Relevansi Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) sebagai Barometer Pembangunan
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) tidak hanya merupakan masalah kemanusiaan yang mendesak, tetapi juga berfungsi sebagai prasyarat fundamental dan barometer utama bagi kemajuan pembangunan suatu negara. Kesejahteraan ibu dan anak secara langsung menentukan kualitas modal manusia (human capital) di masa depan serta ketahanan sosial-ekonomi suatu bangsa. Investasi yang terarah dalam sektor KIA terbukti menghasilkan pengembalian yang luar biasa; diperkirakan mencapai pengembalian setidaknya sepuluh kali lipat melalui peningkatan pencapaian pendidikan, partisipasi angkatan kerja, dan kontribusi sosial.
Oleh karena itu, penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) telah ditetapkan sebagai target kritis dalam kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) global. Di tingkat nasional, implementasi ini dipertegas, sebagaimana dicontohkan di Indonesia melalui Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, yang mengintegrasikan target penurunan AKI dan AKB ke dalam peta jalan SDGs 2030.
Tinjauan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 3: Target MCH (3.1 dan 3.2)
Agenda global untuk KIA dikodifikasikan dalam SDG 3 (Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan). Secara spesifik, Target SDG 3.1 bertujuan mengurangi Global Maternal Mortality Ratio (MMR)—rasio kematian ibu—hingga kurang dari 70 per 100.000 Kelahiran Hidup (KH) pada tahun 2030.
Untuk memandu upaya ini, Strategi Global untuk Kesehatan Wanita, Anak, dan Remaja (2016-2030) menetapkan visi yang komprehensif, dibangun di atas tiga pilar aksi: Survive, yang berfokus pada pengakhiran kematian yang dapat dicegah; Thrive, yang bertujuan memastikan kesehatan dan kesejahteraan holistik; dan Transform, yang menuntut perluasan lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang mendukung kesehatan. Strategi ini mengakui bahwa untuk mencapai target mortalitas, diperlukan aksi multisectoral yang melampaui batas-batas sektor kesehatan tradisional.
Progres Global dan Stagnasi Pasca-2015
Antara tahun 2000 dan 2023, dunia memang mencatat kemajuan substansial dalam mengurangi kematian ibu. Rasio MMR global menurun sebesar 40%, dari 328 kematian menjadi 197 kematian per 100.000 KH. Laju penurunan rata-rata tahunan (AARR) selama periode ini adalah 2,2%.
Namun, laju ini sangat jauh dari memadai untuk mencapai target SDG 3.1 pada tahun 2030. Analisis menunjukkan bahwa untuk mencapai target 70 kematian per 100.000 KH, diperlukan percepatan laju reduksi tahunan hingga hampir 15% dari tahun 2024 hingga 2030.
Data pasca-2015 memberikan sinyal peringatan yang mendalam. Kemajuan dalam mengurangi MMR melambat secara signifikan, dengan tingkat penurunan yang stagnan saat merata-ratakan angka antara tahun 2016 dan 2023. Perlambatan ini menunjukkan bahwa intervensi dengan dampak terendah (low-hanging fruit) mungkin telah dieksploitasi sepenuhnya. Kegagalan mencapai percepatan yang dibutuhkan mencerminkan kegagalan sistemik yang lebih dalam untuk menjangkau populasi yang paling rentan, terutama di negara-negara yang menghadapi krisis kemanusiaan, di mana kematian ibu sudah berada pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Tanpa komitmen dan perhatian baru, banyak negara berisiko tertinggal dari agenda 2030.
Analisis Disparitas Global: Manifestasi Ketidaksetaraan
Ketidaksetaraan dalam hasil kesehatan ibu dan anak adalah krisis ekuitas yang paling menonjol dalam pembangunan global. Disparitas ini terwujud dalam kontras geografis yang tajam dan stratifikasi sosio-ekonomi di dalam negara.
Disparitas Geografis Lintas Kawasan
Ketidaksetaraan geografis merupakan ciri epidemiologi KIA yang paling mencolok, menunjukkan divergensi yang tajam alih-alih konvergensi besar yang diidamkan. Kontras antara wilayah dengan beban tertinggi dan terendah sangat ekstrem.
