Isu kesehatan telah mengalami transformasi mendasar, tidak lagi terbatas pada domain teknis medis, namun meningkat menjadi masalah transnasional yang berdampak langsung pada kebijakan luar negeri, keamanan, dan perekonomian global. Kemunculan penyakit-penyakit baru dan pandemi telah membuktikan bahwa kemajuan teknologi kesehatan tidak menjadikan pandemi sebagai catatan sejarah, melainkan ancaman berkelanjutan yang melampaui batas negara. Oleh karena itu, tantangan kesehatan kontemporer tidak dapat diselesaikan hanya pada tingkat teknis, melainkan menuntut negosiasi dan solusi politik yang melibatkan berbagai aktor.

Pengakuan ini telah mendorong sentralitas Diplomasi Kesehatan Global (DKG). DKG didefinisikan sebagai serangkaian proses di mana aktor negara dan non-negara berinteraksi untuk menempatkan isu kesehatan secara lebih menonjol dalam pengambilan keputusan kebijakan luar negeri. Fungsi DKG menjadi vital, terutama ketika isu kesehatan bersinggungan dengan strategi keamanan, perjanjian perdagangan, dan agenda pembangunan internasional. DKG juga berfungsi sebagai kendaraan strategis untuk memajukan kerja sama internasional di bidang kesehatan. Deklarasi Oslo pada 2010 semakin memperkuat kerangka ini, menegaskan bahwa semua keputusan kebijakan diplomatik harus dipertimbangkan dalam konteks bagaimana kebijakan yang diusulkan akan memengaruhi kesehatan masyarakat, sambil mempertimbangkan konsekuensi ekonomi dari reformasi layanan kesehatan.

Ruang Lingkup, Aktor, dan Dimensi DKG

DKG beroperasi pada berbagai dimensi yang saling terkait: multilateral, regional, bilateral, dan nasional. Dimensi multilateral mencakup forum-forum besar seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan, yang semakin penting, forum ekonomi internasional seperti G20. Dimensi regional berfokus pada kerja sama di lingkup kawasan seperti ASEAN, sementara dimensi bilateral melibatkan kerja sama antar-negara tertentu.

Bagi Indonesia, DKG merupakan instrumen sentral untuk mewujudkan Kepentingan Nasional, yang didefinisikan sebagai tujuan, cita-cita, dan ambisi negara di berbagai bidang, termasuk militer, ekonomi, dan budaya. Pengintegrasian isu kesehatan ke dalam kebijakan luar negeri modern merupakan respons strategis Indonesia terhadap dinamika geopolitik, di mana kerangka kerja sama internasional dan bantuan luar negeri digunakan untuk membenarkan tindakan suatu negara. Politicization dan securitization isu kesehatan—di mana isu ini diakui berdampak pada stabilitas ekonomi, perdagangan, dan keamanan nasional —mewajibkan Indonesia untuk melengkapi diplomatnya dengan keterampilan negosiasi yang tidak hanya berfokus pada aspek teknis kesehatan, tetapi juga mampu mengelola konflik kepentingan yang mungkin timbul, seperti hak kekayaan intelektual versus akses publik. Analisis ini menunjukkan bahwa DKG bukan hanya upaya penahanan biaya kesehatan, tetapi juga sarana investasi yang dapat memperkuat kemajuan ekonomi dan memastikan pemulihan yang lebih kuat, sesuai dengan tema G20 Indonesia ‘Recover Together, Recover Stronger’.

Landasan Filosofis dan Kepentingan Strategis Indonesia

Kasus Historis dan Pembentukan Identitas ‘Global South’ Indonesia

Fondasi filosofis DKG Indonesia sangat dipengaruhi oleh kasus historis yang terjadi pada tahun 2007, yaitu sengketa pembagian virus H5N1. Pemerintah Indonesia saat itu menarik diri dari Global Influenza Surveillance Network (GISN) WHO. Keputusan ini didasarkan pada kekhawatiran mendasar bahwa strain virus H5N1 yang mereka bagikan akan digunakan oleh negara-negara berpenghasilan tinggi untuk memproduksi vaksin. Vaksin tersebut kemudian dikomersialkan dan “dijual kembali” kepada Indonesia dengan harga yang dianggap tidak terjangkau.

