Transformasi digital telah menjadi kekuatan fundamental yang membentuk kembali ekonomi global dan meningkatkan kualitas hidup secara drastis, memengaruhi komunikasi, bisnis, kesehatan, pendidikan, dan keuangan. Namun, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang tidak merata telah menciptakan jurang pemisah yang tajam, memperburuk kesenjangan antara masyarakat yang memiliki akses digital (digital haves) dan yang tidak memiliki akses (have-nots). Saat ini, Kesenjangan Digital (Digital Divide atau DD) telah menjadi sinonim dengan Ketidaksetaraan Pembangunan (Development Divide). Miliaran orang di seluruh dunia masih offline, dan distribusi adopsi teknologi sangat tidak merata, menuntut perhatian kebijakan yang mendalam.
Dalam konteks Indonesia, urgensi penelitian ini meningkat tajam mengingat dampak pandemi COVID-19 yang mempercepat transformasi digital secara global. Pemerintah dan pemangku kepentingan perlu memahami secara sistematis bagaimana ekonomi digital dapat dimanfaatkan untuk percepatan pemulihan dan pertumbuhan ekonomi tanpa memperlebar jurang sosial yang sudah ada. Jika kesenjangan ini tidak diatasi, kelompok rentan akan menghadapi tantangan yang lebih besar, membatasi kemampuan mereka untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan penurunan kualitas hidup.
Definisi Kesenjangan Digital Multidimensi: Dari Akses ke Pemanfaatan Manfaat
Kesenjangan Digital harus dipahami sebagai fenomena yang jauh lebih kompleks daripada sekadar perbedaan kepemilikan perangkat keras atau koneksi internet. Kerangka konseptual yang digunakan dalam analisis ini mengidentifikasi DD dalam empat dimensi berlapis yang menggambarkan perpindahan fokus dari masalah akses dasar ke masalah pemanfaatan dan hasil.
- Dimensi Akses (First-Level Divide): Dimensi ini merupakan level paling dasar, merujuk pada kemampuan individu atau kelompok untuk memiliki dan menggunakan perangkat teknologi (seperti komputer, smartphone) dan ketersediaan koneksi internet yang stabil. Kesenjangan di level ini sering kali berkaitan langsung dengan ketersediaan infrastruktur teknologi dan kepemilikan perangkat.
- Dimensi Keterampilan (Second-Level Divide): Walaupun akses fisik tersedia, kemampuan untuk menggunakannya secara efektif menjadi penentu. Dimensi ini mencakup kemampuan mengoperasikan perangkat keras dan perangkat lunak, mengakses internet, serta, yang paling krusial, memiliki literasi digital fungsional. Kurangnya keterampilan ini menyebabkan banyak pihak tertinggal dalam memanfaatkan sumber daya online yang tersedia.
- Dimensi Kualitas Penggunaan: Kesenjangan ini mencerminkan perbedaan dalam intensitas waktu penggunaan teknologi, kreativitas dalam pemanfaatan, dan keberagaman aplikasi yang digunakan. Misalnya, perbedaan yang mendasar muncul antara individu yang hanya menggunakan internet untuk hiburan versus mereka yang memanfaatkannya untuk pendidikan, pekerjaan, atau akses ke layanan penting.
- Dimensi Manfaat/Outcome: Dimensi terakhir dan terpenting adalah perbedaan hasil sosial-ekonomi yang diperoleh dari penggunaan teknologi. Kesenjangan ini mencakup disparitas dalam akses ke peluang kerja, layanan kesehatan digital, dan peningkatan kualitas hidup.
Analisis menunjukkan bahwa fokus kebijakan harus bergeser dari mengatasi DD Level 1 (Akses) ke Level 2 dan 3 (Keterampilan, Kualitas, dan Manfaat). Investasi besar-besaran dalam infrastruktur (seperti Program USO) tidak akan menghasilkan inklusi yang setara jika masalah literasi digital, kualitas koneksi, dan biaya yang tinggi diabaikan. Ketika akses yang buruk menghambat pelatihan keterampilan, maka hal tersebut membatasi pemanfaatan produktif, dan pada akhirnya mencegah pencapaian manfaat ekonomi. Siklus kausalitas ini menciptakan digital exclusion terselubung, di mana individu secara teknis “terkoneksi” tetapi tidak mampu berpartisipasi penuh dalam ekonomi digital.
