Aksara Jawa merupakan salah satu sistem penulisan tradisional yang dikembangkan di Pulau Jawa dan merupakan warisan budaya penting Indonesia. Dalam terminologi lokal, aksara ini dikenal dengan beberapa nama, termasuk Hanacaraka, Carakan, atau Dentawyanjana. Aksara Jawa diklasifikasikan sebagai sistem penulisan abugida, atau alphasyllabary. Ciri khas utama dari sistem abugida adalah bahwa setiap konsonan dasar—yang dalam konteks Jawa dikenal sebagai Nglegena—secara inheren membawa vokal /a/ (atau /ə/ dalam pengucapan Jawa modern). Untuk mengubah atau menghilangkan vokal inheren ini, penambahan tanda baca tambahan (sandhangan) atau penggunaan aksara khusus (pasangan) sangat diperlukan.
Secara historis, aksara ini digunakan secara aktif oleh masyarakat Jawa untuk menulis teks sehari-hari maupun sastra dari pertengahan abad ke-16 Masehi hingga pertengahan abad ke-20 Masehi. Meskipun dominasi alfabet Latin telah menggantikan fungsinya dalam penggunaan sehari-hari, aksara ini tetap signifikan. Saat ini, Aksara Jawa merupakan bagian dari kurikulum lokal yang diajarkan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Tengah, dan Jawa Timur, meskipun fungsinya dalam kehidupan praktis sehari-hari masih sangat terbatas.
Cakupan Historis dan Linguistik
Aksara Jawa utamanya digunakan untuk menulis Bahasa Jawa. Namun, catatan sejarah menunjukkan bahwa jangkauan penggunaannya melampaui batas linguistik regional, termasuk penggunaannya untuk menulis bahasa daerah lain seperti Sunda, Madura, Sasak, dan Melayu sebagai lingua franca regional, serta bahasa historis Kawi dan Sanskerta. Fleksibilitas ini menunjukkan peran aksara yang meluas dalam filologi Asia Tenggara.
Aksara Jawa memiliki hubungan erat dengan Aksara Balinese, dari mana sistem penulisan untuk Bahasa Sasak kemudian berkembang. Hubungan genealogi ini, yang menghubungkan Aksara Jawa dengan Aksara Batak dan Balinese, menunjukkan bahwa pada periode klasik hingga modern awal, Jawa berfungsi sebagai pusat difusi ortografi yang signifikan di Nusantara. Oleh karena itu, standardisasi modern dan upaya revitalisasi aksara ini tidak hanya melestarikan warisan Jawa, tetapi juga menjaga koneksi historis antar sistem penaksaraan regional.
Genealogi Aksara: Evolusi Paleografis dan Jejak Kawi
Akar Brahmi dan Pallawa
Asal-usul Aksara Jawa terletak pada silsilah aksara India kuno. Aksara ini merupakan keturunan dari Aksara Brahmi, yang merupakan sumber dari hampir semua aksara di Asia Selatan dan Tenggara. Secara lebih spesifik, Aksara Jawa diturunkan melalui jalur evolusi Aksara Brahmi Tamil dan, yang paling penting, Aksara Pallawa. Aksara Pallawa sendiri adalah proto-aksara yang tersebar luas dan digunakan untuk prasasti-prasasti kerajaan awal di Asia Tenggara.
Aksara Kawi: Jembatan Historis (Abad ke-8 hingga ke-16)
Perkembangan langsung menuju Aksara Jawa Modern diwakili oleh Aksara Kawi, yang juga dikenal sebagai Aksara Jawa Kuno. Aksara Kawi ini berasal dari Aksara Pallawa dan, seperti penerusnya, juga merupakan jenis sistem abugida. Aksara Kawi memiliki peran sentral, digunakan di berbagai wilayah Asia Tenggara dari abad ke-8 hingga sekitar abad ke-16 Masehi, menjadikannya sistem penulisan utama untuk literasi dan administrasi kerajaan era Majapahit dan kerajaan-kerajaan pendahulunya.