Pada tahun 2023, Sub-Sahara Afrika mencatat Angka Kematian Ibu (MMR) sebesar 454 per 100.000 KH. Angka ini berlawanan secara dramatis dengan negara-negara berpenghasilan tinggi seperti Australia dan Selandia Baru, yang mencatat MMR hanya 3 per 100.000 KH. Sub-Sahara Afrika sendirian menanggung beban yang tidak proporsional, menyumbang sekitar 70% dari total kematian ibu global pada tahun 2023.
Meskipun perhatian historis terfokus pada negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMICs), tren yang mengkhawatirkan juga muncul di Negara Berpenghasilan Tinggi (HICs). Beberapa HICs, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa Barat, Amerika Latin, dan Karibia, melaporkan peningkatan tren MMR antara tahun 2016 dan 2020. Perbedaan epidemiologi ini penting: di LMICs, penyebab kematian ibu didominasi oleh komplikasi langsung (perdarahan dan sepsis), sementara di HICs, kematian tidak langsung—yang disebabkan oleh kondisi medis yang sudah ada yang diperburuk oleh kehamilan—cenderung sedikit lebih tinggi, menunjukkan adanya tantangan baru dalam sistem perawatan obstetri bahkan di negara-negara dengan sumber daya melimpah.
Divergensi yang tajam ini menunjukkan bahwa program dan investasi yang bersifat one-size-fits-all tidak akan berhasil. Tindakan dan sumber daya harus ditargetkan secara ketat pada wilayah dengan kebutuhan tertinggi, terutama di Sub-Sahara Afrika, di mana perbaikan diperlukan dalam akses dan kualitas perawatan antenatal, persalinan, dan pascapersalinan.
Disparitas Kematian Ibu Global: Perbandingan dan Target SDG
| Metrik | MMR Global (2023) | MMR Sub-Sahara Afrika (2023) | MMR Australia & NZ (2023) | Target SDG 3.1 (2030) |
| Rasio (per 100.000 KH) | 197 | 454 | 3 | < 70 |
| Kontribusi Beban Global | 100% | ∼70% | Sangat Kecil | N/A |
| Laju Reduksi Tahunan yang Dibutuhkan (2024-2030) | N/A | N/A | N/A | ∼15% |
Disparitas Sosial-Ekonomi (Kuantil Kekayaan) dan Mortalitas Anak
Di dalam setiap negara, status ekonomi merupakan prediktor kuat hasil kesehatan anak. Angka Kematian Balita (AKABA) menunjukkan hubungan terbalik yang jelas dan mengkhawatirkan dengan status kekayaan keluarga.
Data menunjukkan bahwa kuantil kekayaan terbawah mencatat AKABA sebesar 52 per 1000 KH. Angka ini lebih dari dua kali lipat dibandingkan kuantil teratas, yang mencatat 24 per 1000 KH. Kesenjangan ini mencerminkan bagaimana kemiskinan memperburuk kerentanan anak terhadap penyakit dan kematian.
Status ekonomi ibu dan keluarganya secara langsung memengaruhi akses terhadap perawatan yang berkualitas. Meskipun kesadaran ibu-ibu akan pentingnya pelayanan kesehatan, seperti pertolongan persalinan oleh bidan, sudah tinggi , hambatan ekonomi seringkali tidak dapat diatasi. Penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil yang memiliki suami berpenghasilan di bawah UMR memiliki potensi hingga delapan kali lipat untuk tidak mendapatkan kunjungan Antenatal Care (ANC) yang lengkap selama masa kehamilan.
Hal ini menunjukkan pemisahan yang jelas antara kebutuhan dan kemampuan: meskipun kesadaran (permintaan) akan layanan kesehatan yang aman sudah tinggi, hambatan ekonomi menghalangi kemampuan (akses) untuk memenuhinya, seringkali memaksa mereka mencari pertolongan persalinan kepada dukun atau praktisi tradisional. Oleh karena itu, solusi kebijakan tidak hanya memerlukan edukasi, tetapi juga intervensi yang mengatasi total biaya perawatan, termasuk biaya non-medis seperti transportasi, untuk kelompok termiskin.
