Latar Belakang: Krisis Model Integrasi Post-Globalisasi
Integrasi regional, sebagai sebuah proyek politik transformatif, secara ideal menuntut adanya pergeseran agenda, aktivitas, loyalitas, dan ekspektasi dari para aktor politik, dari lingkup domestik menuju area kolektif kawasan. Untuk mencapai hal tersebut, aktor politik—baik dari negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, maupun negara anggota lainnya—dituntut untuk mencapai konsensus melalui pembahasan dan negosiasi yang mengarah pada tindakan kolektif di level regional. Prinsip ini berlaku universal, baik dalam arsitektur supranasional seperti Uni Eropa (UE) maupun yang inter-pemerintah seperti Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Namun, dalam dekade terakhir, visi integrasi ini telah menghadapi tantangan serius dari kebangkitan nasionalisme kontemporer. Nasionalisme modern ini berbeda dengan nasionalisme era pascakolonial yang bertujuan meraih kemerdekaan. Tren saat ini lebih sering termanifestasi sebagai sovereignty pull-back (penarikan kedaulatan), populisme identitas, dan proteksionisme ekonomi, yang secara fundamental memprioritaskan kepentingan nasional di atas komitmen multilateral atau supranasional.
Kebangkitan tren domestik ini memaksa arsitektur kerja sama regional untuk menghadapi agenda kebijakan yang semakin besar dan kompleks, terutama mengingat negara-negara anggota memiliki kepentingan yang luas dan beragam. Arsitektur yang fleksibel, yang memungkinkan adanya beragam jalur dan beragam kecepatan dalam integrasi, awalnya dianggap mampu menangani tantangan ini. Namun, fleksibilitas ini kini dieksploitasi oleh agenda domestik yang nasionalis, yang pada akhirnya mengancam kohesi kelembagaan.
Diagnosis Struktural Konflik
Dampak kebangkitan nasionalisme tidak hanya terbatas pada munculnya konflik baru, tetapi juga eksploitasi kerentanan struktural yang sudah ada dalam model integrasi. Di Uni Eropa, konflik struktural muncul antara kedaulatan negara anggota dan transfer kedaulatan yang telah ditetapkan ke Brussel. Sementara itu, di ASEAN, kelemahan mendasar terletak pada sifatnya yang inter-pemerintah yang dipadukan dengan kepatuhan yang kaku terhadap prinsip non-intervensi.
Fenomena ini menunjukkan bahwa nasionalisme dapat muncul sebagai mekanisme bawaan politik domestik ketika keuntungan dari integrasi dirasakan tidak merata atau ketika biaya koordinasi kolektif dianggap terlalu tinggi. Negara-negara yang memiliki struktur ekonomi kurang bebas, misalnya, mungkin merasa perlu memprioritaskan perlindungan domestik daripada liberalisasi regional. Oleh karena itu, nasionalisme menjadi respons defensif domestik terhadap kompleksitas dan tuntutan collective action regional. Arsitektur regional yang menuntut konsensus kolektif tetapi harus mengakomodasi kepentingan yang luas dan beragam akan selalu berada dalam posisi rentan ketika kepentingan domestik yang sempit mulai mendominasi wacana politik.
Jalur Konflik Politik: Penarikan Kedaulatan dan Kelumpuhan Institusi
Nasionalisme politik berfokus pada pengembalian kontrol mutlak negara atas wilayah, populasi, dan pengambilan keputusan internal, yang secara eksplisit atau implisit menolak campur tangan atau supremasi hukum regional. Meskipun tujuannya sama—menegaskan kembali kedaulatan—mekanisme kerusakan institusionalnya berbeda secara signifikan antara Uni Eropa dan Asia Tenggara.
Studi Kasus Eropa: Euroskeptisisme dan Sovereignty Pull-Back (Brexit)
Uni Eropa, sebagai model integrasi supranasional yang mendalam, menghadapi tantangan dalam bentuk penolakan terhadap transfer kedaulatan kepada institusi-institusi di Brussel. Manifestasi paling ekstrem dari nasionalisme kedaulatan ini adalah Brexit, penarikan Britania Raya dari Uni Eropa.