Aksara Jawa modern merupakan turunan langsung dari Kawi. Pergeseran dari dominasi Aksara Kawi—yang digunakan untuk menulis bahasa-bahasa seperti Jawa Kuno, Sunda Kuno, dan Melayu Kuno —ke Aksara Jawa modern yang mulai digunakan secara aktif sekitar tahun 1500-an , mencerminkan perubahan signifikan dalam lanskap politik dan budaya. Transisi paleografis ini bertepatan dengan pergeseran kekuasaan dari era Klasik/Hindu-Buddha ke era Mataram Islam, menandakan bahwa Aksara Jawa modern adalah produk dari upaya standardisasi dan adaptasi ortografi yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan pasca-Majapahit.
Struktur Morfologi Aksara Carakan dan Pasangan
Struktur Aksara Jawa adalah kerangka yang kompleks, ditentukan oleh dua elemen utama: aksara dasar (Nglegena) dan mekanisme untuk menghilangkan vokal inheren (Pasangan).
Aksara Nglegena (Carakan/Hanacaraka)
Aksara dasar dalam bahasa Jawa terdiri dari 20 aksara yang dikenal sebagai Nglegena atau Carakan. Aksara-aksara ini disusun dalam urutan mnemonik yang terkenal: Ha Na Ca Ra Ka, Da Ta Sa Wa La, Pa Dha Ja Ya Nya, dan Ma Ga Ba Tha Nga. Setiap aksara ini mengandung vokal inheren /a/ yang berfungsi sebagai basis bunyi suku kata.
Mekanisme Pasangan (Conjuncts)
Pasangan adalah elemen ortografis fundamental dalam Aksara Jawa. Fungsi utamanya adalah untuk mematikan vokal inheren dari aksara Nglegena yang mendahuluinya, sehingga memungkinkan terjadinya penulisan gugus konsonan (dua konsonan berurutan tanpa vokal di antaranya). Karena setiap Carakan memiliki bentuk Pasangan yang sesuai, total terdapat 20 Pasangan.
Aturan Penempatan Pasangan: Tantangan Ortografis
Aturan penulisan Pasangan menambah kerumitan tata tulis Aksara Jawa karena penempatannya tidak seragam, yang pada akhirnya memengaruhi implementasi digital dan kebutuhan pedagogis.
- Diletakkan di Samping Aksara Utama: Hanya empat pasangan yang ditulis di samping aksara yang dimatikan, yaitu pasangan Ha, Sa, Pa, dan Nya.
- Diletakkan di Bagian Bawah Aksara Utama: Kelompok terbesar dari Pasangan ditulis di bagian bawah aksara utama, meliputi Ca, Ra, Ka, Da, Ta, La, Dha, Ja, Ya, Ma, Ga, Ba, Tha, dan Nga.
- Diletakkan Menggantung: Pasangan Na dan Wa memiliki posisi penulisan yang unik, yaitu menggantung di bawah aksara utama.
Selain aturan posisi, Pasangan selalu ditulis dari kiri ke kanan. Perlu diperhatikan bahwa Pasangan Ra, Ya, Ga, dan Nga memiliki bentuk yang identik dengan aksara Carakan aslinya. Variasi posisi ini merupakan tantangan ortografis yang penting; kesalahan penempatan dapat berakibat pada kesalahan pembacaan dan interpretasi teks.
Variasi posisi Pasangan—yang diletakkan di samping, di bawah, atau menggantung—menghadirkan tantangan teknis langsung terhadap sistem rendering berbasis Aksara Latin. Untuk memastikan aksara diposisikan dengan benar relatif terhadap aksara utama, diperlukan dukungan fitur OpenType yang canggih dalam implementasi digital. Kerumitan ini menunjukkan perlunya standardisasi teknis yang ketat, seperti yang diatur dalam pedoman Unicode.
Tabel 1 merangkum klasifikasi 20 Pasangan berdasarkan aturan penempatan ortografisnya, yang penting untuk memahami tata tulis Aksara Jawa secara sistematis.