Determinan Kematian: Dari Etiologi Medis Hingga Faktor Gizi
Memahami etiologi medis kematian ibu dan anak sangat penting untuk merancang intervensi yang efektif. Namun, analisis yang lebih mendalam mengungkap bahwa penyebab langsung ini seringkali diperparah oleh kegagalan pencegahan pada tingkat gizi dan higiene.
Penyebab Langsung Kematian Ibu (AKI)
Penyebab kematian ibu secara umum dikategorikan menjadi tiga besar pembunuh global, yang dikenal sebagai triad penyebab utama:
- Perdarahan (Hemorrhage):Terutama perdarahan pasca-persalinan (PPH), yang merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu di seluruh dunia.
- Gangguan Hipertensi Kehamilan:Meliputi Preeklampsia dan Eklampsia, kondisi yang ditandai dengan tekanan darah tinggi dan kerusakan organ (seperti ginjal) pada ibu hamil.
- Infeksi (Sepsis):Infeksi berat selama atau setelah persalinan dapat menyebabkan sepsis, yang jika tidak ditangani dengan cepat dapat berkembang menjadi syok sepsis, merusak organ vital seperti ginjal, hati, dan paru-paru.
Penyebab signifikan lainnya termasuk komplikasi persalinan macet (obstructed labor) dan komplikasi akibat aborsi yang tidak aman. Penting untuk dicatat bahwa komplikasi ini dapat muncul tanpa peringatan kapan saja selama kehamilan atau persalinan. Selain itu, kondisi ini tidak hanya berakibat fatal tetapi juga menyebabkan morbiditas jangka panjang yang serius, seperti Pregnancy-related Acute Kidney Injury (Pr-AKI), dengan insiden yang jauh lebih tinggi di negara berpenghasilan rendah dibandingkan negara maju.
Penyebab Langsung Kematian Neonatal (AKB: 0–28 Hari)
Kematian bayi baru lahir—neonatus—menyumbang sebagian besar kematian anak di bawah usia lima tahun. Kematian neonatal sangat terkait dengan kondisi saat kelahiran dan lingkungan segera setelahnya.
Penyebab utama kematian neonatal meliputi:
- Kelahiran Prematur dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR):BBLR dan usia gestasi yang prematur terbukti secara signifikan berhubungan dengan kematian neonatus.
- Asfiksia Neonatal:Kegagalan atau kesulitan bernapas saat lahir.
- Infeksi:Sepsis dan tetanus neonatorium tetap menjadi penyebab penting, terutama di negara berkembang.
Peran Gizi Ibu (Anemia) sebagai Faktor Risiko Utama
Gizi ibu selama kehamilan memainkan peran kausal yang menghubungkan kegagalan pencegahan dengan hasil obstetri yang akut. Anemia, khususnya, berfungsi sebagai faktor risiko yang signifikan.
Tubuh menggunakan zat besi untuk membuat hemoglobin, protein yang membawa oksigen. Selama kehamilan, volume darah dan kebutuhan zat besi meningkat. Anemia prenatal yang parah secara signifikan meningkatkan risiko Postpartum Hemorrhage (PPH), dengan Odds Ratio sebesar 3.54. Mengingat PPH adalah penyebab utama kematian ibu, manajemen anemia yang buruk adalah kegagalan preventif yang menghasilkan kebutuhan akan intervensi darurat yang mahal dan berisiko.
Lebih lanjut, anemia kehamilan merugikan perkembangan janin, yang menyebabkan hasil buruk seperti Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), kelahiran preterm (sebelum 37 minggu), dan asfiksia neonatal. Keterkaitan antara Anemia Ibu dengan PPH dan Asfiksia Neonatal menyoroti bahwa investasi dalam suplementasi zat besi dan manajemen nutrisi yang unggul selama Antenatal Care (ANC) merupakan strategi high-impact yang dapat mengurangi secara substansial insiden komplikasi yang memerlukan layanan obstetri darurat.
