Transfer Teknologi (TT) Utara-Selatan didefinisikan sebagai penyaluran inovasi, paten, dan pengetahuan teknis dari negara-negara maju (sering diidentifikasi sebagai anggota Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan atau OECD, “Utara”) ke negara-negara berkembang (“Selatan”). Tujuan utama dari proses ini adalah untuk mendorong industrialisasi, meningkatkan produktivitas, dan pada akhirnya, mengurangi kesenjangan pembangunan ekonomi global.

Secara historis, model Transfer Teknologi yang dominan berakar pada paradigma difusi inovasi yang linier. Dalam pandangan ini, teknologi diasumsikan mengalir secara satu arah (unidirectional) dari pencipta di Utara ke pengguna di Selatan. Model linier menekankan pada diseminasi informasi dan inovasi, seringkali hanya berfokus pada penyediaan infrastruktur. Namun, model ini gagal menangkap kompleksitas penerimaan teknologi. Kontras dengan pendekatan linier yang pasif, model kontemporer seperti model interaktif (Interactive Model) dan partisipatif (Participatory Model) mengakui bahwa komunikasi dan transfer merupakan proses dua arah yang memerlukan umpan balik dan adaptasi lokal yang berkelanjutan.

Meskipun kajian literatur pembangunan telah mengadvokasi model partisipatif sebagai strategi utama untuk pemberdayaan, kecenderungan model linier masih mendominasi praktik di lapangan, terutama dalam penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk pembangunan. Keterlambatan paradigma ini sangat signifikan karena implikasinya: ketika kebijakan Transfer Teknologi terlalu fokus pada impor teknologi (kuantitas) alih-alih pada adaptasi dan pemberdayaan lokal (kualitas dan relevansi), Kapasitas Absorptif (ACAP) domestik cenderung rendah. Kekurangan ini secara langsung menyebabkan kegagalan adaptasi, karena inovasi tidak dapat diintegrasikan secara efektif ke dalam sistem ekonomi dan sosial yang ada.

Tinjauan Historis: New International Economic Order (NIEO) dan Tuntutan Keadilan Struktural

Tuntutan untuk mekanisme Transfer Teknologi yang lebih adil memiliki akar yang dalam dalam sejarah ketidaksetaraan struktural global. Tatanan ekonomi internasional yang berlaku saat ini sebagian besar didirikan pada masa ketika sebagian besar negara berkembang belum menjadi negara merdeka, sehingga melanggengkan ketidaksetaraan.

Pada tahun 1974, Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi tentang Pembentukan Tatanan Ekonomi Internasional Baru (New International Economic Order, NIEO). NIEO didorong oleh semangat “trade not aid” dan menyerukan perubahan mendasar dalam perdagangan, industrialisasi, pertanian, keuangan, dan transfer teknologi. NIEO secara eksplisit mengadvokasi transfer teknologi yang lebih terstruktur dan adil sebagai sarana untuk mencapai pembangunan.

Meskipun sempat dianggap sebagai utopia mati sejak pertengahan 1970-an, visi NIEO telah mengalami kebangkitan di abad ke-21. Kebangkitan ini dipicu oleh ketidakpuasan berkelanjutan terhadap ketidakadilan dalam sistem perdagangan global dan Transfer Teknologi. Contoh nyata adalah kasus Indonesia yang berupaya menghidupkan kembali visi NIEO untuk menegaskan kembali hak kedaulatan atas sumber daya alamnya (seperti nikel) sebagai respons terhadap tuduhan diskriminasi perdagangan oleh Uni Eropa. Kebangkitan NIEO menunjukkan bahwa Transfer Teknologi bukan hanya isu teknis, melainkan isu geopolitik dan kedaulatan. Jika negara-negara Utara menahan teknologi kritis (misalnya, untuk pengolahan mineral) atau jika perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terlalu restriktif, negara-negara Selatan terdorong untuk kembali ke platform NIEO. Ini menyiratkan bahwa akses teknologi yang adil adalah instrumen negosiasi utama dalam konteks perang dagang dan transisi energi global.

