Latar Belakang dan Urgensi Investasi Gender sebagai Strategi Pembangunan
Pemberdayaan perempuan telah lama diakui sebagai dimensi krusial dalam upaya pembangunan, namun saat ini perannya harus diposisikan sebagai strategi ekonomi makro yang fundamental. Pemberdayaan ekonomi perempuan melampaui sekadar peningkatan kesejahteraan; ia merupakan prasyarat penting untuk mencapai pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan. Dalam konteks global maupun nasional, berbagai laporan menunjukkan bahwa mengatasi kesenjangan gender sangat diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan mengoptimalkan potensi sumber daya manusia. Investasi pada perempuan tidak hanya menghasilkan pengembalian sosial, tetapi juga pengembalian ekonomi terukur yang dapat secara langsung memengaruhi Produk Domestik Bruto (PDB).
Definisi dan Pilar Pemberdayaan yang Diukur
Laporan ini berfokus pada kuantifikasi Return on Investment (ROI) dari investasi di tiga pilar strategis yang merepresentasikan peningkatan kemampuan perempuan untuk mengakses sumber daya, membuat keputusan, dan berkontribusi pada pembangunan:
- Pendidikan:Diukur sebagai peningkatan modal manusia (human capital).
- Kesehatan Reproduksi:Diukur sebagai optimalisasi struktur demografi dan peningkatan kualitas hidup.
- Partisipasi Politik:Diukur sebagai peningkatan efisiensi tata kelola pemerintahan dan penganggaran yang responsif.
Struktur Laporan dan Metodologi Analisis ROI
Analisis ROI dalam konteks pemberdayaan perempuan menghadapi tantangan karena manfaatnya sering kali bersifat kualitatif atau tertunda (deferred). Oleh karena itu, laporan ini mengadopsi pendekatan ganda. ROI diukur melalui koefisien ekonometri langsung terhadap PDB, khususnya pada pilar pendidikan dan partisipasi ekonomi. Pengukuran ini dilengkapi dengan analisis Social Return on Investment (SROI). Metodologi SROI sangat penting untuk mengkonversi dampak kesejahteraan sosial —seperti penurunan angka stunting, peningkatan transparansi tata kelola, atau pengurangan kemiskinan— menjadi nilai moneter yang dapat diukur dan dibandingkan dengan modal yang ditanamkan.
KERANGKA TEORETIS DAN METRIK ROI
Teori Modal Manusia (Human Capital Theory) dan Relevansinya dengan Gender
Secara teoretis, modal manusia diartikan sebagai faktor produksi yang digunakan untuk menciptakan barang dan jasa, mencakup investasi pada manusia seperti pendidikan dan kesehatan. Ketika investasi ini diarahkan pada perempuan, dampaknya terhadap produktivitas pasar tenaga kerja sangat signifikan. Pendidikan yang tinggi membekali perempuan dengan keterampilan dan kompetensi yang lebih baik, meningkatkan kualitas penawaran tenaga kerja mereka di pasar, dan memungkinkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan serta penghasilan yang lebih layak. Peningkatan partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja akibat peningkatan modal manusia inilah yang mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Konsep Return on Investment (ROI) dan Social Return on Investment (SROI)
Untuk mengevaluasi dampak holistik pemberdayaan perempuan, diperlukan kerangka pengukuran yang komprehensif. ROI tradisional berfokus pada pengembalian finansial langsung (misalnya, peningkatan PDB). Namun, dampak kebijakan gender seringkali berupa pengembalian kualitatif (non-market return), seperti peningkatan stabilitas keluarga atau tata kelola yang lebih baik, atau pengembalian yang ditunda, di mana investasi pendidikan hari ini baru terlihat dampaknya pada PDB dalam dekade mendatang.
Oleh karena itu, Social Return on Investment (SROI) menjadi metodologi yang lebih sesuai karena mampu mengukur kinerja bisnis dan kinerja sosial secara bersamaan dari suatu program pemberdayaan. SROI berfungsi mengkonversi peningkatan kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan menjadi sebuah nilai mata uang, yang kemudian dibandingkan dengan total modal yang diinvestasikan. Dengan SROI, manfaat kebijakan seperti pengurangan ketidaksetaraan gender atau peningkatan kualitas pelayanan publik dapat diidentifikasi dan dijustifikasi secara moneter.
