Latar Belakang: Transformasi Digital sebagai Dua Sisi Mata Uang

Transformasi digital global merupakan motor penggerak pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan, menawarkan potensi peningkatan kesejahteraan sosial yang signifikan. Sebagai contoh, perusahaan konsultan global McKinsey pada tahun 2016 memproyeksikan kontribusi ekonomi digital Indonesia akan mencapai US$150 miliar, atau 10% dari Produk Nasional Bruto (PNB) Indonesia, pada tahun 2025. Namun, kemajuan ini bersifat asimetris dan tidak merata, menciptakan kontradiksi mendasar di mana potensi kemakmuran digital berdampingan dengan peningkatan eksklusi sosial.

Laporan ini menyajikan analisis kritis mengenai bagaimana kesenjangan dalam akses, keterampilan, dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK)—yang dikenal sebagai ketidaksetaraan digital—tidak hanya mencerminkan ketidaksetaraan sosial-ekonomi yang sudah ada, tetapi juga secara aktif memperburuknya di tingkat global. Selanjutnya, laporan ini mengevaluasi peran inovasi digital, seperti fintech dan telemedicine, dalam meredakan kesenjangan ini dan memperluas layanan kesejahteraan.

Definisi Kesenjangan Digital: Mengurai Tiga Tingkat Ketidaksetaraan

Untuk memahami dampak ketidaksetaraan digital secara mendalam, diperlukan pemahaman bahwa fenomena ini berlapis dan melampaui sekadar masalah akses fisik. Kesenjangan digital dapat diurai menjadi tiga tingkat utama :

  1. Kesenjangan Akses (First Digital Divide): Ini adalah tingkat paling dasar, berfokus pada ketersediaan infrastruktur teknologi, kepemilikan perangkat, dan ketersediaan akses internet. Dalam konteks global, ini dikenal sebagai global digital divide, yang mengacu pada perbedaan mendasar dalam pemanfaatan TIK antara negara dan wilayah di dunia.
  2. Kesenjangan Keterampilan (Second Digital Divide): Tingkat ini berfokus pada kapasitas kognitif dan teknis individu. Ini mencakup kemampuan mengoperasikan perangkat keras dan lunak, serta kemampuan menggunakan internet secara efektif.
  3. Kesenjangan Penggunaan dan Pemanfaatan (Third Digital Divide / Meaningful Use): Ini adalah tingkat paling canggih, berkaitan dengan bagaimana teknologi benar-benar digunakan untuk tujuan produktif, yang diukur dari intensitas waktu penggunaan, kreativitas, dan keberagaman aplikasi yang dimanfaatkan, termasuk pemahaman terhadap konten berbahasa asing atau lokal.

Terdapat hubungan kausalitas yang kuat di antara ketiga tingkat ini. Meskipun fokus kebijakan di banyak negara berkembang seringkali terpaku pada peningkatan Akses (misalnya, membangun menara BTS), investasi infrastruktur tanpa program literasi dan vokasi yang memadai (Keterampilan) akan menghasilkan konektivitas yang tidak dimanfaatkan secara optimal (Penggunaan). Bukti di Indonesia menunjukkan bahwa prospek ekonomi digital dapat terganjal oleh ketimpangan keterampilan digital. Jika masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan akses yang ada, manfaat ekonomi dan sosial dari transformasi digital akan terhambat, sehingga memperbesar kesenjangan.

Konsep Inklusi Digital dan Kewarganegaraan Digital (Digital Citizenship)

Inklusi Digital merupakan upaya untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan yang setara dalam mengakses dan menggunakan TIK untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Inklusi digital yang efektif memerlukan pendekatan yang utuh, tidak hanya menyediakan koneksi, tetapi juga memastikan pemanfaatan teknologi secara bermakna.

Konsep yang melengkapi inklusi digital adalah Kewarganegaraan Digital (Digital Citizenship). Konsep ini memberikan pengetahuan mengenai penggunaan teknologi dunia maya dengan baik dan benar, mencakup tiga lingkungan utama: belajar, sekolah, dan kehidupan di luar sekolah. Kewarganegaraan Digital menjamin partisipasi bermakna dalam masyarakat digital dengan mencakup komponen esensial, seperti Hak Digital (privasi, kebebasan berbicara), Kewajiban Digital (membantu pemanfaatan teknologi), Etiket Digital (menjaga kenyamanan pengguna lain), Keamanan Digital (menjaga informasi), dan Hukum Digital. Tanpa kerangka Kewarganegaraan Digital, masyarakat digital berisiko mengalami penyalahgunaan, eksploitasi, dan eksklusi siber.

