Krisis Akses dan Keterjangkauan di Pendidikan Tinggi Global South

Akses yang setara terhadap pendidikan tinggi dan hasil penelitian ilmiah merupakan prasyarat fundamental bagi pembangunan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan. Namun, negara-negara berkembang, yang sering disebut sebagai Global South, menghadapi hambatan struktural yang signifikan. Biaya pendidikan tinggi, termasuk biaya materi pembelajaran, telah menjadi penghalang utama yang menghalangi partisipasi yang setara, terutama bagi mahasiswa dari latar belakang ekonomi rendah. Model penerbitan tradisional yang didasarkan pada langganan berbayar (paywall) dan hak cipta yang ketat memperburuk ketidaksetaraan ini, menciptakan kesenjangan informasi yang lebar antara institusi di negara maju yang kaya sumber daya dengan institusi di negara berkembang yang kekurangan dana.

Keterbatasan akses ini tidak hanya menghambat kemajuan individu tetapi juga membatasi inovasi nasional. Ketika institusi di Global South tidak mampu membayar biaya langganan jurnal dan buku teks yang mahal, peneliti dan pendidik lokal terisolasi dari diskursus global, menghambat kemampuan mereka untuk menghasilkan kekayaan intelektual baru yang relevan dengan konteks lokal. Oleh karena itu, diperlukan suatu pergeseran paradigma menuju model keterbukaan yang secara inheren inklusif dan berkelanjutan, yaitu melalui Open Access (OA), Open Educational Resources (OER), dan Open Source (OS).

Definisi Kunci dan Sinergi Model Keterbukaan

Demokratisasi pengetahuan adalah hasil dari sinergi tiga gerakan utama:

  1. Open Access (OA):Ini adalah gerakan yang menyediakan akses gratis dan tanpa hambatan terhadap hasil penelitian dan karya ilmiah. Akses terbuka didefinisikan tidak hanya sebagai akses gratis (free of charge) tetapi juga sebagai hak untuk menggunakan ulang karya tersebut secara ekstensif. OA sangat penting untuk diseminasi pengetahuan yang didanai publik, memungkinkan komunitas ilmiah global untuk memverifikasi dan membangun di atas karya yang ada.
  2. Open Educational Resources (OER):OER mencakup semua materi pembelajaran, pengajaran, dan penelitian dalam format dan medium apa pun yang berada di domain publik atau dirilis di bawah lisensi terbuka. Lisensi ini secara eksplisit memberikan izin kepada publik untuk mengakses, menggunakan kembali (re-use), menggunakan ulang tujuan (re-purpose), mengadaptasi (adapt), dan mendistribusikan ulang (redistribute) materi pendidikan tanpa biaya. OER diidentifikasi sebagai model sharing materi pendidikan baru yang diklasifikasikan ke dalam OER individu, buku teks terbuka (open textbooks), dan open courseware.
  3. Open Source (OS):Merujuk pada perangkat lunak dengan kode sumber yang tersedia untuk umum, yang dapat digunakan, dimodifikasi, dan dibagikan secara bebas. OS menyediakan landasan infrastruktur berbiaya rendah (seperti Learning Management System/LMS atau platform repositori) yang krusial untuk menyimpan, mengelola, dan mendistribusikan OA dan OER secara berkelanjutan.

Lisensi Terbuka: Instrumen Hukum untuk Demokratisasi (Creative Commons)

Lisensi terbuka, terutama lisensi Creative Commons (CC), bertindak sebagai instrumen hukum yang esensial untuk mengaktifkan demokratisasi pengetahuan. Lisensi CC adalah lisensi hak cipta publik yang memungkinkan distribusi gratis dari suatu “karya” yang tetap dilindungi hak cipta. Lisensi ini memberikan fleksibilitas kepada penulis (misalnya, mengizinkan penggunaan non-komersial) sambil memberikan perlindungan hukum bagi pengguna, menghilangkan kekhawatiran pelanggaran hak cipta asalkan persyaratan lisensi dipatuhi.

