Mendefinisikan Ulang Inovasi Kesehatan Publik

Pandemi COVID-19 telah berfungsi sebagai katalis yang tak terhindarkan, mengekspos kerentanan sistem kesehatan global dan mendorong percepatan inovasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam penelitian dan pengembangan (R&D) produk medis dan implementasi teknologi pengiriman layanan jarak jauh. Krisis ini memaksa peninjauan ulang terhadap proses pengembangan vaksin dan obat, model pembiayaan, serta arsitektur kesehatan publik internasional. Keberhasilan yang dicapai, khususnya dalam pengembangan vaksin berbasis messenger RNA (mRNA), membuktikan bahwa batas-batas kecepatan inovasi dapat didorong jauh melampaui siklus tradisional yang memakan waktu belasan tahun.

Namun, tulisan ini berargumen bahwa fokus inovasi tidak boleh semata-mata terpaku pada kesiapsiagaan pandemi di masa depan. Terdapat dualitas fokus yang krusial: inovasi juga harus diarahkan untuk mengatasi penyakit endemik yang sudah lama ada. Penyakit-penyakit seperti Tuberkulosis (TBC) dan Neglected Tropical Diseases (NTDs) terus menelan jutaan korban jiwa setiap tahunnya, tetapi sering kali terabaikan oleh insentif pasar karena pasiennya didominasi oleh populasi berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, inovasi kesehatan publik global harus mencakup reformasi struktural untuk memastikan bahwa penemuan ilmiah diterjemahkan menjadi solusi yang dapat diakses secara adil, baik untuk ancaman akut (pandemi) maupun beban penyakit kronis (endemik).

Tiga Pilar Inovasi Strategis

Analisis ini difokuskan pada tiga pilar strategis yang membentuk masa depan kesehatan publik global:

  1. Akselerasi R&D Produk Medis: Revolusi yang dipimpin oleh platform teknologi seperti mRNA dan adaptasi model Kolaborasi Publik-Swasta (PPC) yang agresif.
  2. Transformasi Delivery System: Peran sentral digitalisasi dan Telemedicine dalam menjembatani kesenjangan akses, khususnya di wilayah geografis yang terisolasi.
  3. Penguatan Arsitektur Global: Reformasi kebijakan, kerangka kerja kekayaan intelektual (IP), dan mekanisme pendanaan baru untuk memastikan pemerataan (equity) dan ketahanan (resilience) sistem kesehatan dunia.

Inovasi Bioteknologi Cepat: Model Vaksin dan Obat Generasi Baru

Revolusi Teknologi mRNA: Kecepatan dan Fleksibilitas

Teknologi vaksin mRNA telah menjadi pencapaian signifikan dalam sejarah bioteknologi modern sejak kemunculannya yang mendominasi respons terhadap COVID-19. Platform ini merepresentasikan sebuah paradigma baru dalam imunisasi, berbeda secara mendasar dari vaksin konvensional yang mengandalkan virus yang dilemahkan atau tidak aktif. Konsepnya adalah instruksi genetik dikirimkan langsung ke dalam sel tubuh, memerintahkan sel untuk memproduksi protein spesifik (misalnya, protein “spike” SARS-CoV-2), yang pada gilirannya memicu respons imun alami.

Keunggulan terbesar mRNA terletak pada kecepatan dan fleksibilitasnya yang tak tertandingi. Begitu urutan genetik patogen diketahui, mRNA dapat disintesis secara cepat. Hal ini memungkinkan pengembangan vaksin untuk penyakit menular baru dalam hitungan minggu, menjadikannya teknologi rapid response atau plug and play yang ideal untuk kesiapsiagaan pandemi. Platform ini secara efektif memotong siklus pengembangan obat dan vaksin tradisional yang dapat memakan waktu hingga sebelas tahun. Kecepatan sintesis ini menggarisbawahi bahwa teknologi yang ada saat ini menuntut kerangka regulasi dan kerangka investasi yang sama cepatnya, yang secara inheren memicu ketegangan dengan model bisnis dan kerangka Kekayaan Intelektual (IP) tradisional (lihat Bagian IV).