Table 1: Klasifikasi Pasangan Aksara Jawa Berdasarkan Penempatan Ortografis
| Kelompok Aksara Nglegena | Jumlah | Aturan Penempatan Pasangan | Aksara yang Bentuknya Identik dengan Carakan |
| Ha, Sa, Pa, Nya | 4 | Ditulis di samping aksara utama | – |
| Ca, Ra, Ka, Da, Ta, La, Dha, Ja, Ya, Ma, Ga, Ba, Tha, Nga | 14 | Ditulis di bagian bawah aksara utama | Ra, Ya, Ga, Nga |
| Na, Wa | 2 | Ditulis menggantung dengan aksara utama | – |
Sistem Vokalisasi dan Konsonan Akhir (Sandhangan)
Sandhangan adalah simbol tambahan yang digunakan dalam Aksara Jawa untuk memodifikasi bunyi vokal atau menambahkan konsonan penutup. Dalam tata tulis, Pasangan dapat menerima Sandhangan Swara maupun Panyigeg.
Sandhangan Swara (Vowel Modifiers)
Sandhangan Swara berfungsi untuk mengubah bunyi huruf dari aksara dasar yang semula berbunyi /a/. Ada lima jenis utama Sandhangan Swara:
- Wulu (ꦶ): Mengubah bunyi aksara menjadi ‘i’. Contohnya, aksara sa (ꦱ) jika diberi wulu menjadi si (ꦱꦶ).
- Suku (ꦸ): Mengubah bunyi aksara menjadi ‘u’. Contohnya, aksara sa (ꦱ) jika diberi suku menjadi su (ꦱꦸ).
- Pepet (ꦼ): Mengubah bunyi aksara menjadi ‘e’ (pepet).
- Taling (ꦺ): Mengubah bunyi aksara menjadi ‘é’ (taling).
- Taling Tarung (ꦺꦴ): Mengubah bunyi aksara menjadi ‘o’.
Sandhangan Panyigeg Wanda (Syllable Closing Modifiers)
Sandhangan Panyigeg Wanda mewakili konsonan penutup suku kata.
- Cecak (ꦁ): Melambangkan konsonan akhir ‘/ng/’. Ketika aksara diberi cecak, konsonan ‘ng’ ditambahkan pada akhir suku kata. Sandhangan ini diletakkan di atas aksara. Contoh: ba menjadi bang.
- Layar (ꦂ): Melambangkan konsonan akhir ‘/r/’. Contoh: ha menjadi har.
- Wignyan (ꦃ): Melambangkan konsonan akhir ‘/h/’. Contoh: ha menjadi hah.
- Pangkon (꧀): Berfungsi sebagai penanda pemati huruf. Pangkon digunakan untuk mematikan huruf pada akhir kalimat atau kata tunggal. Hal ini membedakannya dari Sandhangan Panyigeg Wanda (Cecak, Layar, Wignyan) yang menutup suku kata di tengah kata. Pangkon berfungsi sebagai penyegel ortografis akhir.
Sandhangan Wyanjana (Medial Consonant Clusters)
Sandhangan Wyanjana digunakan untuk membentuk gugus konsonan medial: Cakra (menambahkan /r/), Keret (menambahkan /re/), dan Pengkal (menambahkan /y/). Jenis lain termasuk Panjingan la dan Gembung.
Pembedaan fungsional antara Pangkon dan Sandhangan Panyigeg Wanda merupakan aspek penting dari tata bahasa tulis Jawa. Pangkon digunakan untuk tujuan pematian huruf yang menandai akhir kata atau kalimat. Sebaliknya, Panyigeg Wanda menutup suku kata internal. Sistem yang membedakan penutupan suku kata internal (fonologis) dengan penutupan kata akhir (ortografis) ini sangat penting untuk memastikan akurasi dalam transmisi naskah dan transliterasi yang dilakukan secara digital.