Dalam konteks Global South, penggunaan lisensi standar ini sangat penting. Lisensi CC dan Digital Peer Publishing Licences (DPPL) kompatibel secara internasional, berbeda dengan lisensi yang lebih spesifik seperti GNU-FDL yang terikat pada area hukum Anglo-Amerika. Kompatibilitas internasional ini berfungsi sebagai jembatan hukum yang menyederhanakan transfer dan adaptasi OER melintasi batas negara. Dengan mengurangi kompleksitas interpretasi hukum hak cipta lokal yang berbeda-beda, lisensi CC memfasilitasi kerja sama Selatan-Selatan dalam pengembangan kurikulum dan materi ajar. Penting untuk dicatat bahwa Open Knowledge Foundation menyetujui lisensi CC BY, CC BY-SA, dan CC0 sebagai lisensi yang sepenuhnya sesuai dengan “Open Definition” untuk konten dan data.

OER tidak boleh dipandang hanya sebagai materi pendukung tunggal, tetapi sebagai model sharing terstruktur yang beralih menjadi solusi kurikulum terintegrasi. Ketika materi seperti open textbooks atau open courseware diadopsi , institusi di negara berkembang dapat mengadopsi seluruh rangkaian kursus berbiaya nol, mengatasi masalah perencanaan kurikulum dan pengajaran tanpa bergantung pada materi berbayar atau infrastruktur pendidikan asing yang mahal.

Pilar Ekonomis dan Pedagogis OER: Mengubah Akses menjadi Kesetaraan

Penerapan Open Educational Resources (OER) secara masif di pendidikan tinggi menghasilkan dampak ganda: penghematan biaya yang substansial bagi mahasiswa dan peningkatan metrik keberhasilan akademik, yang secara kolektif meningkatkan ekuitas.

Analisis Kuantitatif Dampak Ekonomi OER

Data dari studi skala besar (misalnya, OER Degree Initiative di AS) menunjukkan bahwa implementasi OER menghasilkan penghematan biaya yang nyata bagi mahasiswa. Rata-rata penghematan biaya bagi siswa adalah minimal $65 per mata kuliah. Penghematan ini memiliki dimensi ekuitas yang signifikan, karena tanggapan positif terhadap penghematan ini jauh lebih antusias di kalangan penerima bantuan keuangan (seperti hibah Pell) dan mahasiswa dari kelompok minoritas yang kurang terwakili. Hal ini menunjukkan bahwa OER secara langsung menghilangkan hambatan finansial yang merupakan penghalang langsung terhadap kesuksesan akademis di negara berkembang.

Dari perspektif institusional, biaya untuk beralih ke jalur OER (meliputi pelatihan fakultas dan dukungan program) adalah sekitar $70 per siswa yang terdaftar dalam mata kuliah OER. Biaya ini dianggap cost-effective dan recoverable. Bahkan, beberapa institusi melaporkan pendapatan tambahan karena peningkatan pendaftaran mahasiswa yang tertarik pada program studi bebas biaya buku. Ini membuktikan kelayakan OER sebagai strategi jangka panjang yang berkelanjutan. Meskipun demikian, transisi ini memerlukan komitmen sumber daya, karena peralihan penuh ke OER awalnya dapat membutuhkan waktu perencanaan pelajaran dua kali lebih banyak bagi para profesor.

Peningkatan Keberhasilan Akademik dan Retensi

Dampak OER melampaui metrik keuangan. Analisis data awal secara konsisten menunjukkan bahwa mata kuliah yang mengadopsi OER mengalami peningkatan signifikan dalam tingkat retensi baik dalam satu semester maupun satu tahun. Selain itu, tingkat penarikan (withdrawal rates) juga menurun secara signifikan.

Secara lebih rinci, kehadiran OER mengurangi tingkat DFW (nilai D, F, atau Withdrawal) sebesar 2.68% untuk semua siswa yang terdaftar. Penurunan tingkat kegagalan ini sangat penting bagi institusi di Global South, karena meningkatkan efisiensi sistem pendidikan tinggi dan memaksimalkan pengembalian investasi pendidikan. Selain mengurangi tingkat kegagalan, OER juga dikaitkan dengan peningkatan persentase nilai yang lebih tinggi, dengan peningkatan 5.50% untuk nilai A, 7.73% untuk nilai A-, dan 1.14% untuk nilai B+.

Ini memperkuat argumen bahwa OER harus dipandang sebagai investasi untuk kualitas dan ekuitas, bukan sekadar pemotongan biaya. Dengan menjamin bahwa siswa memiliki materi sejak hari pertama tanpa menunggu kemampuan finansial untuk membeli buku, OER secara langsung mendukung lingkungan belajar yang lebih produktif.