Kerangka Kebijakan Dan Hki Dalam Transfer Teknologi

Perjanjian TRIPS WTO sebagai Standar Global HKI

Perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) di bawah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) merupakan instrumen penting yang menetapkan standar internasional untuk perlindungan HKI, termasuk paten, yang mencakup setiap penemuan baru dan yang mampu diterapkan dalam industri. Perjanjian ini mewajibkan anggota WTO untuk memberikan perlindungan paten obat minimal selama 20 tahun. Negara maju wajib mengimplementasikan TRIPS sejak 1996, sementara negara berkembang diberikan waktu hingga 2006, yang kemudian diperpanjang hingga 2016.

Tujuan perlindungan HKI, sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 TRIPS, adalah untuk berkontribusi pada promosi inovasi teknologi dan transfer serta diseminasi teknologi, demi keuntungan bersama produsen dan pengguna, serta kondusif bagi kesejahteraan sosial dan ekonomi. Meskipun tujuan resminya adalah menyeimbangkan kepentingan ini, analisis menunjukkan bahwa penerima manfaat utama dari perlindungan HKI yang ketat adalah perusahaan transnasional (MNCs).

Hal ini menimbulkan ketegangan inheren (dilema struktural) dalam Pasal 7 TRIPS. Perlindungan paten yang kuat, yang berfungsi sebagai insentif inovasi bagi MNCs, sering berkonflik langsung dengan tujuan diseminasi teknologi yang luas dan terjangkau di negara berkembang. Konflik ini termanifestasi dalam sengketa hukum nyata, seperti sengketa antara Amerika Serikat dan Brazil, atau antara perusahaan farmasi multinasional dan Afrika Selatan, mengenai upaya untuk menyisipkan TRIPS Safeguards ke dalam hukum nasional. Ini menunjukkan bahwa standar HKI internasional cenderung memprioritaskan hak eksklusif (monopoli paten) di atas kepentingan umum.

Fleksibilitas TRIPS: Lisensi Wajib dan Akses Publik

Untuk menjembatani kondisi ambiguitas dan menyeimbangkan kepentingan pemegang paten dengan kepentingan umum (seperti hak atas kesehatan), TRIPS menyediakan fleksibilitas tertentu. Fleksibilitas ini ditekankan dalam Deklarasi Doha (Declaration on the TRIPS Agreement and Public Health) dan dimuat dalam Pasal 31 dan 31bis Perjanjian TRIPS.

Mekanisme utama untuk menyeimbangkan ini adalah Lisensi Wajib (Compulsory Licensing) dan Penggunaan Paten oleh Pemerintah. Instrumen ini menawarkan solusi global yang adil untuk memastikan ketersediaan dan keterjangkauan akses obat-obatan, vaksin, dan teknologi kesehatan lainnya—seperti ventilator yang dibutuhkan selama pandemi COVID-19. Negara dapat memanfaatkan ketentuan ini untuk memproduksi atau mengimpor barang yang dipatenkan tanpa izin pemegang paten dalam keadaan darurat atau ketika kebutuhan publik mendesak.

Pandemi COVID-19 menjadi pelajaran berharga yang memperjelas bahwa pembenaran filosofis HKI yang berbasis pada keuntungan ekonomi individu harus tunduk pada pemenuhan kepentingan publik. Kebutuhan untuk mengaktifkan Lisensi Wajib di tengah krisis kesehatan menunjukkan bahwa mekanisme Transfer Teknologi berbasis pasar (melalui lisensi sukarela atau FDI) telah gagal dalam menyediakan barang publik yang esensial. Keberadaan dan pentingnya Lisensi Wajib menyiratkan bahwa HKI yang ketat menciptakan hambatan artifisial terhadap difusi teknologi yang vital. Meskipun mekanisme ini adalah solusi hukum yang adil, proses penggunaannya seringkali lambat dan rentan terhadap tekanan politik dari negara-negara Utara.

Mekanisme Utama Transfer Teknologi Ekonomi

Foreign Direct Investment (FDI) sebagai Kanal Utama Transfer

Investasi Langsung Asing (FDI), terutama melalui anak perusahaan yang dimiliki sepenuhnya atau international joint ventures, adalah salah satu vektor terpenting untuk transfer teknologi dan pengetahuan. FDI membawa serta pengetahuan implisit (know-how), teknologi proses, dan praktik manajemen yang lebih efektif, yang dibuktikan dengan temuan bahwa anak perusahaan multinasional secara umum lebih produktif daripada perusahaan domestik, sehingga menghasilkan pemanfaatan sumber daya yang lebih efektif di negara tuan rumah.

