dan generasi Muslim Arab awal, karena mereka telah belajar Al-Qur’an secara lisan (talaqqi musyafahah) dan memahami maksud ayat serta pelafalannya.

Namun, setelah perluasan Kekhalifahan, banyak penduduk non-Arab yang memeluk Islam. Mereka dihadapkan pada skrip konsonan yang ambigu, yang sangat rentan terhadap kesalahan pembacaan jika tidak dipelajari dari guru.Kebutuhan untuk memahami isi Al-Qur’an oleh populasi non-Arab yang semakin besar mendorong peran sentral bahasa Arab sebagai bahasa persatuan dan ilmu pengetahuan. Krisis pembacaan ini memicu kebutuhan mendesak untuk menambahkan tanda-tanda yang membedakan huruf dan vokal.

Inovasi Dhabt pada Masa Bani Umayyah

Proses penambahan tanda baca, atau Dhabt al-Qur’an, terjadi pada masa Kekhalifahan Bani Umayyah, setelah berakhirnya era Khulafa al-Rasyidin. Penambahan tanda vokal (Harakat) dimulai pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Inovasi ini dilanjutkan dengan penambahan titik diakritik (Nuqat), yang membedakan huruf-huruf Arab yang memiliki bentuk dasar serupa (misalnya membedakan huruf $Bā’$ dengan $Tā’$), pada masa Khalifah Abd al-Malik bin Marwan.

Perkembangan Dhabt adalah finalisasi fungsional dari Mushaf standar. Meskipun Rasm sudah ditetapkan Uthman, teks baru menjadi sepenuhnya mudah diakses dan tidak ambigu bagi pembaca non-Arab setelah penambahan titik dan vokal di era Umayyah. Ini menunjukkan bahwa teks Al-Qur’an yang dikenal saat ini adalah produk evolusi tekstual yang berkelanjutan hingga akhir abad ke-7 M, didorong oleh kebutuhan demografis dan imperial untuk menjaga ketertiban dan akurasi dalam transmisi teks suci di seluruh wilayah kekaisaran.

Perspektif Historis-Kritis dan Bukti Manuskrip Non-Tradisional

Tesis Standardisasi Umayyah Akhir

Narasi tradisional Islam, terutama yang direkam dalam Hadith Bukhari, menekankan bahwa standardisasi teks Al-Qur’an adalah pencapaian Khalifah Uthman. Namun, beberapa akademisi modern mengajukan kronologi alternatif. Cendekiawan seperti Stephen J. Shoemaker berargumen bahwa standardisasi dan penegakan teks secara imperial—termasuk penghapusan varian regional—sebenarnya terjadi hampir seluruhnya di bawah Khalifah Umayyah Abd al-Malik (685-705 M) dan deputinya Al-Hajjaj bin Yusuf.

Pandangan ini menyatakan bahwa Uthman memang memulai proyek Rasm dasar, tetapi otoritas kekaisaran Abd al-Malik diperlukan untuk penegakan total, memusnahkan mushaf-mushaf varian dan menetapkan teks “yang diterima” secara paksa. Adanya proses Dhabt (penambahan titik dan vokal) yang terjadi di masa Abd al-Malik memperkuat gagasan bahwa standardisasi fungsional teks terjadi di bawah Umayyah, memungkinkan teks yang distandardisasi oleh Uthman menjadi mudah diakses dan tidak ambigu bagi seluruh populasi.

Tinjauan Manuskrip Sana’a

Salah satu bukti penting dalam analisis kritis adalah penemuan Manuskrip Sana’a (Sana’a Palimpsest) di Yaman. Manuskrip ini diakui sebagai salah satu dari sedikit salinan yang diketahui tidak diturunkan dari teks Uthmanic, yang berarti manuskrip ini selamat dari perintah penghancuran yang dikeluarkan Uthman.

