Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI), yang diperkenalkan oleh Presiden Xi Jinping pada tahun 2013, merupakan strategi pembangunan ekonomi dan infrastruktur global yang paling ambisius pada abad ke-21. BRI, yang awalnya dikenal di Tiongkok sebagai One Belt One Road, bertujuan untuk mempromosikan konektivitas perdagangan inter-regional, memperkuat integrasi fasilitas, memfasilitasi integrasi finansial, perdagangan yang tidak terhambat, dan ikatan antar masyarakat. Sejak inisiasinya, BRI telah menjadi sentral bagi kebijakan luar negeri Tiongkok, berfungsi sebagai platform utama untuk mempromosikan peran kepemimpinan Tiongkok dalam urusan global.
Skala proyek ini sangat besar. Pada tahun 2024, BRI telah melibatkan 147 negara dan organisasi internasional, mencakup hampir 75% populasi dunia dan lebih dari separuh Produk Domestik Bruto (PDB) global. Fokus investasi awal BRI sangat terkonsentrasi pada pengembangan infrastruktur fisik—termasuk material konstruksi, jaringan kereta api, jalan raya, jaringan listrik, industri baja, dan properti. Tiongkok mengidentifikasi BRI sebagai respons terhadap “kesenjangan infrastruktur” global, yang berpotensi mempercepat pertumbuhan ekonomi di Asia Pasifik, Afrika, dan Eropa Tengah dan Timur.
Indonesia memainkan peran kunci dalam desain besar BRI. Kunjungan Presiden Xi Jinping ke Jakarta pada Oktober 2013, di mana beliau berpidato di depan parlemen, menekankan pentingnya Indonesia dalam proyek konektivitas global ini. Lokasi Indonesia yang strategis, berada di persimpangan antara benua Asia dan Australia serta Samudra Pasifik dan Hindia, menjadikannya salah satu negara prioritas, terutama dalam konteks Jalur Sutra Maritim Abad ke-21.
Pengamatan mendalam terhadap motivasi BRI menunjukkan bahwa inisiatif ini berfungsi sebagai solusi internal dan eksternal. Secara domestik, BRI adalah mekanisme strategis yang memungkinkan Tiongkok menyalurkan kelebihan kapasitas industrinya (misalnya dalam baja dan konstruksi) serta modalnya ke pasar luar negeri, sekaligus mengamankan akses yang lebih stabil ke pasokan sumber daya dan energi global. Dengan demikian, BRI bertindak sebagai instrumen penyesuaian ekonomi domestik Tiongkok yang kemudian dibingkai sebagai kebijakan luar negeri yang transformatif.
Tujuan Ganda BRI: Imperatif Domestik dan Ambisi Geopolitik
BRI tidak hanya didorong oleh kebutuhan pembangunan di negara-negara mitra, tetapi juga oleh imperatif ekonomi dan politik Tiongkok sendiri, sering kali digambarkan sebagai merkantilisme modern.
Imperatif Ekonomi dan Merkantilisme Modern
Secara ekonomi, BRI didesain untuk menciptakan pasar baru bagi perusahaan-perusahaan Tiongkok, memfasilitasi ekspor komoditas dan jasa, dan memperkuat hubungan ekonomi yang mengikat negara-negara mitra dalam rantai pasok Tiongkok. Penelitian ekonomi politik internasional menyimpulkan bahwa BRI merepresentasikan merkantilisme modern, sebuah filosofi di mana negara menggunakan kekuatan ekonomi (dalam hal ini, investasi infrastruktur) untuk membangun posisi dominan dalam tata kelola politik dan keamanan regional.
Geopolitik dan Kerangka Geoekonomi
Dari perspektif geopolitik, BRI adalah instrumen kebijakan luar negeri yang bertujuan memproyeksikan Tiongkok ke dalam peran kepemimpinan global, terutama di tengah konteks yang dirasakan sebagai penurunan hegemoni Amerika Serikat. Kerangka operasional BRI dapat dipahami melalui lensa geoekonomi, yang didefinisikan sebagai studi tentang aspek spasial, temporal, dan politik dari ekonomi dan sumber daya.
