Kajian postkolonialisme muncul sebagai respons kritis terhadap warisan kolonialisme dan neokolonialisme, menantang narasi-narasi yang menjustifikasi dominasi Barat dan hegemoni kulturalnya. Proyek ini tidak hanya berorientasi pada masa lalu, tetapi secara fundamental relevan untuk memahami dinamika ketidaksetaraan global kontemporer, khususnya antara Utara dan Selatan, di mana hegemoni ekonomi dan budaya Amerika (Cultural Imperialism) memainkan peran sentral.
Definisi Postkolonialisme dan Kritik Hegemoni Kontemporer
Postkolonialisme berfungsi sebagai kerangka yang secara sistematis menantang pandangan Barat yang merendahkan terhadap budaya non-Barat, serta menganalisis bagaimana kolonialisme membentuk identitas kultural dan dinamika kekuasaan yang bertahan hingga masa pascakemerdekaan. Para pemikir utama dalam bidang ini, seperti Edward Said, Homi K. Bhabha, dan Gayatri Chakravorty Spivak, berupaya menyusun sumber daya intelektual bagi politik pasca-nasionalis modern.
Meskipun gerakan antikolonial melahirkan negara-negara bangsa baru, Said dan Spivak mengungkapkan pandangan yang pesimis mengenai prospek perubahan radikal. Kepesimisan ini muncul karena adanya penggabungan elit nasional di Global South ke dalam sistem kapitalisme global dan runtuhnya aparatus negara di negara-negara yang baru merdeka. Dalam menghadapi fenomena neokolonialisme ini, Said melihat harapan pada munculnya politik pasca-nasionalis dan gerakan anti-sistemik yang lahir dari migrasi massa dan hibriditas global, yang dipicu oleh globalisasi yang timpang. Oleh karena itu, karya sastra yang dianalisis dalam laporan ini—meski berakar pada perjuangan nasionalis antikolonial—secara fundamental juga berfungsi sebagai kritik pasca-nasionalis. Kritik ini tidak terikat pada batas-batas negara-bangsa baru yang seringkali korup, melainkan menunjukkan loyalitas yang lebih luas terhadap “rakyat” (massa) atau prinsip kemanusiaan universal.
Pilar Utama Teori Postkolonial untuk Analisis Sastra
Dua pilar utama teori postkolonial yang relevan untuk menganalisis narasi minoritas Ngũgĩ dan Pramoedya adalah Orientalisme dan konsep Subaltern.
Orientalisme (Edward Said)
Orientalisme merujuk pada konstruksi dan representasi Barat terhadap ‘Timur’ (Orient) sebagai ‘Liyan’ (Other) yang dianggap eksotis, inferior, dan statis. Diskursus ini merupakan sistem pengetahuan dan kekuasaan yang secara efektif menjustifikasi dominasi kolonial. Orientalisme memposisikan Barat sebagai superior dan Timur sebagai terbelakang, sehingga memerlukan misi ‘memperadabkan’. Dalam konteks studi kasus, Orientalisme menjadi benteng ideologis yang kokoh bagi struktur kekuasaan kolonial Hindia Belanda yang dihadapi tokoh Minke dalam Kuartet Buru.
Subaltern (Gayatri Chakravorty Spivak)
Konsep Subaltern Spivak secara spesifik mengacu pada kelompok yang terpinggirkan dan tertindas, yang mengalami pembatasan akses tidak hanya berdasarkan penindasan kolonial tetapi juga berdasarkan berbagai aspek seperti kelas sosial, ekonomi, gender, etnis, bahasa, dan kekuasaan. Suara dan pengalaman kelompok Subaltern sering kali dibungkam atau salah direpresentasikan, baik oleh kekuasaan kolonial maupun oleh kelompok elit di dalam masyarakat pascakolonial itu sendiri. Karya sastra postkolonial, seperti yang dihasilkan oleh Ngũgĩ dan Pramoedya, menjadi upaya krusial untuk mengisi kekosongan representasi ini.
Secara keseluruhan, sastra postkolonial berfungsi sebagai antitesis terhadap hegemoni kultural global yang berlanjut. Imperialisme kultural Amerika dan Barat yang mendominasi saat ini secara langsung ditantang oleh para penulis Global South. Sastra mereka bukan sekadar rekaman sejarah masa lalu; ia adalah jaringan kritik yang aktif dan berfungsi untuk mendestabilisasi hegemoni global di masa kini. Oleh karena itu, penulis postkolonial tidak dapat dipisahkan dari perjuangan zaman, mereka adalah intelektual yang berperan dalam pertarungan politik dan sosial yang berkesinambungan.