Namun, spillover knowledge atau efek tumpahan pengetahuan dari FDI ke perusahaan domestik tidak terjadi secara otomatis. Studi menunjukkan bahwa efek tumpahan ke perusahaan lokal yang bersaing langsung (horizontal spillover) seringkali sulit ditemukan atau gagal terwujud. Di sisi lain, spillover yang lebih besar dan positif dihasilkan dari FDI di industri yang berdekatan secara teknologi (technologically close industries). Efek ini juga lebih kuat di kota-kota dengan persediaan modal manusia (human capital) yang lebih tinggi dan di perusahaan yang memiliki Kapasitas Absorptif yang lebih baik.

Perlindungan HKI di negara tuan rumah juga memengaruhi strategi FDI. Perusahaan di industri yang sangat bergantung pada hak paten (misalnya farmasi) cenderung enggan berinvestasi langsung dalam aktivitas manufaktur dan R&D di negara-negara yang perlindungan HKI-nya dianggap lemah. Oleh karena itu, kebijakan HKI negara tuan rumah tidak hanya memengaruhi jenis industri yang tertarik, tetapi juga memengaruhi apakah transfer teknologi akan terjadi melalui lisensi, joint ventures, atau FDI penuh.

Kegagalan horizontal spillover yang meluas menunjukkan bahwa MNCs cenderung membatasi transfer pengetahuan kritis kepada pesaing lokal. Hal ini menegaskan bahwa keberhasilan TT melalui FDI bukan hanya fungsi dari volume investasi, tetapi dari kualitas koneksi dan kondisi lingkungan. Kebijakan investasi harus bergeser dari sekadar menarik FDI (kuantitas) menjadi menarik FDI yang strategis (kualitas) di industri yang secara vertikal terintegrasi atau yang berdekatan secara teknologi, karena di situlah spillover terjadi lebih mudah melalui rantai pasokan.

Lisensi Teknologi dan Joint Ventures

Lisensi teknologi dan joint ventures (JV) adalah saluran arm’s length (transaksi pasar yang dinegosiasikan) yang sering dipilih oleh perusahaan asing, terutama ketika kebijakan lokal membuat investasi langsung penuh (FDI) tidak memungkinkan. Perjanjian lisensi dan JV harus didasarkan pada prinsip kesamaan derajat dan saling menguntungkan (mutual advantage), menempatkan para pihak dalam kedudukan hukum yang setara. Perjanjian ini harus mencakup obyek tertentu dan sebab yang halal, tidak bertentangan dengan ketertiban umum atau undang-undang.

Meskipun merupakan mekanisme Transfer Teknologi, literatur masih belum mencapai konsensus mengenai apakah lisensi atau joint ventures menghasilkan pembelajaran yang lebih besar bagi perusahaan lokal dibandingkan dengan FDI penuh. Efektivitasnya sangat bergantung pada negosiasi, syarat perjanjian, dan kemampuan perusahaan lokal untuk mengakuisisi dan mengasimilasi pengetahuan yang ditransfer.

Prasyarat Keberhasilan Dan Tantangan Adaptasi Domestik

Kapasitas Absorptif (Absorptive Capacity, ACAP) sebagai Filter Transfer Teknologi

Kapasitas Absorptif (ACAP) adalah prasyarat keberhasilan yang paling krusial dalam transfer teknologi, didefinisikan sebagai kemampuan suatu negara atau perusahaan untuk mengakuisisi, mengasimilasi, dan memanfaatkan pengetahuan eksternal. ACAP yang kuat bertindak sebagai filter yang memungkinkan entitas lokal mengambil manfaat signifikan dari Transfer Teknologi.

Tanpa Kapasitas Absorptif yang memadai, khususnya dalam hal modal manusia atau investasi dalam penelitian dan pengembangan (R&D), spillover dari FDI atau lisensi akan gagal terwujud. Sebaliknya, peningkatan Kapasitas Absorptif, yang ditunjukkan oleh stok modal manusia yang tinggi, sangat meningkatkan efek spillover dari investasi asing.