Indikator Kunci Pengukuran Dampak
Pengukuran dampak pemberdayaan perempuan berpusat pada dua kategori indikator utama:
- PDB/PDRB:Indikator makroekonomi utama yang digunakan untuk mengukur dampak langsung kontribusi ekonomi perempuan, diproksikan melalui Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan (FLFPR) dan Rata-rata Lama Sekolah Perempuan (RLSP).
- Indikator Kesejahteraan Sosial:Meliputi IPM Perempuan, Rasio Ketergantungan, Gizi Anak (yang mencerminkan pengetahuan ibu), serta penurunan tingkat kemiskinan.
Dimensi I: Roi Investasi Pendidikan Perempuan (Mendorong Produktivitas dan PDB)
Mekanisme Kausal: Dari Pendidikan Tinggi ke Peningkatan Modal Manusia
Investasi pada pendidikan perempuan adalah pengungkit utama pertumbuhan ekonomi. Ketika perempuan memiliki akses ke pendidikan yang lebih baik, daya saing mereka di pasar kerja meningkat, memungkinkan mereka untuk memenuhi kualifikasi yang diharapkan oleh perusahaan dan, pada gilirannya, mendapatkan gaji yang lebih tinggi. Selain manfaat ekonomi langsung, pendidikan yang lebih baik juga berfungsi menunda usia perkawinan, meningkatkan kesadaran akan perencanaan keluarga, dan mendorong partisipasi perempuan yang lebih aktif dalam pembangunan ekonomi.
Bukti Kuantitatif ROI: Pendidikan terhadap Pertumbuhan Ekonomi (GDP/PDRB)
Secara kuantitatif, bukti ekonometri mendukung hubungan kausal positif ini. Studi yang menganalisis data Indonesia menunjukkan bahwa Female Human Capital, yang diproksikan dengan Rata-rata Lama Sekolah Perempuan (RLSP), memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP).
Data spesifik dari analisis tersebut menunjukkan bahwa koefisien pengaruh RLSP terhadap pertumbuhan GDP adalah sebesar 0.268700. Interpretasi dari nilai ini adalah bahwa secara statistik, setiap kenaikan 1% rata-rata lama sekolah perempuan dapat menaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.268700%, dengan asumsi variabel lain tetap (ceteris paribus). Angka ini memberikan justifikasi kuantitatif yang kuat bagi pemerintah untuk memprioritaskan anggaran pada akses pendidikan perempuan.
Analisis Partisipasi Ekonomi: Peran FLFPR
Partisipasi angkatan kerja perempuan (FLFPR) adalah mekanisme utama di mana investasi pendidikan dikonversi menjadi kenaikan PDB. Studi menunjukkan bahwa FLFPR memiliki efek positif dan signifikan terhadap PDB regional, menyoroti peran krusial kontribusi kerja langsung perempuan dalam mendorong pembangunan inklusif.
Meskipun demikian, ROI dari investasi pendidikan belum mencapai potensi penuhnya karena adanya hambatan struktural. Analisis menemukan anomali bahwa, dalam konteks tertentu, tingkat pendidikan wanita dapat memiliki efek negatif dan signifikan terhadap Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Wanita (TPAK) secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun investasi dalam human capital berhasil (seperti ditunjukkan oleh koefisien positif RLSP terhadap GDP ), ada faktor penghalang eksternal yang mencegah perempuan berpendidikan tinggi untuk berpartisipasi penuh dalam angkatan kerja. Hambatan ini termasuk kurangnya dukungan layanan pengasuhan anak publik , diskriminasi pasar kerja, dan rendahnya akses kredit serta pasar bagi usaha mikro yang 60% di antaranya dimiliki perempuan.
Selain itu, tantangan kualitatif terlihat dari dominasi perempuan di sektor informal. Banyak kepala rumah tangga perempuan masih bekerja di sektor informal, seperti berusaha sendiri (30.7%). Oleh karena itu, ROI investasi pendidikan hanya akan maksimal jika disertai investasi komplementer dalam kebijakan lingkungan kerja yang inklusif dan infrastruktur pengasuhan anak, memastikan bahwa pendidikan tinggi diterjemahkan menjadi pekerjaan formal berkualitas tinggi, bukan TPAK yang stagnan.