Pengembangan OER yang Fleksibel dan Terstruktur

Pemanfaatan OER menjadi lebih efektif jika diadopsi dalam bentuk yang terstruktur, seperti open textbooks dan open courseware. Adopsi buku teks terbuka (bukan hanya OER individual) menyederhanakan proses adopsi dan revisi di tingkat departemen. Kolaborasi yang terstruktur, seperti melalui Open Textbook Network yang beranggotakan banyak kampus , menunjukkan model sinergi yang berhasil dalam mempromosikan peluang pendidikan. Platform seperti LibreTexts, yang telah mengembangkan sekitar 398 buku teks terbuka, dan EdTech Books, yang memiliki 53 buku teks terbuka , menawarkan solusi kurikulum terintegrasi yang siap pakai.

Adopsi OER tingkat courseware ini memungkinkan institusi untuk menawarkan “jalur OER” (OER pathway) yang sepenuhnya menghilangkan biaya buku untuk seluruh program gelar, memaksimalkan manfaat ekonomi bagi mahasiswa.

Akses Terbuka (OA) dan Repositori: Visibilitas dan Otonomi Penelitian Global South

Akses Terbuka sebagai Alat Demokratisasi Pengetahuan Global

Gerakan Akses Terbuka memiliki dampak transformatif pada komunitas ilmiah di negara berkembang. Prinsip utama OA adalah secara fundamental mengurangi kesenjangan informasi antara institusi yang kaya dan institusi yang miskin. Dengan menghilangkan paywall, OA meningkatkan partisipasi peneliti dari negara berkembang dalam diskursus global, memastikan temuan mereka dipertimbangkan dan diakses secara luas.

Lebih dari sekadar akses, OA juga mendorong praktik penelitian yang lebih terbuka dan transparan, yang memungkinkan verifikasi hasil secara lebih mudah. Hal ini sangat penting untuk membangun kredibilitas dan akuntabilitas ilmiah di tingkat global, memberikan peluang bagi peneliti di Global South untuk menyumbangkan karya-karya baru yang berguna untuk pengembangan repositori institusional.

Peran Sentral Repositori Institusi Akses Terbuka (OAIR)

Repositori Institusi Akses Terbuka (OAIR) merupakan wadah penting dalam sistem komunikasi ilmiah modern. Repositori ini berfungsi untuk menampung bentuk asli dari hasil kajian, penelitian, dan kekayaan intelektual lainnya yang dihasilkan oleh komunitas perguruan tinggi, seperti skripsi, tesis, dan disertasi. Peran OAIR sangat strategis karena tidak hanya berfungsi sebagai arsip, tetapi juga mendorong terbentuknya jaringan pengetahuan ilmiah sekaligus menjaga hak cipta atas karya ilmiah tersebut.

Perpustakaan perguruan tinggi memainkan peran sentral. Mereka didorong oleh gerakan OA untuk menyebarkan dan mempromosikan karya komunitas penelitian lokalnya sendiri melalui pengembangan repositori institusi. Perpustakaan harus melakukan promosi yang efektif mengenai Repositori Institusional kepada sivitas akademik dan memastikan dukungan kebijakan universitas yang menggalakkan kebijakan akses terbuka.

Demokratisasi pengetahuan melalui OA bersifat timbal balik. Akses gratis ke literatur global memungkinkan peneliti Global South berpartisipasi penuh, sementara repositori institusi memastikan bahwa karya-karya lokal—yang seringkali relevan secara kontekstual—disebarkan, meningkatkan visibilitas dan pengakuan global terhadap pengetahuan yang dihasilkan di kawasan tersebut.

Tantangan Kebijakan dan Keberlanjutan Repositori

Meskipun penting, keberlanjutan OAIR menghadapi tantangan, khususnya terkait kebijakan dan hak cipta. Salah satu masalah utama adalah memastikan bahwa penyebaran karya dalam repositori tidak melanggar Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Peter Suber (2015) menegaskan bahwa publikasi OA harus diterapkan segera, bukan ditunda, dan harus mencakup teks lengkap, bukan hanya abstrak atau ringkasan.

Keberlanjutan OAIR bergantung pada manajemen kebijakan yang kuat, bukan sekadar investasi teknologi. Bukti menunjukkan bahwa banyak institusi melakukan investasi yang cukup besar pada repositori, namun komitmen dari ilmuwan dan peneliti untuk deposit yang konsisten belum sepenuhnya ditunjukkan. Keberlanjutan OAIR di beberapa studi masih berada pada level rendah hingga medium. Untuk mengatasinya, diperlukan kebijakan yang menguatkan pengelolaan dan mendukung sumber daya manusia.

