Maluku Pra-Kolonial: Tana Hena dan Maluku Kie Raha

Maluku, yang dikenal secara historis sebagai Kepulauan Rempah-Rempah, menempati posisi sentral dalam jaringan perdagangan global jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Kekayaan alamnya, terutama cengkeh dan pala, menjadikannya target utama kekuatan maritim. Di Maluku Utara, pada abad ke-15, Kesultanan Ternate dan Tidore telah menjadi produsen rempah terbesar di dunia. Struktur politik Maluku pada masa itu didominasi oleh konfederasi empat kerajaan utama yang dikenal sebagai Maluku Kie Raha (Maluku Empat Raja): Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Jailolo, dan Kesultanan Bacan. Pulau Tidore sendiri, sebelum merambahnya Islam, dikenal sebagai “Kie Duko,” yang berarti pulau yang bergunung api, mencerminkan kondisi geografisnya yang unik dan subur.

Meskipun memiliki struktur politik yang mapan, Maluku Kie Raha diwarnai oleh persaingan yang intens antara Ternate dan Tidore dalam memperebutkan kendali atas perdagangan rempah. Persaingan regional yang telah berlangsung lama ini merupakan dinamika politik utama dan pada akhirnya menjadi titik masuk yang strategis. Kelemahan struktural inilah yang nantinya dieksploitasi secara habis-habisan oleh kekuatan Eropa untuk melemahkan kedaulatan lokal dan memuluskan jalan menuju monopoli mutlak.

Motivasi Kedatangan Eropa: Kolonialisme Ganda (Gospel dan Gold)

Kedatangan bangsa Eropa di Maluku, yang dipelopori oleh pelayaran Christopher Columbus dan Ferdinand Magelhaens , didorong oleh tujuan yang kompleks, melampaui sekadar motif ekonomi. Meskipun mencari kekayaan (Gold—monopoli rempah) adalah tujuan utama, kedatangan mereka dikemas dalam legitimasi ideologis. Salah satu pilar utama yang menyertai kolonialisme adalah Gospel, yaitu semangat untuk menyebarkan agama Katolik sebagai tugas suci. Motivasi penyebaran agama ini, yang dianut oleh Portugis dan Spanyol, dibawa ke setiap daerah yang disinggahi.

Interaksi antara motif ekonomi dan agama ini menghasilkan bentuk kolonialisme ganda. Penyebaran agama Katolik berfungsi sebagai alat untuk memecah aliansi lokal. Dalam konteks Maluku yang telah didominasi oleh kesultanan-kesultanan Islam, motif agama digunakan untuk mencari sekutu di antara kelompok non-Muslim atau kelompok yang secara politik berseteru dengan Kesultanan Ternate atau Tidore. Penerapan misi agama ini memperdalam perpecahan sosio-politik yang diwariskan kepada era Belanda (Protestan) dan turut membentuk garis batas identitas komunal yang kaku, yang jejaknya masih dapat diamati hingga saat ini. Dengan demikian, kolonialisme di Maluku sejak awal bukan hanya upaya penaklukan fisik, tetapi juga rekayasa ideologi dan sosial.

Fasa Kolonialisme Awal: Eksploitasi Rivalitas dan Tirani (Portugis dan Spanyol, Abad ke-16)

Infiltrasi, Persaingan Imperium, dan Perjanjian Saragosa

Kedatangan Portugis dan Spanyol secara simultan di Maluku pada abad ke-16 segera memanfaatkan persaingan Ternate dan Tidore. Portugis bersekutu dengan Kerajaan Ternate, sementara Spanyol mengadakan komplotan dengan Kerajaan Tidore. Aliansi ini bersifat oportunistik dan ditujukan untuk memenangkan penguasaan perdagangan rempah-rempah. Intervensi kolonial ini mengubah persaingan tradisional Maluku Kie Raha (perebutan pengaruh regional) menjadi proxy wars internasional, yang secara permanen merusak kohesi internal Maluku dan melemahkan kedaulatan kedua kesultanan besar. Portugis, misalnya, berusaha membebaskan diri dari kekuasaan Kesultanan Ternate yang dominan.