Geoekonomi, yang merupakan cabang dari geopolitik, berfokus pada persaingan antarnegara yang dimanifestasikan melalui sarana ekonomi, bukan militer tradisional. BRI, dengan membangun jalur logistik darat dan maritim yang menghubungkan Tiongkok dengan Asia, Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara, mengaplikasikan teori Heart-land dengan memprioritaskan penguasaan rute logistik darat. Ini adalah upaya terstruktur untuk menggantikan persaingan militer atau ideologi dengan persaingan ekonomi yang mengikat negara lain ke dalam orbit ekonomi Tiongkok. Dalam konteks ini, investasi infrastruktur raksasa Tiongkok bukanlah sekadar bantuan pembangunan, melainkan sebuah senjata lunak strategis yang berpotensi mendefinisikan ulang keteraturan perdagangan global di bawah kepemimpinan Tiongkok.
Peta Strategis: Enam Koridor Darat dan Jalur Sutra Maritim Abad ke-21
Struktur geografis BRI didasarkan pada dua komponen utama: Jalur Sutra Ekonomi (Silk Road Economic Belt), yang terdiri dari enam koridor ekonomi darat, dan Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 (21st Century Maritime Silk Road).
Jalur Maritim sangat penting bagi Tiongkok. Tiongkok melakukan investasi besar-besaran dalam pengembangan pelabuhan di sepanjang Samudra Hindia, membentang dari Asia Tenggara hingga Afrika Timur dan beberapa bagian Eropa. Tujuannya adalah untuk mengakomodasi dan mengendalikan perluasan lalu lintas perdagangan maritim, sekaligus mengamankan rute pasokan energi.
Fokus Regional di Asia Tenggara (Indonesia): Mengingat posisi geografisnya, Indonesia memiliki peran vital, khususnya dalam Jalur Maritim. Proyek-proyek BRI di Indonesia dirancang untuk selaras dengan visi nasional Presiden Joko Widodo, yaitu konsep Poros Maritim Dunia (PMD). Sinergi antara BRI dan PMD ini seringkali diimplementasikan melalui skema bisnis-ke-bisnis (Business-to-Business/B2B), menciptakan efek sinergis yang bermanfaat bagi konektivitas kedua negara. Contoh proyek spesifik BRI di Indonesia mencakup pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan pengembangan beberapa pelabuhan untuk mendukung percepatan pembangunan tol laut nasional.
Infrastruktur sebagai Mesin Geoekonomi Tiongkok
Model Pembiayaan BRI: Karakteristik dan Risiko
Model pembiayaan BRI berbeda secara fundamental dari lembaga keuangan multilateral tradisional (MDB) atau pasar modal Barat. Tiongkok telah memantapkan dirinya sebagai kreditur tunggal terbesar di dunia, dengan piutang kepada negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah mencapai sekitar USD 170 miliar pada akhir tahun 2020.
Karakteristik Pinjaman Tiongkok
Pinjaman yang diberikan di bawah kerangka BRI memiliki beberapa karakteristik yang menimbulkan risiko unik bagi negara penerima:
- Suku Bunga Tinggi:Pinjaman BRI seringkali mengenakan suku bunga yang jauh lebih tinggi daripada pinjaman yang ditawarkan oleh MDB (seperti Bank Dunia atau Bank Pembangunan Asia). Sebagai contoh, pinjaman untuk Fase I Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka dikenakan suku bunga 6,3%, sementara bank pembangunan multilateral biasanya menawarkan suku bunga di kisaran 2% hingga 3%.
- Syarat Kontraktor Tiongkok:Meskipun pinjaman Tiongkok seringkali dinilai kurang ketat dalam persyaratan perlindungan lingkungan, sosial, atau reformasi tata kelola, pinjaman ini sering mensyaratkan bahwa negara mitra harus menggunakan kontraktor dan peralatan Tiongkok. Hal ini memastikan modal yang dipinjamkan kembali mengalir ke industri Tiongkok, mendukung tujuan domestik Tiongkok untuk menyalurkan kelebihan kapasitas industri.