ROI Lintas Generasi: Dampak Pendidikan Ibu terhadap Kesejahteraan Sosial Anak
Dampak investasi pendidikan juga memiliki pengembalian sosial lintas generasi yang signifikan. Pengetahuan ibu mengenai gizi, yang terkait erat dengan tingkat pendidikan dan penyuluhan kesehatan yang diterima, memiliki hubungan yang signifikan dengan status gizi balita. Pengetahuan gizi yang baik membantu ibu memilih bahan makanan bernilai gizi tinggi dengan harga terjangkau, yang pada akhirnya menjadi cerminan kesehatan dan kesejahteraan anak serta penentu masa depan mereka. Pemberdayaan melalui peningkatan ilmu pengetahuan dan keterampilan juga merupakan alat yang efektif untuk memutus siklus kemiskinan dan memperbaiki penghidupan perempuan dan masyarakat miskin di lingkungannya.
Table 1: Hasil Ekonometri Dampak Pendidikan Perempuan terhadap PDB
| Variabel Investasi | Proksi (Indikator) | Koefisien Dampak | Signifikansi | Implikasi Kuantitatif ROI | Sumber |
| Investasi Pendidikan (Female Human Capital) | Rata-rata Lama Sekolah Perempuan (RLSP) | 0.268700 | Positif dan Signifikan (α=5%) | Setiap kenaikan 1% RLSP menaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.268700%. | |
| Partisipasi Ekonomi Langsung | Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Perempuan (FLFPR) | Positif Signifikan | Signifikan | Menunjukkan peran krusial kontribusi kerja langsung dalam mendorong PDB regional. |
Dimensi Ii: Roi Investasi Kesehatan Reproduksi (Mengoptimalkan Struktur Demografi)
Kesehatan Reproduksi sebagai Hak Dasar dan Pengungkit Ekonomi
Investasi kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi, diakui sebagai investasi strategis untuk masa depan. Akses yang tidak setara terhadap kontrasepsi yang terjangkau dan berkualitas berkontribusi pada kesenjangan gender yang lebih besar dalam hal kesejahteraan dan kualitas hidup. Sebaliknya, kesehatan reproduksi yang prima bagi perempuan (ibu dan calon ibu) meningkatkan produktivitas tenaga kerja dengan mengurangi angka morbiditas dan mortalitas yang tidak perlu, sekaligus mengurangi biaya beban sosial dan pengeluaran kesehatan rumah tangga.
Kontribusi Program Keluarga Berencana (KB) terhadap Demografi dan ROI
Optimalisasi program Keluarga Berencana (KB) berdampak langsung pada struktur demografi nasional. Program KB terbukti menyebabkan penurunan signifikan pada rasio ketergantungan. Penurunan rasio ketergantungan ini menghasilkan “dividen demografi,” di mana proporsi penduduk usia produktif meningkat relatif terhadap usia non-produktif, memberikan dorongan potensial besar pada angkatan kerja.
Kesehatan reproduksi terkait erat dengan partisipasi ekonomi. Tingkat pendidikan perempuan dan penggunaan alat kontrasepsi terbukti berpengaruh signifikan terhadap fertilitas. Meskipun tingkat kesuburan (fertility rate, FTR) dalam beberapa studi mungkin menunjukkan efek negatif dan tidak signifikan terhadap Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) , kebijakan yang berhasil mengendalikan fertilitas akan secara logis mengurangi beban reproduktif yang dipikul perempuan, memungkinkan mereka untuk berpartisipasi lebih stabil dan berkelanjutan di pasar tenaga kerja. Untuk memaksimalkan ROI, optimalisasi KB harus menekankan pada pemerataan, kualitas, dan edukasi kesehatan reproduksi, alih-alih hanya berfokus pada jumlah pengguna kontrasepsi.
ROI pada Kualitas Hidup dan Keseimbangan Peran
ROI Kesehatan Reproduksi tidak hanya diukur dari perubahan rasio ketergantungan makro, tetapi juga dari kemampuannya untuk mendukung perempuan dalam menyeimbangkan peran ekonomi dan peran reproduktif. Dalam konteks Indonesia, di mana perempuan masih memikul mayoritas pekerjaan pengasuhan (unpaid care work), fleksibilitas kerja menjadi penting. Penelitian menunjukkan bahwa ketika perempuan memiliki fleksibilitas dalam kerja, mereka memiliki kemampuan untuk menyeimbangkan aktivitas ekonomi dan peran reproduktif, sehingga dampak negatif partisipasi kerja terhadap fertilitas menjadi tidak signifikan. Hal ini menyiratkan bahwa ROI investasi dalam KB berkualitas tinggi yang dipasangkan dengan kebijakan kerja yang fleksibel menghasilkan pengembalian ganda—ekonomi dan sosial—tanpa mengorbankan kualitas hidup.