Persaingan global antara Spanyol dan Portugis di wilayah timur diselesaikan melalui Perjanjian Saragosa pada tahun 1529. Meskipun Spanyol sempat menguasai Tidore, perjanjian ini memaksa Spanyol untuk mundur dari Maluku Utara, meninggalkan Portugis sebagai kekuatan Eropa yang dominan di wilayah tersebut pada paruh pertama abad ke-16.

Tirani Portugis dan Kebangkitan Kedaulatan di Bawah Sultan Baabullah

Setelah konsolidasi kekuasaan, Portugis mulai menunjukkan tirani yang berlebihan. Mereka mendirikan Benteng Sao Paulo di Ternate dan menerapkan monopoli perdagangan. Selain itu, mereka terlalu ikut campur dalam urusan internal Kesultanan Ternate. Tindakan sewenang-wenang ini ditentang oleh Sultan Hairun, yang berupaya mengembalikan kedaulatan kesultanan. Sebagai respons, Portugis menggunakan negosiasi sebagai tipuan dan membunuh Sultan Hairun pada tahun 1570.

Pembunuhan Sultan Hairun menjadi titik balik yang memicu perlawanan total dari rakyat Maluku. Perlawanan ini dipimpin oleh Sultan Baabullah, putra Sultan Hairun. Rakyat Maluku mengepung benteng Portugis (1570–1583) dan berhasil mengusir Portugis dari Ternate. Kemenangan ini memberikan Maluku periode kemerdekaan yang singkat namun penting sebelum kedatangan Belanda. Sultan Baabullah berhasil memperluas kawasannya hingga mendapat julukan “tuan dari tujuh puluh dua pulau”. Kesuksesan Baabullah dalam mengusir kekuatan Eropa dari pusatnya menanamkan ide perlawanan bersatu melawan penindasan asing, menjadi warisan kedaulatan berbasis perlawanan yang sangat penting bagi identitas Ternate-Tidore.

Dominasi Mutlak VOC: Institusionalisasi Kekerasan Ekonomi (Abad ke-17 hingga ke-18)

Konsolidasi Kekuasaan Belanda

Pada abad ke-17, Belanda (melalui Vereenigde Oostindische Compagnie, VOC) mulai hadir di Maluku dan berhasil mengusir Portugis. Namun, perjalanan menuju monopoli mutlak tidak mudah. VOC harus menghadapi persaingan dari kekuatan Eropa lain, termasuk Inggris. Setelah serangkaian konflik, Belanda akhirnya berhasil menyingkirkan semua pesaing beratnya. Kekuasaan penuh Belanda atas Maluku dikukuhkan melalui Traktat London pada tahun 1816, yang menyelesaikan konflik Inggris-Belanda secara permanen di Maluku. Dengan penyingkiran semua pesaing, VOC mampu memonopoli rempah dengan tenang.

Genosida Banda (1621): Pengendalian Lahan melalui Pemusnahan Populasi

Demonstrasi paling ekstrem dari kolonialisme yang didorong oleh keuntungan murni terjadi di Kepulauan Banda (penghasil pala). Di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen, penaklukan Kepulauan Banda berpuncak pada Pembantaian Banda pada tahun 1621. Sekitar 2,800 penduduk Banda dibunuh, 1,700 diperbudak, dan sisa 1,000 penduduk asli yang tersisa diusir ke Batavia. Ini adalah contoh genosida yang bertujuan untuk rekayasa demografi dan penghilangan hak kepemilikan tanah.

Setelah pemusnahan populasi asli, VOC menerapkan sistem perkeniers. Lahan pala dibagi menjadi unit-unit yang disebut perk, dengan ukuran sekitar 12 hingga 13 hektar. Lahan-lahan ini diberikan kepada perkenier, yaitu pihak swasta bermodal yang bukan merupakan orang pribumi. Setiap perk dipekerjakan oleh sekitar 25 orang budak yang didatangkan untuk menanam dan memproses pala. Peristiwa ini menciptakan trauma historis yang mendalam di Maluku. Hingga kini, Banda Neira dihormati sebagai Mahnmal (memorial) untuk mengenang korban kolonialisme dan juga Denkmal (monumen) yang mengingatkan akan perlawanan terhadapnya.