Penting untuk dicatat bahwa penguasaan platform mRNA memiliki potensi besar yang melampaui COVID-19 (beyond COVID-19). Teknologi ini dapat digunakan untuk pengembangan vaksin terhadap penyakit lain yang sulit ditangani, dan bahkan untuk pembuatan produk terapeutik seperti obat kanker. Oleh karena itu, inisiatif Transfer Teknologi (ToT) untuk menguasai platform mRNA di negara-negara berkembang (seperti yang dilakukan Bio Farma) merupakan langkah penting, bukan hanya untuk kesiapsiagaan di masa depan, tetapi juga untuk membangun kemandirian regional dan mengatasi ketergantungan yang terkonsentrasi pada beberapa produsen global.

Model Pengembangan Terakselerasi: Pelajaran dari Operation Warp Speed (OWS)

Untuk memanfaatkan kecepatan teknologi mRNA, diperlukan model investasi yang adaptif. Operation Warp Speed (OWS) di Amerika Serikat menjadi cetak biru kolaborasi publik-swasta (PPC) yang agresif dan berorientasi pada hasil. Model ini menunjukkan bagaimana kebijakan industri dapat secara radikal mempercepat R&D dan pengadaan produk medis dalam situasi krisis.

OWS berhasil mengatasi hambatan utama inovasi dengan melakukan de-risking R&D. Pemerintah menyerap risiko finansial yang sangat besar di awal, menjamin permintaan pasar melalui kontrak pengadaan, dan yang paling kritis, mendanai peningkatan kapasitas manufaktur secara paralel dengan pelaksanaan uji klinis. Model ini mengubah siklus investasi dan R&D bioteknologi, memungkinkan perusahaan biotek mendapatkan kontrak yang mudah dan fokus, sehingga menghilangkan kendala yang menghambat basis industri biodefense sebelumnya. Keberhasilan ini tidak hanya menguntungkan AS, tetapi juga menetapkan standar baru. Ada potensi untuk mengembangkan konsep ini menjadi “Global Warp Speed,” suatu upaya kolektif internasional untuk memastikan miliaran dosis dapat diproduksi untuk melayani masyarakat dunia, mengatasi kesenjangan ketersediaan yang mendominasi fase awal pandemi. Lebih lanjut, dukungan pendanaan publik tersebut juga harus diikuti dengan dukungan global untuk mengoptimalkan praktik vaksinasi dan melawan keraguan vaksin yang didorong oleh misinformasi.

Tantangan Produksi dan Kapasitas Global

Meskipun potensi ilmiah mRNA sangat besar, tantangan implementasi tetap signifikan. Salah satu kendala terbesar adalah stabilitas molekul mRNA dan kebutuhan rantai dingin yang ketat untuk distribusi. Kebutuhan logistik yang rumit ini menimbulkan hambatan besar, terutama bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah yang kekurangan infrastruktur rantai dingin yang memadai. Penelitian lanjutan di bidang formulasi lipid nanopartikel (LNP) dan metode penyimpanan yang lebih tahan lama sangat didorong untuk mengatasi keterbatasan ini.

Selain tantangan logistik, penyebaran teknologi secara merata menuntut Transfer Teknologi yang efektif. Keberhasilan pengembangan mRNA di negara maju tidak akan sepenuhnya menyelesaikan masalah ketahanan kesehatan global jika kemampuan produksi tetap terkonsentrasi. Oleh karena itu, upaya penguasaan platform teknologi ini di negara-negara berkembang merupakan kunci untuk ketahanan regional, memungkinkan respons yang lebih cepat dan mandiri terhadap ancaman pandemi di masa depan.

Tabel 1: Perbandingan Model R&D Vaksin: Konvensional vs. Platform Rapid-Response (mRNA)

Kriteria Vaksin Konvensional (Virus Inaktif/Dilemahkan) Vaksin mRNA (Rapid-Response)
Waktu Pengembangan Panjang (Beberapa tahun hingga satu dekade) Sangat Cepat (Minggu/Bulan) [4, 6]
Kebutuhan Urutan Genetik Memerlukan isolasi dan pertumbuhan strain virus Memerlukan urutan genetik saja
Skalabilitas Produksi Kompleks, memerlukan fasilitas bio-manufaktur khusus Lebih fleksibel (Plug and Play)
Tantangan Logistik Utama Stabilitas dan uji coba klinis Stabilitas molekul (rantai dingin) dan formulasi NPL

Memperkuat Akses dan Efisiensi: Transformasi Melalui Telemedicine

Telemedicine dalam Mengatasi Disparitas Kesehatan

Inovasi teknologi tidak terbatas pada penemuan produk medis, tetapi juga pada cara layanan kesehatan disampaikan. Telemedicine, yang mengintegrasikan teknologi untuk layanan kesehatan jarak jauh, memiliki potensi besar untuk merevolusi pelayanan, khususnya di negara-negara dengan geografi yang menantang dan disparitas akses kesehatan yang tajam, seperti Indonesia.