Tabel I: Matriks Dimensi Kesenjangan Digital dan Indikator Kritis
| Dimensi Kesenjangan | Deskripsi Kritis | Indikator Kuantitatif Kunci | |
| Akses (Level 1) | Ketersediaan, kepemilikan, dan biaya koneksi internet yang stabil. | Cakupan 4G/5G, Kepemilikan smartphone, Biaya 1 GB data. | |
| Keterampilan (Level 2) | Kemampuan navigasi, pengoperasian perangkat lunak, dan memilah informasi (Literasi). | Tingkat literasi digital, Kesenjangan keterampilan guru/siswa. | |
| Kualitas Penggunaan | Intensitas, keberagaman aplikasi, dan kreativitas pemanfaatan (Produktivitas vs. Konsumsi). | Konsumsi data per kapita, Variasi pemanfaatan layanan. | |
| Manfaat/Outcome (Level 3) | Perbedaan hasil sosial-ekonomi yang diperoleh, inklusi dalam layanan publik dan pasar kerja. | Kontribusi PDB/PNB, Tingkat inklusi keuangan, Ketimpangan kesehatan. |
Anatomi dan Manifestasi Ketidaksetaraan Digital di Indonesia
Dimensi Infrastruktur dan Geografis
Kesenjangan digital di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor geografis dan infrastruktur. Tantangan utama dalam pengembangan TIK di Indonesia adalah kondisi geografisnya yang terdiri dari ribuan pulau, luasnya wilayah, dan banyaknya daerah terpencil dengan populasi berpendapatan rendah.
- Kesenjangan Regional (Perkotaan vs. Pedesaan): Kesenjangan infrastruktur digital antara wilayah perkotaan dan pedesaan merupakan penyebab utama rendahnya partisipasi masyarakat pedesaan dalam ekonomi digital. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengonfirmasi bahwa pengguna internet masih didominasi oleh populasi perkotaan. Ketimpangan ini secara struktural menghambat pemerataan pembangunan ekonomi.
- Kondisi Daya Saing Digital Nasional: Berdasarkan World Digital Competitiveness Ranking tahun 2021, Indonesia berada di urutan 53 dari 64 negara, yang mengindikasikan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk meningkatkan daya saing digital secara keseluruhan. Meskipun demikian, terdapat tanda-tanda positif dalam upaya pemerataan antar wilayah. Berdasarkan Index (EV-DCI), daya saing digital antar wilayah di Indonesia mulai menunjukkan perbaikan, terlihat dari peningkatan skor median dari 32.1 pada tahun 2020 menjadi 35.2 pada tahun 2022. Meskipun ada peningkatan skor, yang mencerminkan keberhasilan kebijakan pemerataan akses (Level 1), penting untuk menginvestigasi apakah pemerataan ini juga diikuti oleh peningkatan kualitas dan literasi, atau hanya bersifat dangkal.
Faktor Pendorong Utama Kesenjangan (Beyond Access)
Kesenjangan digital bukan hanya produk dari ketidaksetaraan pembangunan; ia bertindak sebagai mesin yang mereproduksi ketidaksetaraan tersebut di era digital.
- Infrastruktur, Geografis, dan Biaya: Akses terhadap TIK dapat terhambat oleh faktor geografis, ekonomi, atau bahkan kebijakan pemerintah yang belum memprioritaskan infrastruktur di wilayah tertentu. Selain akses fisik, biaya koneksi yang tinggi juga menjadi penghalang serius bagi individu atau komunitas berpenghasilan rendah. Secara global, data menunjukkan bahwa konsumsi data di negara berpenghasilan tinggi bisa puluhan atau bahkan ratusan kali lebih besar daripada di negara berpenghasilan rendah. Disparitas biaya ini menciptakan kondisi di mana akses Level 1 menjadi tidak berkelanjutan atau tidak memadai untuk mencapai pemanfaatan yang produktif.