Table 2: Sistem Sandhangan Aksara Jawa dan Fungsi Fonologisnya
| Kelompok Sandhangan | Nama Sandhangan | Fungsi Fonologis | Contoh (Transliterasi) |
| Sandhangan Swara (Pengubah Vokal) | Wulu (ꦶ) | Mengubah vokal menjadi ‘i’ | (ꦱꦶ) |
| Suku (ꦸ) | Mengubah vokal menjadi ‘u’ | (ꦱꦸ) | |
| Pepet (ꦼ) | Mengubah vokal menjadi ‘e’ (pepet) | (ꦱꦼ) | |
| Taling (ꦺ) | Mengubah vokal menjadi ‘é’ (taling) | (ꦱꦺ) | |
| Taling Tarung (ꦺꦴ) | Mengubah vokal menjadi ‘o’ | (ꦱ\text{o}) | |
| Sandhangan Panyigeg Wanda (Penutup Suku Kata) | Cecak (ꦁ) | Menambahkan konsonan akhir ‘ng’ | |
| Layar (ꦂ) | Menambahkan konsonan akhir ‘r’ | ||
| Wignyan (ꦃ) | Menambahkan konsonan akhir ‘h’ | ||
| Pangkon (꧀) | Mematikan huruf pada akhir kata/kalimat | (Fungsi ortografis) | |
| Sandhangan Wyanjana (Gugus Konsonan) | Cakra (ꦿ) | Menambahkan konsonan medial ‘r’ | – |
| Keret (ꦽ) | Menambahkan gugus konsonan ‘re’ | – | |
| Pengkal (ꦾ) | Menambahkan konsonan medial ‘y’ | – |
Perluasan Ortografi: Aksara Khusus untuk Adaptasi Leksikal
Aksara Jawa bukanlah sistem yang statis; ia telah mengembangkan mekanisme perluasan ortografi untuk mengakomodasi kosakata serapan dari bahasa asing serta untuk tujuan penghormatan dan penulisan angka.
Aksara Murda (Honorifics/Kapitalisasi)
Aksara Murda berfungsi mirip dengan huruf kapital, digunakan untuk menulis permulaan kalimat, nama diri, gelar, kota, atau nama lembaga. Meskipun berfungsi sebagai kapitalisasi, bentuk Murda tidak selalu persis sama dengan huruf kapital Latin. Hanya delapan aksara Nglegena yang memiliki bentuk Murda, yaitu Na, Ka, Ta, Sa, Pa, Ga, Ba, dan Nya. Penggunaan Aksara Murda dibatasi oleh aturan ketat: Murda tidak boleh menjadi penyegel suku kata, tidak boleh dimatikan oleh Pangkon, tidak boleh dipasangi Pasangan, dan dibatasi hanya satu aksara Murda yang cukup untuk satu kata.
Aksara Swara (Vokal Asing)
Aksara Swara adalah representasi huruf vokal murni (A, I, U, E, O). Aksara ini secara khusus digunakan untuk menulis kata-kata serapan dari bahasa asing (misalnya bahasa Arab atau Sanskerta) yang dimulai dengan vokal, seperti dalam penulisan kata “Indonesia” atau “Arab”. Aksara Swara memiliki keterbatasan tata tulis: tidak dapat berfungsi sebagai Pasangan dan tidak boleh diberi Sandhangan Swara. Jika terdapat konsonan mati di depan Aksara Swara, aksara mati tersebut wajib dimatikan terlebih dahulu dengan Pangkon.
Aksara Rekan (Konsonan Asing)
Aksara Rekan adalah huruf-huruf yang dipinjam atau disesuaikan dari bahasa asing untuk mengakomodasi fonem yang tidak ada dalam Bahasa Jawa asli, terutama dari Bahasa Arab atau Sanskerta. Aksara ini meliputi Kha, Dza, Fa/Va, Za, dan Gha. Aksara Rekan digunakan untuk menulis kata-kata pinjaman, seperti Fajar, Ghafur, Khadijah, Zakat, atau Khotbah.
Aksara Wilangan (Angka Jawa)
Aksara Wilangan adalah serangkaian simbol yang digunakan untuk menuliskan angka, tanggal, dan tahun dalam Aksara Jawa.
Pengembangan Aksara Swara dan Aksara Rekan adalah bukti vitalitas dan kemampuan adaptasi Aksara Jawa. Mekanisme internal untuk menyerap fonem asing, daripada beralih sepenuhnya ke sistem penulisan eksternal seperti Tulisan Jawi (Arab Melayu) , menunjukkan bahwa Aksara Jawa berhasil mengelola dan mengintegrasikan pengaruh leksikal asing, terutama dari Islam dan Sanskerta, menjadikannya sistem penulisan yang matang dan mampu bertahan dalam interaksi budaya global.
Tata Tulis dan Punctuation (Pada)
Tanda Baca (Pada)
Dalam Aksara Jawa, tanda baca disebut Pada, yang berfungsi untuk memberikan jeda, intonasi, dan ekspresi ketika membaca tulisan Jawa. Beberapa Pada utama meliputi:
- Adeg-adeg (꧋): Digunakan untuk menandai dimulainya suatu paragraf.