Dimensi Global Ketidaksetaraan Digital Dan Bukti Empiris

Ketidaksetaraan digital diukur secara jelas melalui disparitas global yang diungkap oleh International Telecommunication Union (ITU).

Jurang Akses Infrastruktur Global

Meskipun terdapat kemajuan konektivitas yang stabil, ITU memperkirakan bahwa pada tahun 2024, sekitar 2.6 miliar orang, atau 32% dari populasi dunia, masih belum menggunakan internet. Kesenjangan yang luar biasa ini—dikenal sebagai Global Digital Divide—merupakan isu penting dalam pembangunan ekonomi dan sosial global.

Analisis data menunjukkan bahwa ketidaksetaraan infrastruktur sangat nyata pada jenis koneksi yang lebih andal dan padat data. Layanan fixed-broadband, misalnya, menyumbang lebih dari 80 persen lalu lintas Internet global pada tahun 2022. Namun, di negara-negara berpenghasilan rendah, tingkat adopsi fixed-broadband sangat rendah, dengan hanya terdapat satu langganan per 100 orang. Rendahnya angka ini disebabkan oleh dua faktor utama: harga yang tinggi dan kurangnya infrastruktur yang memadai.

Analisis Statistik Kesenjangan (ITU Facts and Figures 2023)

Data dari laporan ITU Facts and Figures 2023 menyoroti bahwa masalah ketidaksetaraan digital semakin parah melalui dua dimensi yang saling memperburuk: keterjangkauan dan penggunaan data.

Kesenjangan Keterjangkauan (Affordability Gap)

Meskipun keterjangkauan mobile broadband terus membaik di semua wilayah, biaya tetap menjadi penghalang utama konektivitas dan pendorong utama kesenjangan digital global. Disparitas harga adalah yang paling ekstrem dalam konteks sosio-ekonomi.

Di negara berpenghasilan rendah, harga median untuk langganan mobile-broadband tingkat awal mencapai 8,6 persen dari pendapatan rata-rata bulanan. Angka ini merupakan bagian 22 kali lebih besar daripada yang dibayarkan oleh penduduk di negara berpenghasilan tinggi, di mana harga yang sama hanya mencapai 0,4 persen dari pendapatan rata-rata.

Perbedaan yang sangat mencolok ini (8.6% vs. 0.4%) menunjukkan bahwa bagi miliaran orang di negara berkembang, akses internet yang memadai adalah barang mewah, bukan hak dasar. Harga yang mencekik ini memaksa masyarakat miskin untuk memilih paket konektivitas paling dasar atau tidak sama sekali, yang secara langsung membatasi kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam pendidikan daring atau pekerjaan jarak jauh, sehingga memperburuk ketidaksetaraan pendapatan dan peluang sosial.

Disparitas Penggunaan Data (Usage Gap)

Analisis ITU mengungkapkan bahwa penduduk di negara berpenghasilan rendah tidak hanya lebih sedikit yang terhubung, tetapi mereka yang online juga menggunakan data yang jauh lebih sedikit. Disparitas ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya tentang menyalakan koneksi (Akses) tetapi tentang kualitas dan kedalaman koneksi yang dicapai.

Rata-rata lalu lintas mobile-broadband bulanan di negara berpenghasilan rendah hanya 1 GB per langganan. Angka ini jauh di bawah rata-rata bulanan global sebesar 11 GB per langganan mobile-broadband. Kesenjangan Penggunaan yang parah ini (1 GB vs. 11 GB) mengindikasikan bahwa koneksi yang ada di negara miskin tidak dimanfaatkan secara optimal. Masyarakat tidak dapat terlibat dalam kegiatan padat data yang transformatif, seperti kursus pendidikan online, tele-kerja yang produktif, atau transaksi kompleks, sehingga mereka tidak mencapai potensi penuh konektivitas dan gagal mewujudkan manfaat transformasi digital. Oleh karena itu, kebijakan harus bergeser dari sekadar menyediakan infrastruktur fisik menuju pelatihan literasi, pengembangan konten lokal, dan promosi aplikasi produktif (meaningful use).