- Keterampilan dan Literasi Digital: Bukti menunjukkan bahwa hanya memiliki akses ke teknologi tidak cukup; keterampilan penggunaan teknologi dan literasi digital adalah bagian penting dalam mengatasi DD. Kurangnya pendidikan atau pelatihan menjadi penyebab utama, yang membuat seseorang atau kelompok yang tidak terampil dalam navigasi internet atau memilah informasi secara efektif akan tertinggal dalam memanfaatkan sumber daya online. Kesenjangan keterampilan digital (DD Level 2) membatasi potensi pemanfaatan (DD Level 3), yang pada akhirnya mencegah peningkatan manfaat ekonomi riil.
- Kesenjangan Gender dan Kerentanan Sosial: Ketimpangan digital secara langsung menentukan kemampuan seseorang, terutama kelompok rentan, untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Kelompok seperti keluarga miskin, anak-anak, orang lanjut usia, dan penyandang disabilitas menghadapi tantangan yang jauh lebih besar. Kesenjangan gender juga menjadi isu krusial; studi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa tertinggalnya perempuan dalam penguasaan teknologi jarak jauh membuat mereka rentan kehilangan pekerjaan selama pandemi. Selain itu, tuntutan kerja jarak jauh meningkatkan risiko beban ganda domestik yang lebih besar bagi perempuan, seperti pengasuhan anak dan pendampingan kegiatan belajar mengajar.
Dampak Kesenjangan Digital terhadap Ketidaksetaraan Ekonomi Makro
Hambatan Pertumbuhan Ekonomi Nasional dan PDB
Pemerintah Indonesia telah mengarusutamakan transformasi digital sebagai strategi untuk mencapai rerata pertumbuhan ekonomi sebesar 5.4−6.0%. Konsultan global McKinsey pada tahun 2016 memproyeksikan ekonomi digital akan berkontribusi sebesar US$150 miliar, atau 10% dari Produk Nasional Bruto (PNB) Indonesia pada tahun 2025. Namun, prospek untuk mencapai target ambisius ini terganjal secara signifikan oleh ketimpangan keterampilan digital di masyarakat.
Ekonomi digital, terutama melalui transaksi e-commerce dan layanan digital, berpotensi memberikan kontribusi nyata terhadap peningkatan PDB, meningkatkan output ekonomi, dan meratakan peluang ekonomi bagi kelompok usaha kecil menengah (UKM). Namun, jika populasi tidak memiliki keterampilan yang memadai (DD Level 2), potensi PDB ini tidak akan terwujud. Indonesia berisiko hanya mengotomatisasi pekerjaan berupah rendah (efisiensi) tanpa menciptakan pekerjaan berupah tinggi (nilai tambah), yang pada akhirnya akan memperparah ketimpangan pendapatan.
Polaritas Pasar Tenaga Kerja dan Kesenjangan Keterampilan Global
Adopsi teknologi digital terbukti secara langsung menciptakan lapangan kerja baru, khususnya di bidang teknologi informasi, e-commerce, dan logistik. Hal ini membuka peluang signifikan bagi tenaga kerja muda yang mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi. Namun, analisis global menunjukkan adanya polarisasi yang signifikan dalam pertumbuhan sektor teknologi.
Sektor layanan teknologi informasi (TI), seperti konsultasi teknologi dan pengembangan perangkat lunak, tumbuh dua kali lebih cepat dari sektor ekonomi lainnya secara keseluruhan, dan menciptakan lapangan kerja enam kali lebih cepat dari rata-rata ekonomi global. Namun, pertumbuhan luar biasa ini sangat terkonsentrasi, di mana enam ekonomi teratas di dunia menyumbang 70% dari nilai tambah global dalam layanan TI.
Konsentrasi kekayaan dan nilai tambah ini menunjukkan adanya hambatan struktural bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia. Agar dapat bertransformasi dari sekadar pasar konsumen digital menjadi produsen nilai digital, Indonesia harus memprioritaskan peningkatan talenta digital produksi (seperti coder dan data scientist), bukan hanya talenta pengguna digital. Program-program pemerintah, seperti Project Management Office (PMO) Kampus Merdeka di Kemdikbudristek, harus diarahkan untuk mengatasi defisit keterampilan produksi yang menjadi kunci untuk menangkap nilai tambah global ini.