- Pada lingsa (꧈): Menyerupai tanda koma (,).
- Pada lungsi (꧉): Menyerupai tanda titik (.).
- Pada pangkat: Menyerupai tanda kutip (” “).
Prinsip Tata Tulis Lanjutan
Penulisan Aksara Jawa dilakukan dari kiri ke kanan, sesuai dengan tradisi Aksara Brahmi. Seperti disebutkan sebelumnya, Pasangan memiliki kemampuan untuk menerima modifikasi lebih lanjut melalui Sandhangan Swara (Wulu, Suku, Pepet, Taling, dan Taling Tarung) serta Sandhangan Panyigeg (Wignyan, Layar, dan Cecak). Tata tulis yang tepat sangat penting; analisis menunjukkan bahwa penempatan aksara yang keliru dapat secara signifikan menghambat pembacaan dan pemaknaan teks.
Dimensi Filosofis dan Konteks Budaya Aksara Jawa
Aksara Jawa tidak sekadar seperangkat simbol fonetik; urutan 20 aksara dasarnya tertanam dalam narasi historis dan filosofis yang mendalam, menjadikannya pedoman moral.
Narasi Aji Saka, Dora, dan Sembada
Urutan Hanacaraka dikaitkan dengan legenda Raja Aji Saka dan kedua abdinya yang setia, Dora dan Sembada. Cerita ini memuncak dalam pertarungan tragis yang diakibatkan oleh kesalahpahaman perintah Aji Saka, yang menyebabkan kedua abdi tersebut tewas. Untuk mengenang peristiwa ini, Aji Saka melantunkan urutan aksara tersebut.
- Larik pertama, Ha Na Ca Ra Ka, secara literal berarti “Ada utusan” (Ono utusan).
- Larik kedua, Da Ta Sa Wa La, secara literal berarti “Saling berkelahi” (Padha kekerengan).
- Larik ketiga, Pa Dha Ja Ya Nya, berarti “Sama-sama sakti” (Padha digdayane).
- Larik keempat, Ma Ga Ba Tha Nga, berarti “Saling berpangku saat meninggal” (Padha nyunggi bathange).
Interpretasi Kosmologis dan Etika
Di luar makna literal narasi Aji Saka, setiap larik Hanacaraka membawa ajaran etika dan kosmologis yang mendalam.
- Da Ta Sa Wa La: Secara etis, larik ini mengajarkan bahwa manusia tidak boleh sawala (mengelak) ketika tiba saatnya dipanggil (data) oleh Tuhan, menekankan pentingnya menerima dan menjalankan kehendak Ilahi selama hidup.
- Pa Dha Ja Ya Nya: Larik ini ditafsirkan sebagai simbol penyatuan zat pemberi hidup (Ilahi) dengan yang diberi hidup (makhluk). Makna filosofisnya adalah bahwa batin manusia harus sesuai dengan segala perbuatannya di dunia.
- Ma Ga Ba Tha Nga: Makna ini menekankan konsep kepasrahan (sumarah) pada garis kodrat, menerima semua perintah dan larangan Tuhan, meskipun manusia diberi hak untuk berusaha keras (mewiradat) dalam hidup.
Peran dalam Literasi dan Kebudayaan Kraton
Aksara Jawa adalah medium yang vital dalam konservasi dan produksi sastra Jawa. Naskah-naskah klasik yang sangat penting, seperti Babad Tanah Jawi dan Serat Kalatidha, ditulis menggunakan aksara ini. Oleh karena itu, Aksara Jawa memiliki peran yang tak terpisahkan dalam budaya Kraton (Kerajaan) Surakarta dan Yogyakarta.
Konteks etika yang melekat pada urutan Hanacaraka membedakan Aksara Jawa dari sistem alfabet lainnya yang urutannya bersifat arbitrer. Urutan aksara ini berfungsi sebagai narasi etis yang ringkas. Dimensi budaya dan filosofis yang kuat ini menjadi pembenaran utama untuk upaya revitalisasi, karena pelestarian aksara berarti pelestarian ajaran moral dan kosmologi Jawa itu sendiri.