Negara-negara penerima sering memilih pinjaman Tiongkok karena insentif politik. Pinjaman ini memungkinkan pemerintah memulai proyek besar secara cepat tanpa harus melalui mitigasi risiko atau studi kelayakan yang ketat yang disyaratkan oleh lembaga Barat. Hal ini menciptakan dilema biaya kecepatan versus biaya kualitas dan keberlanjutan. Keputusan untuk memprioritaskan kecepatan implementasi infrastruktur, meskipun dengan biaya bunga yang lebih tinggi, mengorbankan transparansi dan keberlanjutan ekonomi jangka panjang, sebuah kelemahan yang dieksploitasi oleh model BRI.
Risiko Utang Tersembunyi (Undisclosed Debt)
Salah satu risiko terbesar yang terkait dengan BRI adalah masalah utang tersembunyi (undisclosed debt). Sebuah laporan penelitian menemukan bahwa 42 negara saat ini memiliki tingkat utang publik kepada Tiongkok yang melebihi 10% dari PDB mereka. Ironisnya, utang ini seringkali dilaporkan di bawah angka sebenarnya kepada Sistem Pelaporan Debitur (DRS) Bank Dunia. Alasannya adalah bahwa di banyak Negara Berpenghasilan Rendah dan Menengah, institusi pemerintah pusat bukanlah peminjam utama yang bertanggung jawab atas pembayaran kembali, melainkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau entitas regional. Utang yang tidak dilaporkan ini secara signifikan meningkatkan kerentanan keuangan negara penerima karena total kewajiban utang sebenarnya tidak diketahui publik maupun pasar, yang dapat memicu risiko sistemik.
Sektor Kunci Investasi di Asia Tenggara dan Afrika
Investasi BRI bersifat multisektoral, namun terkonsentrasi di bidang konektivitas fisik.
Proyek Transportasi Strategis
Proyek kereta api dan pelabuhan mendominasi portofolio BRI. Di Indonesia, proyek ikonik adalah Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCIC). Sementara di Afrika Timur, Tiongkok membangun Kereta Api Standard Gauge (SGR) yang menghubungkan Mombasa dan Nairobi di Kenya. SGR Kenya ini didanai oleh pinjaman Tiongkok sebesar $3,6 miliar, yang diharapkan dapat memberikan dorongan ekonomi signifikan. Namun, proyek SGR ini kemudian menjadi studi kasus klasik mengenai masalah BRI, karena kesulitan mencapai kelayakan ekonomi yang memadai untuk melunasi utangnya.
Koridor Prioritas di Indonesia
Indonesia telah mengalokasikan empat koridor utama untuk proyek BRI: Sumatera Utara (fokus pada pengembangan Pelabuhan Kuala Tanjung), Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Pulau Bali. Proyek-proyek ini bertujuan utama untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan membuka peluang kerja lokal di provinsi-provinsi tersebut. Di Sulawesi Utara, khususnya Manado, investor Tiongkok menargetkan akuisisi dan renovasi hotel untuk memenuhi peningkatan jumlah turis Tiongkok. Dalam bidang maritim, Tiongkok juga berupaya memanfaatkan jejaringnya untuk meningkatkan kinerja Pelabuhan Kuala Tanjung.
Konektivitas Digital dan Standar Teknologi
Selain infrastruktur fisik, BRI juga mencakup konektivitas digital. Hal ini terlihat dalam kolaborasi teknologi 5G, misalnya antara Telkomsel dan ZTE Corporation, untuk memperluas jangkauan layanan broadband ke kawasan maritim Indonesia. Proyek ini menunjukkan bahwa BRI melampaui infrastruktur tradisional dan juga mencakup pembangunan ekosistem teknologi yang didominasi Tiongkok, yang memiliki implikasi strategis jangka panjang terhadap standar teknologi global.