Digitalisasi Bisnis dan Ketimpangan Kapasitas UKM
Kesenjangan digital juga secara struktural menghambat UKM (Usaha Kecil Menengah), yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Terdapat ketimpangan yang signifikan dalam investasi digital antar ukuran perusahaan, yang menciptakan mekanisme divergence alih-alih convergence dalam ekosistem bisnis.
Data global dari tahun 2020 hingga 2022 menunjukkan disparitas yang ekstrem dalam adopsi solusi digital :
- Persentase perusahaan besar (lebih dari 100 karyawan) yang berinvestasi dalam solusi digital meningkat tiga kali lipat, dari 20% pada April 2020 menjadi 60% pada Desember 2022.
- Sebaliknya, persentase investasi digital pada perusahaan mikro (nol hingga empat karyawan) hanya meningkat dua kali lipat, dari 10% menjadi 20% dalam periode yang sama.
Tabel II: Ketimpangan Adopsi Digital Bisnis di Negara Berkembang (2020-2022)
| Kategori Firma (Fokus Investasi Digital) | Persentase Investasi Digital (Apr 2020) | Persentase Investasi Digital (Des 2022) | Rasio Ketimpangan (Perbandingan Investasi Firma Besar vs. Mikro 2022) |
| Perusahaan Mikro (0–4 Karyawan) | 10% | 20% | 1:3 |
| Perusahaan Besar (>100 Karyawan) | 20% | 60% | 3:1 |
Ketimpangan investasi ini menciptakan siklus di mana perusahaan besar mengakselerasi produktivitas dan efisiensi, sementara perusahaan mikro stagnan, sebab banyak perusahaan kecil dan menengah di negara berpenghasilan rendah masih beroperasi tanpa komputer atau koneksi internet pada tahun 2022. Hal ini membatasi kemampuan UKM untuk berpartisipasi dalam e-commerce dan meningkatkan efisiensi operasional , menghambat mobilitas ekonomi sosial dan menyebabkan pasar menjadi lebih terkonsentrasi.
Kesenjangan Digital dalam Sektor-Sektor Pembangunan Kritis (Analisis Sektoral)
Pendidikan Digital dan Learning Loss
Di sektor pendidikan, kesenjangan digital menimbulkan tantangan terhadap kualitas pembelajaran yang setara dan relevan. Selama pembelajaran jarak jauh, DD berdampak signifikan pada guru dan siswa.
Salah satu manifestasi yang jelas adalah keterlambatan siswa dalam mendapatkan informasi tentang pengerjaan dan pengumpulan tugas yang dominan dilaksanakan melalui berbagai variasi aplikasi daring, seperti Google Classroom. Kondisi ini menunjukkan adanya skill divide yang parah (DD Level 2), di mana siswa tidak memiliki keterampilan fungsional untuk beradaptasi dengan platform digital. Oleh karena itu, mengatasi kesenjangan keterampilan digital adalah langkah kunci untuk memastikan bahwa semua siswa memiliki akses yang lebih setara terhadap pendidikan digital yang berkualitas.
Kesehatan Digital (Telemedisin) dan Ketimpangan Kesehatan
Adopsi cepat telemedisin di Indonesia, yang dipercepat oleh pandemi COVID-19, merupakan potensi solusi untuk mengatasi tantangan akses layanan kesehatan. Namun, transformasi digital ini berisiko memperburuk ketidaksetaraan kesehatan yang ada akibat kesenjangan digital yang signifikan.
- Akses Infrastruktur yang Tidak Merata: Ketersediaan infrastruktur jaringan yang lebih baik di kota-kota besar, terutama di Pulau Jawa, menyebabkan pengguna layanan kesehatan berbasis teknologi terkonsentrasi di wilayah tersebut. Ironisnya, ratusan Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) dilaporkan masih belum memiliki akses internet , yang merupakan hambatan infrastruktur Level 1 yang fundamental, dan membatasi kemampuan layanan publik di daerah terpencil untuk mengadopsi e-Health.