Mekanisme Monopoli: Ekstirpasi, Hongi Tochten, dan Tata Niaga

Untuk memastikan monopoli berjalan efektif, VOC menerapkan serangkaian kebijakan ekonomi yang brutal, yang dikenal sebagai kekerasan struktural ekonomi.

  1. Ekstirpasi: Kebijakan ini melibatkan penebangan atau pemusnahan tanaman rempah-rempah yang melebihi kuota yang ditetapkan oleh VOC. Tujuan utamanya adalah untuk mengendalikan kuantitas pasokan global, sehingga harga rempah tetap tinggi di Eropa. Kebijakan ini secara langsung menghancurkan mata pencaharian petani lokal dan menyebabkan de-agrarianisasi paksa.

Hongi Tochten: Pelayaran Hongi adalah pelayaran militer patroli bersenjata yang dilakukan oleh VOC. Tujuannya adalah untuk menegakkan monopoli dan mengawasi pelaksanaan Ekstirpasi. Praktik ini menciptakan pengawasan militer permanen dan memastikan tidak ada perdagangan gelap yang dilakukan oleh pedagang lokal independen.

Sistem Tata Niaga: Tata niaga rempah pada masa kolonial memusatkan produksi pada dua komoditi utama: cengkeh di wilayah Pulau Ambon dan Kepulauan Lease (Haruku, Saparua, Nusalaut), serta pala di wilayah Kepulauan Banda. VOC menerapkan sistem dati untuk cengkeh dan sistem perken untuk pala. Kebijakan ini dirancang untuk mencegah petani Maluku mendapatkan keuntungan di luar kontrol VOC, memastikan bahwa mereka yang hidup di Kepulauan Rempah-Rempah tetap terbelenggu dalam kemiskinan dan bergantung sepenuhnya pada VOC.

Tabel 1: Perbandingan Kebijakan Monopoli Utama VOC di Maluku

Kebijakan VOC Definisi dan Tujuan Utama Dampak Langsung pada Rakyat Maluku
Ekstirpasi Pemusnahan/penabangan tanaman rempah untuk mengendalikan kuantitas pasokan global (menjaga harga tinggi). Penghancuran mata pencaharian petani, kelaparan, dan de-agrarianisasi paksa.
Hongi Tochten Pelayaran militer patroli bersenjata untuk menegakkan monopoli dan melaksanakan Ekstirpasi. Ketakutan, pengawasan militer permanen, dan hukuman berat bagi pedagang lokal independen.
Sistem Perkeniers Penggantian populasi asli Banda setelah 1621 dengan tuan tanah Eropa (Perkeniers) dan tenaga kerja budak. Genosida populasi asli Banda, penghilangan hak kepemilikan tanah, dan penerapan sistem perbudakan kapitalis.

Perlawanan Sultan Nuku Muhammad Amiruddin (Akhir Abad ke-18)

Meskipun VOC menerapkan kontrol yang sangat ketat, semangat kedaulatan Maluku tetap menyala. Di akhir abad ke-18, muncul perlawanan yang signifikan yang dipimpin oleh Sultan Nuku Muhammad Amiruddin dari Tidore. Sultan Nuku, yang dikenal dengan julukan Jou Barakati (Panglima Perang), merupakan pejuang yang gigih menentang segala bentuk penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh VOC.

Dalam perjuangannya, Sultan Nuku berhasil melakukan mobilisasi perlawanan regional yang signifikan. Ia mampu mempersatukan wilayah Seram dan Irian Jaya untuk melawan VOC. Keberhasilannya bahkan diakui oleh pihak asing, yang memberinya julukan Lord of Fortune dari Inggris. Perlawanan Nuku membuktikan bahwa meskipun VOC memiliki kontrol militer dan ekonomi yang mapan, semangat kedaulatan kesultanan mampu mengorganisir perlawanan berskala besar yang berhasil mengusir penjajah sementara dari wilayahnya.