Table 3: Makna Filosofis Aksara Hanacaraka (20 Carakan)
| Larik (Baris) | Aksara (Carakan) | Arti Literal (Mnemonik Aji Saka) | Makna Filosofis/Etika |
| I | Ada utusan (Ono utusan) | Awal penciptaan atau tugas yang diemban oleh manusia. | |
| II | Saling berkelahi (Padha kekerengan) | Manusia harus menerima takdir dan tidak boleh menolak (sawala) kehendak Tuhan saatnya dipanggil (data). | |
| III | Sama-sama sakti (Padha digdayane) | Penyatuan zat Ilahi dengan makhluk, di mana setiap batin sejalan dengan perbuatan (makhluk). | |
| IV | Saling berpangku saat meninggal (Padha nyunggi bathange) | Konsep kepasrahan (sumarah) terhadap kodrat Ilahi setelah berusaha, dan menerima segala ketetapan. |
Standardisasi Digital dan Isu Teknis Kontemporer
Kelangsungan hidup Aksara Jawa di abad ke-21 sangat bergantung pada standardisasi teknis, terutama dalam ranah digital.
Standardisasi Unicode
Aksara Jawa telah diakui dan distandardisasi secara global melalui konsorsium Unicode, menempati rentang kode U+A980 hingga U+A9DF. Inklusi ini penting karena memungkinkan Aksara Jawa diimplementasikan dan ditampilkan secara konsisten di berbagai sistem operasi, font, dan perangkat lunak di seluruh dunia.
Tantangan Implementasi Rendering (Gaya Regional dan Conjuncts)
Implementasi aksara abugida seperti Jawa sangat kompleks. Sistem membutuhkan conjunct formation (pembentukan Pasangan) yang dipengaruhi oleh urutan karakter dan konteks sekitarnya dalam teks. Selain itu, terdapat varian gaya penulisan, terutama antara gaya Surakarta dan Yogyakarta, misalnya pada aksara nya dan ba. Pedoman teknis Unicode (UTN47) merekomendasikan bahwa varian stilistik semacam ini harus ditangani melalui fitur font (seperti OpenType features) dan bukan dengan penetapan kode karakter terpisah.
Meskipun Pedoman Penulisan Aksara Jawa tahun 2002 telah disahkan oleh pemerintah DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebagai upaya standardisasi regional , penyelesaian perbedaan stilistik di tingkat font features menunjukkan bahwa standardisasi digital menghadapi ketegangan antara tuntutan konsistensi global Unicode dan kekayaan varian ortografi tradisional lokal.
Peran Standar Nasional Indonesia (SNI)
Badan Standardisasi Nasional (BSN) Indonesia telah memainkan peran penting dalam memastikan implementasi Aksara Jawa yang seragam secara teknis. Ini mencakup:
- SNI 9047:2021: Standar mengenai fon (font) aksara Nusantara, yang mencakup Aksara Jawa, Sunda, dan Bali.
- SNI 9048:2021: Standar tata letak papan tombol (keyboard layout) aksara Nusantara.
Standardisasi pada tata letak papan tombol sangat krusial. Sistem aksara yang tidak memiliki metode input yang efisien dan standar cenderung gagal dalam penggunaan sehari-hari, terlepas dari nilai historisnya. Dengan menyediakan alat input yang standar, SNI memastikan bahwa Aksara Jawa dapat diakses dan digunakan secara praktis oleh generasi kontemporer.
Revitalisasi Aksara Jawa: Kebijakan dan Tantangan Kontemporer
Meskipun memiliki sejarah dan struktur yang kaya, Aksara Jawa menghadapi tantangan keterputusan generasi. Namun, respons kebijakan regional menunjukkan komitmen kuat terhadap pelestariannya.
Kerangka Hukum dan Kebijakan DIY
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta telah memelopori upaya konservasi dengan kerangka hukum yang kuat, melalui penerbitan Peraturan Daerah (Perda) DIY Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pemeliharaan dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa. Perda ini kemudian dilengkapi dengan Peraturan Gubernur DIY Nomor 43 Tahun 2023 untuk pelaksanaan teknisnya.
Perda 2/2021 membagi upaya pelestarian menjadi dua pilar utama :
- Pemeliharaan (Maintenance): Meliputi pewarisan dan pembiasaan penggunaan aksara, dokumentasi, repatriasi, inventarisasi, dan yang terpenting, pembakuan (standardisasi).