ACAP dapat dibagi menjadi tiga komponen inti:

  1. Akuisisi (Acquiring): Kemampuan untuk mengidentifikasi, mendapatkan, dan mengakuisisi pengetahuan yang relevan. Komponen ini terkait dengan kapasitas hubungan (relationship capacity) dan rutinitas pencarian informasi eksternal.
  2. Asimilasi (Assimilating): Kemampuan untuk memahami, memproses, dan menyebarkan pengetahuan di dalam organisasi. Ini memerlukan modal manusia yang kuat, kapasitas belajar, dan pelatihan yang memadai.
  3. Eksploitasi (Exploiting): Kemampuan untuk menerapkan pengetahuan baru menjadi inovasi komersial atau nilai tambah. Ini memerlukan rutinitas dan proses internal, seperti manajemen risiko dan perubahan proses.

Analisis ini menekankan pergeseran fokus dari supply teknologi (Utara) ke demand dan kesiapan (Selatan). Dengan memecah ACAP menjadi tiga fase, terlihat bahwa investasi R&D harus strategis, tidak hanya berfokus pada penciptaan, tetapi juga pada kemampuan asimilasi dan eksploitasi, yang harus terintegrasi dengan struktur kelembagaan untuk menjamin hasil yang optimal.

Table 1: Kerangka Komponen Kapasitas Absorptif (ACAP)

Fase ACAP (Cohen & Levinthal) Deskripsi Fungsional Prasyarat Domestik (Sesuai Data Penelitian) Implikasi Kebijakan
Akuisisi (Acquisition) Identifikasi dan perolehan pengetahuan eksternal yang relevan. Kapasitas Hubungan, Rutinitas Pencarian Informasi. Mendukung kolaborasi Academia-Industri, fasilitasi Technoparks.
Asimilasi (Assimilation) Memahami, memproses, dan menyebarkan pengetahuan. Modal Manusia yang tinggi (Pelatihan SDM), Kemampuan Belajar, Investasi dalam R&D Dasar. Reformasi sistem pendidikan/kejuruan, insentif R&D.
Eksploitasi (Exploitation) Penerapan pengetahuan baru untuk menciptakan inovasi dan nilai komersial. Kapasitas Manajemen Risiko, Inovasi Proses/Organisasi. Insentif adopsi teknologi bagi UMKM untuk meningkatkan daya saing.

Tantangan Teknologi Tidak Tepat (Inappropriate Technology)

Salah satu tantangan terbesar dalam Transfer Teknologi Utara-Selatan adalah masalah teknologi tidak tepat (inappropriate technology). Teknologi yang dikembangkan di negara berpenghasilan tinggi disesuaikan dengan lingkungan yang spesifik—yang seringkali ditandai sebagai padat modal (capital-intensive) dan padat keterampilan (skill-intensive).

Ketika teknologi yang bias ini ditransfer, seringkali teknologi tersebut menjadi “tidak tepat” di negara berkembang karena kondisi lokal yang berbeda, seperti rasio ketersediaan modal dan tenaga kerja, kondisi ekologis (misalnya hama spesifik tanaman dalam pertanian), atau ketersediaan keterampilan.

Dampak dari penerapan teknologi padat modal skala besar dan otomatisasi yang tidak kontekstual di Selatan dapat memperburuk masalah sosial dan ekonomi. Alih-alih menciptakan pekerjaan, teknologi ini dapat meningkatkan pengangguran dan memperlebar jurang ekonomi, di mana manfaat produksi barang dan jasa (seperti mobil atau teknologi digital) hanya tersedia untuk segelintir elit. Selain itu, teknologi yang tidak tepat ini dapat menyebabkan disorientasi sosial, erosi kekuatan budaya tradisional, dan migrasi massal. Transfer Teknologi yang didominasi oleh model linier dan mengabaikan kapasitas absorptif lokal menghasilkan adopsi teknologi yang tidak tepat, yang pada gilirannya memperlambat pembangunan inklusif dan berkelanjutan.

Membangun Ekosistem Inovasi Domestik

Membangun ekosistem inovasi domestik sangat penting untuk memastikan teknologi yang ditransfer dapat diadaptasi dan dikomersialkan secara efektif. Technoparks atau science parks adalah inisiatif strategis yang dikembangkan, seringkali bekerja sama dengan perguruan tinggi/akademi (misalnya IPB Science Techno Park). Technoparks berfungsi sebagai pusat inovasi, menyediakan fasilitas riset, inkubasi bisnis, dan dukungan administratif, yang memfasilitasi transfer teknologi dan peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM).