Perubahan Struktural Sosial dan Politik Kolonial Akhir (Abad ke-19 dan ke-20)

Reaksi Rakyat Terhadap Penindasan Baru: Perang Pattimura (1817)

Setelah kejatuhan VOC dan diambil alihnya kekuasaan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, penindasan terhadap rakyat Maluku tidak berkurang. Monopoli dan kebijakan eksploitatif terus berlanjut, termasuk pemaksaan rakyat Maluku untuk menjadi prajurit perang. Hal ini memicu Perang Pattimura (juga dikenal sebagai Perang Saparua) pada tahun 1817, yang dipimpin oleh Thomas Matulessy atau Kapitan Pattimura.

Perang Pattimura merupakan bentuk perlawanan berbasis massa yang didorong oleh penderitaan rakyat umum akibat kebijakan kolonial langsung, berbeda dengan perlawanan sebelumnya yang fokus pada kedaulatan kesultanan. Perlawanan ini berhasil menyatukan semangat rakyat Maluku, dan sempat merebut Benteng Duursted. Meskipun perang berakhir dengan kesengsaraan karena Belanda bertindak semakin sewenang-wenang , Perang Pattimura memperjelas semangat juang dan patriotisme rakyat Maluku. Peristiwa ini mewariskan budaya dan sejarah yang berharga, menjadi inspirasi penting bagi pergerakan nasional Indonesia dalam memperjuangkan hak kemerdekaan. Pergeseran fokus perlawanan menjadi isu-isu kerakyatan dan kebangsaan ini merupakan jembatan penting menuju nasionalisme modern.

Tabel 2: Evolusi Perlawanan Lokal terhadap Kolonialisme di Maluku

Periode Perlawanan Fokus Utama Perlawanan Pemimpin Kunci Kekuatan Kolonial Implikasi Jangka Panjang (Legacy)
Abad ke-16 Kedaulatan Kesultanan dan Anti-Intervensi Politik Sultan Hairun, Sultan Baabullah Portugis Membangun simbol kedaulatan Islam Maluku (“Tuan 72 Pulau”), berhasil mengusir kekuatan Eropa pertama.
Akhir Abad ke-18 Restorasi Kedaulatan dan Anti-Monopoli VOC Sultan Nuku Muhammad Amiruddin VOC/Belanda Simbol perlawanan berskala besar (Jou Barakati), mempersatukan wilayah yang luas termasuk Seram dan Irian Jaya.
Awal Abad ke-19 Anti-Penindasan dan Militerisasi (Proto-Nasionalis) Thomas Matulessy (Kapitan Pattimura) Belanda (pasca-VOC) Menjadi ikon patriotisme nasional Indonesia, menunjukkan perlawanan berbasis massa terhadap kebijakan langsung kolonial.

Ko-optasi Elit Lokal dan Birokrasi (Ambonse Ambtenaar)

Pada awal abad ke-20, Pemerintah Kolonial Belanda mulai menerapkan Politik Etis. Di Maluku Utara, pengembangan pendidikan kolonial ini memiliki tujuan terselubung, yaitu mencari pegawai dengan gaji rendah. Perkembangan pendidikan modern, baik yang dijalankan oleh pemerintah kolonial maupun pihak swasta (Zending dan organisasi Islam), mendapat respons positif.

Namun, pemerintah kolonial menerapkan sistem pendidikan berdasarkan golongan dan garis warna, yang menjadi faktor penghambat perkembangan pendidikan kolonial. Strategi utama kolonial adalah menciptakan kelas birokrat lokal yang loyal, seperti Klein Ambtenaar , yang identik dengan elite birokrasi, atau yang dikenal sebagai Ambonse Ambtenaar. Pembentukan kelas birokrat ini adalah strategi untuk mempermudah administrasi dan menciptakan segmen masyarakat yang terintegrasi dan loyal pada sistem kolonial. Namun, penciptaan Ambonse Ambtenaar menciptakan retakan sosial internal, di mana kelompok yang menerima keuntungan dari pendidikan dan jabatan kolonial sering kali terpisah dari rakyat biasa, memperumit stratifikasi sosial Maluku hingga masa pasca-kolonial.