Brexit didorong oleh politik domestik, terutama melalui sentimen Euroskeptisisme Britania Raya. Mekanisme penarikan ini berakar pada keinginan untuk mengembalikan kedaulatan parlemen penuh dan kontrol nasional atas perbatasan dan pembuatan undang-undang (termasuk UU Kewarganegaraan, dll.). Meskipun telah ada arsitektur kelembagaan yang mendalam, nasionalisme domestik berhasil menggunakan mekanisme demokratis (referendum) untuk menolak struktur yang sudah mapan.
Dampak regional dari tindakan unilateral ini bersifat destruktif. Penarikan salah satu anggota terbesarnya merusak kohesi dan integritas Pasar Tunggal UE. Lebih jauh, Brexit menciptakan preseden berbahaya. Ini mengirimkan sinyal kepada negara-negara anggota lain yang juga memiliki sentimen nasionalis kuat, bahwa penarikan kedaulatan adalah opsi yang layak, terlepas dari biaya ekonomi atau politik jangka panjang.
Studi Kasus Asia Tenggara: Dilema Prinsip Non-Intervensi (NIP) ASEAN
Berbeda dengan penarikan diri UE, nasionalisme di ASEAN termanifestasi sebagai pengerasan struktur kelembagaan yang sudah ada, yang pada gilirannya menyebabkan kelumpuhan fungsional. Prinsip Non-Intervensi (NIP) merupakan pilar fundamental ASEAN, yang didasarkan pada frasa kemerdekaan strategis dan penghormatan terhadap kedaulatan negara. Secara historis, NIP adalah jaminan keamanan esensial yang bertujuan meredam kecurigaan antarnegara anggota yang memiliki sejarah konflik pra-pembentukan ASEAN.
Namun, NIP yang diterapkan secara kaku kini telah menjadi kendala utama bagi keleluasaan ASEAN dalam merespons isu-isu transnasional. Masalah domestik, seperti pelanggaran HAM, krisis Rohingya, dan kudeta berdarah di Myanmar , secara efektif dilindungi oleh perisai kedaulatan ini.
Krisis Myanmar saat ini, yang melibatkan masalah kemanusiaan dan instabilitas internal, menjadi ujian terbesar bagi ASEAN, mempertaruhkan legitimasi organisasi dalam mewujudkan cita-cita one vision, one identity, and one community. Krisis domestik ini melahirkan masalah keamanan non-tradisional, seperti melubernya pengungsi dan gangguan keamanan. Hal ini secara jelas menunjukkan bahwa dalam konteks integrasi regional, kedaulatan absolut hanyalah ilusi—masalah domestik selalu memiliki spillover regional.
Oleh karena itu, kegagalan ASEAN dalam menghadapi krisis Myanmar bukan karena penarikan kedaulatan (seperti Brexit), melainkan karena kelumpuhan institusi. Badan-badan regional yang dibentuk untuk menangani permasalahan keamanan internal kawasan, seperti AICHR (badan HAM ASEAN) dan forum ASC (Dewan Keamanan ASEAN), menjadi kurang efektif secara fungsional. Ini adalah konsekuensi langsung dari NIP dan standar ganda yang dipertahankan oleh anggota, yang secara efektif mencegah mekanisme intervensi lunak. Apabila prinsip NIP tidak direvisi, cita-cita integrasi politik diprediksi akan sulit tercapai. Untuk menjaga stabilitas regional, diperlukan pergeseran fokus dari isu traditional security (kedaulatan negara) ke isu non-traditional security (kemanusiaan dan sipil) yang kini menjadi isu penting untuk dihadapi.
Jalur Konflik Ekonomi: Proteksionisme dan Fragmentasi Perdagangan
Kebangkitan nasionalisme ekonomi menentang perdagangan bebas berbasis aturan, berfokus pada perlindungan pekerjaan lokal dan industri strategis dari kompetisi regional atau global, sering kali bertujuan untuk mengembangkan industri tertentu atau menanggapi praktik perdagangan yang tidak adil.