Ngũgĩ wa Thiong’o: Strategi Bahasa dan Suara Massa Afrika
Ngũgĩ wa Thiong’o, penulis terkemuka Kenya, memilih bahasa sebagai medan perang utama untuk dekolonisasi, sebuah keputusan radikal yang membedakannya dari banyak rekan sezamannya.
Dekolonisasi Pikiran: Politik Bahasa Gikuyu
Keputusan Ngũgĩ pada tahun 1977 untuk berhenti menulis dalam bahasa Inggris dan beralih menggunakan bahasa ibunya, Gikuyu, adalah tindakan politik dan budaya yang mendefinisikan kembali dirinya sebagai seorang radikal. Tindakan ini merupakan penegasan atas pembebasan dan reklamasi budaya. Dalam esai monumentalnya, Decolonising the Mind: The Politics of Language in African Literature (1986), ia mengajukan pertanyaan provokatif: “Apa perbedaan antara seorang politisi yang mengatakan Afrika tidak bisa hidup tanpa imperialisme dan penulis yang mengatakan Afrika tidak bisa hidup tanpa bahasa-bahasa Eropa?”.
Bagi Ngũgĩ, bahasa adalah perantara antara diri sendiri dan alam, antara diri sendiri dan orang lain; bahasa menjadi perantara keberadaan itu sendiri. Dengan memilih Gikuyu, ia secara sadar bergerak menjauh dari orientasi Eurosentris yang mendominasi karya-karya awalnya yang ditulis dalam bahasa Inggris. Pilihan linguistik ini tidak hanya mengubah politiknya, tetapi juga secara mendalam membentuk estetika naratifnya.
Mengaktifkan Subaltern Melalui Bentuk Estetika Asli
Penggunaan Gikuyu oleh Ngũgĩ, seperti dalam novel Caitaani Mutharaba-ini (Devil on the Cross), menghasilkan afinitas yang tinggi dengan tradisi lisan Afrika. Keputusan ini memastikan bahwa suara Subaltern—yang diwakili oleh massa pekerja dan petani—disampaikan melalui idiom dan mode imajinasi sastra yang akrab bagi mereka.
Pilihan linguistik Ngũgĩ menunjukkan bahwa estetika dan politik tidak dapat dipisahkan. Estetika yang mendalam dan kenikmatan sastra (aesthetic pleasure) yang ia hasilkan sangat bergantung pada audiens yang memahami idiom Gikuyu; efek ini cenderung melemah dalam terjemahan. Dengan kata lain, menyuarakan Subaltern Afrika secara efektif tidak cukup hanya dengan mengubah konten cerita, tetapi juga mengharuskan pemulihan bentuk estetika asli dan wadah linguistik yang otentik, membalikkan premis asimilasionis yang mungkin terkandung dalam teori hibriditas. Sastra linguistik Ngũgĩ, dengan demikian, sangat ditentukan oleh lingkungan sejarah dan sosio-kultural di mana ia berkembang.
Kritik Pengkhianatan Neokolonial dan Kontinuitas Penindasan
Karya-karya Ngũgĩ mencakup sejarah Kenya, dari pembebasan nasional hingga kekecewaan pascakemerdekaan. Namun, fokus utamanya bergeser ke kritik keras terhadap pengkhianatan neokolonial oleh elite domestik.
Novel Petals of Blood (1977), karya terakhirnya dalam bahasa Inggris, menyajikan kritik epik terhadap elite politik dan kapitalis Kenya (diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Chui, Kimeria, dan Mzigo) yang menipu kelas petani dan pekerja. Elite ini memanfaatkan keistimewaan sosio-ekonomi mereka sambil meninggalkan massa dalam keadaan kekurangan. Kritik tajam ini, bersama dengan drama komunitasnya yang ditulis dalam Gikuyu, menyebabkan penangkapannya dan penahanan tanpa dakwaan oleh pemerintah otoriter Kenya saat itu.
Kasus Ngũgĩ secara jelas menunjukkan bahwa Subaltern Afrika hanya berpindah dari penindasan berbasis rasial dan kolonial ke penindasan berbasis kelas neokolonial. Analisis ini selaras dengan pandangan Said dan Spivak bahwa penggabungan elit nasional Selatan ke dalam kapitalisme global menyebabkan kegagalan perubahan radikal. Dekolonisasi yang didefinisikan oleh Fanon sebagai penggantian total satu jenis manusia dengan yang lain , seringkali gagal, digantikan oleh bentuk imperialisme yang berlanjut.