Pengaruh Terhadap Sistem Pemerintahan Adat

Kolonialisme asing membawa perkembangan dan pengaruh luar yang mengubah struktur pemerintahan adat di Maluku. Pada dasarnya, negeri-negeri di Ambon memiliki struktur pemerintahan adat yang serupa, dipimpin oleh seorang kepala negeri yang disebut Raja atau Upu Latu, yang juga berperan sebagai kepala adat. Di bawah Raja, duduk para kepala soa.

Meskipun struktur formal adat seperti Raja dan Saniri Rajapatti dipertahankan, Belanda memasukkan unsur kontrol birokratis. Sistem Patrician Republican yang berkembang di Maluku Tengah (Ambon, Lease, Banda) berada di bawah kuasa rezim Aristokrasi yang dimodifikasi oleh kolonial. Kolonialisme tidak sekadar mengganti penguasa; ia secara halus memodifikasi fungsi institusi adat. Raja dijadikan perpanjangan tangan administrasi kolonial (regent atau pamerintah), yang secara efektif menggerogoti legitimasi tradisional mereka dan mengubah tatanan adat menjadi alat kontrol birokratis untuk kepentingan penjajahan.

Warisan Jangka Panjang (Legacy) dalam Identitas dan Ekonomi Maluku Kontemporer

Warisan Ekonomi: Sumpah Monokultur dan Jejak Tata Niaga

Kebijakan monopoli VOC abad ke-17 menghasilkan warisan ekonomi yang tidak terputus, yaitu spesialisasi agrikultur Maluku. Struktur tata niaga yang memusatkan cengkeh (sistem dati) di Ambon/Lease dan pala (sistem perken) di Banda secara permanen membentuk orientasi produksi Maluku. Meskipun sistem perkenier telah lama runtuh, struktur monokultur dan kepatuhan pada komoditas rempah tetap menjadi karakteristik utama ekonomi Maluku.

Secara mengejutkan, hingga kini, Maluku masih memiliki siklus ekonomi historis dengan bekas penjajah. Pala asal Maluku, dalam kategori kualitas tinggi (Pala ABCD, Pala Shrivels, Mace Broken), berhasil menembus pasar ekspor Uni Eropa, khususnya Belanda. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa Belanda tetap menjadi konsumen kunci komoditas yang dahulu mereka rebut dan monopoli melalui kekerasan, sebuah indikasi hubungan ekonomi yang tidak terputus selama berabad-abad.

Warisan Arkeologis dan Infrastruktur Militer

Jejak fisik kolonialisme mendominasi lanskap Maluku, khususnya di Ambon, di mana tinggalan kolonial merupakan warisan budaya arkeologis yang signifikan. Benteng-benteng yang berfungsi sebagai pusat pertahanan dan perdagangan menjadi bukti nyata perencanaan tata kota kolonial yang mengutamakan kontrol maritim. Contohnya adalah Benteng Victoria di pusat kota Ambon , yang menghubungkan langsung ke bibir Pantai Honipopu, dan Benteng Middleburg di Negeri Passo. Benteng Middleburg sendiri awalnya dibangun oleh Portugis dan direnovasi serta diperkuat oleh Belanda pada tahun 1610.

Keberadaan masif benteng-benteng ini menunjukkan bahwa Maluku pada masa kolonial adalah sebuah garrison state—negara militer yang beroperasi di bawah ancaman perlawanan internal dan persaingan eksternal. Struktur kota Maluku hingga kini masih merefleksikan prioritas militeristik kolonial tersebut.

Warisan Sosial: Dialektika Agama dan Restorasi Identitas

Warisan paling kompleks dari kolonialisme adalah pembentukan identitas komunal berbasis agama. Kolonialisme menjadi bagian sentral dalam dialektika antara Protestantisme dan Islam di Maluku. Misi agama (Katolik oleh Portugis, Protestan oleh Belanda) memperkuat garis batas komunal, yang terkadang menjadi sumber konflik di masa pasca-kolonial, seperti yang terjadi pada periode 1999–2000. Oleh karena itu, upaya rekonsiliasi yang dilakukan saat ini melibatkan dialog intensif antar-umat beragama untuk mengatasi akar konflik yang terkait dengan sejarah ini.