- Keterbatasan Literasi Kesehatan Digital: Studi menunjukkan bahwa kendala struktural DD dalam telemedisin mencakup keterbatasan infrastruktur dan faktor sosioekonomi. Namun, low digital health literacy (literasi kesehatan digital yang rendah) diidentifikasi sebagai faktor penentu yang paling kritis (most critically) dalam ketidaksetaraan kesehatan. Meskipun masyarakat perkotaan cenderung mencari informasi kesehatan melalui berbagai kanal digital (jurnal, website, media sosial) , kemampuan untuk memilah dan memanfaatkan informasi tersebut secara aman dan kredibel sangat bergantung pada tingkat literasi.
Inti permasalahan dalam telemedisin adalah Inequity of Intent. Meskipun teknologi dirancang untuk memperluas akses ke daerah terpencil, DD yang ada menyebabkan adopsi terkonsentrasi pada populasi muda dan urban di Jawa. Ini menunjukkan bahwa kesenjangan digital dalam layanan kesehatan, khususnya telemedisin, telah menjadi penentu signifikan ketidaksetaraan kesehatan, dan bukan sekadar hambatan teknis.
Inklusi Keuangan Digital (FinTech) dan Pengurangan Kemiskinan
Pemerintah mendorong Financial Technology (FinTech) untuk meningkatkan inklusi keuangan dan mengakselerasi transformasi digital. FinTech memiliki potensi signifikan sebagai enabler untuk menjembatani kesenjangan akses keuangan. Secara khusus, FinTech Syariah dapat menjangkau kelompok yang belum terjangkau seperti UKM, pesantren, dan komunitas pedesaan dengan produk yang efisien, adil, dan sesuai dengan prinsip riba, gharar, dan maisir.
Dalam konteks digitalisasi keuangan, pemanfaatan Big Data menjadi enabler utama yang menghubungkan inovasi teknologi dengan prinsip layanan yang efisien. Penggunaan Big Data mampu mempercepat proses layanan, memperpendek waktu pemrosesan pembiayaan, dan mengurangi biaya operasional, sekaligus meningkatkan kualitas layanan melalui personalisasi produk dan akurasi analisis risiko.
Namun, keberhasilan FinTech dalam mendorong inklusi keuangan (DD Level 3) sangat bergantung pada Infrastructure Prerequisite. Jika kesiapan infrastruktur digital dan literasi keuangan/digital masyarakat tidak memadai , FinTech hanya akan melayani segmen masyarakat yang sudah terdigitalisasi, mengabaikan kelompok unbanked yang paling membutuhkan.
Strategi Kebijakan dan Peta Jalan Menuju Inklusi Digital Inklusif
Untuk memastikan bahwa transformasi digital di Indonesia berfungsi sebagai mekanisme convergence dan bukan divergence, diperlukan strategi kebijakan yang berlapis dan terkoordinasi, berfokus tidak hanya pada akses, tetapi juga pada keterampilan, kualitas, dan manfaat.
- Penguatan Infrastruktur Dasar yang Berkelanjutan
- Implementasi Program Universal Service Obligation (USO): Pemerintah telah menerapkan strategi untuk mengatasi DD melalui penguatan infrastruktur digital, salah satunya melalui implementasi Program USO. Program ini bertujuan untuk menyediakan akses layanan telekomunikasi, termasuk layanan broadband, terutama di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal). Berdasarkan UU No. 36 Tahun 1999, operator telekomunikasi diwajibkan menyumbang ke Universal Service Obligation Fund (USOF). Kontribusi ini ditingkatkan pada tahun 2009 menjadi 1.25% dari seluruh pendapatan kotor, yang dikelola oleh BTIP dengan anggaran tahunan melebihi US$170 juta.
- Transisi Fokus USO ke Kualitas dan Kapasitas: Meskipun pendanaan USO besar, kesenjangan rural-urban dan kualitas layanan masih timpang. Strategi kebijakan harus bergeser dari sekadar metrik coverage (cakupan) menjadi quality and affordability of service (kualitas dan keterjangkauan). Diperlukan dorongan kolaborasi sektor publik dan swasta untuk meningkatkan infrastruktur broadband dan fasilitas pendukung seperti data centers yang terhubung, yang saat ini masih didominasi oleh negara-negara berpenghasilan tinggi.
