Latar Belakang: Kebangkitan Tembok sebagai Kanvas Politik Abad ke-21
Seni jalanan, khususnya mural, telah mengalami transformasi signifikan, bergerak melampaui stigma subkultur vandalisme menjadi mekanisme politik dan sosial yang diakui secara global. Dalam konteks konflik dan gerakan sosial, tembok yang dulunya hanya berfungsi sebagai pemisah atau batas, kini bertindak sebagai kanvas publik yang memungkinkan ekspresi komunikasi yang efektif dalam menyampaikan pesan, kritik, dan harapan kepada pihak yang memiliki kekuasaan atau keistimewaan tertentu.
Laporan ini berfokus pada dimensi aktivisme transnasional: bagaimana seniman internasional (seperti Banksy atau Hijack) berinteraksi dengan isu-isu lokal di berbagai zona konflik, seperti Palestina, Ukraina, dan Amerika Latin. Intervensi lintas batas ini memiliki peran krusial dalam mengubah konflik domestik yang mungkin terisolasi oleh media arus utama menjadi narasi kemanusiaan dan politik global, sekaligus memicu diskusi mendalam mengenai solidaritas, etika, dan komodifikasi perlawanan.
Definisi Kritis: Mural, Seni Jalanan, dan Resistensi Simbolik (Weapons of the Weak)
Dalam kajian komunikasi publik, mural didefinisikan secara spesifik, berbeda dari grafiti, berdasarkan tujuan ekspresi dan komunikasinya. Mural bertujuan menjadi media yang efektif untuk menyampaikan kritik sosial dan aspirasi masyarakat.
Secara sosiologis, peran mural dapat dianalisis melalui konsep resistensi simbolik. James C. Scott (1985) menjelaskan bahwa perlawanan dalam konteks sosial tidak selalu muncul dalam bentuk konfrontatif terbuka seperti demonstrasi, tetapi juga mencakup bentuk perlawanan tersembunyi atau simbolis bagi kelompok yang kekurangan kekuatan struktural. Mural, sebagai manifestasi visual dari Weapons of the Weak, menjadi mekanisme non-konfrontatif yang sangat efektif untuk mengungkapkan ketidakpuasan dan menentang dominasi yang ada. Tembok menjadi media yang memungkinkan pesan mencapai khalayak umum tanpa melalui kanal resmi yang dikontrol oleh elit.
Fungsi Komunikasi Politik: Mural sebagai Counter-Hegemonic Narrative
Mural memiliki fungsi ganda dalam komunikasi politik. Pertama, ia adalah media yang menantang narasi dominan (counter-hegemonic), memberikan suara kepada kelompok yang terpinggirkan dan menentang otoritas. Kedua, seni jalanan berfungsi sebagai visual agitator, mengubah retorika dan opini secara langsung kepada orang-orang.
Penting untuk dipahami bahwa keterbatasan struktural dalam mengakses media arus utama dan parlemen secara kausal mendorong kelompok minoritas memanfaatkan ruang publik yang tak terkontrol. Media fisik, terbuka, dan seringkali ilegal ini menjadi strategi taktis untuk mem-bypass kontrol elit, memungkinkan penyebaran pesan politik dengan serta-merta. Mural bertindak sebagai megafon dan dokumen sejarah, arsip, dan medan pertempuran untuk narasi kekuasaan dan perlawanan yang bersaing.
Fungsi Komunikasi Mural dalam Ruang Publik
| Dimensi Fungsional | Deskripsi dan Karakteristik | 
| Counter-Hegemonic | Menantang narasi dominan dan memberikan suara kepada kelompok terpinggirkan. | 
| Visual Agitator | Mampu secara cepat memengaruhi opini publik dan menciptakan kesinambungan antara seni dan protes. | 
| Historical Document | Mengarsipkan trauma kolektif, ingatan, dan momen penting yang diabaikan media arus utama. | 
| Symbolic Resistance | Bentuk perlawanan yang tersembunyi atau simbolik terhadap dominasi kekuasaan struktural. | 
Paradoks dan Risiko: Legalitas, Etika, dan Penghapusan
Mural resistensi beroperasi dalam paradoks etis dan legalitas. Seringkali, penempatan mural di ruang publik bertentangan dengan perizinan yang ada, sehingga memposisikannya sebagai tindakan ilegal.