Manfaat utamanya sangat jelas: peningkatan aksesibilitas, kenyamanan, efisiensi, dan potensi penghematan biaya, yang merupakan faktor krusial dalam menciptakan layanan kesehatan yang lebih inklusif dan berpusat pada pasien. Dalam konteks penyakit endemik, telemedicine dapat digunakan untuk memantau pasien TBC di daerah terpencil atau memberikan konsultasi tindak lanjut, yang secara efektif membantu memutus rantai penularan dan memastikan kepatuhan pengobatan. Selain itu, implementasi telemedicine yang sukses merupakan bagian integral dari komponen kesiapsiagaan global yang dianjurkan oleh World Health Organization (WHO), khususnya dalam membangun Perawatan klinis yang aman dan dapat diperluas dan Sistem kesehatan yang tangguh.

Hambatan Struktural dan Kesenjangan Digital (Digital Divide)

Terlepas dari potensi revolusionernya, implementasi telemedicine dihadapkan pada sejumlah tantangan struktural yang harus diatasi. Tantangan ini meliputi keterbatasan yang melekat pada pemeriksaan virtual, hambatan teknologi yang melanggengkan kesenjangan digital (digital divide), risiko keamanan data, isu regulasi yang belum matang, dan kebutuhan adaptasi yang signifikan dari penyedia layanan.

Kesenjangan digital, di mana akses terhadap teknologi dan konektivitas internet terbatas di wilayah pedesaan dan terpencil, secara langsung menghambat kemampuan telemedicine untuk melayani populasi yang paling rentan. Selain itu, ketiadaan kerangka hukum yang jelas dan standar kualitas data yang ketat dapat menghambat adopsi layanan jarak jauh berkualitas tinggi. Solusi krusial untuk tantangan ini mencakup penguatan infrastruktur digital, standardisasi kualitas data, penyesuaian regulasi yang mendukung, dan upaya terencana untuk mengatasi kesenjangan digital.

Integrasi telemedicine dengan Sistem Informasi Kesehatan (SIK) yang kuat adalah prasyarat untuk memanfaatkan layanan ini sebagai alat intelijen kesehatan masyarakat. Data yang dikumpulkan dari layanan jarak jauh, jika terintegrasi dengan baik, dapat meningkatkan kemampuan surveilans dan respons dini terhadap potensi wabah, sehingga investasi dalam telemedicine pada dasarnya adalah investasi dalam intelijen kesehatan masyarakat dan ketahanan sistem secara keseluruhan.

Tabel 2: Tantangan Implementasi Telemedicine dan Solusi Kebijakan Inovatif

Tantangan Utama Dampak terhadap Akses dan Kualitas Rekomendasi Kebijakan Strategis
Kesenjangan Digital (Digital Divide) Menghambat akses bagi populasi rentan/pedesaan Penguatan infrastruktur digital, subsidi alat, dan peningkatan literasi digital di daerah terpencil
Keamanan Data dan Regulasi Risiko privasi pasien; ketidakpastian standar layanan Standardisasi kualitas data, penyesuaian regulasi yang mendukung, dan kerangka hukum lintas batas
Keterbatasan Pemeriksaan Virtual Membatasi diagnosis dan penanganan kasus kompleks Integrasi dengan perangkat diagnostik jarak jauh (point-of-care diagnostics) dan pelatihan provider

Pasar, Keadilan, dan Kegagalan Investasi R&D (Market Failure)

Definisi Kegagalan Pasar dalam R&D Kesehatan Global

Aspek paling kritis dan sering diabaikan dalam inovasi kesehatan publik adalah kegagalan pasar (market failure) yang mendasar, terutama terkait pengembangan obat-obatan untuk penyakit yang didominasi oleh populasi miskin atau negara berpenghasilan rendah. Industri farmasi berbasis R&D cenderung enggan berinvestasi dalam pengembangan obat baru untuk penyakit menular utama di daerah tropis dan subtropis (seperti NTDs dan TBC), karena kurangnya jaminan pengembalian investasi (return on investment).