Tekanan Eksternal dan Frustrasi Solidaritas ASEAN
Integrasi ekonomi regional di Asia Tenggara berada di bawah tekanan besar akibat kebijakan yang berasal dari negara-negara adidaya. Kebijakan proteksionis, seperti tarif resiprokal yang diterapkan oleh Amerika Serikat (di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump), dianggap meruntuhkan sistem perdagangan dunia berbasis aturan seperti WTO dan Bretton Wood Institutions. Sistem perdagangan global yang selama ini menopang pertumbuhan dunia ditinggalkan oleh negara yang dahulu menciptakannya, karena dianggap tidak lagi menguntungkan.
Kebijakan tarif sepihak AS dan perang dagang yang memanas antara AS dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menciptakan tekanan besar terhadap perdagangan internasional dan rantai pasok global. Kebijakan ini berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi global dan mendorong inflasi secara luas. Sebagai tanggapan, negara-negara ASEAN, bersama dengan Jepang, China, dan Korea Selatan (ASEAN Plus Tiga), melontarkan peringatan keras atas gelombang proteksionisme ini. Mereka menyoroti bahwa meningkatnya proteksionisme perdagangan membebani perdagangan global dan mengarah pada fragmentasi ekonomi yang memengaruhi perdagangan, investasi, dan arus modal di seluruh kawasan. Menghadapi situasi ini, Sri Mulyani Indrawati menyerukan pentingnya koordinasi dan solidaritas yang lebih erat antarnegara ASEAN.
Meskipun seruan solidaritas regional ini penting, nasionalisme ekonomi di ASEAN sebagian besar bersifat reaktif—upaya kolektif untuk menghadapi ancaman eksternal (tarif AS). Namun, kerentanan terhadap kebijakan proteksionis domestik tetap tinggi karena adanya disparitas struktural ekonomi di antara negara-negara anggota.
Nasionalisme Ekonomi di Kawasan Berintegrasi: Kasus Proteksionisme Hijau UE
Bahkan Uni Eropa, yang dikenal dengan pasar tunggalnya yang sangat terintegrasi, menunjukkan bahwa kepentingan strategis nasional dapat menanggalkan komitmen pasar terbuka regional atau global. Hal ini terlihat melalui tren Energy Protectionism yang dimanifestasikan melalui kebijakan seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dan inisiatif REPowerEU.
REPowerEU, yang diluncurkan pada Mei 2022, adalah rencana strategis untuk mengurangi ketergantungan UE pada bahan bakar fosil Rusia. Sementara itu, CBAM adalah kebijakan tarif impor pada barang-barang dengan intensitas karbon tinggi dari luar negeri. Kebijakan ini didorong oleh keamanan energi dan keinginan untuk meningkatkan produksi energi terbarukan domestik. Dalam konteks ini, kebijakan proteksionisme muncul sebagai kebijakan strategis proaktif yang dimotivasi oleh keamanan domestik, tetapi memiliki efek proteksionis yang nyata, bahkan menciptakan risiko ketegangan perdagangan internasional dan menjadi bentuk green trade protectionism.
Perbandingan antara ASEAN dan UE menunjukkan perbedaan mekanisme dampak: di ASEAN, proteksionisme menjadi seruan solidaritas reaktif terhadap ancaman eksternal, sementara di UE, proteksionisme muncul sebagai kebijakan strategis untuk mencapai tujuan keamanan atau lingkungan domestik. Meskipun motifnya berbeda, keduanya sama-sama mengancam prinsip perdagangan bebas berbasis aturan.
Disparitas Ekonomi dan Kerentanan Proteksionisme Domestik
Meskipun kawasan ASEAN secara keseluruhan memiliki skor yang sangat baik sebagai tujuan Foreign Direct Investment (FDI) dibandingkan dengan wilayah lain seperti Afrika dan Amerika Latin, terdapat disparitas signifikan dalam struktur ekonomi antaranggota. Disparitas ini menciptakan celah struktural yang membuat tujuan kolektif integrasi ekonomi (misalnya, pasar tunggal ASEAN) rentan terhadap kepentingan nasional yang nasionalis.