Berikut disajikan ringkasan perbandingan kesenjangan TIK berdasarkan data ITU 2023:

Table 1: Perbandingan Kesenjangan Akses, Keterjangkauan, dan Penggunaan TIK Global (Berdasarkan Data ITU 2023)

Indikator Kesenjangan Digital Negara Berpenghasilan Tinggi Negara Berpenghasilan Rendah Implikasi Kebijakan Utama
Langganan Fixed-Broadband (per 100 orang) Tinggi 1 Mendesak investasi pada infrastruktur serat optik dan non-seluler.
Biaya Mobile-Broadband (sebagai % Pendapatan Rata-rata) 0,4% 8,6% Subsidi dan regulasi harga untuk meningkatkan keterjangkauan.
Rata-rata Data Mobile-Broadband Bulanan Jauh lebih Tinggi (Global Rata-rata 11 GB) 1 GB Kebutuhan mendesak untuk program Meaningful Use dan literasi digital.

Mekanisme Eksaserbasi Ketidaksetaraan Sosio-Ekonomi

Ketidaksetaraan digital bekerja sebagai pengganda ketidaksetaraan, memperburuk jurang sosio-ekonomi melalui tiga saluran utama: pasar tenaga kerja, akses informasi, dan inklusi keuangan.

Dampak pada Pasar Tenaga Kerja dan Pendidikan

Digitalisasi dan otomatisasi telah memicu perubahan besar dalam struktur lapangan kerja, menciptakan tantangan serius bagi kesiapan tenaga kerja nasional di negara berkembang. Pekerjaan yang bersifat administratif dan berulang semakin digantikan oleh kecerdasan buatan (AI) dan otomatisasi, menciptakan ancaman “pengangguran digital” bagi generasi pekerja baru yang tidak siap.

Masalah utama yang dihadapi adalah skill mismatch atau ketimpangan keterampilan. Di Indonesia, sekitar 55 persen pekerja dinilai memiliki keterampilan di bawah standar pasar kerja global, terutama dalam literasi digital dan kemampuan berpikir kritis. Jika tidak ada intervensi yang kuat dari sisi pendidikan dan pelatihan vokasi, pekerja ini akan semakin tertinggal. Ketidaksetaraan digital tidak hanya memengaruhi ketersediaan pekerjaan tetapi juga kualitas pendapatan. Pekerja yang melek digital cenderung terjebak dalam pekerjaan berulang yang rentan terhadap otomatisasi atau pekerjaan sektor informal dengan potensi pendapatan yang lebih rendah.

Penelitian kontekstual di Indonesia mengonfirmasi hal ini, menunjukkan bahwa penggunaan teknologi internet memiliki arah positif terhadap pendapatan pekerja sektor informal, namun dampak ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan heterogenitas ketersediaan infrastruktur (seperti jumlah BTS terbanyak di suatu provinsi). Hal ini membuktikan bahwa investasi TIK harus berjalan seiring dengan peningkatan modal manusia dan pendidikan yang merata untuk memastikan manfaat digital terdistribusi secara adil.

Ketidaksetaraan Akses Informasi dan Partisipasi Sosial

Dalam era informasi modern, hak atas akses terhadap informasi telah menjadi hak dasar bagi setiap orang. Ketidaksetaraan digital menciptakan kesenjangan informasi yang menghambat partisipasi politik, akses terhadap pendidikan berkualitas, dan pengetahuan kesehatan yang penting bagi peningkatan kesejahteraan sosial.

Dari perspektif sosio-politik, kesenjangan digital merupakan penghalang utama pembangunan berkelanjutan yang inklusif. Kurangnya akses menghambat responsivitas Good Governance, karena warga yang tidak terhubung atau tidak terampil tidak dapat mengakses, berinteraksi, atau memanfaatkan layanan publik secara efisien. Hal ini melanggengkan siklus di mana komunitas yang kurang terlayani secara digital juga merupakan komunitas yang paling rentan terhadap isolasi sosial dan kurangnya layanan publik yang efisien.