- Dukungan Regulasi: Regulasi primer, seperti UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, melengkapi strategi infrastruktur digital nasional.
Pengembangan Talenta dan Literasi Digital
Mengatasi ketimpangan keterampilan digital adalah kunci untuk membuka prospek ekonomi digital Indonesia. Kebijakan harus menargetkan dua tingkat keterampilan:
- Literasi Fungsional (DD Level 2): Program pelatihan harus diperluas untuk memastikan kelompok rentan memiliki keterampilan fungsional dasar, seperti mengoperasikan aplikasi belajar-mengajar atau layanan telemedisin. Selain itu, diperlukan program literasi yang menargetkan sektor spesifik, terutama Digital Health Literacy, untuk memungkinkan masyarakat memanfaatkan layanan kesehatan digital secara aman dan efektif, mengatasi faktor penentu kritis ketidaksetaraan kesehatan.
- Talenta Produksi Digital (Nilai Tambah): Investasi di program pengembangan talenta, seperti yang didukung oleh Kampus Merdeka , harus diarahkan pada penumbuhan keahlian tingkat lanjut (pengembangan software, data science, AI) untuk memastikan Indonesia dapat mengambil bagian dari 70% nilai tambah sektor TI global.
Peran Infrastruktur Publik Digital (DPI) dalam Pemerataan Layanan Publik
Digital Public Infrastructure (DPI), yang mencakup identitas digital, sistem pembayaran real-time, dan platform pertukaran data, adalah fondasi untuk pemerataan layanan publik. Negara yang telah menerapkan elemen DPI terbukti lebih tangguh, mampu menjangkau tiga kali lebih banyak penerima manfaat transfer tunai darurat selama pandemi.
DPI memiliki manfaat sosial-ekonomi yang besar:
- Peningkatan Inklusi Keuangan: Digitalisasi pembayaran Government-to-Person (G2P) berkontribusi pada 865 juta orang di seluruh dunia membuka rekening formal pertama mereka untuk menerima dana dari pemerintah.
- Efisiensi dan Transparansi: DPI, seperti yang terlihat di negara lain, mampu mengurangi biaya onboarding tipikal perusahaan dan secara signifikan mengurangi waktu tunggu untuk pembayaran sosial. Di Pakistan, transfer tunai yang dikaitkan dengan identifikasi digital meningkatkan kontrol perempuan atas uang tunai sebesar 9 poin persentase.
Oleh karena itu, investasi dalam DPI, termasuk memastikan konektivitas seluruh Puskesmas di Indonesia , harus menjadi prasyarat untuk keberhasilan semua program inklusi digital, termasuk FinTech dan Telemedisin.
Tabel III: Mekanisme Kebijakan Lintas Sektor untuk Mengatasi Kesenjangan Digital Indonesia
| Area Intervensi Kebijakan | Fokus Utama dan Mekanisme | Dampak Terhadap Pengurangan Ketidaksetaraan (Level DD yang Diatasi) | |
| Infrastruktur (USO) | Pendanaan melalui kontribusi operator (1.25% GCR) untuk broadband di wilayah 3T. | Mengatasi Level 1 DD (Akses). | |
| Talenta Digital | Program pelatihan dan pendidikan (Kampus Merdeka) untuk meningkatkan skill teknologi. | Mengatasi Level 2 DD (Keterampilan), meningkatkan daya saing tenaga kerja. | |
| Inklusi Keuangan (FinTech & Big Data) | Mendorong layanan FinTech yang terjangkau dan efisien; pemanfaatan Big Data untuk akurasi risiko. | Mengatasi Level 3 DD (Manfaat) dalam akses keuangan. | |
| Kesehatan Digital | Kebijakan Digital Health Literacy dan perluasan akses internet Puskesmas. | Mengatasi Level 2 (Literasi Kesehatan) dan Level 3 (Manfaat Kesehatan). | |
| Tata Kelola | Pengembangan Indeks Inklusivitas Digital dan regulasi yang mendukung DPI. | Memberikan alat ukur yang andal dan memastikan ekosistem digital yang adil. |
Kesimpulan
Kesenjangan Digital di Indonesia telah bertransisi menjadi tantangan multidimensi yang secara kausal memperkuat ketidaksetaraan pembangunan, menghambat potensi pertumbuhan PDB, dan memperburuk kerentanan sosial, terutama bagi kelompok miskin dan perempuan.