Tantangan Implementasi BRI dan Dampak Negatif
Meskipun BRI menjanjikan pertumbuhan, implementasinya menghadapi tantangan serius. Sekitar 35% dari portofolio proyek BRI telah menghadapi masalah implementasi besar, termasuk skandal korupsi, pelanggaran standar tenaga kerja, bahaya lingkungan, dan protes publik di negara-negara penerima.
Tantangan-tantangan ini telah memicu “reaksi balik” (backlash) terhadap BRI di banyak negara di Asia, Afrika, dan Eropa. Beberapa pemerintah telah membatalkan proyek-proyek berprofil tinggi, sementara yang lain mulai mengevaluasi ulang secara kritis apakah manfaat partisipasi BRI lebih besar daripada risiko struktural dan finansial yang ditimbulkannya.
Debat Kritis Mengenai Diplomasi Utang (Debt-Trap Diplomacy)
Konsep “Diplomasi Utang” Tiongkok telah menjadi pusat perdebatan geopolitik, yang pada intinya menuduh Tiongkok menggunakan pembiayaan infrastruktur sebagai alat paksaan untuk mendapatkan aset strategis atau konsesi politik.
Definisi Konvensional dan Kritik terhadap Tiongkok
Narasi konvensional, yang sering dipromosikan oleh pihak Barat, menyatakan bahwa Tiongkok sengaja memberikan pinjaman besar kepada negara-negara yang rentan secara finansial untuk proyek yang tidak layak secara ekonomi, dengan antisipasi bahwa negara tersebut akan gagal bayar. Kegagalan ini kemudian memungkinkan Tiongkok untuk menuntut konsesi politik atau mengambil alih aset strategis, yang dianggap setara dengan penjualan kedaulatan.
Kasus Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka, di mana Sri Lanka menyerahkan saham ekuitas pengendali dan sewa 99 tahun atas pelabuhan tersebut kepada Tiongkok pada tahun 2017 karena ketidakmampuan membayar utang, menjadi contoh utama yang paling sering dikutip dalam narasi jebakan utang ini. Peristiwa ini memicu protes lokal dan tuduhan bahwa Sri Lanka telah menjual kedaulatannya.
Skala Utang Tiongkok dan Pembantahan Narasi Jebakan Utang
Meskipun kasus Hambantota menjadi peringatan, analisis yang lebih bernuansa menunjukkan bahwa narasi jebakan utang finansial murni seringkali terlalu disederhanakan dan tidak akurat secara empiris, berdasarkan tiga argumen utama:
- Proporsi Utang yang Kecil:Kerentanan utang Sri Lanka sudah ada sebelum dan sebagian besar tidak terkait langsung dengan pinjaman Tiongkok. Pada tahun 2017, utang luar negeri Sri Lanka yang terutang kepada Tiongkok hanya menyumbang sekitar 10,6% dari total utang eksternal. Mayoritas utang Sri Lanka yang memicu krisis keuangan berasal dari pinjaman pasar modal yang didominasi oleh kreditur Barat. Hal ini menunjukkan bahwa Tiongkok memperburuk kerentanan utang, tetapi bukan satu-satunya penyebab utama krisis kedaulatan finansial negara tersebut.
- Inisiatif Domestik Negara Mitra:Proyek Hambantota awalnya merupakan inisiatif yang aktif dicari oleh pemerintah Sri Lanka sendiri (di bawah Presiden Rajapaksa) setelah ditolak oleh India dan Amerika Serikat karena studi kelayakan menunjukkan kekhawatiran mengenai kelayakan ekonomi. Fakta ini mereduksi argumen bahwa Tiongkok merencanakan jebakan utang secara jahat, melainkan menunjukkan bahwa Tiongkok adalah satu-satunya entitas yang bersedia mendanai proyek berisiko tinggi tersebut.
- Pemisahan Utang dan Aset:Klaim bahwa Perjanjian Konsesi Hambantota adalah skema tukar guling utang/ekuitas formal (debt-for-equity swap) dibantah oleh pejabat Sri Lanka. Meskipun CMPort Tiongkok mengambil alih 85% saham HIPG (perusahaan pengelola pelabuhan) dan menyewa pelabuhan selama 99 tahun, utang yang terutang kepada Tiongkok untuk konstruksi dialihkan ke Departemen Keuangan Sri Lanka, menunjukkan bahwa perjanjian konsesi tersebut merupakan kesepakatan komersial terpisah, bukan pelunasan utang secara langsung.