Neokolonialisme ini juga dieksplorasi dalam karyanya yang lebih baru, Wizard of the Crow (2006). Novel ini menggunakan realisme magis untuk menciptakan sindiran kompleks tentang kegagalan tata kelola, kebodohan diktator, dan masalah yang mendera banyak negara Afrika pascakolonial, berlatar Republik Bebas Aburĩria yang dikuasai secara otokratis. Karya ini memperingatkan bahwa perlawanan sejati harus berkelanjutan, menargetkan struktur penindasan itu sendiri, terlepas dari warna kulit pemegang kendali politik.
Pramoedya Ananta Toer: Intelektual Pribumi dan Penggalian Kesadaran Nasional
Pramoedya Ananta Toer mewakili strategi perlawanan sastra yang berbeda, fokus pada penggalian sejarah, kebangkitan intelektual, dan pembentukan kesadaran nasional terpadu melawan kolonialisme dan otoritarianisme domestik.
Minke: Intelektual Subaltern Melawan Orientalisme
Kuartet Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) adalah novel sejarah yang monumental. Karya ini berupaya menyuarakan keinginan, kehendak, dan harapan masyarakat lokal yang termarjinalisasi di Hindia Belanda.
Tokoh Minke adalah jantung dari narasi ini, berfungsi sebagai arketipe intelektual pribumi yang berjuang untuk emansipasi bangsa Hindia di awal abad ke-20. Minke digambarkan sebagai aktivis, organisator terpelajar, jurnalis, dan pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI). Peran Minke adalah menantang Orientalisme, yang dianggap sebagai benteng kokoh yang menopang struktur kekuasaan kolonial. Dalam proses Bildungsroman-nya, Minke menginternalisasi nilai-nilai modern, termasuk Humanisme dan semboyan Revolusi Prancis—Liberty, Egality, Fraternity (LEF)—sebagai senjata moral dan politik melawan sistem kolonial yang hierarkis, dominatif, dan menindas.
Kisah Minke menjadi penting karena ia tidak hanya melawan kolonialisme tetapi juga feodalisme otoriter yang berlaku di Nusantara. Pramoedya, melalui Minke, secara eksplisit menanamkan narasi sejarah Global South yang lebih luas, memecah isolasi informasi yang diciptakan oleh penjajah. Minke diberikan “referensi eksternal yang vital” (seperti ide-ide Revolusi Prancis) untuk mengukur kemajuan bangsanya, yang sebelumnya jarang diketahui intelektual Hindia Belanda karena kebijakan informasi kolonial.
Bahasa Indonesia sebagai Alat Perlawanan dan Pemersatu
Berbeda dengan radikalisme linguistik Ngũgĩ yang menuntut pengembalian ke bahasa ibu, strategi Pramoedya adalah pragmatisme nasionalis. Pramoedya memanfaatkan Bahasa Indonesia, yang berakar dari lingua franca Melayu, sebagai alat perlawanan. Bahasa Indonesia, sebagai bahasa nasional yang modern dan mudah diakses, berfungsi sebagai alat pemersatu bagi ratusan kelompok etnis dengan latar belakang sosio-kultural yang berbeda di seluruh kepulauan.
Penggunaan bahasa ini oleh Pramoedya menjadi synecdoche dari kesadaran yang belum terucap dan tertindas dari kaum terjajah. Agar dapat efektif, subjek pribumi seperti Minke harus mendekonstitusi premis ideologis Bahasa Belanda, mengubah bahasa yang diinvestasikan sebagai vernacular aparat kolonial menjadi alat dengan agenda politik yang berbeda—sebuah proses pembentukan identitas yang melibatkan apropriasi dan subversi. Ini memastikan bahwa kesadaran yang terlahir dari perlawanan dapat dipahami oleh generasi muda Indonesia yang lebih luas.
Kritik Pascakolonial: Mekanisme Pengawasan dan Orde Baru
Kritik postkolonial Pramoedya mencapai puncaknya dalam Rumah Kaca, novel terakhir dari Kuartet Buru. Dalam novel ini, Pramoedya menggunakan teknik naratif yang unik, menempatkan Pangemanann—seorang polisi pribumi yang bertugas memata-matai Minke—sebagai narator.