Indonesia secara tegas menegaskan bahwa strain patogen yang berasal dari wilayahnya adalah properti berdaulat (sovereign property), sebuah sikap yang menantang arsitektur tata kelola kesehatan global yang dianggap tidak adil dan kolonial. Peristiwa H5N1 ini berfungsi sebagai prototipe yang secara permanen membentuk filosofi DKG Indonesia. Sengketa ini bukan sekadar perselisihan teknis, melainkan titik balik yang memposisikan Indonesia sebagai juara (champion) kepentingan negara berkembang (Global South), menuntut bahwa kerja sama pembagian sampel virus harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara-negara berkembang dan menghormati kedaulatan negara asal. Sejak saat itu, diplomasi kesehatan Indonesia selalu beroperasi dalam ketegangan strategis antara ketergantungan (pada teknologi VTD asing) dan otonomi (mencapai kemandirian dan menjamin kedaulatan patogen).

Kepentingan Ganda Indonesia dalam DKG Modern

Dalam DKG modern, Indonesia secara bersamaan mengejar dua kepentingan yang bersifat ganda—pragmatis dan normatif—yang didukung oleh pendekatan strategis, terutama melalui apa yang disebut sebagai Diplomasi Vaksin.

Pertama, Kepentingan Akses Prioritas (Self-Interest). Kepentingan pragmatis ini berfokus pada pengamanan ketersediaan Vaksin, Obat, dan Diagnostik (VTD) untuk kebutuhan nasional. Strategi diplomasi vaksin, yang dilakukan baik secara bilateral maupun multilateral, terbukti efektif selama krisis COVID-19. Melalui pendekatan ini, Indonesia berhasil mengamankan vaksin yang dibutuhkan untuk mencapai target vaksinasi 70% populasi nasional, yang kemudian diikuti dengan pemulihan di berbagai sektor seperti ekonomi, pariwisata, dan sosial.

Kedua, Advokasi Kesetaraan (Collective Interest). Kepentingan normatif ini mewujudkan peran Indonesia sebagai bridge-builder bagi Global South. Indonesia secara konsisten menyuarakan pentingnya kesetaraan akses terhadap vaksin bagi semua negara, khususnya negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMICs), yang diyakini sebagai prasyarat utama untuk mengakhiri pandemi. Diplomasi vaksin yang dijalankan Indonesia merupakan strategi ganda yang efektif: tidak hanya mengamankan pasokan domestik tetapi juga memperkuat citra politik Indonesia sebagai pemimpin regional yang mendukung keadilan global.

Kepemimpinan Arsitektural: Indonesia di Forum Multilateral

Indonesia telah bertransformasi dari negara yang menantang arsitektur kesehatan global menjadi salah satu arsitek utamanya, terutama melalui kepemimpinan di forum-forum berpengaruh seperti G20 dan proses negosiasi WHO.

Presidensi G20 2022: Menetapkan Arsitektur Kesehatan Global Baru

Pandemi COVID-19 memberikan pelajaran penting bahwa arsitektur kesehatan global yang ada lambat dalam merespons krisis. Sebagai respons, Presidensi G20 Indonesia pada 2022 menjadikan penguatan arsitektur kesehatan global sebagai agenda prioritas dengan tema ‘Recover Together, Recover Stronger’.

Indonesia menetapkan tiga isu prioritas utama di sektor kesehatan :

  1. Membangun sistem ketahanan kesehatan global (PPR – Prevention, Preparedness, and Response).
  2. Harmonisasi standar protokol kesehatan global, termasuk interoperabilitas sistem sertifikat perjalanan.
  3. Pengembangan pusat manufaktur dan riset VTD untuk kesiapan krisis di masa depan.