Tabel berikut menunjukkan perbedaan mendasar dalam struktur kebebasan pasar yang menjadi lahan subur bagi kebijakan proteksionis domestik, terutama di negara-negara dengan skor yang jauh di bawah rata-rata regional:
Disparitas Ekonomi ASEAN dan Potensi Friksi
| Negara Anggota ASEAN | Skor Indeks Kebebasan Ekonomi (maks. 100) | Urutan Dunia | Keterkaitan dengan Proteksionisme Domestik | 
| Singapura | 88,8 | 2 | Komitmen tinggi pada pasar terbuka; kurang rentan. | 
| Malaysia | 74,5 | 22 | Di atas rata-rata regional. | 
| Indonesia | 64,2 | 69 | Moderat; potensi kuat untuk kebijakan protektif domestik. | 
| Myanmar | 53,9 | 135 | Sangat rentan; ketidakstabilan politik menghambat FDI. | 
| Viet Nam | 53,1 | 141 | Sangat rentan; meskipun globalisasi ekspor/impor tinggi, struktur domestik masih protektif.[1, 2] | 
Data ini mengindikasikan bahwa negara-negara dengan skor Indeks Kebebasan Ekonomi yang rendah cenderung lebih rentan terhadap seruan proteksionisme untuk melindungi industri domestik mereka. Disparitas ini menghambat integrasi lebih lanjut dan dapat memecah solidaritas regional ketika tekanan eksternal muncul, karena setiap negara akan bereaksi sesuai dengan kemampuan dan kerentanan domestiknya.
Jalur Konflik Sosio-Kultural: Nasionalisme Identitas sebagai Pemicu Eskalasi Kedaulatan
Nasionalisme tidak hanya beroperasi di ranah politik dan ekonomi, tetapi juga dalam pertarungan identitas, di mana warisan budaya sering kali menjadi sumber konflik, mengancam pilar komunitas sosio-kultural regional.
Warisan Budaya sebagai Medan Pertarungan Identitas
Warisan budaya merupakan manifestasi identitas nasional yang melekat pada jati diri kolektif suatu bangsa. Identitas ini merepresentasikan bangsa tersebut, memberikan makna bagi individu dan kelompok dalam memahami dunia, dan membedakan suatu bangsa dari bangsa lain. Oleh karena itu, warisan budaya menjadi sumber kebanggaan yang kuat bagi suatu bangsa.
Klaim atas warisan budaya secara inheren memicu ketegangan diplomatik ketika bersinggungan dengan sentimen nasionalisme. Jika identitas (warisan budaya) tersebut diklaim oleh pihak lain, hal ini menjadi isu sensitif karena identitas dianggap sebagai kepemilikan yang mencerminkan ciri khas bangsanya. Klaim ini dapat memunculkan perasaan kehilangan identitas diri, yang kemudian memicu reaksi nasionalis agresif di tingkat domestik.
Eskalasi Konflik Menjadi Isu Kedaulatan Multidimensi
Kasus perselisihan antara Kamboja dan Thailand mengenai Candi Phra Viharn adalah bukti nyata bagaimana konflik budaya dapat ditransformasikan menjadi isu kedaulatan yang multidimensi. Sengketa perbatasan ini telah berlangsung puluhan tahun, berakar dari ketidakjelasan batas wilayah peninggalan kolonialisme Prancis dan kerajaan Siam. Meskipun Mahkamah Internasional (ICJ) pada tahun 1962 menetapkan bahwa Candi Preah Vihear adalah bagian dari Kamboja, penafsiran berbeda atas tanah di sekitar candi terus menjadi sumber friksi.
Situasi memanas kembali ketika sengketa warisan ini bergeser menjadi isu politik yang lebih serius. Ketika Candi Preah Vihear dinobatkan sebagai warisan dunia, hal itu memicu klaim wilayah yang didukung oleh demonstrasi nasionalis. Ketegangan ini berubah menjadi konflik terbuka dan eskalasi militer, yang kembali meletus pada Juli 2025 dengan penggunaan artileri berat. Konflik bersenjata yang eskalatif ini menjadi pengingat bahwa stabilitas kawasan, yang selama ini diklaim ASEAN, adalah rapuh jika tidak diiringi dengan mekanisme penyelesaian konflik yang efektif.