Jika narasi jebakan utang finansial murni (yaitu, paksaan penyerahan aset) dapat dibantah secara empiris dalam kasus paling terkenal sekalipun, maka fokus analisis harus bergeser dari risiko finansial murni ke risiko struktural ketergantungan.
Redefinisi Jebakan Utang: Kedaulatan Kebijakan (Policy Debt Trap)
Analisis yang lebih mendalam menunjukkan bahwa dampak terbesar dari BRI tidak selalu terletak pada risiko gagal bayar finansial, tetapi pada pembatasan kedaulatan kebijakan negara mitra.
Konsep Baru: Jebakan utang perlu didefinisikan secara lebih luas sebagai kondisi di mana kedekatan dan ketergantungan ekonomi yang mendalam membatasi kebebasan suatu negara untuk membuat keputusan kebijakan luar negeri, fiskal, atau bahkan keamanan, terutama yang berkaitan dengan isu-isu sensitif yang melibatkan Tiongkok.
Gejala di Indonesia: Indonesia, sebagai mitra ekonomi terbesar Tiongkok, menunjukkan manifestasi yang jelas dari Policy Debt Trap. Meskipun terdapat isu-isu yang secara jelas merugikan kepentingan Indonesia (misalnya, isu Natuna Utara yang bersinggungan dengan klaim Tiongkok, atau isu Uighur), respons pemerintah cenderung sangat berhati-hati agar tidak melukai hubungan dengan Tiongkok. Selain itu, Indonesia terkadang memberikan insentif pajak yang menguntungkan perusahaan Tiongkok, yang berpotensi mengurangi potensi pendapatan pajak dari investasi asing dan secara bersamaan meningkatkan potensi ketergantungan utang luar negeri.
Kondisi ini menunjukkan bahwa negara tersebut telah terjebak bukan dalam jebakan utang finansial tradisional, melainkan dalam struktur ketergantungan strategis. Untuk mengatasi risiko ini, Indonesia telah menekankan pentingnya diversifikasi mitra ekonomi dan memanfaatkan forum multilateral—seperti keputusan untuk bergabung dengan BRICS—guna meningkatkan kekuatan negosiasinya dan mempertahankan kebijakan luar negeri yang independen-aktif.
Studi Kasus dan Dinamika Renegosiasi Utang
Dinamika BRI bervariasi tergantung pada kapasitas negosiasi, tekanan politik domestik, dan nilai strategis negara mitra bagi Tiongkok. Kasus Sri Lanka, Malaysia, dan Kenya menawarkan spektrum hasil yang berbeda.
Pelabuhan Hambantota, Sri Lanka: Simbol Geopolitik
Pelabuhan Hambantota adalah contoh paling menonjol dari bagaimana proyek BRI dapat beralih dari proyek infrastruktur menjadi simbol kontrol geopolitik. Pinjaman awal yang mahal, didukung oleh kelayakan ekonomi yang lemah (mengingat adanya Pelabuhan Kolombo yang berdekatan) , membuat Sri Lanka rentan.
Transfer Kedaulatan Operasional: Meskipun Tiongkok membantah telah secara formal menukar utang dengan aset , penyerahan kendali operasional atas pelabuhan tersebut melalui sewa 99 tahun kepada perusahaan Tiongkok pada Desember 2017 memiliki implikasi geopolitik yang substansial. Lokasi pelabuhan di salah satu jalur pelayaran tersibuk di Samudra Hindia menjadikan aset ini bernilai strategis militer yang tinggi. Kekhawatiran bahwa Hambantota dapat menjadi fasilitas angkatan laut Tiongkok (Chinese naval facility) didorong oleh insiden di Kolombo dan lokasi Hambantota yang lebih terisolasi, yang dapat menawarkan kebebasan lebih besar bagi kapal Tiongkok. Dengan demikian, meskipun klaim finansial mungkin rumit, implikasi geopolitik dari kontrol Tiongkok atas aset strategis ini sangat nyata.