Forum G20, yang merupakan forum utama kerja sama ekonomi internasional , dimanfaatkan secara strategis oleh Indonesia. Indonesia berhasil menjembatani kebijakan fiskal dan kebutuhan kesehatan melalui pembentukan Joint Finance and Health Task Force (JFHTF) dan mendorong enam aksi nyata kunci. Capaian paling signifikan adalah perancangan dan peluncuran Pandemic Fund (sebelumnya Financial Intermediary Fund), sebuah mekanisme pendanaan global yang didukung Indonesia bersama Bank Dunia dan WHO. Inisiatif ini menandai pergeseran peran Indonesia dari penerima bantuan menjadi arsitek mekanisme pendanaan global, yang menunjukkan integrasi efektif antara high politics (keuangan/ekonomi) dan isu kesehatan.

Advokasi Kesetaraan dalam WHO dan Pandemic Agreement

Pengalaman pahit COVID-19 mendorong inisiatif WHO untuk membentuk instrumen internasional baru bernama Pandemic Treaty atau Pandemic Agreement, didukung oleh Presiden Jokowi dan 25 kepala negara/pemerintahan. Tujuan utama perjanjian ini adalah mengatasi kerapuhan sistem ketahanan kesehatan global, terutama di negara berkembang, yang terekspos oleh kesenjangan besar (great divide) dalam akses terhadap VTD selama pandemi.

Indonesia berpartisipasi aktif dalam perundingan melalui Intergovernmental Negotiating Body (INB), secara spesifik memperjuangkan kepentingan nasional dan aspirasi Global South. Isu-isu strategis yang diperjuangkan Indonesia meliputi transfer teknologi, sistem surveilans yang adil, dan kesetaraan akses VTD. Indonesia menyambut baik adopsi Pandemic Agreement sebagai kemenangan besar bagi multilateralisme. Peran kepemimpinan ini menunjukkan peningkatan kapasitas diplomatik, di mana Indonesia kini berfungsi sebagai bridge-builder yang kredibel antara negara maju dan negara berkembang dalam negosiasi arsitektur kesehatan masa depan.

Diplomasi Regional dan Penguatan Solidaritas Selatan-Selatan

DKG Indonesia tidak hanya berfokus pada arena multilateral global tetapi juga sangat aktif di tingkat regional (ASEAN) dan bilateral, terutama dalam konteks Kerja Sama Selatan-Selatan.

Peran Indonesia sebagai Ketua Kerja Sama Kesehatan ASEAN

Indonesia telah menunjukkan kepemimpinan yang progresif di ASEAN, pernah menjabat sebagai Ketua Cluster 1: Promosi Gaya Hidup Sehat (2016-2018) dan kini menjadi Ketua Kerja Sama Kesehatan ASEAN (2020-2022). Kepemimpinan ini digunakan untuk meningkatkan mekanisme yang ada dan mengembangkan inisiatif baru di era new-normal.

Inisiatif kunci yang dipimpin Indonesia di ASEAN meliputi:

  • Implementasi One Health:Indonesia memimpin inisiatif One Health di Asia Tenggara, yang berfokus pada penularan penyakit dari hewan ke manusia, sebagai upaya penguatan arsitektur kesehatan regional.
  • Mekanisme Verifikasi Universal ASEAN:Berdasarkan ASEAN Travel Corridor Arrangement Framework, inisiatif ini bertujuan memfasilitasi perjalanan antar-negara anggota sambil mempertahankan prioritas kesehatan dan kesiapan darurat.
  • Platform Manajemen Pengetahuan ASEAN:Perwujudan komitmen terhadap transformasi digital untuk memusatkan data dan informasi kesehatan, meningkatkan kerja sama regional.
  • Mendorong Pooled Procurement:Indonesia mendukung visi ASEAN Vaccine Pooled Procurement. Pengadaan bersama ini bertujuan memanfaatkan daya tawar kolektif negara-negara anggota untuk mendapatkan harga yang lebih baik dan memastikan akses yang setara terhadap obat-obatan esensial di seluruh kawasan.

Meskipun pooled procurement menjanjikan efisiensi, implementasinya menghadapi tantangan, termasuk perbedaan standar regulasi dan kewajiban untuk mendukung industri lokal. Bagi Indonesia, yang memiliki industri farmasi dan vaksin yang berkembang , terdapat ketegangan dalam menyeimbangkan dukungan terhadap integrasi regional dengan kepentingan untuk melindungi dan memperkuat kemandirian farmasi nasional.