Eksklusi dari Jasa Keuangan Modern (Financial Exclusion)

Rendahnya tingkat inklusi keuangan merupakan salah satu masalah utama di negara berkembang, terutama di wilayah terpencil dan di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Akses luas terhadap layanan keuangan sangat krusial bagi pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial. Tanpa akses ke layanan keuangan formal, individu, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta komunitas rentan kehilangan peluang untuk akumulasi modal, mendapatkan asuransi, dan mengajukan pinjaman produktif, yang secara langsung memperburuk kemiskinan dan ketidaksetaraan regional. Ketidaksetaraan digital memperburuk eksklusi ini, sebab semakin banyak layanan keuangan beralih ke platform digital.

Peran Inovasi Digital Dalam Memperluas Layanan Kesejahteraan (Inklusi Digital)

Inovasi digital menawarkan potensi yang transformatif sebagai pilar strategis untuk mendemokratisasi layanan kesejahteraan, namun keberhasilannya mutlak bergantung pada kemampuan untuk mengatasi tiga tingkat Kesenjangan Digital.

Inklusi Keuangan Digital (Fintech dan Mobile Banking)

Teknologi keuangan digital, terutama mobile banking, telah memainkan peran krusial dalam memperluas jangkauan layanan keuangan. Inovasi ini memungkinkan lembaga perbankan berkolaborasi dengan fintech untuk menjangkau komunitas yang sebelumnya nonbankable, terutama di daerah pedesaan, di mana fasilitas perbankan konvensional sangat minim.

M-Pesa di Kenya menjadi studi kasus sukses global yang signifikan, menunjukkan bagaimana sistem mobile money dapat mengatasi tantangan infrastruktur perbankan fisik di negara berkembang. M-Pesa telah mendorong inklusi keuangan secara masif dan meningkatkan stabilitas ekonomi bagi masyarakat marginal.

Keberhasilan implementasi fintech ini sangat bergantung pada kerangka regulasi yang kuat dan adaptif. Pemerintah Indonesia, melalui inisiatif Presidensi G20 Global Partnership for Financial Inclusion (GPFI), telah fokus pada pengembangan kerangka kerja inklusi keuangan global. Upaya ini, yang didukung oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi digital hingga Rp 4.500 triliun pada 2030, sambil menjaga inklusi dan mendorong literasi keuangan digital untuk melindungi konsumen dan memastikan manfaatnya merata.

Transformasi Layanan Publik Melalui E-Government

Penerapan e-government di negara berkembang menawarkan manfaat yang signifikan, terutama dalam peningkatan efisiensi dan efektivitas layanan publik, yang mengurangi waktu dan biaya administrasi. Otomatisasi proses administratif melalui layanan digital dapat mengatasi birokrasi yang kompleks, seperti yang dicontohkan dalam studi di Kenya, di mana pengusaha bersedia membayar biaya tambahan untuk layanan yang mempercepat proses perizinan.

Dalam konteks layanan kesejahteraan, teknologi digital sangat penting dalam memodelkan inovasi pengentasan kemiskinan, khususnya dalam penyaluran bantuan sosial (bansos). Namun, adopsi e-government yang berhasil memerlukan investasi dalam infrastruktur TIK dan, yang terpenting, program literasi digital yang terstruktur. Program pelatihan ini harus diselenggarakan secara rutin bagi masyarakat dan aparatur sipil negara (ASN) untuk memastikan mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk memanfaatkan layanan secara optimal.

Digitalisasi Layanan Kesehatan (Telemedicine)

Sektor kesehatan telah memanfaatkan inovasi digital untuk mengatasi kesenjangan geografis. Telemedicine, khususnya, menjanjikan peningkatan signifikan dalam akses dan hasil perawatan kesehatan, terutama bagi komunitas pedesaan yang sulit dijangkau dan memiliki mobilitas terbatas. Manfaat yang dirasakan termasuk peningkatan koordinasi antara pasien dan fasilitas kesehatan, pengurangan kebutuhan perjalanan pasien, penekanan biaya transportasi, dan peningkatan efisiensi layanan.