Kegagalan ASEAN dalam menyelesaikan sengketa identitas yang mendalam menunjukkan bahwa integrasi ekonomi dan politik seringkali hanya menjadi lapisan luar, sementara akar masalah nasionalisme identitas tetap utuh dan rentan dieksploitasi oleh aktor domestik untuk tujuan politik. Nasionalisme identitas menciptakan persaingan alih-alih kolaborasi budaya, membatasi pertukaran budaya, dan secara fundamental menghambat visi komunitas sosio-kultural ASEAN. Krisis semacam ini secara langsung menguji pilar Political-Security Community ASEAN dan menunjukkan perlunya mekanisme yang lebih responsif.
Komparasi, Sintesis, dan Prospek Masa Depan
Matriks Perbandingan: Bentuk Nasionalisme dan Kerusakan Institusional
Analisis komparatif kasus Uni Eropa dan Asia Tenggara mengungkapkan bahwa meskipun kebangkitan nasionalisme kontemporer merupakan ancaman universal terhadap integrasi regional, mekanismenya bervariasi sesuai dengan arsitektur kelembagaan kawasan. Di lingkungan supranasional (UE), nasionalisme memicu penarikan (withdrawal), yaitu penolakan tegas terhadap supremasi hukum regional. Sebaliknya, di lingkungan inter-pemerintah (ASEAN), nasionalisme memicu kelumpuhan (paralysis), yaitu pengerasan prinsip kedaulatan yang menghambat tindakan kolektif.
Tabel Matriks Friksi Nasionalisme vs. Integrasi (EU dan ASEAN)
| Dimensi Konflik | Bentuk Nasionalisme Dominan | Mekanisme Dampak (Kerusakan Institusional) | Studi Kasus Kunci | 
| Politik/Kedaulatan | Nasionalisme Kedaulatan | Kelumpuhan (ASEAN – NIP) vs. Penarikan (UE – Brexit) | Krisis Myanmar/Rohingya vs. Brexit | 
| Ekonomi | Nasionalisme Proteksionis | Fragmentasi perdagangan dan erosi sistem berbasis aturan | Proteksionisme Hijau UE (CBAM) vs. Tekanan Solidaritas ASEAN | 
| Sosio-Kultural | Nasionalisme Identitas | Eskalasi konflik perbatasan/diplomatik ke isu kedaulatan militer | Sengketa Candi Preah Vihear | 
Diagnosis Struktural: Mengapa Nasionalisme Domestik Lebih Rentan Mengguncang Integrasi Regional?
Kebangkitan nasionalisme domestik menjadi ancaman yang kuat karena didorong oleh dinamika geopolitik global yang lebih luas. Di tengah kondisi keuangan yang tegang, pengetatan peraturan, dan meningkatnya ketegangan geopolitik (seperti perlambatan ekonomi Tiongkok dan risiko konflik di Laut Cina Selatan/Taiwan) , negara-negara cenderung menarik diri ke dalam kebijakan domestik yang dianggap lebih aman.
Terdapat dua kelemahan struktural utama yang dieksploitasi oleh nasionalisme:
- Lemahnya Mekanisme Sanksi atau Intervensi: Kedaulatan mutlak negara anggota di ASEAN, yang diinstitusionalisasikan melalui NIP, secara efektif menghalangi mekanisme intervensi atau penyelesaian konflik yang kuat. Hal ini membiarkan konflik domestik membara dan mempengaruhi kawasan secara kolektif.
 - Kesenjangan Kesiapan Ekonomi: Adanya disparitas signifikan dalam Indeks Kebebasan Ekonomi di ASEAN menciptakan lingkungan di mana negara-negara yang lebih rentan akan selalu memprioritaskan perlindungan lokal, melemahkan komitmen kolektif terhadap liberalisasi regional.