Narasi Pangemanann berfungsi untuk membalikkan diskursus kekuasaan. Orientalisme berhasil mengkotakkan kaum terjajah, tetapi ketika Minke mulai menantang dan melawan menggunakan alat Barat (jurnalisme, organisasi), kekuasaan kolonial beralih dari ideologi superioritas menjadi paranoia murni, didukung oleh sistem pengawasan (surveillance) yang tak henti-hentinya. Rumah Kaca mengekspos inferioritas struktural penjajah, yang memaksa mereka melakukan tindakan kekerasan dan tidak logis untuk mempertahankan kontrol, bahkan terhadap seorang aktivis yang secara fisik “tak berdaya”.
Kritik terhadap pengawasan kolonial ini memiliki implikasi yang mendalam bagi Indonesia pascakemerdekaan. Pramoedya dengan tajam mengkritik rezim Orde Baru Suharto, yang ia anggap sebagai reinkarnasi modus kolonial yang opresif. Ia menyatakan keprihatinan bagaimana “kebebasan untuk bebas” yang dicapai melalui revolusi dapat berubah menjadi “kebebasan untuk tidak bebas” di bawah Orde Baru. Dengan demikian, Rumah Kaca berfungsi sebagai alegori yang mengkritik keras pengawasan negara dan otoritarianisme pasca-1965 di Indonesia.
Komparasi Narasi Minoritas: Dari Bahasa Ibu hingga Pengawasan Rezim
Meskipun Ngũgĩ wa Thiong’o di Kenya (Afrika Timur) dan Pramoedya Ananta Toer di Indonesia (Asia Tenggara) terpisah secara geografis dan budaya, karya mereka menunjukkan koherensi tematik yang kuat dalam upaya mereka menyuarakan Subaltern dan melawan hegemoni postkolonial.
Perbandingan Strategi Bahasa dan Mobilisasi Subaltern
Perbedaan paling mencolok terletak pada politik bahasa:
- Radikalisme Linguistik Ngũgĩ: Ngũgĩ menolak lingua franca kolonial, memilih kembali ke Gikuyu. Strategi ini adalah tindakan dekolonisasi total, memastikan bahwa massa petani dan pekerja (Subaltern berbasis kelas) dapat berpartisipasi dan memahami diskursus pembebasan melalui idiom budaya mereka sendiri.
- Pragmatisme Nasionalis Pramoedya: Pramoedya memilih Bahasa Indonesia. Bahasa ini bukan bahasa ibu Pramoedya, tetapi bahasa persatuan yang memobilisasi kesadaran kolektif yang terpadu di seluruh Nusantara melawan hegemoni Orientalis.
Terlepas dari perbedaan ini, kedua penulis menggunakan genre novel—bentuk sastra yang sering dianggap Barat—untuk tujuan postkolonial. Seperti yang dicatat oleh Said, para penulis pengasingan memilih novel karena ia memungkinkan mereka untuk mengimaginasikan “tanah air imajiner” atau narasi epik baru. Ngũgĩ mencari epik dalam tradisi lisan Gikuyu, sementara Pramoedya mencarinya dalam narasi sejarah Kuartet Buru yang membentuk bildungsroman nasional, yang secara efektif membangun “komunitas terbayang” (Anderson) dan menciptakan mitologi nasional yang baru dan anti-kolonial.
4.2. Arketipe Tokoh Perlawanan dan Fokus Krisis Pascakolonial
Ngũgĩ dan Pramoedya menyajikan dua arketipe tokoh perlawanan yang berbeda:
- Pramoedya memfokuskan pada Bildungsroman individu melalui Minke, seorang intelektual yang tercerahkan melalui pendidikan dan jurnalisme. Minke menjadi agen yang mendobrak feodalisme dan kolonialisme.
- Ngũgĩ cenderung menekankan tokoh kolektif (pekerja dan petani) dalam karya-karya Gikuyu-nya , mencerminkan orientasi yang lebih kuat pada aktivisme massa dan Marxisme dalam menargetkan eksploitasi kelas.
Meskipun berbeda dalam fokus tokoh, kedua penulis menyajikan kritik ganda yang serupa: perlawanan tidak berakhir dengan kemerdekaan formal. Ngũgĩ menargetkan elite neokolonial yang bersekutu dengan kapitalisme global , sementara Pramoedya menargetkan otoritarianisme Orde Baru yang mereproduksi mekanisme pengawasan dan penindasan kolonial.