Namun, implementasi telemedis di pedesaan menghadapi hambatan serius yang merupakan manifestasi langsung dari ketidaksetaraan digital. Keberhasilan program bergantung pada mengatasi hambatan seperti infrastruktur teknologi terbatas (terutama broadband), kompleksitas peraturan, dan kurangnya pelatihan bagi penyedia layanan. Selain itu, masalah akses dan tingkat kepercayaan pasien terhadap teknologi juga menjadi tantangan signifikan. Mengatasi keterbatasan infrastruktur dan meningkatkan edukasi masyarakat adalah langkah fundamental untuk mengoptimalkan efektivitas dan keberlanjutan telemedis dalam jangka panjang.

Tantangan Etika, Regulasi, Dan Rekomendasi Kebijakan

Inklusi digital yang sukses tidak hanya membutuhkan akses dan inovasi, tetapi juga kerangka kerja etika dan regulasi yang proaktif untuk memitigasi risiko yang melekat dalam otomatisasi layanan kesejahteraan.

Risiko Eksklusi Non-Pengguna dan Populasi Rentan

Meskipun layanan digital dirancang untuk efisiensi, populasi tertentu, terutama mereka dengan keterbatasan keterampilan digital seperti lansia, berisiko tinggi mengalami pengucilan atau “eksklusi otomatis” dari layanan esensial. Selain itu, kurangnya keterampilan digital juga meningkatkan risiko kekerasan dunia maya.

Untuk mengatasi eksklusi ini, program pelatihan literasi digital harus disesuaikan secara spesifik dengan kebutuhan dan kemampuan populasi target, menekankan pengalaman belajar langsung, dan menyediakan dukungan teknis berkelanjutan. Melibatkan anggota masyarakat setempat sebagai pelatih atau mentor dapat meningkatkan relevansi budaya dan menumbuhkan lingkungan belajar yang mendukung. Selain itu, pemerintah perlu memastikan bahwa sumber daya dan platform digital dapat diakses oleh penyandang disabilitas dan mempertimbangkan kepekaan budaya dalam implementasi program.

Ancaman Bias Algoritmik dan Keadilan Distributif Digital

Penggunaan kecerdasan buatan (AI) dan algoritma dalam sistem layanan kesejahteraan digital menimbulkan risiko etika yang serius. Algoritma, meskipun netral dalam konsep, dapat menghasilkan hasil yang tidak adil jika data pelatihan yang digunakan kurang representatif terhadap kelompok minoritas atau rentan. Jika inovasi digital hanya didorong oleh efisiensi tanpa kontrol etis, ia berpotensi memperkuat ketidaksetaraan struktural yang sudah ada.

Dalam sektor keuangan, misalnya, bias algoritmik dalam sistem penilaian risiko kredit dapat menyebabkan “eksklusi otomatis” bagi masyarakat yang secara tradisional nonbankable, sebuah hasil yang bertentangan dengan prinsip keadilan distributif. Demikian pula, di sektor kesehatan, algoritma diagnosis berbantuan komputer ditemukan memiliki akurasi yang lebih rendah untuk pasien minoritas, yang secara langsung memengaruhi kualitas perawatan kesehatan yang mereka terima.

Untuk mengatasi bias ini, dibutuhkan audit algoritmik, pengujian sebab-akibat, dan implementasi mekanisme Human-in-the-Loop, di mana rekomendasi AI ditinjau oleh manusia sebelum keputusan dibuat, untuk memberikan lapisan jaminan kualitas dan akuntabilitas tambahan.

Berikut disajikan ringkasan risiko etika dan eksklusi dalam layanan digital:

Table 2: Matriks Risiko dan Mitigasi dalam Digitalisasi Layanan Kesejahteraan

Inovasi Digital (Sektor) Risiko Eksklusi / Etika Utama Dampak Terhadap Ketidaksetaraan Strategi Mitigasi Kebijakan
Inklusi Keuangan (Fintech) Bias Algoritmik dalam Penilaian Risiko Kredit Mengukuhkan financial exclusion berbasis ras/sosio-ekonomi. Audit Algoritmik, Transparansi Data, dan Prinsip Keadilan Distributif.
Layanan Publik (E-Government) Eksklusi Non-Pengguna (Literasi Rendah, Lansia) Menghambat akses ke hak-hak sipil dan bantuan sosial esensial. Program Literasi Digital Terstruktur, Pelatihan ASN, dan Pendekatan Multibahasa.
Layanan Kesehatan (Telemedicine) Keterbatasan Infrastruktur dan Kepercayaan Pasien Kesenjangan kualitas layanan kesehatan antara perkotaan dan pedesaan. Investasi Broadband di Zona Putih (rural), Subsidi Perangkat, dan Edukasi Publik.