Malaysia dan ECRL: Fleksibilitas Tiongkok dan Negosiasi Kedaulatan
Berbeda dengan Sri Lanka, Malaysia berhasil menunjukkan kapasitas untuk menegosiasikan kembali proyek BRI yang kontroversial. Proyek East Coast Rail Link (ECRL) senilai miliaran dolar ditangguhkan pada masa Perdana Menteri Mahathir Mohamad, yang khawatir bahwa proyek tersebut akan menyebabkan pembengkakan utang luar negeri dan risiko kebangkrutan, mirip dengan nasib Sri Lanka.
Renegosiasi dan Keberhasilan Diplomatik: Mahathir Mohamad secara langsung menyampaikan keluhannya kepada Presiden Xi Jinping. Meskipun awalnya Malaysia khawatir akan sanksi ekonomi atau denda pemutusan kontrak, Tiongkok pada tahun 2019 menerima renegosiasi ECRL, menghasilkan perubahan jalur lintasan, pengurangan jarak, dan penurunan biaya proyek keseluruhan.
Kasus ECRL Malaysia membuktikan bahwa Diplomasi Utang Tiongkok memiliki tingkat fleksibilitas. Kesediaan Tiongkok untuk renegosiasi menunjukkan prioritas untuk mempertahankan hubungan strategis dan mencegah pembatalan proyek, yang dapat merusak narasi “kerja sama win-win” BRI. Keberhasilan negosiasi Malaysia menyoroti bahwa kedaulatan negosiasi, yang didukung oleh kepemimpinan yang tegas, adalah faktor penentu utama dalam mengurangi risiko utang BRI.
Kasus Afrika: Kereta Api SGR Kenya (Kelayakan Ekonomi dan Beban Utang)
Di Afrika, proyek SGR Mombasa-Nairobi, yang dibangun dengan pinjaman Tiongkok sebesar $3,6 miliar, seharusnya menjadi katalis transformatif, meningkatkan mobilitas barang dan jasa. Namun, kereta api ini berjuang keras untuk mencapai kelayakan ekonomi yang memadai untuk membayar pinjaman.
Studi kasus Kenya memperkuat kritik struktural terhadap BRI: bahwa insentif politik bagi pemerintah penerima untuk memulai proyek besar (segera dan cepat) seringkali mengesampingkan mitigasi risiko ekonomi yang ketat. Akibatnya, proyek-proyek ini menambah beban utang yang tidak berkelanjutan secara finansial, meskipun Tiongkok menyangkal tujuan menjebak negara mitra.
Implikasi Geopolitik dan Arsitektur Global Baru
Dual-Use dan Kekhawatiran Keamanan Maritim
Salah satu implikasi geopolitik BRI yang paling signifikan adalah kekhawatiran mengenai potensi penggunaan ganda (dual-use) fasilitas infrastruktur sipil Tiongkok untuk tujuan militer.
Logistik Sipil dan Kapabilitas Strategis
Fasilitas yang dibangun di bawah BRI, khususnya pelabuhan laut dalam, memiliki potensi dual-use. Kekhawatiran ini diperkuat oleh konsep Military-Civil Fusion Tiongkok, yang mengintegrasikan sektor sipil dan militer. Fungsi utama fasilitas ini adalah untuk memfasilitasi logistik BRI dan melindungi investasi Tiongkok. Namun, lokasi strategis mereka di sepanjang jalur pelayaran tersibuk secara inheren memberikan nilai militer.
Analisis strategis menunjukkan bahwa pengembangan BRI Tiongkok secara teoretis dapat mengancam atau mempengaruhi tujuh dari delapan titik maritime chokepoints kritis global. Hal ini berarti bahwa Tiongkok, melalui investasi ekonomi, membangun footprint logistik global yang berfungsi sebagai mekanisme pra-penempatan kemampuan strategis di jalur laut vital. Kehadiran ini memicu kecurigaan geopolitik dan memicu perlombaan untuk mengamankan akses logistik di seluruh Indo-Pasifik. Meskipun Tiongkok menegaskan BRI didorong oleh kepentingan ekonomi, potensi dual-use ini menjadi tantangan keamanan yang kompleks bagi Amerika Serikat dan sekutunya.