Di tingkat pelaku usaha, keberhasilan adopsi inovasi tidak hanya ditentukan oleh kesiapan teknologi, tetapi juga oleh dukungan kelembagaan, keterpaduan kebijakan, dan perubahan perilaku, terutama di kalangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pendekatan kolaboratif antara pemerintah daerah, universitas, industri, dan komunitas adalah fondasi utama untuk memastikan inovasi dapat meningkatkan daya saing UMKM sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi nasional.

Model Alternatif Dan Strategi Masa Depan

Inovasi Terbuka (Open Innovation, OI) sebagai Paradigma Berbagi Pengetahuan

Model Inovasi Terbuka (Open Innovation, OI) menawarkan jalur yang lebih adaptif dan kolaboratif untuk Transfer Teknologi dibandingkan model eksklusif HKI tradisional. Esensi dari OI terletak pada berbagi pengetahuan (knowledge sharing) dengan pihak-pihak di luar organisasi, kolaborasi dalam R&D, dan penciptaan nilai bersama (Value Co-Creation).

OI memerlukan Kapasitas Absorptif internal yang kuat dan kapabilitas dinamis, seperti manajemen inovasi dan kerjasama R&D. OI memungkinkan para ilmuwan di seluruh dunia untuk berbagi dan memanfaatkan data dan informasi yang bebas, mempercepat pengembangan (misalnya obat-obatan dan vaksin) yang sangat bermanfaat bagi kepentingan masyarakat.

Model OI secara mendasar menantang model ekonomi HKI tertutup yang menjadi basis TRIPS. Apabila HKI yang ketat membatasi akses informasi penting, OI dapat menjadi model insentif alternatif yang menjembatani kebutuhan investasi R&D yang mahal (yang membutuhkan perlindungan HKI) dan kepentingan masyarakat global (yang membutuhkan akses cepat dan murah). Transisi ke OI memerlukan reformasi kelembagaan yang mengakui nilai berbagi pengetahuan sebagai motor pertumbuhan, bukan sekadar komoditas eksklusif yang dipagari.

Kerjasama Selatan-Selatan (SSC) sebagai Jalur Transfer Horizontal

Kerjasama Selatan-Selatan (South-South Cooperation, SSC) adalah kerangka kerja sama teknik yang melibatkan negara-negara berkembang, yang berfokus pada peningkatan kapasitas dan berbagi pengalaman pembangunan yang relevan secara kontekstual.

SSC menawarkan keunggulan adaptasi yang signifikan. Transfer teknologi melalui SSC cenderung lebih mudah disesuaikan dengan kondisi iklim, sumber daya, dan sosial-ekonomi yang serupa, sehingga secara alami mengatasi masalah inappropriate technology yang sering menghambat Transfer Teknologi Utara-Selatan. Teknologi yang berasal dari negara Selatan lain seringkali memiliki intensitas modal dan keterampilan yang lebih sesuai dengan kebutuhan lokal.

Bagi negara-negara seperti Indonesia, SSC juga merupakan bagian dari kebijakan luar negeri untuk memperkuat diplomasi internasional dan memperjuangkan kepentingan nasional melalui program peningkatan kapasitas. SSC tidak dimaksudkan untuk menggantikan Transfer Teknologi Utara-Selatan, tetapi untuk melengkapinya dan menyediakan knowledge base yang lebih stabil dan sesuai konteks. Keberhasilan program SSC bergantung pada koordinasi yang efektif antara instansi teknis, universitas, dan LSM di negara pengirim dan penerima.

Kesimpulan Dan Rekomendasi Kebijakan Mendalam

Transfer teknologi Utara-Selatan adalah alat bermata dua. Transfer Teknologi menawarkan potensi besar untuk transformasi struktural dan peningkatan produktivitas, sebagaimana dibuktikan oleh kinerja anak perusahaan multinasional. Namun, efektivitasnya sangat kondisional dan sering kali tidak menghasilkan pembangunan inklusif yang luas.

Rezim Hak Kekayaan Intelektual (HKI) global, khususnya TRIPS, meskipun secara eksplisit bertujuan untuk mempromosikan Transfer Teknologi, pada praktiknya cenderung menguntungkan pemegang paten dan menciptakan hambatan signifikan terhadap diseminasi teknologi yang cepat dan murah, terutama untuk barang publik yang vital.