Risiko yang dihadapi seniman mural politik sangat nyata. Di banyak yurisdiksi, kritik visual ini dapat memicu penghapusan karya, dan seniman menghadapi ancaman kriminalisasi. Misalnya, di Indonesia, kritikus sering diancam dengan kriminalisasi jika karya mereka dianggap menghina pejabat atau presiden. Berdasarkan Pasal 207 KUHP, meskipun harus didasarkan pada pengaduan dari pejabat yang dihina, ancaman denda (hingga Rp4,5 juta) dan proses hukum menciptakan efek gentar yang kuat.
Fenomena ancaman kriminalisasi dan penghapusan ini menunjukkan bahwa tindakan tersebut bukan sekadar tentang menjaga keindahan atau ketertiban kota, tetapi merupakan mekanisme pengendalian wacana yang disengaja. Dengan mengkategorikan ekspresi kritis sebagai “penghinaan” atau “vandalisme,” negara berupaya membungkam kemerdekaan berekspresi. Di Yogyakarta, analisis menunjukkan bahwa mural memiliki potensi positif, namun jika tidak ada batas dan dukungan konkret dari pemerintah melalui regulasi yang jelas, mural berisiko menjadi masalah baru dan bukan solusi komunikasi. Dengan demikian, penghapusan dan kriminalisasi adalah strategi politik untuk mencegah seni jalanan menjadi media pembelajaran politik yang efektif.
Studi Kasus Komparatif Lintas Negara: Ikonografi Perang dan Kemanusiaan
Fokus 1: Palestina dan Tembok Pemisah (Segregation Wall)
Tembok Pemisah Israel di Tepi Barat berfungsi sebagai kanvas politik yang paling ikonik untuk seni resistensi global. Mural yang dilukis di tembok ini bukan hanya dekorasi, melainkan manifestasi dokumenter dari perjuangan rakyat Palestina dan seruan kemanusiaan yang berupaya menarik perhatian internasional terhadap ketidakadilan. Beberapa karya bahkan merujuk pada ajaran agama untuk mendesak perubahan dan mengutuk kejahatan.
Peran Banksy dan Visibilitas Global
Kedatangan seniman anonim Inggris, Banksy, pada tahun 2005 di Tepi Barat dan karya-karya subversifnya di Tembok Pemisah secara efektif mengubah diskursus konflik. Karyanya berhasil menarik perhatian media global dan secara signifikan meningkatkan kesadaran internasional tentang situasi kemanusiaan dan politik di Palestina. Selain Banksy, seniman lain menggunakan mural untuk menciptakan solidaritas dokumenter, seperti serial mural di London yang dibuat untuk menghormati jurnalis di Gaza, memvalidasi narasi lokal yang rentan diabaikan oleh media arus utama.
Kontradiksi: Neo-Kolonialisme Seni dan Komersialisasi
Meskipun Banksy berhasil meningkatkan visibilitas global, kesuksesan transnasional karyanya menciptakan dilema etis dan konflik ekonomi di tingkat lokal. Nilai pasar yang luar biasa tinggi dari karya Banksy (ratusan ribu dolar) telah memicu komersialisasi agresif. Para dealer seni memanfaatkan situasi tersebut, memotong dan menjual karya-karya dari tembok dan bangunan yang dilanda perang.
Dampak dari dinamika pasar global ini terasa pahit di komunitas lokal. Seorang sopir taksi di Bethlehem, Walid Zawarah, mengungkapkan keinginannya agar Banksy tidak kembali, sebab seni tersebut, alih-alih memberikan manfaat, malah menimbulkan konflik finansial lokal. Ada kasus keluarga Palestina yang menjual pintu mereka—yang telah dilukis Banksy—hanya seharga 170 dolar, tidak menyadari bahwa nilai jual kembali karya tersebut bisa lebih dari 100 kali lipat. Peristiwa ini mencerminkan bentuk eksploitasi di mana kapital global mengambil keuntungan dari seni yang lahir dari penderitaan dan resistensi lokal, mengganggu nilai intrinsik perlawanan dan menimbulkan kerugian bagi subjek yang diangkat.
Tantangan Represif
Seniman transnasional yang berupaya mendukung perjuangan Palestina juga menghadapi represi langsung. Contohnya adalah pengusiran dua seniman Italia yang melukis mural yang menghormati Ahed Tamimi, seorang ikon perlawanan Palestina. Insiden ini menunjukkan upaya eksplisit oleh otoritas untuk menekan ekspresi solidaritas transnasional di wilayah tersebut.
Fokus 2: Ukraina dan Narasi Perlawanan Pasca-Invasi
Setelah invasi militer Rusia pada Februari 2022, mural dengan cepat menjadi alat pertahanan budaya dan dokumen sejarah di tengah kehancuran. Seniman jalanan, baik lokal maupun internasional, menggunakan kuas dan cat semprot sebagai ‘senjata’ non-militer untuk menentang perang dan membangkitkan semangat juang.