Dalam tatanan ekonomi yang didukung oleh politik global yang berorientasi pasar bebas, peluang finansial, bukan kebutuhan kesehatan global, yang memandu arah pengembangan obat baru. Kelangkaan obat yang efektif, terjangkau, dan mudah digunakan untuk penyakit-penyakit yang terabaikan ini bukanlah konsekuensi yang tidak terhindarkan dari ekonomi pasar, tetapi harus diklasifikasikan sebagai kegagalan kesehatan publik yang masif. Hal ini merupakan kegagalan untuk mengarahkan pembangunan ekonomi demi kepentingan sosial yang lebih luas. Oleh karena itu, diperlukan reorientasi prioritas yang mendesak dalam kebijakan R&D dan kesehatan. Dalam konteks TBC, untuk mencapai eliminasi, perlu ada kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat sipil untuk membangun alat baru, termasuk tes diagnostik yang lebih baik, terjangkau, dan dapat diakses langsung di tempat layanan (point-of-care). Strategi inovatif seperti Open Source dan pendanaan terfokus juga disarankan untuk mendorong produk pencegahan, diagnostik, dan terapeutik untuk NTDs.

Kontroversi Kekayaan Intelektual (IP) dan TRIPS Waiver

Konflik antara insentif pasar dan kebutuhan kesehatan publik terekspos jelas selama pandemi dalam perdebatan mengenai Kekayaan Intelektual (IP) dan proposal TRIPS Waiver. Perlindungan IP, terutama paten, telah diantisipasi dan terbukti menjadi hambatan yang signifikan dalam peningkatan produksi dan pasokan alat medis penyelamat jiwa (vaksin dan obat) secara global selama krisis.

Menanggapi krisis ini, India dan Afrika Selatan mengajukan proposal kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk menangguhkan sementara hak kekayaan intelektual (paten, desain industri, hak cipta, dan informasi yang tidak diungkapkan) di bawah Perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS). Rasionalisasinya adalah bahwa penangguhan sementara ini akan memungkinkan dunia mengakses pengetahuan yang diperlukan untuk memerangi pandemi dan memfasilitasi peningkatan produksi skala besar secara kolektif.

Proposal TRIPS Waiver ini didukung oleh lebih dari 100 negara yang mencari akses yang lebih adil ke teknologi penting. Namun, proposal ini ditahan oleh sekelompok kecil anggota WTO, termasuk negara-negara maju (seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Swiss) yang secara tradisional mendukung kepentingan korporasi farmasi mereka melalui sistem IP proprietary. Ketegangan ini menunjukkan kontradiksi yang mendalam: model seperti OWS berhasil memicu inovasi rapid response dengan dukungan publik yang masif , tetapi kerangka regulasi IP yang ada kemudian mengubah hasil R&D berisiko tinggi ini (yang seharusnya menjadi barang publik) menjadi monopoli swasta. Kegagalan ini memerlukan intervensi kebijakan ekonomi publik yang kuat—seperti pajak Pigovian, subsidi, atau sistem pajak progresif—untuk memastikan keseimbangan antara efisiensi ekonomi dan keadilan sosial, terutama di sektor kesehatan.

Tabel 3: Kerangka Kerja Kebijakan untuk Mengatasi Kegagalan Pasar (Market Failure) R&D Kesehatan

Mekanisme Kebijakan Tujuan Utama Relevansi (Pandemi/Endemik)
TRIPS Waiver (Penangguhan IP) Meningkatkan transfer teknologi dan produksi skala besar secara cepat Krisis Pandemi, Memastikan akses global merata
Subsidi R&D dan Pajak Pigovian Mengarahkan investasi ke penyakit yang terabaikan (NTDs) Penyakit Endemik, Mengoreksi eksternalitas negatif
Push dan Pull Incentives (Mis. OWS) Mempercepat pengembangan dan menjamin permintaan pasar Kesiapsiagaan Pandemi, Risiko R&D tinggi
Open Source dan Kapasitas Lokal Mengurangi biaya pengembangan dan meningkatkan self-reliance di negara berkembang Penyakit Endemik dan Kesiapsiagaan Regional

Arsitektur dan Ketahanan Kesehatan Global di Masa Depan

Pelajaran dari COVID-19 dan Imperatif Solidaritas

Pengalaman pandemi COVID-19 memberikan pelajaran penting yang membentuk agenda kesehatan global di masa depan. Respons internasional terhadap pandemi ditandai dengan kegagalan koordinasi dan kegagalan solidaritas, yang menghasilkan ketidaksetaraan yang tajam, terutama dalam hal akses terhadap vaksin. Kegagalan ini menunjukkan bahwa inovasi teknologi yang berhasil tidak cukup jika distribusi dan akses tidak diatur secara adil.