Kompetisi Global: Analisis Inisiatif Tandingan Barat
BRI telah memaksa negara-negara maju untuk meluncurkan inisiatif infrastruktur tandingan sebagai upaya untuk mendapatkan kembali pengaruh yang hilang dalam satu dekade terakhir. Inisiatif utama meliputi Build Back Better World (B3W), yang kemudian diluncurkan kembali oleh G7 sebagai Partnership for Global Infrastructure and Investment (PGII), dan Global Gateway (GG) oleh Uni Eropa.
Kontras Model Pembiayaan dan Kualitas
PGII bertujuan memobilisasi $600 miliar dalam bentuk pinjaman dan hibah. Skala pendanaan ini menunjukkan komitmen serius untuk menyamai tingkat investasi BRI. Namun, PGII secara filosofis berlawanan dengan BRI :
| Fitur Kunci | Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok | PGII/Global Gateway (Barat) | Dampak Strategis |
| Fokus Utama | Konektivitas, Akses Sumber Daya, Kepemimpinan Geoekonomi | Kualitas Infrastruktur, Transparansi, Standar ESG Tinggi | BRI mengutamakan kecepatan dan akses strategis; PGII mengutamakan keberlanjutan normatif. |
| Model Pendanaan | Pinjaman Publik/Bilateral Berbasis Utang; Kreditur tunggal terbesar | Mobilisasi Modal Swasta, Pinjaman, dan Hibah; Dikelola G7/UE | BRI mengisi kesenjangan proyek berisiko tinggi; PGII terikat pada kelayakan bank swasta. |
| Transparansi | Pinjaman sering undisclosed; Kurang ketat pada reformasi | Persyaratan Pengungkapan Transparan dan Kepatuhan ESG Tinggi | BRI disukai untuk proyek yang mendesak secara politik; PGII membutuhkan waktu penyiapan yang lebih lama. |
| Persyaratan Kontraktor | Seringkali mensyaratkan penggunaan kontraktor Tiongkok | Lelang Terbuka (Open Tender) | BRI mengamankan manfaat ekonomi domestik Tiongkok; PGII mendukung persaingan global. |
Keterbatasan Kompetisi
G7 secara eksplisit menyatakan bahwa mereka tidak mampu bersaing dengan BRI hanya melalui pengeluaran publik. Model PGII sangat bergantung pada penarikan modal sektor swasta. Sektor swasta hanya akan tertarik pada proyek yang berkualitas tinggi dan memiliki risiko ESG rendah. Hal ini secara inheren membatasi PGII untuk mendanai proyek yang secara finansial sudah bankable. Sebaliknya, BRI Tiongkok tetap unggul dalam mengisi kesenjangan infrastruktur yang dianggap terlalu berisiko, non-viable secara komersial, atau mendesak secara politik oleh pemberi pinjaman Barat (seperti Hambantota). Oleh karena itu, kompetisi global tidak selalu terjadi pada proyek yang sama, memungkinkan BRI untuk mempertahankan keunggulan dalam mendanai proyek high-risk, high-reward strategis.
Upaya Diversifikasi Mitra: Peran Forum Multilateral
BRI, meskipun merupakan inisiatif bilateral Tiongkok, telah mendorong mitra-mitranya untuk mencari solusi multilateral untuk menyeimbangkan hubungan asimetris.
Strategi Multilateral: Tiongkok sendiri menggunakan forum regional seperti Forum on China-Africa Cooperation (FOCAC) dan China-Arab States Cooperation Forum (CASCF) untuk memfasilitasi proyek BRI dan membingkai kerja sama sebagai kolektif.