Diplomasi Bilateral Aksi Nyata dan Kerja Sama Selatan-Selatan

Kinerja diplomasi bilateral Indonesia telah meningkat signifikan, terbukti dari lonjakan Memorandum of Understanding (MoU) kerja sama kesehatan dari hanya 3 pada 2016 menjadi 22 pada 2020.

Setelah Presidensi G20, diplomasi bilateral Kementerian Kesehatan menghasilkan delapan aksi nyata yang difokuskan pada penguatan kapasitas domestik dan transfer pengetahuan. Kerja sama ini diarahkan sesuai dengan enam pilar transformasi kesehatan nasional :

  • Korea Selatan:Melanjutkan MoU kerja sama 5 tahun, berfokus pada perluasan layanan medis dan kolaborasi dengan industri farmasi/rumah sakit Korea.
  • Belanda:Dukungan untuk pengembangan kapasitas VTD dan transfer pengetahuan mengenai regulasi obat (mengingat Belanda adalah host European Medicine Agency/EMA).
  • Jerman:Program pelatihan pre-departure untuk perawat, yang diharapkan dapat meningkatkan penempatan perawat Indonesia di Jerman.
  • Amerika Serikat:Penjajakan proyek ARPA-H, sebuah pusat riset di bawah NIH AS, untuk mendirikan unit penelitian klinis di rumah sakit terbaik Indonesia.

Selain kerja sama dengan negara maju, Indonesia memperkuat solidaritas Global Selatan melalui Kerja Sama Selatan-Selatan. Kementerian Kesehatan telah menjalin kerja sama dengan negara-negara Afrika seperti Sudan dan Zimbabwe. Upaya ini sejalan dengan komitmen Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional (Indonesian Aid) untuk meningkatkan hubungan diplomasi dan berkontribusi pada pembangunan global.

Dalam konteks ini, PT Bio Farma (Persero), sebagai perusahaan holding farmasi milik negara, bertindak sebagai aset diplomatik strategis. Sebagai produsen vaksin yang mendistribusikan ke lebih dari 150 negara dan anggota DCVMN, Bio Farma berkolaborasi dengan WHO, MPP, dan CEPI untuk meningkatkan ketersediaan vaksin di kawasan Selatan Global. Keterlibatan BUMN ini menunjukkan pergeseran ke model multi-track diplomacy, di mana kemampuan manufaktur domestik digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan kebijakan luar negeri dan memberikan kredibilitas pada klaim kepemimpinan Indonesia di Global South.

Fondasi Domestik: Transformasi Kesehatan dan Dukungan DKG

Keberlanjutan dan efektivitas DKG Indonesia sangat bergantung pada penguatan fondasi domestik, yang saat ini diwujudkan melalui inisiatif Transformasi Enam Pilar Kesehatan.

Sinkronisasi DKG dengan Transformasi Enam Pilar Kesehatan Nasional

Pemerintah Indonesia fokus pada enam pilar transformasi untuk mencapai tujuan kesehatan nasional. DKG diarahkan untuk mendukung dan memperkuat pilar-pilar ini, khususnya dalam konteks ketahanan kesehatan global.

Dua pilar yang paling relevan dengan DKG adalah:

  • Pilar 3: Transformasi Sistem Ketahanan Kesehatan:Bertujuan meningkatkan ketahanan pasokan obat, bahan baku farmasi, dan alat kesehatan. Diplomasi membantu dalam memfasilitasi transfer teknologi, seperti yang diupayakan melalui kerja sama bilateral G20 , untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku farmasi.
  • Pilar 6: Transformasi Teknologi Kesehatan:Mendorong program masa depan berbasis bioteknologi, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence), dan inisiatif seperti Biomedical Genome Science Initiative (BGSi). Penguatan teknologi ini merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan daya saing global Indonesia.

Tantangan Kapasitas Domestik dan Defisit R&D

Meskipun DKG Indonesia menunjukkan kemajuan yang luar biasa di panggung global, terdapat kelemahan struktural domestik, terutama dalam kapasitas riset dan pengembangan (R&D), yang menjadi hambatan utama dalam mencapai kemandirian farmasi dan teknologi.