Maluku juga mewarisi simbol pengasingan dalam narasi nasional. Banda Neira, yang merupakan lokasi genosida massal, kemudian digunakan oleh otoritas Belanda sebagai tempat pengasingan bagi tokoh-tokoh gerakan kemerdekaan Indonesia, seperti Mohammed Hatta dan Sutan Sjahrir (1935–1942). Ini menjadikan Banda Neira sebagai situs yang menyimpan dua narasi penting: trauma genosida dan monumen perlawanan nasional.

Dalam upaya restorasi identitas, generasi muda Maluku kini berupaya mengartikulasikan kembali budaya Maluku yang dianggap statis melalui medium karya seni modern, seperti musik hip-hop, musik pop etnik, dan karya audio visual yang memuat panorama alam. Seni kemudian dibaca sebagai medium untuk mengkomunikasikan pengetahuan kognitif budaya mereka. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Maluku secara aktif mengubah narasi warisan kolonial menjadi kekuatan budaya yang baru dan dinamis.

Tabel 3: Warisan Sosial dan Identitas di Maluku

Aspek Warisan Deskripsi Jejak Kolonial Implikasi Kontemporer
Dialektika Agama Penguatan garis batas Islam-Protestantisme melalui misi Katolik/Protestan (Zending) di tengah masyarakat Islam. Menjadi akar identitas komunal yang kaku dan berkontribusi terhadap konflik sosial (1999-2000), memicu gerakan rekonsiliasi.
Stratifikasi Birokratik Pembentukan kelas Ambonse Ambtenaar dan Klein Ambtenaar yang loyal kepada Belanda. Menciptakan stratifikasi sosial dan persepsi superioritas/ko-optasi di kalangan elit lokal.
Situs Memorial Banda Neira digunakan sebagai tempat pengasingan politik (Hatta, Sjahrir). Mengintegrasikan narasi penderitaan Maluku ke dalam sejarah nasional Indonesia, simbol ganda trauma dan perlawanan.

Kesimpulan: Jejak Yang Tidak Terhapuskan

Kolonialisme asing di Maluku adalah proses multi-fase yang dimulai dengan persaingan oportunistik antara Portugis dan Spanyol pada abad ke-16, memanfaatkan kelemahan struktural persaingan Ternate-Tidore. Proses ini kemudian memuncak dalam kekerasan struktural dan kontrol ekonomi total di bawah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan Pemerintah Kolonial Belanda. Titik ekstrem dari kekerasan ini adalah Pembantaian Banda pada tahun 1621, yang merupakan upaya rekayasa demografi untuk menegakkan monopoli mutlak terhadap pala.

Warisan kolonialisme yang paling berlarut-larut meliputi: (1) Struktur ekonomi monokultur rempah yang memaksa Maluku bergantung pada komoditas spesifik melalui kebijakan seperti Ekstirpasi; (2) Stratifikasi sosial internal yang diperkuat oleh agama dan pembentukan kelas birokrasi elit (Ambonse Ambtenaar); dan (3) Jejak fisik berupa benteng-benteng militer yang menggambarkan Maluku sebagai garrison state kolonial.

Meskipun penindasan bersifat sistematis, perlawanan yang dipimpin oleh Sultan Baabullah, Sultan Nuku, dan Kapitan Pattimura membuktikan resiliensi masyarakat Maluku. Perlawanan ini berevolusi dari upaya mempertahankan kedaulatan kesultanan menjadi gerakan patriotisme berbasis massa, memberikan kontribusi signifikan terhadap narasi perjuangan nasional. Memahami sejarah kolonialisme Maluku sangat penting untuk menganalisis konflik kontemporer dan upaya rekonsiliasi, sebab banyak garis patahan sosial di masa kini, terutama terkait identitas komunal dan agama, berakar pada kebijakan kolonial yang diterapkan berabad-abad lalu. Upaya restorasi identitas Maluku melalui pengelolaan warisan budaya dan ekspresi seni modern menunjukkan bahwa masyarakat Maluku secara aktif bernegosiasi dengan warisan trauma ini, mengubahnya menjadi kekuatan budaya yang berkelanjutan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

79 − 75 =
Powered by MathCaptcha