Tantangan terbesar bagi negara berkembang terletak pada hambatan adaptasi internal. Kehadiran FDI dan teknologi yang diimpor gagal menghasilkan spillover yang luas tanpa adanya investasi serius dalam Kapasitas Absorptif (ACAP). Kegagalan internal ini diperparah oleh adopsi teknologi yang tidak tepat (inappropriate technology), yang bias padat modal dan memperburuk kesenjangan sosial ekonomi. Mengubah TT dari proses pasif menjadi motor pembangunan yang dinamis memerlukan intervensi kebijakan yang terfokus pada HKI, ACAP, dan transfer horizontal.

Rekomendasi 1: Reformasi HKI untuk Pembangunan Inklusif (TRIPS Alignment)

Negara berkembang harus mengambil pendekatan yang lebih asertif terhadap kerangka HKI global. Pertama, harus ada langkah proaktif untuk mengintegrasikan dan memanfaatkan sepenuhnya fleksibilitas yang ditawarkan oleh TRIPS, terutama ketentuan Lisensi Wajib dan Penggunaan Pemerintah (Pasal 31 dan 31bis), guna melindungi kepentingan publik, terutama di sektor-sektor strategis seperti kesehatan dan pangan. Kedua, diperlukan dorongan global untuk mengembangkan dan mengadopsi model insentif inovasi alternatif (misalnya, prize funds atau open innovation models) untuk R&D barang publik, yang dapat menyeimbangkan insentif individu dengan hak kolektif atas akses pengetahuan.

Rekomendasi 2: Memperkuat Kapasitas Absorptif Nasional (ACAP)

Investasi harus diarahkan untuk membangun prasyarat internal keberhasilan Transfer Teknologi. Investasi R&D domestik harus dialokasikan secara strategis, tidak hanya untuk penciptaan teknologi, tetapi secara eksplisit untuk fungsi Asimilasi dan Eksploitasi—yakni, kemampuan untuk memodifikasi dan mengkomersialkan teknologi yang diimpor. Selain itu, pemerintah harus memberikan insentif yang kuat bagi FDI yang berinvestasi di industri yang technologically close  dan memasukkan klausul wajib mengenai pelatihan SDM dan transfer know-how yang terukur dalam setiap perjanjian lisensi atau joint ventures. Technoparks harus diperkuat sebagai pusat ACAP, memastikan mereka berfungsi sebagai jembatan yang efektif antara penelitian akademis dan kebutuhan adopsi teknologi di UMKM.

Rekomendasi 3: Mendorong Model Transfer Horizontal dan Adaptif

Untuk mengatasi masalah teknologi tidak tepat, harus ada prioritas yang jelas terhadap Kerjasama Selatan-Selatan dan Triangular (KSST) sebagai mekanisme untuk berbagi teknologi yang telah teruji dan disesuaikan dengan kondisi sumber daya dan sosio-ekonomi yang serupa. Selain itu, adopsi paradigma Inovasi Terbuka (OI) harus didorong di tingkat perusahaan dan lembaga penelitian domestik untuk mempercepat difusi, membangun basis pengetahuan yang kolaboratif, dan meningkatkan kapasitas adaptasi lokal.

Table 2: Matriks Kebijakan untuk Mengatasi Kesenjangan Transfer Teknologi

Tantangan Inti Prasyarat/Kegagalan Rekomendasi Kebijakan Sasaran Implementasi
Akses Terbatas oleh HKI Perlindungan Paten TRIPS yang ketat, menguntungkan MNCs. Memanfaatkan Lisensi Wajib; Mendorong model Insentif OI. Regulator HKI Nasional, WTO.
Spillover Pengetahuan Rendah Kapasitas Absorptif (ACAP) dan Human Capital yang lemah. Investasi R&D terfokus pada Asimilasi; Program pelatihan SDM terintegrasi dengan FDI. Kementerian Pendidikan, Badan Investasi.
Teknologi Tidak Tepat Bias teknologi Utara (padat modal) vs. kebutuhan lokal. Prioritas Transfer melalui SSC; Mandat adaptasi lokal teknologi di Technoparks. Lembaga Pembangunan, Technoparks.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

11 − 2 =
Powered by MathCaptcha