Langkah Indonesia ke BRICS: Keputusan Indonesia untuk bergabung dengan kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan) adalah manuver strategis untuk memperkuat kebijakan luar negeri independen-aktifnya. Aliansi BRICS, yang mencakup 35% output ekonomi global, menyediakan platform bagi Indonesia untuk meningkatkan leverage negosiasi dengan Tiongkok dan mengatasi isu-isu domestik tanpa harus sepenuhnya bergantung pada salah satu blok adidaya. Hal ini menunjukkan bahwa BRI, melalui tekanan geopolitiknya, secara tidak langsung memacu pembentukan aliansi ekonomi baru yang bertujuan mendefinisikan ulang tata kelola global dan mengurangi ketergantungan tunggal.
Kesimpulan
Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok adalah manifestasi utama geoekonomi abad ke-21. Inisiatif ini menawarkan solusi yang cepat, masif, dan terintegrasi untuk mengatasi defisit infrastruktur global, memacu konektivitas dan pertumbuhan. Manfaat ini, bagaimanapun, datang dengan biaya struktural.
Dilema sentral bagi negara mitra adalah trade-off antara kecepatan implementasi infrastruktur Tiongkok versus risiko utang dan ketergantungan. Meskipun narasi “Jebakan Utang” finansial murni (yaitu, skema paksa untuk penyitaan aset) dapat diperdebatkan (seperti pada kasus Hambantota yang bukan debt-for-equity swap formal) , analisis menunjukkan bahwa risiko telah berevolusi menjadi “Jebakan Utang Kebijakan” (Policy Debt Trap). Dalam kondisi ini, ketergantungan ekonomi tinggi membatasi kedaulatan kebijakan dan kemampuan negara mitra untuk bertindak secara independen dalam isu-isu sensitif (seperti yang terlihat di Indonesia).
Selain itu, investasi infrastruktur BRI memiliki dimensi geopolitik yang tidak terhindarkan, terutama kekhawatiran mengenai potensi dual-use militer pada aset-aset logistik strategis di jalur maritim kritis.
Berdasarkan analisis spektrum hasil proyek BRI (mulai dari penyerahan aset di Sri Lanka, negosiasi sukses di Malaysia, hingga risiko kebijakan di Indonesia), berikut adalah rekomendasi strategis bagi negara-negara mitra BRI:
Penguatan Tata Kelola dan Transparansi Utang
Negara penerima harus mengambil langkah tegas untuk meningkatkan transparansi dalam kontrak pinjaman. Hal ini mencakup pelaporan akurat semua kewajiban utang kepada Tiongkok, termasuk pinjaman undisclosed yang disalurkan melalui BUMN, untuk memonitor tingkat utang secara keseluruhan. Proyek infrastruktur harus dinilai secara ketat berdasarkan kelayakan ekonomi dan keberlanjutan jangka panjang, bukan hanya berdasarkan insentif politik jangka pendek.
Diversifikasi Mitra Pembiayaan
Untuk mengurangi risiko ketergantungan tunggal (Policy Debt Trap), negara mitra harus secara aktif mencari dan memanfaatkan alternatif pendanaan yang ditawarkan oleh inisiatif Barat (PGII/Global Gateway) dan lembaga MDB. Meskipun inisiatif Barat mungkin hanya fokus pada proyek yang bankable dengan standar ESG tinggi, penggunaan pendanaan ini untuk proyek-proyek yang layak dapat membebaskan modal domestik untuk kebutuhan lain, sambil menegaskan kembali komitmen terhadap standar kualitas global.
Pemanfaatan Platform Multilateral untuk Leverage Negosiasi
Negara-negara mitra harus menggunakan forum kolektif dan multilateral, seperti BRICS, ASEAN, FOCAC, atau forum-forum regional lainnya, untuk membangun kekuatan negosiasi kolektif dengan Tiongkok. Kasus Malaysia membuktikan bahwa negosiasi yang tegas dapat mengubah persyaratan utang. Dengan mengikat Tiongkok pada norma-norma kerja sama multilateral, negara mitra dapat mengurangi sifat asimetris dari hubungan bilateral BRI.