- Pengembangan (Development): Meliputi penelitian, penyusunan kurikulum, pembuatan bahan ajar, rekayasa, dan penyelenggaraan lomba/festival. Selain itu, Gubernur diamanahkan untuk melakukan pembinaan pengajaran di semua jalur dan jenis pendidikan.
Reaktualisasi Aksara di Ruang Publik
Salah satu strategi paling signifikan dari Perda DIY adalah mandat Reaktualisasi. Reaktualisasi adalah proses penyegaran dan pembaharuan nilai-nilai Aksara Jawa dalam kehidupan masyarakat. Hal ini diwujudkan melalui penggunaan Aksara Jawa pada penamaan topografi, ruang publik, dan fasilitas publik, baik milik pemerintah maupun swasta. Strategi ini secara langsung bertujuan untuk mengatasi masalah “fungsi yang sangat terbatas” yang dihadapi aksara saat ini dengan memaksa integrasinya ke dalam infrastruktur fisik sehari-hari.
Tantangan dan Perbandingan dengan Aksara Lain
Tantangan terbesar dalam revitalisasi Aksara Jawa adalah keterputusan antar generasi, di mana kaum muda lebih akrab dengan Aksara Latin dan teknologi digital berbasis huruf modern. Selain itu, keterbatasan sumber daya, termasuk minimnya guru yang kompeten dan bahan ajar yang memadai, turut menghambat proses pembelajaran.
Situasi yang dihadapi Aksara Jawa memiliki paralelisme dengan tantangan revitalisasi Tulisan Jawi (aksara Arab Melayu). Meskipun ada dukungan komunitas dan upaya digitalisasi, dominasi Aksara Latin dan kurangnya dukungan kebijakan pemerintah secara nasional menghambat laju revitalisasi. Intervensi kebijakan seperti Perda DIY 2/2021 menunjukkan pendekatan top-down yang strategis, menjadikan integrasi Aksara Jawa ke dalam kurikulum dan ruang publik sebagai persyaratan hukum. Keberhasilan model kebijakan ini dapat berfungsi sebagai studi kasus penting bagi revitalisasi aksara daerah lain di Indonesia.
Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis
Aksara Jawa adalah sistem penulisan abugida yang sangat kompleks, memiliki akar paleografis yang jelas dari Pallawa dan Kawi, dan sarat dengan nilai-nilai filosofis dan etika yang diwujudkan dalam urutan Hanacaraka. Struktur ortografisnya ditandai oleh kompleksitas Pasangan dengan penempatan non-uniform dan sistem Sandhangan yang detail.
Tantangan kritis yang dihadapi saat ini adalah dualitas antara kerumitan ortografis tradisional dan tuntutan untuk implementasi digital yang mudah dan seragam. Keberhasilan Aksara Jawa di masa depan sangat bergantung pada integrasi standardisasi teknis dan intervensi kebijakan publik yang terencana.
Rekomendasi Teknis:
- Prioritas harus diberikan pada pengembangan font yang secara penuh mendukung standar SNI 9047:2021 dan fitur-fitur OpenType Unicode, khususnya untuk mengatasi kerumitan conjunct formation dan variasi stilistik regional (seperti antara Surakarta dan Yogyakarta).
- Diperlukan sosialisasi dan adopsi yang lebih luas terhadap standar tata letak papan tombol (keyboard layout) SNI 9048:2021 untuk memastikan metode input yang efisien, yang merupakan prasyarat mutlak bagi penggunaan aksara dalam konteks modern.
Rekomendasi Kebijakan:
- Model kebijakan yang diterapkan DIY melalui Perda Nomor 2 Tahun 2021 harus didorong untuk diadopsi oleh daerah lain yang relevan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebijakan ini menekankan Reaktualisasi melalui kewajiban penggunaan Aksara Jawa pada penamaan ruang publik dan fasilitas, yang sangat penting untuk meningkatkan visibilitas aksara yang saat ini fungsinya terbatas.
- Pemerintah pusat dan daerah harus meningkatkan investasi dalam pengembangan kurikulum standar dan pelatihan guru yang kompeten dalam Aksara Jawa, mengatasi hambatan sumber daya yang menjadi faktor utama keterputusan generasi.