Tabel 1: Strategi Postkolonial Komparatif Ngũgĩ dan Pramoedya
| Aspek Kritik | Ngũgĩ wa Thiong’o (Kenya) | Pramoedya Ananta Toer (Indonesia) |
| Fokus Utama | Politik Bahasa & Kritik Neokolonialisme Kapitalis. | Kebangkitan Intelektual & Kritik Otoritarianisme/Orientalisme. |
| Pilihan Bahasa Naratif Utama | Gikuyu (bahasa ibu) sebagai alat pembebasan budaya dan pemulihan estetika. | Bahasa Indonesia (bahasa persatuan) untuk mobilisasi nasional dan pembentukan kesadaran kolektif. |
| Representasi Suara Minoritas | Massa pekerja, petani, dan rakyat jelata. | Pribumi terpelajar (Minke) dan subaltern yang terpinggirkan (misalnya, Nyai Ontosoroh). |
| Kritik Pascakolonial Kunci | Pengkhianatan oleh elite domestik yang menjadi boneka kapitalis asing, yang mengakibatkan penahanan Ngũgĩ. | Mekanisme pengawasan (surveillance) yang melanjutkan mode kolonial (kritik terselubung terhadap Orde Baru). |
Teknik Naratif: Satire dan Pembalikan Diskursus
Dalam hal gaya, Ngũgĩ menggunakan realisme sosial-politik yang kuat (Petals of Blood) yang kemudian berkembang menjadi realisme magis yang luas (Wizard of the Crow) untuk menyindir kediktatoran Afrika.
Pramoedya, di sisi lain, menggunakan narasi sejarah epik dan, secara cerdik, membalikkan diskursus kekuasaan melalui narator antagonis (Pangemanann dalam Rumah Kaca). Penggunaan narator dari pihak kolonial ini mengungkap kerapuhan kekuasaan penjajah. Ketika Minke mulai melakukan mimikri—menggunakan alat-alat Barat (jurnalisme, modernitas) untuk tujuan pembebasan—kolonialisme beralih dari narasi Orientalis yang kokoh menjadi sistem yang rapuh, paranoid, dan brutal, yang hanya didukung oleh pengawasan yang tak berkesudahan.
Dampak Global, Represi, dan Reorientasi Sastra Dunia
Perjuangan Ngũgĩ dan Pramoedya tidak hanya terjadi di dalam teks, tetapi juga dalam arena politik dan kritik global, di mana pengalaman pribadi mereka dengan sensor dan penahanan memperkuat validitas kritik sastra mereka.
Sensor dan Validasi Kritik Struktur Otoriter
Kedua penulis harus membayar mahal atas komitmen mereka untuk menyuarakan yang tertindas. Ngũgĩ ditahan tanpa dakwaan oleh pemerintah Kenya pada tahun 1977 setelah publikasi Petals of Blood. Pramoedya menghabiskan bertahun-tahun di Pulau Buru (1965–1979) dan karyanya dilarang oleh rezim Orde Baru.
Pengalaman represi ini mengonfirmasi argumentasi dalam karya mereka bahwa kekuasaan otoriter pascakolonial seringkali merupakan pengulangan atau bahkan bentuk yang lebih buruk dari penindasan kolonial, mengubah “kebebasan untuk bebas” menjadi “kebebasan untuk tidak bebas”. Melalui penderitaan ini, karya mereka menjadi peringatan abadi tentang bahaya penguasa domestik yang mengadopsi mekanisme kontrol dari mantan penjajah.
Kontribusi Terhadap Kanon Global South dan Sastra Dunia
Kehadiran Ngũgĩ dan Pramoedya di panggung internasional sangat penting dalam menafsirkan ulang konsep Sastra Dunia (World Literature) yang secara historis cenderung Eurosentris. Karya mereka, meskipun berlatar belakang regional spesifik (Kenya dan Indonesia), menawarkan pandangan yang heterogen, multikultural, dan seimbang tentang perjuangan Subaltern. Mereka memberikan dimensi yang sangat dibutuhkan pada kanon global.
Penerimaan Kritis Internasional
Meskipun karya mereka dibungkam di dalam negeri, validasi eksternal memberikan visibilitas dan perlindungan yang sangat penting.