Perlindungan Konsumen Digital, Keamanan Data, dan Isu Privasi

Perkembangan pesat ekonomi digital menimbulkan tantangan hukum yang signifikan terkait privasi data dan penyelesaian sengketa online. Undang-undang yang ada seringkali dianggap belum memadai untuk mengatasi isu digital modern. Kekhawatiran tentang keamanan data dan kurangnya infrastruktur TIK juga teridentifikasi sebagai hambatan utama dalam adopsi layanan e-government oleh publik. Oleh karena itu, kerangka hukum yang komprehensif diperlukan untuk melindungi konsumen dan data pribadi di tengah transformasi digital yang cepat.

Rekomendasi Kebijakan untuk Jembatan Kesenjangan Digital

Untuk mencapai inklusi digital yang adil dan transformatif, kebijakan harus holistik dan multidimensi:

  1. Pembangunan Infrastruktur dan Keterjangkauan: Pemerintah harus meningkatkan investasi yang ditargetkan di daerah pedesaan dan terpencil (“zona putih”) untuk mengatasi kesenjangan infrastruktur. Regulasi harga sangat penting untuk memastikan biaya mobile-broadband level awal di negara berpenghasilan rendah turun jauh di bawah ambang batas 8.6% dari pendapatan rata-rata, mengubah akses internet dari kemewahan menjadi kebutuhan dasar.
  2. Program Literasi dan Keterampilan Digital yang Ditargetkan: Pemerintah harus mengarusutamakan literasi digital dalam kurikulum dan menyelenggarakan program pelatihan vokasi yang disesuaikan untuk mengatasi skill mismatch pasar kerja. Program harus fokus pada keterampilan teknis dan kemampuan berpikir kritis.
  3. Implementasi Kerangka Kerja Tata Kelola Digital Global (Global Digital Compact): Mendesak kerja sama digital antara berbagai pemangku kepentingan (pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil) untuk menjembatani jurang digital, data, dan inovasi. Kerangka ini harus menjamin masa depan digital yang terbuka, bebas, aman, dan berpusat pada manusia, berakar pada hak asasi manusia universal, yang merupakan inti dari konsep Kewarganegaraan Digital.

Kesimpulan

Ketidaksetaraan Digital merupakan tantangan pembangunan yang paling mendefinisikan era modern, bertindak sebagai faktor eksaserbasi yang memperburuk ketidaksetaraan sosial-ekonomi yang telah mengakar. Laporan ini menyimpulkan bahwa kegagalan untuk mengatasi tiga dimensi kesenjangan digital—Akses, Keterampilan, dan Pemanfaatan—secara simultan akan melanggengkan eksklusi dari pasar tenaga kerja modern dan jasa keuangan formal.

Meskipun inovasi digital, seperti finteche-government, dan telemedicine, menawarkan peluang besar untuk mendemokratisasi layanan kesejahteraan, potensi ini terancam oleh risiko eksklusi non-pengguna dan bias algoritmik. Kesenjangan penggunaan data (1 GB versus 11 GB) dan kesenjangan keterjangkauan (8.6% biaya dari pendapatan) menunjukkan bahwa masalah ini bukan lagi sekadar ketersediaan, melainkan masalah keadilan distributif.

Untuk mewujudkan transformasi digital yang benar-benar inklusif, kebijakan harus proaktif: investasi infrastruktur harus diimbangi dengan investasi yang setara dalam modal manusia (literasi dan keterampilan). Selain itu, kerangka kerja regulasi harus diperkuat untuk memastikan keadilan algoritmik, audit data, dan perlindungan konsumen, sehingga inovasi digital benar-benar menjadi kekuatan yang inklusif, bukan sekadar alat baru untuk memarjinalkan. Implementasi Global Digital Compact dan penguatan prinsip Kewarganegaraan Digital menjadi landasan strategis untuk mencapai masyarakat digital yang adil dan berpusat pada manusia.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 + 1 =
Powered by MathCaptcha