Dimensi Iii: Roi Partisipasi Politik Dan Kepemimpinan (Meningkatkan Efisiensi Tata Kelola)
Korelasi Representasi Politik dengan Kebijakan Publik yang Responsif Gender
Partisipasi politik perempuan (WRP) merupakan investasi strategis dalam kualitas tata kelola pemerintahan dan proses pengambilan kebijakan. Ketika angka partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan rendah, kebijakan publik yang dihasilkan sering kali kurang responsif terhadap kebutuhan spesifik perempuan, seperti kebutuhan kesehatan, pendidikan, atau lingkungan kerja. Oleh karena itu, peningkatan partisipasi politik perempuan sangat penting bagi kemajuan bangsa.
Pengukuran ROI Kualitatif: Penganggaran Sektor Sosial dan Tata Kelola
ROI dari partisipasi politik sebagian besar bersifat kualitatif namun memiliki nilai moneter melalui SROI. Peningkatan representasi perempuan terbukti mendorong kebijakan anggaran yang tanggap gender (Gender Responsive Budgeting). Anggaran yang lebih responsif gender cenderung mengalokasikan sumber daya secara lebih besar dan efisien untuk sektor sosial yang vital, seperti kesehatan dan pendidikan.
Selain itu, kepemimpinan perempuan di tingkat lokal, seperti Kepala Desa (Geuchik), menunjukkan peningkatan kualitas tata kelola. Kepemimpinan perempuan terbukti menggunakan sistem Self-Leadership dan Organizational Leadership yang terbuka, melibatkan masyarakat dalam administrasi, keuangan, dan kegiatan desa. Hal ini menghasilkan pembangunan desa yang lebih inklusif dan relevan, seperti pembangunan bak penampungan air dan jalan ke kantong-kantong produksi. Peningkatan transparansi dan kualitas tata kelola ini merupakan penghematan biaya sosial dan peningkatan efisiensi anggaran, yang merupakan komponen kunci dalam perhitungan SROI.
Hasil Ekonometri WRP terhadap PDB: Sebuah Penjelasan Kontradiksi
Beberapa studi ekonometri mengenai dampak pemberdayaan perempuan di Indonesia menunjukkan bahwa Representasi Perempuan di Parlemen (WRP) seringkali tidak memiliki efek yang signifikan secara statistik terhadap PDB regional.
Fenomena ini tidak berarti bahwa WRP tidak bernilai. Justifikasi yang lebih tepat adalah bahwa ROI dari partisipasi politik merupakan investasi mitigasi risiko dan kualitas, bukan investasi yang menghasilkan PDB langsung dalam jangka pendek. WRP berfungsi sebagai enabler kritis yang menjamin adanya kebijakan dan undang-undang yang mendukung keberlanjutan kontribusi ekonomi perempuan (FLFPR) yang telah terbukti signifikan terhadap PDB. WRP memastikan alokasi sumber daya publik adil dan efisien (seperti penganggaran yang tanggap gender). Dengan kata lain, ROI WRP adalah efisiensi dan kualitas belanja publik, yang pada akhirnya mendukung stabilitas dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Sintesis Dampak Holistik Pada Pdb Dan Kesejahteraan Sosial
Kuantifikasi Dampak Kumulatif (Aggregate Investment ROI)
ROI investasi dalam pemberdayaan perempuan bersifat sinergis. Investasi pada satu pilar akan meningkatkan efektivitas pilar lainnya. Misalnya, pendidikan tinggi (Pilar I) meningkatkan efektivitas program Keluarga Berencana (Pilar II), dan representasi politik yang kuat (Pilar III) akan mengamankan anggaran untuk kedua sektor tersebut.
Secara kumulatif, pemberdayaan perempuan terbukti efektif sebagai strategi pengentasan kemiskinan dan peningkatan perekonomian keluarga. Perempuan, khususnya melalui kewirausahaan sosial dan dukungan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), memiliki potensi besar untuk membangkitkan roda perekonomian keluarga. Program pemberdayaan membantu perempuan, terutama dari kalangan miskin, untuk “Naik Kelas,” mendapatkan penghasilan rutin, dan meningkatkan kesejahteraan keluarga secara berkelanjutan.