- Pergeseran Paradigma: Masalah utama telah bergeser dari first-level divide (akses) ke second-level divide (keterampilan dan literasi) dan third-level divide (kualitas penggunaan dan manfaat). Kesenjangan keterampilan digital menghambat prospek ekonomi digital Indonesia.
- Ancaman Konsentrasi Ekonomi: Disparitas investasi digital yang ekstrem antara perusahaan mikro dan besar (60% vs. 20% pada tahun 2022) menciptakan risiko pasar terkonsentrasi yang membatasi mobilitas sosial dan ekonomi bagi UKM.
- Ketergantungan Layanan Publik pada Literasi: Di sektor kritis seperti kesehatan, rendahnya digital health literacy adalah penentu paling signifikan dari ketidaksetaraan kesehatan, yang bahkan lebih krusial daripada sekadar hambatan teknis.
Untuk mewujudkan transformasi digital yang inklusif dan berkelanjutan, laporan ini merekomendasikan peta jalan kebijakan yang dibagi berdasarkan jangka waktu:
- Jangka Pendek (Fokus pada Literasi dan Biaya)
- Subsidikan Biaya Akses yang Tinggi: Pemerintah harus melengkapi inisiatif USO dengan intervensi langsung untuk mengurangi biaya data dan/atau perangkat bagi kelompok berpendapatan rendah. Hal ini penting untuk mengatasi hambatan ekonomi yang menghalangi adopsi produktif.
- Program Literasi Fungsional Cepat: Segera luncurkan program pelatihan intensif yang menargetkan populasi pedesaan, lansia, dan perempuan, berfokus pada keterampilan fungsional yang diperlukan untuk mengakses layanan dasar (G2P, telemedisin, pendidikan online) secara efektif dan aman.
Jangka Menengah (Fokus pada Kualitas dan Infrastruktur Publik)
- Mandat Kualitas USO dan Pemerataan Puskesmas: Mengubah metrik keberhasilan Program USO dari sekadar cakupan (jumlah menara/akses) menjadi metrik kualitas (kecepatan, latensi, dan keterjangkauan), sejalan dengan tuntutan data global. Prioritas utama adalah memastikan bahwa ratusan Puskesmas yang belum terkoneksi internet segera mendapatkan akses stabil untuk mendukung layanan kesehatan digital.
- Akselerasi Infrastruktur Publik Digital (DPI): Prioritaskan investasi terpadu dalam DPI, khususnya identitas digital yang andal dan platform pertukaran data, untuk membangun kepercayaan dan efisiensi dalam ekosistem digital. DPI adalah fondasi bagi keberhasilan program inklusi keuangan dan transfer sosial.
- Jangka Panjang (Fokus pada Talenta dan Regulasi Struktural)
- Pembangunan Talenta Produksi Digital Strategis: Melakukan pergeseran fundamental dalam pendidikan digital, dari sekadar mendidik pengguna menjadi mendidik pencipta dan inovator digital. Kebijakan harus bertujuan untuk meningkatkan jumlah talenta yang mampu menciptakan nilai tambah (pengembang software, AI, data science) agar Indonesia dapat menjadi produsen digital yang kompetitif dan mengurangi risiko hanya menjadi pasar konsumen global.
- Penyusunan Indeks Inklusivitas Digital Nasional: Mengembangkan metrik resmi yang berlapis dan andal (meliputi Akses, Kualitas, Keterampilan, dan Hasil/Manfaat) untuk mengukur dampak kebijakan secara akurat. Indeks ini akan memandu alokasi sumber daya agar kebijakan tidak hanya terfokus pada Level 1 DD, tetapi juga efektif mengatasi kesenjangan Level 2 dan 3 yang lebih halus namun lebih menentukan.