Ikonografi Ketahanan dan Trauma Anak
Ikonografi perang di Ukraina sering kali berfokus pada dampak konflik terhadap yang paling rentan. Karya seperti War Child oleh seniman Hijack, yang merupakan cetakan edisi terbatas yang juga didistribusikan sebagai protes, menampilkan seorang gadis muda menggambar simbol perdamaian di atas tembok yang dipenuhi lubang bekas tembakan sambil menggenggam boneka beruang. Penggunaan latar belakang kuning cerah yang kontras dengan citra gelap ini menekankan kepolosan dan kerentanan anak-anak di tengah kehancuran, menciptakan seruan sadar yang kuat secara emosional.
Seniman lokal seperti Gamlet Zinkivskiy di Kharkiv menggunakan mural, seperti karya Keramahan dari Neraka (menampilkan molotov cocktail), untuk membangkitkan semangat juang, mengingatkan warga sipil bahwa mereka menyambut tentara Rusia bukan dengan bunga, melainkan dengan perlawanan. Zinkivskiy menegaskan bahwa alasan utama di balik lukisannya adalah untuk memberikan “sesuatu yang baru kepada orang untuk dipikirkan,” menunjukkan bahwa dalam konteks tertentu, seni dianggap “jauh lebih bermanfaat” daripada kemampuan menembak.
Solidaritas Transnasional
Perlawanan Ukraina memicu gelombang solidaritas transnasional. Seniman jalanan di Amerika Serikat (misalnya, Todd Goodman dan Corie Mattie di California dan Los Angeles) menggunakan dinding sebagai kanvas anti-perang sebagai bentuk solidaritas dengan pengungsi Ukraina. Di Eropa, solidaritas diekspresikan secara terbuka, seperti mural di Vilnius yang diizinkan oleh walikota, menempatkan pesan yang secara langsung menargetkan Presiden Rusia di seberang Kedutaan Besar Rusia.
Re-institusionalisasi Seni sebagai Aset Strategis Negara
Kasus Banksy di Ukraina mengungkap perubahan status seni resistensi. Banksy menciptakan beberapa mural di lokasi yang paling parah dilanda invasi (Hostomel, Horenka, Borodyanka). Upaya sekelompok orang untuk mencuri mural Banksy di Hostomel digagalkan oleh polisi. Gubernur Wilayah Kyiv, Oleksiy Kuleba, menyatakan bahwa gambar-gambar tersebut adalah “simbol perjuangan kita melawan musuh” dan “cerita tentang dukungan dan solidaritas seluruh dunia yang beradab dengan Ukraina,” berjanji untuk melestarikan karya seni jalanan ini sebagai simbol kemenangan.
Peristiwa ini menunjukkan pergeseran naratif yang signifikan: ketika ikonografi perlawanan mendapatkan validasi global (melalui seniman terkenal seperti Banksy), negara yang menjadi korban konflik melindungi dan melembagakan karya tersebut sebagai aset propaganda dan diplomasi budaya yang vital. Seni mural diangkat dari perlawanan bawah tanah menjadi ikon simbolik ketahanan nasional dan solidaritas global.
Fokus 3: Amerika Latin: Keadilan Sosial dan Memori Kolektif (Chile dan Meksiko)
Amerika Latin menyediakan contoh-contoh mural resistensi yang berakar kuat dalam keadilan sosial, memori kolektif, dan respons terhadap kekerasan struktural.
Chile: Memori Melawan Kediktatoran (1973–1990)
Selama kediktatoran Jenderal Augusto Pinochet, ratusan mural protes diciptakan di sekitar Santiago. Brigade muralis yang mewakili partai politik, seperti Partido Socialista, bekerja untuk mendokumentasikan semangat, kekuatan, dan ikonografi protes selama periode penting sejarah Chili.
Ikonografi utama berfokus pada memori kolektif dan pahlawan yang dikorbankan: Moneda Palace yang terbakar, citra Presiden Salvador Allende yang digulingkan, musisi martir Víctor Jara, dan penyair Pablo Neruda. Karya-karya ini menjadi alat memori yang krusial untuk menjaga ingatan publik tetap hidup. Sayangnya, sebagian besar mural ini segera dihancurkan oleh otoritas pemerintah setelah pembuatannya, menegaskan bahwa perlawanan visual adalah sasaran pertama represi. Dokumentasi digital, seperti yang dilakukan oleh Harvard Library (proyek Arsip Mural Protes Chili), menjadi penting untuk melawan penghapusan fisik ini.