Pengeluaran R&D Indonesia sangat rendah. Data menunjukkan bahwa pengeluaran R&D terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2020 hanya sebesar 0.28%. Kesenjangan ini semakin jelas ketika dibandingkan dengan pengeluaran bruto domestik untuk R&D (GERD) per kapita negara tetangga. GERD per kapita Indonesia hanya $24, jauh di bawah Malaysia ($361), Thailand ($111), dan Singapura ($1804). Selain itu, pengeluaran kesehatan nasional (3.1% dari PDB) juga masih di bawah rata-rata negara berpenghasilan menengah lainnya.

Defisit investasi R&D, bersama dengan persaingan harga, merupakan penghalang signifikan bagi industri bahan baku farmasi lokal. Keterbatasan struktural ini memperkuat hubungan kausalitas terbalik: karena kapasitas R&D domestik yang lemah, DKG dipaksa bekerja lebih keras sebagai alat mitigasi untuk menjamin akses VTD dan teknologi. Keberhasilan DKG dalam mengamankan MoU transfer teknologi dengan negara-negara G20 (AS, Belanda)  pada dasarnya adalah upaya diplomatik untuk menanggulangi kelemahan struktural domestik yang belum tertangani oleh alokasi sumber daya internal yang memadai.

Tabel 1: Perbandingan Indikator Kapasitas Riset Kesehatan Regional (Dukungan untuk DKG)

Indikator Indonesia Singapura Malaysia Thailand Implikasi DKG
R&D Expenditure (% GDP) 0.28% (2020) Est. >1.5% 1.05% (2018) Sedang Menyoroti kesenjangan investasi dasar yang menciptakan ketergantungan pada transfer teknologi melalui diplomasi.
GERD Per Kapita (USD) $24 $1804 $361 $111 Tantangan dalam bersaing untuk menarik investasi riset internasional.
Pengeluaran Kesehatan (% GDP) 3.1% >4% >4% >3.5% Mempengaruhi ketahanan finansial sistem kesehatan domestik dan kesiapan PPR.

Peningkatan Kapasitas SDM dan Regulasi

Sebagai bagian dari DKG, Indonesia juga berfokus pada pembangunan sumber daya manusia (SDM) dan penguatan kerangka regulasi. Kerja sama bilateral, seperti program pelatihan perawat ke Jerman, merupakan salah satu aksi nyata yang bertujuan untuk mengatasi kekurangan SDM terampil.

Selain itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memainkan peran penting dalam kolaborasi global. BPOM terlibat dalam harmonisasi kebijakan, pertukaran informasi, dan peningkatan kapasitas pengawasan obat dan vaksin, termasuk mempelajari mekanisme percepatan izin edar seperti Special Approval for Emergency (SAE) yang diterapkan Jepang. Keterlibatan regulasi ini membuka peluang kerja sama antar-regulator yang dapat memperluas pangsa pasar global produk kesehatan Indonesia dan mendukung kemandirian industri nasional.

Tantangan Geopolitik dan Proyeksi Strategis Masa Depan

Navigasi Geopolitik dan Konflik Kepentingan Besar

Indonesia beroperasi dalam lanskap geopolitik yang semakin terfragmentasi. Persaingan kekuatan besar, khususnya antara Tiongkok dan Amerika Serikat, yang keduanya menggunakan bantuan dan kerjasama kesehatan sebagai instrumen kebijakan luar negeri, menuntut Indonesia untuk menavigasi dinamika ini dengan hati-hati. Indonesia harus memastikan bahwa bantuan atau kerja sama internasional, seperti yang diterima dari Tiongkok selama pandemi, diarahkan sepenuhnya untuk mendukung dan mewujudkan kepentingan nasional Indonesia.

Kepemimpinan Indonesia harus melampaui sekadar kehadiran di forum-forum multilateral. Hal ini menuntut Indonesia untuk secara aktif mendefinisikan dan memperjuangkan prinsip-prinsip yang selaras dengan kebutuhan Global South. Posisi bridge-builder Indonesia harus kuat dan konsisten dalam menuntut tata kelola global yang lebih adil.