Pramoedya Ananta Toer menerima Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature, and Creative Communication Arts pada tahun 1995. Penghargaan ini diberikan atas keberhasilannya “mencerahkan dengan kisah-kisah cemerlang tentang kebangkitan historis dan pengalaman modern rakyat Indonesia”. Penghargaan ini, yang terinspirasi oleh Hadiah Nobel , memberikan validasi global atas perannya sebagai suara bagi yang terpinggirkan. Pramoedya sendiri menyatakan bahwa penghargaan tersebut membantu “menerangi nasib ratusan ribu orang seperti saya”.
Ngũgĩ wa Thiong’o terus diakui atas advokasinya terhadap bahasa Afrika. Ia menerima banyak penghargaan internasional, termasuk PEN/Nabokov Award for Achievement in International Literature (2022) dan Premi Internacional de Catalunya Award (2019). Selain itu, ia membuat sejarah ketika The Perfect Nine (2021), novel Gikuyu yang ia tulis, dinominasikan untuk International Booker Prize, menandai pertama kalinya karya berbahasa Afrika diakui di tingkat tersebut.
Penerimaan kritis ini berfungsi sebagai alat politik pasca-nasionalis. Ketika suara minoritas dibungkam oleh negara-bangsa otoriter, penghargaan global memastikan bahwa resonansi perlawanan mereka terus bergema, menantang hegemoni internal yang represif.
Tabel 2: Represi Politik, Sensor, dan Dampak Global Ngũgĩ dan Pramoedya
| Penulis | Bentuk Represi Kunci | Karya yang Memicu Represi/Sensor | Fokus Kritik Pascakolonial | Pengakuan Internasional Kunci |
| Ngũgĩ wa Thiong’o (Kenya) | Penahanan tanpa dakwaan (1977-1978); Eksil. | Petals of Blood, drama Gikuyu (Ngaahika Ndeenda). | Elite neokolonial dan Kapitalisme domestik. | PEN/Nabokov Award (2022), Longlist International Booker (2021). |
| Pramoedya A. Toer (Indonesia) | Penahanan (Pulau Buru 1965-1979); Pelarangan buku; Sensor berkelanjutan. | Kuartet Buru. | Orientalisme, Feodalisme, dan Otoritarianisme Orde Baru. | Ramon Magsaysay Award (1995) untuk kebangkitan historis. |
Kesimpulan
Studi komparatif terhadap Ngũgĩ wa Thiong’o dan Pramoedya Ananta Toer menunjukkan dua model utama dalam upaya menyuarakan Subaltern di panggung global, yang keduanya berhasil menanggapi tantangan representasi Spivak. Ngũgĩ, melalui radikalisme linguistik yang mendalam dan pengembalian ke bahasa ibu Gikuyu, berjuang untuk pembebasan kultural dan pemberdayaan massa petani. Pramoedya, melalui pragmatisme nasionalis dalam penggunaan Bahasa Indonesia, menciptakan tokoh intelektual (Minke) yang mendobrak Orientalisme dan mengintegrasikan Nusantara ke dalam kesadaran sejarah global.
Karya kedua penulis menunjukkan bahwa perjuangan pascakolonial bersifat ganda. Mereka tidak hanya melawan kolonialisme Barat, tetapi juga dengan gigih menentang penindasan yang direproduksi oleh penguasa domestik (elite neokolonial yang korup di Kenya dan rezim otoriter yang menerapkan mode pengawasan kolonial di Indonesia). Kedua penulis menunjukkan bahwa perlawanan sejati menargetkan struktur kekuasaan dan ketidakadilan, bukan hanya identitas rasial penguasa.
Warisan intelektual Ngũgĩ dan Pramoedya sangat relevan dalam menghadapi bentuk neokolonialisme terbaru, terutama imperialisme kultural dan ekonomi digital. Jika Ngũgĩ memulai perjuangan melawan supremasi bahasa Eropa di media cetak, tantangan Subaltern saat ini adalah memastikan bahasa ibu dan bahasa minoritas tidak termarjinalisasi oleh hegemoni data dan kecerdasan buatan yang didominasi oleh bahasa Inggris. Pertumbuhan Bahasa Indonesia di ranah digital menunjukkan bahwa perjuangan linguistik ini terus berlanjut.
Selain itu, kerangka pengawasan (surveillance) yang dianalisis dalam Rumah Kaca oleh Pramoedya menjadi cetak biru penting untuk memahami bagaimana kekuasaan otoriter kontemporer, seringkali di bawah kedok modernitas dan keamanan, mereplikasi mekanisme kontrol dan pengawasan untuk membungkam disiden dan minoritas.