Meksiko: Femisida dan Keadilan Gender
Di Meksiko, seni jalanan berfokus pada bentuk kekerasan struktural yang berbeda, yaitu fenomena femisida (pembunuhan perempuan) dan kekerasan gender yang seringkali diwarnai impunitas. Mural menjadi alat penting dalam gerakan feminis yang menuntut akuntabilitas hukum dan kepatuhan terhadap hukum hak asasi manusia internasional.
Muralis Meksiko seperti Adry del Rocío, yang karyanya diresmikan sebagai bagian dari Forum Kesetaraan Generasi pada tahun 2021, menggunakan tembok untuk mengakui keragaman gerakan feminis dan menyerukan tindakan di masa depan menuju kesetaraan gender.
Adaptasi Fokus: Dari Konflik Vertikal ke Horizontal
Perbedaan fokus antara Chili dan Meksiko menunjukkan adaptasi tema resistensi mural di Amerika Latin. Mural Chili fokus pada konflik vertikal (perlawanan terhadap negara diktator), sementara seni jalanan Meksiko berfokus pada kekerasan struktural dan horizontal (femicide, impunitas). Mural di Meksiko berfungsi sebagai litigasi strategis visual yang menekan sistem peradilan pidana untuk meningkatkan akuntabilitas dan kepatuhan terhadap hak asasi manusia.
Analisis Komparatif Transnasional dan Simbolisme
Simbolisme Universal dalam Zona Konflik
Meskipun konteks politik dan geografisnya sangat berbeda, seni jalanan di zona konflik global sering kali menggunakan ikonografi yang memiliki resonansi universal. Simbol-simbol ini termasuk gambar anak kecil yang melempar bunga ke arah tank, simbol perdamaian, atau penggambaran wajah-wajah pejuang dan korban yang menyatu. Contoh spesifik termasuk penggunaan citra anak kecil dengan boneka beruang di Ukraina, menekankan kepolosan dan kerentanan di tengah kekerasan.
Penggunaan simbol universal ini memiliki tujuan taktis yang jelas: memastikan bahwa pesan resistensi memiliki resonansi emosional yang tinggi di kalangan audiens internasional. Audiens global mungkin tidak memahami seluk-beluk konflik lokal (misalnya, sejarah Pinochet di Chile atau isu air di Palestina), tetapi mereka dapat merespons secara mendalam citra penderitaan dan harapan yang universal. Kemampuan mural untuk menyentuh emosi dan menyebarkan pesan solidaritas lebih luas ini memfasilitasi solidaritas transnasional yang efektif.
Perbandingan Fungsi Mural Resistensi Lintas Negara
Tabel berikut menyajikan perbandingan fungsi strategis mural resistensi di tiga wilayah konflik utama, menyoroti tantangan dan tujuan yang berbeda dari setiap gerakan seni:
Perbandingan Fungsi Mural Resistensi Lintas Negara
| Wilayah Konflik | Fokus Isu Utama | Ikonografi Kunci (Contoh) | Tantangan/Paradoks Dominan | Fungsi Utama | 
| Palestina | Pendudukan, Ketidakadilan, Kemanusiaan | Gadis melempar bunga, Banksy, Jurnalis | Komersialisasi Global, Eksploitasi Nilai Seni | Menarik Visibilitas Global dan Mendokumentasikan Ketidakadilan | 
| Ukraina | Invasi Militer, Ketahanan Nasional, Trauma Anak | War Child, Simbol Molotov, Ikon Banksy | Penghancuran Fisik, Re-institusionalisasi sebagai Aset Strategis Negara | Moralitas Publik dan Solidaritas Transnasional | 
| Amerika Latin (Chile & Meksiko) | Memori Kolektif, Keadilan Sosial, Femisida | Allende, Víctor Jara, Ikonografi Feminisme | Represi Cepat (Penghancuran oleh Pemerintah), Impunitas Hukum [22, 24] | Memelihara Memori Kolektif dan Menuntut Akuntabilitas Hukum | 
Mekanisme Transnasionalisme: Solidaritas dan Jangkauan Global
Seni jalanan menjadi alat proaktif untuk perubahan, secara instan menyuarakan pemikiran dan mengubah opini. Solidaritas transnasional terjadi ketika seniman (lokal dan internasional) menggunakan platform visual publik, yang kemudian diperkuat oleh media digital. Misalnya, seni cetak edisi terbatas untuk memprotes perang Ukraina yang dibuat oleh SSUR dan Hijack, menciptakan kesinambungan antara aktivisme berbasis jalanan dan kesadaran publik yang lebih luas.