Malnutrisi Anak (Stunting dan Wasting)
Malnutrisi pada anak, baik dalam bentuk kronis (stunting) maupun akut (wasting), merupakan masalah kesehatan masyarakat yang meluas. Kondisi underweight dan stunting meningkatkan risiko anak terhadap infeksi, gangguan sistem kekebalan tubuh, dan berbagai masalah kesehatan lainnya dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Stunting, sebagai bentuk malnutrisi kronis, memiliki dampak yang serius pada pertumbuhan dan perkembangan jangka panjang anak.
Kegagalan Sistem dan Hambatan Akses Terhadap Perawatan Berkualitas (The Three Delays)
Kegagalan untuk menurunkan AKI dan AKB pada laju yang dibutuhkan seringkali dapat dijelaskan melalui kerangka “Tiga Keterlambatan” (The Three Delays): (1) Keterlambatan pengambilan keputusan untuk mencari perawatan; (2) Keterlambatan mencapai fasilitas kesehatan; dan (3) Keterlambatan menerima perawatan yang memadai setelah tiba di fasilitas. Data menunjukkan bahwa hambatan akses bersifat multi-dimensi, melibatkan faktor ekonomi, geografis, dan sistemik.
Kegagalan 1 & 2: Akses dan Pemanfaatan Layanan Kesehatan Ibu dan Bayi (MCH)
Peran Tenaga Kesehatan Terlatih (Skilled Birth Attendants – SBA) Kehadiran SBA—dokter, perawat, atau bidan terlatih—selama persalinan adalah faktor penting yang terbukti mengurangi morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi baru lahir. SBA dapat memberikan intervensi penyelamat jiwa, seperti obat-obatan (antibiotik), transfusi darah, atau bedah (seksio sesarea) segera setelah komplikasi muncul.
Hambatan Ekonomi, Budaya, dan Sosial Meskipun pentingnya SBA diakui, pemanfaatannya di daerah pedesaan seringkali terhambat. Faktor ekonomi, terutama kemiskinan dan pengangguran suami, adalah prediktor kuat yang memengaruhi kemampuan keluarga untuk memanfaatkan SBA. Selain itu, keyakinan budaya yang melibatkan praktik tradisional, penggunaan ramuan herbal, dan yang terpenting, perlunya persetujuan suami, dapat menjadi penghalang budaya yang signifikan terhadap akses layanan. Ibu yang bekerja untuk membantu ekonomi keluarga, meskipun memiliki kesadaran tinggi tentang bidan, mungkin tetap terpaksa menggunakan jasa tradisional karena kendala finansial.
Hambatan Geografis dan Logistik (Akses Fisik) Akses geografis yang buruk secara langsung berkontribusi pada Keterlambatan kedua. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan bahwa fasilitas Perawatan Obstetri dan Bayi Baru Lahir Darurat (Emergency Obstetric and Neonatal Care – EmONC) harus dapat diakses dalam waktu 2–3 jam perjalanan. Standar ini didasarkan pada perkiraan kritis bahwa komplikasi obstetri mayor dapat berakibat fatal dalam dua jam tanpa intervensi medis.
Tantangan akses sangat bervariasi:
- Daerah Pedesaan:Di pedesaan, aksesibilitas geografis yang buruk umumnya disebabkan oleh jarak tempuh yang ekstrem ke fasilitas yang lebih lengkap dan adanya bencana alam.
- Daerah Perkotaan:Ironisnya, di lingkungan perkotaan, tantangan berupa kemacetan lalu lintas yang parah, kondisi jalan yang buruk, dan permukiman kumuh yang luas juga menciptakan hambatan akses yang signifikan terhadap perawatan darurat.
Beban Biaya Non-Medis: Meskipun program jaminan sosial dapat mengurangi hambatan ekonomi untuk biaya pengobatan itu sendiri, biaya akses secara logistik seringkali jauh lebih memberatkan. Dalam banyak kasus, biaya transportasi untuk mencapai fasilitas kesehatan dirasakan masyarakat lebih mahal daripada biaya pengobatan itu sendiri. Kurangnya dukungan transportasi dan jarak yang jauh dari fasilitas kesehatan telah teridentifikasi sebagai hambatan utama dalam pemanfaatan SBA.