Upaya advokasi yang efektif sangat krusial, dan ini harus berupa kombinasi pendekatan top-down (mandat kebijakan) dan bottom-up (kerjasama pustakawan dan staf pengajar). Hambatan utama dalam advokasi adalah miskonsepsi yang meluas terhadap gerakan OA. Selain itu, kebijakan harus memperjelas hak cipta, misalnya dengan memberikan hak eksklusif penulis kepada perpustakaan, sambil tetap memungkinkan penulis untuk menyebarkan karyanya. Menariknya, untuk keberlanjutan lokal, beberapa model memungkinkan pengenaan biaya tertentu untuk pemustaka di luar kampus untuk hak akses atau unduh, yang kemudian diakumulasikan dan diserahkan kepada penulis. Meskipun ini mengorbankan prinsip akses gratis mutlak, model ini menyediakan jalur pendanaan operasional bagi institusi yang kekurangan sumber daya.

Perangkat Lunak Sumber Terbuka (OS) dan Infrastruktur Teknologi yang Mandiri

Keunggulan Biaya dan Kustomisasi Sistem Open Source

Perangkat lunak Sumber Terbuka (Open Source/OS) memberikan landasan teknologi yang sangat menguntungkan bagi institusi di negara berkembang. Dengan LMS open source, umumnya tidak ada biaya awal untuk membeli perangkat lunak karena kode sumbernya tersedia gratis untuk diunduh dan digunakan. Hal ini mengurangi biaya lisensi yang mahal dan memungkinkan institusi yang memiliki anggaran modal terbatas untuk membangun sistem manajemen pembelajaran yang komprehensif.

Adopsi OS menciptakan kedaulatan teknologi. Daripada terperangkap dalam biaya berlangganan berkelanjutan dan ketergantungan pada vendor asing (vendor lock-in) seperti yang terjadi pada LMS berlisensi, OS memungkinkan institusi untuk mengalokasikan dana yang dihemat untuk kustomisasi, instalasi, dan pemeliharaan lokal. Hal ini secara langsung berkontribusi pada pembangunan kapasitas SDM teknis internal. Contoh solusi LMS OS yang populer dan dapat diskalakan termasuk Open edX (dikembangkan oleh Harvard dan MIT, ideal untuk kursus online berskala besar) dan Chamilo (ringan dan mudah digunakan, cocok untuk organisasi kecil).

Infrastruktur Penelitian Terbuka: Peluang di Era AI

Kemajuan pesat dalam Kecerdasan Buatan (AI) menimbulkan risiko kesenjangan digital yang besar. Saat ini, R&D dan manfaat ekonomi AI sangat terkonsentrasi di negara maju (AS, China, Eropa). Proyeksi menunjukkan bahwa hanya persentase kecil (misalnya, 8% untuk gabungan Afrika, Oseania, dan pasar Asia lainnya) dari $19.9 triliun manfaat ekonomi AI yang diproyeksikan hingga tahun 2030 akan mengalir ke Global South.

AI Sumber Terbuka (Open-source AI) adalah strategi geopolitik dan ekonomi yang penting untuk mengatasi ketidakseimbangan ini. Model AI Sumber Terbuka, seperti yang dikembangkan oleh DeepSeek  atau platform kolaboratif seperti Hugging Face , memberikan peluang bagi negara berkembang untuk menutup kesenjangan digital. Dengan adopsi model OS AI, R&D lokal dapat dilakukan dengan biaya yang jauh lebih rendah dan lebih cepat, mencegah marginalisasi teknologi di masa depan dan memungkinkan kontribusi Global South terhadap tata kelola AI global. Selain itu, perangkat penelitian berbasis akses terbuka seperti Elicit dan Research Rabbit dapat secara signifikan membantu mahasiswa dan peneliti lokal dalam mengorganisir dan menemukan referensi ilmiah, meningkatkan kualitas penelitian (misalnya, dalam pengerjaan skripsi).

Tantangan Struktural dan Strategi Kustomisasi Konten di Negara Berkembang

Mengatasi Kesenjangan Digital yang Multi-Dimensi

Tantangan terbesar dalam mengadopsi OER dan OA di negara berkembang bukanlah hanya masalah ketersediaan infrastruktur fisik (akses internet). Analisis menunjukkan bahwa masalah kesenjangan digital di Indonesia, misalnya, juga terkait erat dengan dimensi kedua, yaitu kompetensi digital. Peningkatan akses internet tidak selalu berjalan linear dengan peningkatan kompetensi digital masyarakat—kemampuan, motivasi, dan kapasitas untuk menggunakan internet secara produktif untuk mendapatkan informasi yang bermanfaat dan meningkatkan kegiatan ekonomi.