 
Ketika nasionalisme domestik melumpuhkan kerja sama regional—misalnya, melalui NIP yang kaku atau kebijakan proteksionisme sepihak—ia secara tidak langsung melemahkan posisi kolektif kawasan tersebut di panggung global. Tujuan integrasi regional adalah mencapai integrasi regional dan akses global. Sebuah kawasan yang lemah dan terpecah oleh krisis internal (seperti Myanmar) akan kehilangan peran kunci yang harus dimainkan dalam pembuatan kebijakan global dan dukungan terhadap pasar global yang terbuka. Kebangkitan nasionalisme domestik tidak hanya merusak integrasi internal, tetapi juga melemahkan kapasitas kolektif kawasan untuk menghadapi ancaman eksternal dan mengambil peran kepemimpinan global yang diperlukan di abad yang lebih multilateral dan kompleks. Meskipun demikian, potensi jangka panjang Asia—yang didukung oleh kelas menengah yang besar, tenaga kerja muda yang dinamis, dan investasi yang berlanjut di bidang inovasi—tetap menjanjikan ketahanan. Namun, untuk mewujudkan potensi ini, kawasan harus melampaui kepentingan nasional sempit menuju keseimbangan hubungan kekuasaan yang rumit.
Kesimpulan
Kebangkitan nasionalisme kontemporer, yang berakar pada dinamika politik domestik, merupakan ancaman eksistensial bagi proyek integrasi regional di seluruh dunia, meskipun manifestasi dan mekanisme kerusakannya bervariasi. Nasionalisme ini mewujud melalui empat jalur konflik utama: penarikan kedaulatan (seperti Brexit di UE), kelumpuhan institusional (seperti NIP di ASEAN), proteksionisme strategis (seperti CBAM di UE), dan eskalasi identitas (seperti sengketa Preah Vihear di ASEAN). Secara fundamental, semua manifestasi ini merusak prasyarat inti integrasi regional: pergeseran loyalitas politik dan pembentukan konsensus kolektif yang berkelanjutan.
Kegagalan untuk mengelola ketegangan antara kedaulatan domestik dan kebutuhan kolektif regional menyebabkan dua akibat serius: pertama, instabilitas internal yang dilindungi oleh kedaulatan akan menghasilkan spillover keamanan non-tradisional yang merusak seluruh kawasan ; dan kedua, fragmentasi internal melemahkan posisi kawasan untuk menghadapi tantangan eksternal (geopolitik dan ekonomi) dan menghambat tercapainya peran kepemimpinan global.
Untuk memastikan ketahanan dan relevansi proyek integrasi regional di tengah gelombang nasionalisme global, langkah-langkah kebijakan berikut harus dipertimbangkan:
- Reformasi Prinsip Kedaulatan di ASEAN: Sangat penting untuk mendorong peninjauan ulang Prinsip Non-Intervensi. Mekanisme konsultasi dan pembuatan keputusan antar-pemerintah harus diperkuat dengan klausul pengecualian yang memungkinkan intervensi lunak (constructive engagement) atau peer review yang kredibel dalam kasus-kasus pelanggaran HAM dan krisis domestik yang memiliki dampak spillover keamanan dan kemanusiaan yang signifikan bagi kawasan.
 - Membangun Robustness Ekonomi Regional: Negara-negara regional harus memperkuat koordinasi dan solidaritas untuk menghadapi kebijakan dagang sepihak global. Selain itu, diperlukan komitmen yang lebih besar untuk memastikan bahwa kebijakan domestik (termasuk kebijakan industri nasional dan green protectionism seperti yang terlihat di UE) tidak menjadi penghalang perdagangan regional, serta meningkatkan transparansi di bidang politik, hukum, dan ekonomi untuk mengurangi friksi.
 - Penguatan Mekanisme Penyelesaian Konflik Kedaulatan dan Identitas: Mengingat bahwa sengketa perbatasan dan identitas dapat dengan cepat meningkat menjadi konflik militer (seperti kasus Thailand-Kamboja) , organisasi regional harus mengembangkan mekanisme yang efektif dan responsif di luar forum diplomatik biasa, guna mencegah eksploitasi nasionalisme identitas oleh aktor domestik.
 - Mendorong Integrasi Multi-track dengan Kepatuhan Institusional: Meskipun arsitektur yang fleksibel dengan beragam jalur dan kecepatan (multi-speed) diperlukan untuk mengakomodasi kepentingan yang luas , fleksibilitas ini harus diimbangi dengan standar minimum kepatuhan institusional dan supremasi hukum yang jelas untuk mencegah fragmentasi total. Kegagalan dalam menegakkan standar ini akan selalu memberikan amunisi bagi agenda nasionalis domestik untuk merusak kohesi regional.
 