Kegagalan 3: Kualitas dan Kelengkapan Layanan (Continuum of Care)
Kualitas layanan yang diterima, dan cakupannya di sepanjang Continuum of Care—dari antenatal hingga postnatal—sangat menentukan hasil KIA.
Antenatal Care (ANC): Pintu Gerbang Pencegahan Perawatan prenatal yang terpadu dan berkualitas sangat penting untuk memantau dan menyaring kondisi risiko tinggi seperti preeklampsia dan anemia. UNICEF dan WHO menekankan perlunya intervensi esensial, termasuk empat atau lebih kunjungan ANC. Studi menunjukkan bahwa status pekerjaan yang rendah dan kondisi ekonomi keluarga dapat menyebabkan ibu hamil tidak melakukan kunjungan ANC yang lengkap.
Postnatal Care (PNC): Periode Paling Kritis Periode pasca-natal (hingga enam minggu setelah kelahiran) adalah waktu yang sangat kritis. Kematian ibu dan bayi baru lahir berada pada tingkat tertinggi, terutama dalam jam-jam dan hari-hari pertama pasca-kelahiran.
Oleh karena itu, penyediaan Postnatal Care (PNC) dalam dua hari pasca-kelahiran menjadi intervensi esensial. Kematian bayi baru lahir jauh lebih tinggi pada bayi yang ibunya meninggal saat melahirkan, menunjukkan hubungan tak terpisahkan antara kesehatan ibu dan neonatus. Kunjungan rumah pascanatal terbukti menjadi strategi efektif untuk meningkatkan kelangsungan hidup neonatal dengan memastikan perawatan tali pusat yang benar dan mendeteksi komplikasi dini.
Determinan Sosial dan Lingkungan (WASH)
Hasil KIA juga dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar sistem medis formal.
Pernikahan Anak dan Usia Ideal Kehamilan: Pernikahan yang terjadi pada usia sangat muda (di bawah usia minimum 19 tahun) meningkatkan risiko AKI dan AKB. Usia kehamilan yang ideal disarankan antara 20–35 tahun. Ini menunjukkan bahwa intervensi kebijakan sosial, seperti penegakan batas usia perkawinan, adalah komponen penting dari strategi KIA.
Air, Sanitasi, dan Higiene (WASH) dan Infeksi: Infrastruktur sanitasi dan higiene yang buruk adalah determinan lingkungan yang langsung berkontribusi terhadap kematian yang dapat dicegah. Diperkirakan 8% kematian ibu secara global (dan hingga 15% di LMICs) terkait langsung dengan kondisi yang tidak higienis selama persalinan dan kebersihan pascanatal yang buruk.
Sanitasi yang buruk telah dikaitkan dengan peningkatan risiko mortalitas neonatal sebesar 3,07 kali lipat, sementara air yang buruk dikaitkan dengan peningkatan risiko 1,50 kali lipat. Praktik persalinan yang bersih, permukaan kelahiran yang steril, dan cuci tangan mengurangi risiko kematian akibat sepsis dan tetanus neonatal secara dramatis (reduksi hingga 40% dalam PNC).
Hal ini menggarisbawahi bahwa pencegahan infeksi—salah satu dari tiga penyebab utama AKI dan AKB—tidak hanya bergantung pada antibiotik, tetapi pada infrastruktur dasar. Tanpa akses air minum yang aman dan sanitasi yang dikelola dengan baik, upaya klinis untuk mencegah sepsis maternal dan neonatal akan terhambat, terutama di wilayah seperti Sub-Sahara Afrika di mana akses air bersih aman hanya mencapai 24%.