Kesenjangan kompetensi ini memiliki implikasi langsung terhadap efektivitas OER. OER yang berkualitas tidak akan efektif jika pengguna akhir (siswa dan pengajar) tidak memiliki keterampilan digital yang memadai untuk mengakses, mengadaptasi, atau menggunakannya secara produktif. Oleh karena itu, strategi implementasi harus fokus pada program literasi digital yang ditargetkan untuk mengatasi kesenjangan lapisan kedua ini.

Pentingnya Relevansi Lokal dan Adaptasi Konten

Lisensi terbuka memberikan izin untuk mengadaptasi materi, dan adaptasi ini adalah kunci keberhasilan OER di Global South. OER harus dirancang agar konteks-spesifik dan cost-effective. OER yang sekadar terjemahan dari materi Barat dapat gagal mencapai tujuan inklusivitas jika tidak menghormati keragaman budaya dan memperkuat nilai-nilai lokal.

Studi tentang pendidikan di konteks Indonesia, misalnya, menyoroti kebutuhan untuk menyeimbangkan relevansi lokal dengan integritas keilmuan. Pendekatan ini bertujuan menciptakan ruang belajar yang menghormati keragaman dan mendorong dialog lintas budaya. Demokratisasi pendidikan berarti menantang materi yang homogen dan memastikan bahwa materi pembelajaran mencerminkan pengetahuan lokal dan indigenous. Strategi yang direkomendasikan melibatkan kolaborasi dengan komunitas lokal dan pengadaptasian kurikulum berbasis proyek, yang secara langsung meningkatkan relevansi konten dan daya saing lulusan.

Model Keberlanjutan OER Jangka Panjang

Meskipun OER gratis bagi pengguna, keberlanjutan OER membutuhkan model pendanaan yang terpelihara. Biaya tetap ada untuk pembuatan konten baru yang relevan secara lokal, kurasi, hosting (repositori institusi), dan pemeliharaan teknis. Model keberlanjutan OAIR yang paling tangguh adalah model hibrida yang mengintegrasikan dukungan dana institusional, advokasi, dan layanan pendukung. Upaya advokasi OA yang sukses, yang menyajikan manfaat OA secara luas, dapat membantu perpustakaan memperoleh dukungan dana yang diperlukan dan meningkatkan citra publik perguruan tinggi, sehingga menjamin dukungan politik internal yang berkelanjutan.

Kerangka Kebijakan Strategis dan Rekomendasi untuk Keberlanjutan

Pemandu Kebijakan Global: Rekomendasi UNESCO OER 2019

Untuk memastikan adopsi OER dan OA yang sistematis dan berkelanjutan di Global South, institusi dan pemerintah harus mengacu pada kerangka kerja internasional. Rekomendasi UNESCO tentang OER 2019 adalah instrumen normatif internasional pertama yang menyediakan kerangka kerja untuk materi dan teknologi berlisensi terbuka. Rekomendasi ini berpusat pada lima area aksi kunci yang harus diimplementasikan oleh Negara Anggota.

Negara berkembang harus menggunakan kerangka ini untuk merumuskan strategi nasional yang koheren, dengan fokus pada pembangunan kapasitas lokal dan penciptaan konten yang relevan secara kontekstual. Strategi ini juga harus melibatkan penguatan kerja sama internasional (termasuk Kerjasama Selatan-Selatan) untuk berbagi praktik terbaik dalam kebijakan dan pembangunan kapasitas OER, mempercepat pembelajaran kolektif tanpa harus menciptakan kembali kerangka kerja secara individu.