World Health Organization (WHO) menggarisbawahi lima komponen kunci yang harus menjadi dasar bagi kesiapan, kesiagaan, dan respons di masa depan: 1) Surveilans, laboratorium, dan intelijen kesehatan masyarakat; 2) Penelitian, pengembangan, dan akses merata pada sarana penanganan esensial; 3) Perawatan klinis yang aman dan sistem kesehatan yang tangguh; 4) Vaksinasi dan pelibatan masyarakat; dan 5) Koordinasi respons. Prinsip inti yang harus membimbing semua upaya ini adalah pemerataan dan solidaritas.

Pendanaan Kesiapsiagaan Global: Pandemic Fund

Salah satu kegagalan struktural utama yang terungkap adalah kurangnya kapasitas finansial yang andal untuk mencegah dan menghadapi pandemi secara global. Diperkirakan bahwa dunia memerlukan pendanaan tahunan sebesar $31 miliar USD untuk membiayai sistem Pencegahan, Kesiapsiagaan, dan Respons (PPR) secara global.

Menyadari kebutuhan ini, Presidensi G20 Indonesia mengambil langkah konkret dengan meluncurkan Pandemic Fund pada November 2022. Pendanaan ini merupakan tonggak sejarah penting yang menunjukkan kemampuan G20 untuk menghasilkan tindakan nyata berskala global. Tujuan utama Pandemic Fund adalah memastikan ketahanan internasional dan membangun arsitektur kesehatan global yang lebih inklusif dan adil, sehingga mampu mencegah krisis ekonomi dan nyawa di masa depan. Pendanaan yang stabil dan terfokus ini adalah investasi penting untuk mengoreksi kegagalan pasar di masa depan yang timbul dari ketidaktersediaan produk medis, dengan memosisikan kesehatan global sebagai isu keamanan dan stabilitas ekonomi, bukan hanya kemanusiaan.

Reformasi Sistem Kesehatan yang Tangguh (Resilience)

Ketahanan sistem kesehatan tidak hanya berarti mampu merespons pandemi, tetapi juga mampu mempertahankan layanan kesehatan dasar dan mengatasi beban penyakit kronis yang sudah ada. Untuk memperkuat ketahanan di tingkat nasional dan global, disarankan adanya integrasi kesiapsiagaan pandemi dan krisis iklim ke dalam sistem penanggulangan bencana nasional. Pendekatan lintas sektor ini mencakup seluruh fase, mulai dari peringatan dini hingga pemulihan pasca-bencana, sambil memperkuat kapasitas daerah dalam menjaga kontinuitas layanan kesehatan dasar.

Lebih lanjut, agenda kesehatan global harus secara eksplisit memasukkan Penyakit Tidak Menular (NCDs) ke dalam strategi kebijakan masa depan. NCDs adalah penyebab kematian paling umum di dunia dan memperparah dampak pandemi. Mengatasi NCDs bukan lagi hanya sebagai pertimbangan tambahan terhadap penyakit menular, melainkan sebagai dasar terhadap ketahanan, keamanan, dan keadilan kesehatan. Keputusan untuk mengintegrasikan NCDs ke dalam kerangka kerja kebijakan masa depan, termasuk melalui diskusi perjanjian pandemi internasional, akan sangat menentukan efektivitas respons global. Di tingkat tata kelola nasional, reformasi juga harus mencakup pengelolaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK) yang komprehensif, mulai dari pendidikan hingga penempatan, serta mendefinisikan ulang Sistem Kesehatan Nasional (SKN) sebagai urusan bersama dan lintas sektor, bukan hanya urusan pemerintah.