Table II: Rintangan Akses Layanan KIA Kritis dan Determinannya
| Jenis Hambatan | Faktor Kausal/Determinan | Layanan yang Terpengaruh | Implikasi Risiko KIA |
| Struktural/Ekonomi | Kemiskinan, pengangguran suami, biaya transportasi (mahal daripada pengobatan) | Pemanfaatan SBA, Kunjungan ANC lengkap (Kualitas) | Keterlambatan pengambilan keputusan dan akses; persalinan tidak aman |
| Geografis/Logistik | Jarak jauh ke fasilitas, infrastruktur jalan buruk, kemacetan perkotaan | Akses ke fasilitas EmONC/PONEK, SBA | Keterlambatan mencapai pertolongan darurat |
| Lingkungan/Higiene | Akses WASH yang buruk, kondisi persalinan tidak higienis | Pencegahan Infeksi, Perawatan Pascanatal | Peningkatan Sepsis Maternal dan Neonatal (Penyebab langsung AKI/AKB) |
| Sosial/Budaya | Pernikahan dini, praktik tradisional, kurangnya keterlibatan pria | ANC, Persalinan oleh SBA | Peningkatan komplikasi obstetri dan risiko tinggi pada ibu muda |
Strategi Percepatan dan Rekomendasi Kebijakan (Aksi Kolektif)
Untuk mengatasi stagnasi kemajuan dan mencapai Target SDG 3.1 dan 3.2, diperlukan pergeseran dari solusi inkremental menjadi strategi transformatif yang mengatasi kegagalan sistemik, baik di dalam maupun di luar sektor kesehatan.
Peningkatan Investasi Sistem Kesehatan (Health System Resilience)
Percepatan penurunan mortalitas KIA menuntut sistem kesehatan yang tangguh, mampu menghadapi situasi darurat dengan kecepatan dan akurasi tinggi.
Fokus pada Kapasitas Obstetri Darurat (EmONC/PONEK): Diperlukan penguatan signifikan dalam peringatan dini, pengurangan risiko, dan manajemen risiko kesehatan, terutama di LMICs. Hal ini mencakup investasi pada fasilitas PONEK (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif) dan EmONC yang berfungsi penuh, memastikan ketersediaan peralatan dan suplai yang memadai (termasuk antibiotik, transfusi darah, dan kemampuan bedah, seperti seksio sesarea).
Penguatan Tenaga Kesehatan Inti: Peningkatan signifikan dalam pembiayaan, rekrutmen, pengembangan, pelatihan, dan retensi tenaga kesehatan yang terampil, khususnya bidan dan perawat, harus menjadi prioritas. Inisiatif seperti Every Woman Every Newborn Everywhere (EWENE) bertujuan memastikan setiap perempuan hamil dan anak baru lahir menerima intervensi esensial, yang hanya mungkin tercapai melalui tenaga terlatih yang berkualitas.
Analisis terhadap peningkatan MMR di HICs menunjukkan tantangan dual: di LMICs, investasi harus difokuskan pada pemenuhan layanan dasar (SBA, manajemen PPH dan sepsis); di HICs, sistem perlu fokus pada pencegahan kematian tidak langsung dan peningkatan kualitas perawatan pra- dan pasca-persalinan, bukan hanya pada ketersediaan fasilitas.
Intervensi Lintas Sektor dan Determinasi Sosial yang Berubah (Transform)
Kematian ibu dan anak berakar pada ketidaksetaraan sosial-ekonomi, kemiskinan, diskriminasi, dan ketidakadilan. Oleh karena itu, pendekatan harus bersifat transformatif gender dan berbasis hak asasi manusia.
Mengatasi Determinan Ekonomi dan Sosial: Perluasan intervensi untuk memberantas kemiskinan harus diiringi dengan tindakan kebijakan sosial yang tegas, seperti penegakan batas usia perkawinan yang legal untuk mengurangi risiko kehamilan pada usia sangat muda.
Investasi WASH sebagai Intervensi Kesehatan Preventif: Implementasi program Water, Sanitation, and Hygiene (WASH) yang terkelola dengan aman sangat penting. Karena sepsis maternal dan neonatal terkait langsung dengan higiene yang buruk , investasi infrastruktur dasar seperti akses air minum yang aman, terutama di daerah yang tertinggal (misalnya Sub-Sahara Afrika) , harus dianggap sebagai investasi kesehatan yang esensial.
Penanggulangan Anemia Komprehensif: Manajemen nutrisi yang unggul selama kehamilan, termasuk suplementasi zat besi yang efektif, harus ditingkatkan secara agresif dalam program ANC. Ini adalah intervensi preventif yang paling cost-effective untuk mengurangi risiko PPH dan kelahiran prematur.