Kehadiran Manuskrip Sana’a memvalidasi narasi tradisional mengenai adanya mushaf varian yang beredar sebelum standardisasi Uthman. Manuskrip ini memberikan konfirmasi bahwa pada abad-abad awal Islam, terdapat variasi tekstual regional yang sah (berasal dari Ahruf) atau variasi penulisan yang kemudian diseragamkan secara visual oleh komite Uthman. Oleh karena itu, standardisasi adalah sebuah proses berkelanjutan: dimulai dengan seleksi teks oleh Uthman, diikuti oleh penegakan otoritatif dan finalisasi ortografi fungsional oleh Bani Umayyah.

Table 2: Komparasi Kronologi Standardisasi Al-Qur’an (Tradisional vs. Kritis)

Fase Kodifikasi Periode Tradisional (Sumber Sunni) Aktor Utama Periode Kritis (Pandangan Akademik Modern) Aktor Utama & Motif
Pengumpulan Awal Abu Bakar (632-634 M) Zaid bin Thabit Abu Bakar (632-634 M) Mengamankan teks dari krisis huffaz.
Standardisasi Rasm (Kerangka) Uthman bin Affan (644-656 M) Komite Zaid bin Thabit Uthman sebagai Inisiator Awal Proyek menyatukan qira’at melalui rasm Quraisy.
Penegakan, Vokalisasi, dan Dotting (Dhabt) Mu’awiyah / Awal Umayyah Ulama Tabi’in (Abul Aswad) Abd al-Malik bin Marwan (685-705 M) Penegakan imperial, finalisasi ortografi fungsional, dan penghapusan total varian.

Kesimpulan dan Implikasi

Sintesis Otentisitas Teks Al-Qur’an dalam Sejarah Penulisan

Asal-usul penulisan Al-Qur’an adalah respons kelembagaan yang terstruktur terhadap serangkaian tantangan historis yang mendesak. Proses ini dimulai dari transmisi lisan yang bersifat mutawatir pada masa Nabi, diikuti dengan pengumpulan resmi di bawah Abu Bakar sebagai reaksi terhadap ancaman kehilangan memori kolektif huffaz dalam Perang Yamamah. Puncak dari proses ini adalah standardisasi Rasm oleh Uthman, yang bertujuan menyelesaikan krisis perpecahan Ummah akibat perbedaan qira’at. Proses ini kemudian disempurnakan secara fungsional di masa Bani Umayyah melalui penambahan tanda baca (Dhabt) untuk memfasilitasi pembacaan oleh non-Arab.

Kisah penulisan Al-Qur’an, yang melibatkan seleksi teks di Madinah dan penegakan imperial di tingkat kekaisaran, menegaskan otentisitas teks suci tersebut selama lebih dari empat belas abad, menjamin kesatuan kerangka konsonan tanpa menghilangkan keberagaman Qira’at kanonik yang berakar pada otoritas kenabian.

Implikasi Rasm Uthmani terhadap Keilmuan Kontemporer

Pemahaman yang mendalam mengenai Rasm Uthmani adalah prasyarat fundamental dalam keilmuan Al-Qur’an kontemporer. Rasm Uthmani harus dihormati sebagai kaidah ortografi yang unik dan tauqifi, dirancang secara filologis untuk menampung kekayaan bacaan yang sah. Kesadaran akan perbedaan antara Rasm Uthmani dan ejaan standar (Rasm Imla’i) sangat penting untuk menghindari kekeliruan dan menjaga integritas visual Mushaf.4Pelestarian Rasm Uthmani memastikan bahwa teks tetap mampu mewakili semua ragam Qira’at yang diterima secara mutawatir.