Kesimpulan

Analisis terhadap inovasi kesehatan publik global menunjukkan adanya kemajuan teknologi yang revolusioner, terutama dalam platform vaksin rapid response seperti mRNA, yang didorong oleh model pendanaan berisiko tinggi (PPC/OWS). Bersamaan dengan itu, implementasi layanan kesehatan digital seperti telemedicine menawarkan solusi transformatif untuk mengatasi kesenjangan akses, meskipun keberhasilannya sangat bergantung pada mengatasi kesenjangan digital dan regulasi yang jelas.

Namun, efektivitas inovasi-inovasi ini di tingkat global terhambat oleh hambatan struktural yang berakar pada ekonomi pasar dan kebijakan Kekayaan Intelektual. Market failure yang mengabaikan R&D untuk penyakit endemik (TBC, NTDs) menegaskan bahwa R&D yang didanai publik dan berisiko tinggi, yang menghasilkan public goods, sering kali berakhir sebagai monopoli swasta karena kerangka IP yang ada (terlihat dari kontroversi TRIPS Waiver). Untuk membangun sistem yang tangguh, diperlukan bukan hanya teknologi baru, tetapi juga arsitektur global yang didanai secara berkelanjutan (melalui Pandemic Fund) dan pendekatan lintas sektor yang memastikan pemerataan.

Berdasarkan temuan di atas, tulisan ini menyajikan tiga rekomendasi kebijakan strategis berlapis untuk memastikan inovasi kesehatan publik dapat mencapai mandat globalnya secara efektif dan adil:

  1. Akselerasi Teknologi dan Transfer Teknologi (ToT) Berbasis Equity
  • Menciptakan Hub Regional Produksi: Investasi harus diarahkan untuk menciptakan hubs regional yang memfasilitasi Transfer Teknologi mRNA dan platform plug-and-play lainnya di negara-negara berkembang. Upaya ini harus diperkuat dengan pendanaan publik untuk penelitian lanjutan pada formulasi nanopartikel lipid yang lebih stabil, yang akan mengurangi ketergantungan pada rantai dingin ekstrem yang mahal dan tidak merata.
  • Insentif IP yang Diubah: Model insentif push dan pull yang dimodifikasi harus diadopsi secara global. Pendanaan publik (seperti yang ditiru dari OWS) harus mensyaratkan pembagian IP yang jelas atau lisensi non-eksklusif di awal, memastikan bahwa produk yang dikembangkan dengan uang publik tersedia secara luas dan cepat selama krisis global.
  1. Mengoreksi Kegagalan Pasar R&D dan Keadilan Global
  • Pendanaan R&D Penyakit Terabaikan: Pemerintah dan organisasi multilateral harus memprioritaskan pendanaan untuk R&D NTDs dan TBC melalui mekanisme yang tidak bergantung pada keuntungan pasar (misalnya, Global Health R&D FundPatent Pool). Kebijakan ekonomi publik harus mengarahkan investasi ke sektor ini melalui subsidi dan langkah-langkah fiskal untuk mengoreksi eksternalitas negatif dari R&D yang didorong oleh keuntungan.
  • Dukungan Penuh Pandemic Fund: Negara-negara anggota harus mendukung dan menguatkan mandat Pandemic Fund G20 sebagai mekanisme pendanaan jangka panjang yang stabil ($31 miliar USD per tahun) untuk Pencegahan, Kesiapsiagaan, dan Respons (PPR) global. Pendanaan ini harus diposisikan sebagai investasi keamanan ekonomi, bukan hanya bantuan.
  1. Memperkuat Ekuitas Digital dan Sistem Kesehatan Tangguh
  • Investasi Infrastruktur Digital Inklusif: Investasi masif harus diarahkan pada penguatan infrastruktur digital di daerah pedesaan untuk menutup kesenjangan digital yang menghambat telemedicine. Selain itu, diperlukan standardisasi global untuk interoperabilitas dan keamanan data dalam platform telemedicine, yang didukung oleh penyesuaian regulasi hukum kesehatan.
  • Integrasi Lintas Sektor dan NCDs: Arsitektur kesehatan masa depan harus mengintegrasikan kesiapsiagaan pandemi dengan perubahan iklim dan memasukkan Penyakit Tidak Menular (NCDs) ke dalam strategi ketahanan nasional dan global. Reformasi tata kelola sistem kesehatan harus mendefinisikan kesehatan sebagai tanggung jawab lintas sektor dan memastikan ketersediaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK) yang berkualitas secara berkelanjutan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 + 8 =
Powered by MathCaptcha