Tantangan Pendanaan dan Keberlanjutan DKG

Salah satu tantangan terbesar bagi DKG yang berkelanjutan adalah pendanaan. DKG yang efektif memerlukan alokasi sumber daya yang pasti. Indonesia perlu memanfaatkan Indonesian Aid (Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional/LDKPI), yang bertujuan mendukung pembangunan global dan meningkatkan hubungan diplomasi , untuk mengalokasikan porsi spesifik bagi inisiatif DKG. Pendanaan ini dapat mendukung program pembangunan kapasitas, beasiswa, atau penguatan sistem kesehatan di negara-negara Global South.

Selain itu, Indonesia harus menunjukkan komitmennya pada arsitektur global yang baru. Dengan berkontribusi secara konsisten pada mekanisme pendanaan global seperti Pandemic Fund, Indonesia mendapatkan hak suara dan legitimasi untuk menuntut kerangka kerja keuangan yang lebih inklusif, sehingga mengurangi ketergantungan pada bantuan berbasis donor dan memperkuat agenda Global South. Dukungan finansial ini berfungsi sebagai tuas diplomatik yang memperkuat posisi tawar Indonesia.

Mengintegrasikan Isu Baru: Kesehatan dan Perubahan Iklim

Tantangan DKG di masa depan akan berkonvergensi dengan isu krisis global lainnya, terutama perubahan iklim (climate change), yang secara substansial memengaruhi kesehatan jutaan orang. Komunitas internasional diperkirakan akan meningkatkan integrasi kesehatan ke dalam aksi iklim, dengan fokus signifikan pada forum seperti COP 30 di Brasil.

Di bawah kepemimpinan yang baru, Indonesia telah menegaskan komitmennya untuk menghadapi perubahan iklim dan krisis kesehatan global, serta mendukung WHO dalam isu kesehatan global. Integrasi agenda kesehatan dan iklim ini menuntut DKG Indonesia untuk bergerak melampaui isu penyakit menular semata. Strategi masa depan perlu melibatkan diplomasi inter-sektoral, bekerja sama dengan kementerian non-kesehatan (Lingkungan, Energi) untuk memposisikan Indonesia sebagai pemimpin dalam isu Planetary Health.

Proyeksi Strategi DKG Indonesia (2025-2030)

Capaian diplomasi kesehatan selama pandemi memberikan landasan kuat untuk kinerja DKG di era new-normal. Strategi DKG Indonesia diproyeksikan akan bergeser, dengan fokus utama yang beralih dari penanganan pandemi krisis ke peningkatan kualitas layanan kesehatan dan adopsi teknologi masa depan, termasuk bioteknologi dan kecerdasan buatan.

Arah strategi di era new-normal akan mencakup: penguatan global health security, advokasi akses VTD yang berkeadilan, penguatan solidaritas global, dan peningkatan kapasitas diplomasi melalui digital diplomacy. Secara internal, DKG diarahkan untuk mencapai kemandirian industri obat-obatan dan bahan baku obat, termasuk pengembangan vaksin mandiri, sebagai bagian dari penguatan ketahanan kesehatan nasional. Transformasi digital dan pemanfaatan inisiatif seperti BGSi akan menjadi alat baru untuk mempromosikan kerja sama kesehatan dan meningkatkan daya saing global.

Kesimpulan

Analisis mendalam menunjukkan bahwa Indonesia telah berhasil mentransformasikan dirinya di panggung global. Dari posisi awal sebagai negara yang menantang tata kelola kesehatan global yang tidak adil (Kasus H5N1 2007) , Indonesia kini berperan sebagai pemimpin arsitektural di forum-forum berpengaruh (G20) dan advokat utama kesetaraan akses VTD bagi Global South (Pandemic Treaty). Diplomasi vaksin yang strategis terbukti efektif dalam mengamankan kebutuhan nasional sekaligus memperkuat kemitraan yang berorientasi pada transfer teknologi, terutama melalui delapan aksi nyata bilateral pasca-G20.