Tabel 6.1: Lima Area Aksi UNESCO OER: Pedoman Kebijakan untuk Global South

Area Aksi Fokus Utama (Relevansi Global South) Implikasi Kebijakan yang Direkomendasikan
(i) Membangun Kapasitas Pemangku Kepentingan Melatih pendidik, peneliti, dan pustakawan untuk 5R (menciptakan, mengakses, menggunakan kembali, mengadaptasi, mendistribusikan). Mewajibkan pelatihan lisensi CC dan lokakarya pengembangan OER lokal bagi semua staf pengajar baru.
(ii) Mengembangkan Kebijakan Pendukung Mengintegrasikan OER ke dalam kebijakan nasional/institusional. Menerapkan mandat OA untuk semua penelitian yang didanai publik dan kebijakan preferensi OER dalam pengadaan materi ajar.
(iii) Mendorong OER Kualitas yang Inklusif dan Adil Memastikan OER non-diskriminatif, relevan secara kontekstual, dan mudah diakses. Mengembangkan OER dalam bahasa lokal dan memastikan desain yang dapat diakses dengan infrastruktur koneksi rendah/perangkat seluler.
(iv) Memelihara Model Keberlanjutan Menciptakan model pendanaan jangka panjang untuk kreasi, kurasi, dan penyimpanan OER. Alokasi anggaran institusi untuk mendukung repositori dan memberikan penghargaan (waktu/promosi) kepada fakultas kontributor OER.
(v) Memfasilitasi Kerja Sama Internasional Mendorong berbagi pengetahuan dan transfer teknologi antar negara. Memperkuat kemitraan Selatan-Selatan, terutama dalam berbagi infrastruktur OS dan konten OER adaptif.

Rekomendasi Kebijakan Preskriptif untuk Pendidikan Tinggi Global South

Berdasarkan analisis dampak ekonomi dan tantangan struktural, disarankan empat strategi kebijakan preskriptif untuk pendidikan tinggi di Global South:

  1. Mandat OA dan OER yang Tegas:Institusi harus mengadopsi kebijakan OA mandate secara top-down yang secara eksplisit mewajibkan semua karya ilmiah (termasuk skripsi, tesis, dan penelitian yang didanai publik) untuk didepositkan segera dalam Repositori Institusi.
  2. Sistem Insentif Fakultas yang Jelas:Mengingat bahwa perencanaan OER membutuhkan waktu yang lebih lama , institusi harus memberikan insentif eksplisit (misalnya, pengurangan beban mengajar, dana riset, atau pengakuan dalam proses promosi karier) kepada staf pengajar yang menciptakan atau mengadopsi OER secara berkelanjutan. Keberlanjutan OAIR yang paling efektif menggabungkan mandat top-down dengan dukungan layanan perpustakaan (seperti deposit termediasi oleh petugas) dan motivasi bottom-up dari peneliti.
  3. Prioritas pada Infrastruktur Berbasis OS:Investasi teknologi harus memprioritaskan perangkat lunak open source (LMS seperti Open edX, platform repositori, dan alat penelitian OS AI) untuk menghindari biaya lisensi tinggi dan membangun kapasitas teknis dan kedaulatan teknologi lokal.
  4. Fokus pada Literasi dan Kompetensi Digital:Program-program harus diluncurkan untuk secara spesifik mengatasi kesenjangan kompetensi digital, memastikan bahwa pengguna tidak hanya memiliki akses fisik tetapi juga motivasi dan keterampilan untuk memanfaatkan OER dan informasi terbuka secara produktif guna meningkatkan hasil ekonomi dan akademik.

esimpulan: Masa Depan Pendidikan dan Penelitian yang Inklusif

Open Source, Open Access, dan Open Educational Resources adalah pendorong utama transformasi pendidikan yang demokratis, ekonomis, dan berkelanjutan di Global South. Gerakan keterbukaan ini secara efektif meruntuhkan hambatan biaya yang membatasi akses ke pendidikan tinggi, meningkatkan retensi dan keberhasilan akademik mahasiswa, sekaligus meningkatkan visibilitas dan otonomi penelitian lokal di arena global.

Namun, potensi penuh dari model ini hanya dapat diwujudkan jika didukung oleh kebijakan institusional dan nasional yang kuat, terkoordinasi, dan terstruktur. Keberhasilan bergantung pada pergeseran fokus dari sekadar penyediaan akses menjadi pembangunan kapasitas digital yang mendalam, penciptaan konten yang relevan secara lokal, dan penerapan kerangka kebijakan (seperti Rekomendasi UNESCO) yang menjamin keberlanjutan pendanaan dan memberikan insentif yang memadai bagi komunitas akademik. Dengan komitmen ini, keterbukaan akan menjadi katalisator bagi kesetaraan pendidikan dan pembangunan pengetahuan yang inklusif di negara-negara berkembang.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

62 + = 65
Powered by MathCaptcha