 

 

Daftar Pustaka :

  1. MAKNA QIRAAT AL-QUR’AN DAN KAIDAH SISTEM QIRAAT YANG BENAR Syamsul Muarif Mahasiswa, accessed on October 25, 2025, https://mushafjournal.com/index.php/mj/article/download/35/45
  2. The Role of Caliph Uthman in Standardising the Qur’an – Najam Academy, accessed on October 25, 2025, https://najamacademy.com/the-role-of-caliph-uthman-in-standardising-the-quran/
  3. Rasm Othmani | PDF | Kajian Bahasa Asing | Klasik – Scribd, accessed on October 25, 2025, https://id.scribd.com/document/317950357/rasm-othmani-1
  4. COMPARISON OF AL-HAZF IN AL-QURAN AL-KARIM AND QURAN MAJID] RASM UTHMANI – UniSZA Journal, accessed on October 25, 2025, https://journal.unisza.edu.my/mjis/index.php/mjis/article/download/150/87/453
  5. KODIFIKASI AL-QUR`AN DAN HADITS PERSPEKTIF HISTORIS 1Mohammad Fattah fattah1973.mff@gmail.com 2 Matsna Afwi Nadia matsnaafwi@gm, accessed on October 25, 2025, https://www.ejournal.unia.ac.id/index.php/reflektika/article/download/898/643
  6. The Historical Relevance of the Codification of the Qur’an with Education in Today’s Times – ResearchGate, accessed on October 25, 2025, https://www.researchgate.net/publication/362547641_The_Historical_Relevance_of_the_Codification_of_the_Qur’an_with_Education_in_Today’s_Times
  7. When Was the Quran Collected and Standardized and Who Did It? : r/AcademicQuran – Reddit, accessed on October 25, 2025, https://www.reddit.com/r/AcademicQuran/comments/1bdh9v1/when_was_the_quran_collected_and_standardized_and/
  8. PEMBAHARUAN DALAM MASHAF RASM ‘UTHMANI: SUATU SOROTAN SEJARAH – UM Journal, accessed on October 25, 2025, https://ejournal.um.edu.my/index.php/JUD/article/download/4062/1930/10047
  9. Understanding the Sana’a manuscript find. | Pondering Islam, accessed on October 25, 2025, https://ponderingislam.com/2015/02/05/understanding-the-sanaa-manuscript-find/
  10. PERAN BAHASA ARAB DALAM PENGEMBANGAN ILMU DAN PERADABAN ISLAM – OSF, accessed on October 25, 2025, https://osf.io/rnjcd/
  11. Battle of al-Yamama – Wikipedia, accessed on October 25, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Battle_of_al-Yamama
  12. Analisis Nilai-Nilai Karakter yang Terkandung Dalam Proses Kodifikasi Al-Qur’an | Rifah | Intiqad: Jurnal Agama dan Pendidikan Islam – Jurnal UMSU, accessed on October 25, 2025, https://jurnal.umsu.ac.id/index.php/intiqad/article/view/8319
  13. Kelompok IV – Mushaf-Mushaf Sahabat Sebelum Mushaf Utsmani | PDF – Scribd, accessed on October 25, 2025, https://id.scribd.com/document/711996868/Kelompok-IV-Mushaf-Mushaf-Sahabat-Sebelum-Mushaf-Utsmani
  14. Mashaf Uthmani – Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas, accessed on October 25, 2025, https://ms.wikipedia.org/wiki/Mashaf_Uthmani
  15. PENULISAN AL-QURAN DENGAN RASM UTHMANI DI ANTARA TAWQIF DAN IJTIHAD, accessed on October 25, 2025, https://jmqs.usim.edu.my/index.php/jmqs/article/download/132/116/138
  16. keistimewaan kaedah rasm uthmani dan hubungannya dengan ilmu tafsir dr. muhamad – UIS, accessed on October 25, 2025, https://conference.uis.edu.my/thiqah/images/eprosiding2020/eproceedingthiqah20_003_KEISTIMEWAAN-KAEDAH-RASM-UTHMANI.pdf
  17. PERAN BAHASA ARAB DALAM PENGEMBANGAN ILMU DAN PERADABAN ISLAM – ResearchGate, accessed on October 25, 2025, https://www.researchgate.net/publication/331472618_PERAN_BAHASA_ARAB_DALAM_PENGEMBANGAN_ILMU_DAN_PERADABAN_ISLAM
  18. Was the Qur’an Standardized by Uthman or Abd al-Malik? | Prof. Stephen Shoemaker, accessed on October 25, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=yjIwXjyxvw0

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 79 = 80
Powered by MathCaptcha