Seniman dalam konteks ini tidak hanya mencerminkan aktivisme, tetapi secara aktif membentuk kesadaran publik. Mereka berfungsi sebagai “agitator, sekutu, dan pendidik,” yang secara sengaja mengaburkan batas antara pencipta dan pengunjuk rasa. Kemampuan mural untuk menyampaikan isu-isu kompleks, seperti konflik Israel-Palestina, dapat diterima dengan antusias dan memiliki dampak signifikan terhadap opini publik bahkan di lokasi yang jauh (misalnya, masyarakat Jakarta Selatan merespons positif mural dengan pesan politik global). Hal ini menunjukkan bahwa mural efektif sebagai media pembelajaran politik yang melampaui batas-batas geografis.
Kesimpulan
Mural resistensi telah mengukuhkan posisinya sebagai bentuk perlawanan yang tidak bersenjata (unarmed resistance), yang secara efektif berfungsi sebagai “megafon” dan “dokumen sejarah”. Karya-karya ini berakar pada trauma dan ingatan kolektif, merekam momen-momen penting yang seringkali tidak diakui oleh media arus utama. Analisis komparatif menunjukkan bahwa mural adalah media yang sangat adaptif, mampu menargetkan konflik vertikal (kediktatoran di Chile) maupun kekerasan struktural horizontal (femisida di Meksiko).
Dampak positif dari mural sebagai media pembelajaran politik dan pemacu gerakan sosial perlu dioptimalkan. Namun, keberadaan mural di ruang publik harus disikapi dengan perhatian terhadap potensi dampak negatif, seperti vandalisme, kriminalisasi, dan, yang paling mendasar, eksploitasi nilai seni oleh pasar global.
Seniman jalanan yang terlibat dalam aktivisme di seluruh dunia menghadapi tantangan ganda:
- Risiko Fisik dan Legalitas: Seniman di zona konflik seperti Gamlet Zinkivskiy di Kharkiv menghadapi risiko fisik saat melukis di tengah peperangan. Sementara itu, seniman di bawah rezim otoriter atau negara yang mengontrol ruang publik menghadapi ancaman legal, penghapusan paksa, dan kriminalisasi yang bertujuan membungkam kebebasan berekspresi.
 - Komodifikasi Perlawanan: Tantangan etis terbesar muncul dari komersialisasi seni. Kasus Banksy di Palestina menunjukkan bagaimana perlawanan, yang seharusnya bernilai intrinsik dan politis, dieksploitasi oleh pasar seni global. Kapital global mengekstraksi keuntungan dari penderitaan lokal, mengubah karya resistensi menjadi aset finansial yang menciptakan konflik dan kesenjangan di tengah komunitas yang seharusnya dibantu. Konflik komodifikasi ini mengancam otentisitas pesan perlawanan itu sendiri.
 
Untuk memastikan bahwa seni sebagai resistensi dapat terus berfungsi secara efektif dan etis, diperlukan upaya terkoordinasi antara kebijakan publik, lembaga budaya, dan organisasi non-pemerintah:
- Regulasi dan Dukungan Pemerintah: Pemerintah kota harus menyediakan regulasi yang jelas dan dukungan konkrit untuk pengelolaan ruang publik. Hal ini penting untuk memposisikan mural yang bertujuan kritik sosial sebagai solusi komunikasi yang sehat, dan bukan sebagai sumber permasalahan baru bagi kota. Ruang ekspresi kritis harus dilindungi.
 - Dokumentasi dan Arsip Digital: Mengingat bahwa mural rentan terhadap penghapusan fisik oleh otoritas (seperti yang terjadi secara cepat pada mural protes Chili), dokumentasi digital yang sistematis sangat penting. Proyek-proyek pengarsipan, seperti arsip Mural Protes Chili milik Harvard, harus didukung untuk melawan upaya represi visual dan memastikan memori kolektif tetap terjaga bagi generasi mendatang.
 - Memperkuat Nilai Intrinsik dan Perlindungan Komunitas Lokal: Organisasi non-pemerintah, khususnya yang berfokus pada hak asasi manusia dan keadilan sosial, harus bekerja sama dengan seniman lokal di zona konflik. Kerangka hukum dan etika harus dikembangkan untuk melindungi hak moral atas karya seni perlawanan dan menetapkan mekanisme yang memastikan bahwa setiap manfaat ekonomi yang dihasilkan dari karya-karya terkenal di dunia kembali ke komunitas lokal yang menjadi subjek perlawanan tersebut. Langkah ini krusial untuk mencegah eksploitasi lebih lanjut oleh pasar seni global dan menjaga integritas gerakan resistensi visual.
 