Analisis Kesejahteraan Sosial: Dari Pengentasan Kemiskinan hingga Keberlanjutan
Studi kasus Program Maju Perempuan Indonesia untuk Menanggulangi Kemiskinan (MAMPU) menunjukkan hasil yang nyata dalam aspek kesejahteraan. Program ini berfokus pada penyadaran, pengkapasitasan, dan pendampingan, yang terbukti efektif dalam memberdayakan kelompok perempuan miskin untuk memperbaiki penghidupan mereka dan mengatasi isu perlindungan sosial serta kesehatan reproduksi. Perempuan yang diberdayakan dan memiliki akses ekonomi yang setara dapat secara signifikan meningkatkan kesejahteraan keluarga dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi daerah.
Pekerjaan Perawatan Tidak Dibayar (Unpaid Care Work/UCW) dan Kebutuhan Kuantifikasi
Salah satu hambatan terbesar dalam memaksimalkan ROI pemberdayaan adalah pekerjaan perawatan tidak dibayar (Unpaid Care Work atau UCW). Meskipun UCW, yang mayoritas dilakukan oleh perempuan, secara tidak langsung berkontribusi pada perekonomian rumah tangga dengan memungkinkan anggota keluarga lain melakukan kegiatan ekonomi di luar rumah , beban UCW yang tidak didukung oleh infrastruktur publik menciptakan eksternalitas negatif.
Kesulitan ekonomi sering mendorong ibu mencari penghasilan di luar rumah, namun hal ini sering mengalihkan beban UCW kepada anak perempuan tertua. Anak perempuan ini terpaksa mengorbankan pendidikannya, sebagaimana dicontohkan dalam studi kasus di desa kantong TKI. Ini adalah biaya kegagalan yang signifikan. ROI riil dan berkelanjutan dari investasi human capital (Pilar I) hanya akan tercapai jika pemerintah berinvestasi pada layanan pengasuhan anak publik, yang pada dasarnya memonetisasi UCW dan memastikan keberlanjutan human capital generasi berikutnya.
Table 2: Matriks ROI Lintas Sektor: Indikator Kinerja Utama (KPI)
| Pilar Investasi | Peningkatan PDB (Output Ekonomi) | Peningkatan Kesejahteraan Sosial (Social Welfare) | Sumber Utama ROI |
| Pendidikan | Peningkatan produktivitas tenaga kerja; Kualitas penawaran tenaga kerja; Peningkatan pendapatan keluarga | Peningkatan gizi balita; Penurunan angka perkawinan usia dini; Kesadaran perencanaan keluarga | Human Capital Enhancement |
| Kesehatan Reproduksi | Penurunan rasio ketergantungan (Dividen Demografi); Peningkatan partisipasi kerja wanita | Pengurangan beban biaya kesehatan keluarga; Peningkatan kesehatan ibu dan anak | Demographic Shift & Health Savings |
| Partisipasi Politik | Penganggaran yang lebih efisien (Gender Responsive Budgeting); Tata kelola yang lebih terbuka dan kurang korup | Kebijakan sosial yang lebih responsif; Penurunan disparitas gender; Peningkatan pelayanan publik | Governance Efficiency & Risk Mitigation |
Tantangan Pengukuran Dan Hambatan Implementasi
Keterbatasan Data dan Metodologi SROI
Implementasi pengukuran ROI dalam konteks pemberdayaan perempuan, khususnya menggunakan kerangka SROI, masih menghadapi tantangan substansial. Kesulitan utama terletak pada kuantifikasi nilai moneter dari perubahan sosial yang tidak berwujud, seperti peningkatan harga diri, otonomi pengambilan keputusan, atau pengurangan kekerasan.
Lebih lanjut, terdapat kesenjangan data gender yang signifikan di Indonesia, terutama dalam mengumpulkan data yang akurat mengenai pekerjaan di sektor informal, pekerja lepas, atau pekerja keluarga yang tidak dibayar di sektor pertanian. Kesenjangan ini menyulitkan analisis dampak yang tepat. Misalnya, selama masa krisis seperti pandemi COVID-19, terlihat adanya “efek pekerja tambahan” di mana perempuan terdorong untuk masuk ke angkatan kerja karena tekanan ekonomi, yang sementara waktu mempersempit kesenjangan gender dalam TPAK, namun bersamaan dengan itu menurunkan kualitas pekerjaan secara keseluruhan. Peningkatan TPAK yang didorong oleh kebutuhan mendesak di sektor informal bukanlah indikasi ROI yang sehat dan berkelanjutan.