Memperkuat Lingkup Perawatan Berkelanjutan (Continuum of Care)
Memastikan kualitas dan kelengkapan perawatan dari sebelum hingga sesudah kelahiran adalah kunci.
Fokus pada Periode Postnatal Kritis: Standar perawatan yang dipromosikan melalui program EWENE mencakup minimal empat kunjungan ANC dan Perawatan Pascanatal (PNC) dalam dua hari pasca-kelahiran. Mengingat tingginya tingkat mortalitas segera setelah persalinan, perluasan kunjungan rumah pascanatal (PNC home visits) harus dijadikan strategi nasional untuk meningkatkan kelangsungan hidup neonatal.
Mengatasi Hambatan Akses Non-Klinis: Intervensi kebijakan harus bergeser dari fokus pada supply (membangun fasilitas) menjadi fokus pada demand-side financing (pendanaan sisi permintaan) untuk kelompok termiskin. Ini mencakup penyediaan dana atau subsidi transportasi bagi ibu hamil di daerah terpencil untuk mencapai fasilitas persalinan. Selain itu, program terencana harus mendorong keterlibatan laki-laki/suami dalam layanan kesehatan reproduksi untuk memastikan dukungan finansial dan logistik yang memadai. Akses harus didefinisikan ulang sebagai kemampuan finansial dan fisik untuk mencapai dan memanfaatkan fasilitas, bukan hanya ketersediaan fasilitas itu sendiri.
Kesimpulan
Analisis menunjukkan bahwa Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) merupakan indikator pembangunan global yang stagnan pasca-2015, di mana laju penurunan MMR saat ini (2,2% per tahun) jauh dari target SDG (sekitar 15% per tahun). Kesenjangan ini mencerminkan krisis ekuitas yang didorong oleh disparitas geografis ekstrem—di mana Sub-Sahara Afrika menanggung 70% beban global—dan stratifikasi sosio-ekonomi di dalam negara.
Penyebab kematian ibu dan neonatal yang paling umum (Perdarahan, Sepsis, Asfiksia) sangat terkait dengan kegagalan preventif, terutama manajemen gizi yang buruk (anemia) dan higiene lingkungan (akses WASH). Kegagalan sistemik berakar pada “Tiga Keterlambatan,” di mana hambatan ekonomi (biaya transportasi dan kemiskinan) dan hambatan geografis menghalangi pemanfaatan layanan penyelamat jiwa, seperti Skilled Birth Attendants (SBA) dan Emergency Obstetric and Neonatal Care (EmONC).
Seruan Aksi Kolektif
Untuk mencapai konvergensi kesehatan global pada tahun 2030, strategi harus bersifat kolektif dan transformatif. Penekanan harus diberikan pada kerangka Survive, Thrive, Transform dengan fokus ketat pada kelompok yang paling tertinggal, termasuk mereka yang berada dalam krisis kemanusiaan.
Strategi yang mendesak meliputi:
- Investasi yang Ditargetkan:Mengalokasikan sumber daya secara ketat untuk memperkuat fungsi EmONC/PONEK dan memastikan pelatihan serta retensi tenaga kesehatan terlatih, terutama di wilayah dengan MMR tertinggi.
- Aksi Lintas Sektor:Mengintegrasikan investasi WASH sebagai strategi pencegahan infeksi maternal dan neonatal yang penting.
- Penghapusan Hambatan Non-Klinis:Kebijakan harus secara eksplisit mengatasi hambatan finansial non-medis, seperti subsidi transportasi, untuk memastikan bahwa akses fisik menjadi mungkin bagi kelompok termiskin.
- Memperkuat PNC:Mendorong perluasan kunjungan rumah pascanatal sebagai intervensi high-impact untuk meningkatkan kelangsungan hidup neonatal dalam periode 48 jam yang paling kritis.
Dibutuhkan kemitraan erat antara pemimpin politik, pemimpin komunitas, sistem kesehatan, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengatasi ketidakadilan yang menghambat kemajuan KIA dan menghalangi pencapaian SDG.