Meskipun demikian, fondasi domestik DKG Indonesia menghadapi tantangan signifikan, terutama defisit kritis dalam investasi R&D (0.28% PDB). Kelemahan struktural ini menempatkan tekanan berlebihan pada DKG untuk mengimbangi ketergantungan teknologi dan bahan baku.

Tabel 2: Aksi Nyata Diplomasi Bilateral dan Multilateral Indonesia Pasca-G20

Platform/Mitra Bentuk Aksi Nyata/Kesepakatan Fokus Area Dukungan untuk DKG Indonesia
G20 Presidency Peluncuran Pandemic Fund (FIF) Arsitektur Kesehatan Global Mengubah Indonesia dari penerima menjadi arsitek global, menjamin pendanaan PPR.
Korea Selatan MoU Kerja Sama 5 Tahun Transformasi 6 Pilar, Pelayanan Medis, AMR Akselerasi kualitas pelayanan dan ketahanan sistem kesehatan.
Belanda Dukungan Pengembangan Kapasitas VTD, Regulasi Obat (EMA) Regulasi, Transfer Pengetahuan Meningkatkan kapasitas pengawasan dan standar regulasi nasional.
Jerman Program Pelatihan Pre-Departure Perawat SDM Kesehatan Mengatasi kekurangan SDM terampil dan menciptakan peluang kerja global.
Amerika Serikat Penjajakan Proyek ARPA-H (NIH) Penelitian Klinis, Pengembangan Riset Penguatan infrastruktur R&D domestik.
WHO/Pandemic Treaty Negosiasi INB Transfer Teknologi, Keadilan Akses VTD Mengamankan kedaulatan patogen dan hak atas hasil riset untuk Global South.

Untuk menjamin keberlanjutan dan optimalisasi peran Indonesia sebagai pemimpin kesehatan global dan bridge-builder, laporan ini merekomendasikan lima strategi kunci:

  1. Meningkatkan Investasi R&D Kesehatan Secara Eksponensial:Indonesia harus menetapkan target kebijakan untuk meningkatkan alokasi anggaran R&D kesehatan secara signifikan, bertujuan untuk mencapai level di atas 1% PDB dalam lima tahun ke depan. Langkah ini esensial untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku farmasi dan memperkuat Pilar 3 (Ketahanan Kesehatan) secara fundamental.
  2. Membentuk Dana DKG Khusus Melalui Indonesian Aid:Mengalokasikan porsi spesifik dari dana Indonesian Aid (LDKPI) untuk inisiatif DKG. Dana ini harus difokuskan pada Kerjasama Selatan-Selatan (misalnya, transfer keahlian Bio Farma ke negara-negara Afrika) untuk memperkuat citra Indonesia sebagai development leader yang tidak hanya mencari keuntungan sepihak.
  3. Memanfaatkan Digital Diplomacydan BGSi sebagai Aset Strategis: Menggunakan inisiatif Biomedical Genome Science Initiative (BGSi) dan transformasi digital sebagai alat diplomasi utama untuk menarik investasi R&D, memimpin inisiatif digital regional (seperti Knowledge Management Platform ASEAN), dan meningkatkan kemampuan pengawasan genomik.
  4. Memperdalam Integrasi Sektoral (Planetary Health):Secara formal mengintegrasikan DKG ke dalam agenda High Politics di luar Kementerian Kesehatan, termasuk keamanan dan perubahan iklim. DKG harus memanfaatkan komitmen nasional terhadap COP 30 untuk memposisikan Indonesia sebagai pemimpin dalam isu Planetary Health, yang menuntut kerja sama antardisiplin.
  5. Menjaga Konsistensi Advokasi Global South di Tengah Geopolitik:Indonesia harus konsisten menekan negosiasi di forum WHO (Pandemic Treaty) untuk menjamin klausul transfer teknologi yang mengikat, sambil mengelola dinamika geopolitik besar AS-Tiongkok untuk memastikan kerja sama global selalu bermuara pada kepentingan nasional dan kedaulatan patogen. DKG harus memastikan bahwa manfaat yang diperoleh dari kerja sama internasional diimbangi dengan upaya penguatan kemandirian domestik.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

71 + = 81
Powered by MathCaptcha