Hambatan Sosial Kultural dan Struktural
Meskipun investasi pada human capital terbukti bernilai tinggi, hambatan sosial dan struktural menghalangi konversi potensi ini menjadi ROI ekonomi maksimal. Kurangnya pemahaman mengenai kesetaraan gender masih menjadi faktor penghambat yang signifikan, yang berdampak pada sulitnya perekonomian perempuan miskin untuk berkembang.
Secara ekonomi, hambatan struktural yang paling mendasar adalah akses. Meskipun perempuan mendominasi kepemilikan usaha mikro, potensi pertumbuhan bisnis mereka terhalang oleh akses kredit dan pasar yang lebih rendah dibandingkan dengan bisnis yang dimiliki oleh laki-laki. Hal ini membatasi kemampuan perempuan untuk “Naik Kelas” dari sektor informal ke sektor formal yang lebih stabil dan berkontribusi lebih besar pada PDB.
Rekomendasi Kebijakan Strategis Dan Prioritas Investasi
Rekomendasi Lintas Sektor untuk Mempercepat ROI
Untuk memastikan ROI maksimal dari investasi gender, kebijakan harus bersifat komplementer dan sinergis. Investasi pendidikan (yang menghasilkan koefisien PDB 0.268700 ) harus didukung oleh investasi infrastruktur sosial, terutama layanan pengasuhan anak publik skala besar , dan peningkatan akses kredit serta pasar bagi UMKM. Pendekatan kewirausahaan sosial juga harus didukung, karena terbukti efektif dalam memberdayakan perempuan miskin untuk “Naik Kelas” dan membangun kesejahteraan bersama.
Table 3: Rekomendasi Kebijakan Berdasarkan Prioritas ROI
| Pilar | Aksi Kebijakan Prioritas | Target Output (ROI Kunci) | |
| Pendidikan | Mendorong pemerataan akses pendidikan menengah/tinggi; Pelatihan keterampilan berorientasi pasar formal. | Peningkatan rata-rata lama sekolah (RLSP); Optimalisasi koefisien PDB 0.268700. | |
| Kesehatan Reproduksi | Optimalisasi program Keluarga Berencana (KB) dengan fokus pada kualitas, edukasi, dan pemerataan kontrasepsi modern. | Penurunan signifikan rasio ketergantungan; Peningkatan kesadaran perencanaan keluarga. | |
| Partisipasi Politik | Menerapkan penganggaran tanggap gender (Gender Responsive Budgeting) secara wajib; Mendorong kepemimpinan perempuan di tingkat desa. | Alokasi anggaran yang lebih efisien untuk sektor sosial; Peningkatan kualitas tata kelola publik. | |
| Struktural (Lintas Sektor) | Investasi publik besar-besaran pada layanan pengasuhan anak dan perawatan jangka panjang. | Monetisasi unpaid care work; Peningkatan TPAK perempuan di sektor formal. |
Penutup Dan Prospek Masa Depan
Pemberdayaan perempuan tidak lagi dapat dilihat hanya sebagai isu keadilan sosial, melainkan sebagai imperatif ekonomi yang vital untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan PDB. Bukti kuantitatif, seperti koefisien positif RLSP sebesar 0.268700, mengonfirmasi tingginya pengembalian finansial dari investasi pada modal manusia perempuan.
Meskipun demikian, untuk mewujudkan potensi penuh ini, pemerintah dan pemangku kepentingan harus mengatasi tantangan struktural yang menghalangi konversi pendidikan menjadi partisipasi kerja berkualitas. Hal ini memerlukan investasi komplementer, terutama dalam layanan pengasuhan anak dan kebijakan ketenagakerjaan yang inklusif, serta penggunaan kerangka SROI untuk secara akurat menangkap nilai moneter dari pengembalian sosial (misalnya, peningkatan tata kelola, pengurangan kemiskinan, dan peningkatan kesehatan anak).
Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta sangat diperlukan untuk menciptakan ekosistem yang memungkinkan perempuan berdaya dan berkontribusi secara maksimal. Penelitian lanjutan diperlukan untuk lebih mendalam mengkuantifikasi Social Return on Investment (SROI) dari berbagai program pemberdayaan dan mengatasi keterbatasan data yang ada, terutama di sektor informal, untuk memastikan kebijakan yang dihasilkan didasarkan pada bukti yang komprehensif.
