Tulisan ini menguraikan kontradiksi filosofis dan praktis yang menjadi inti tata kelola Hak Asasi Manusia (HAM) internasional: pertentangan antara Universalisme HAM dan Relativisme Budaya (RB). Universalisme berpendapat bahwa hak-hak tertentu bersifat mutlak dan melekat (inherent) pada setiap individu semata-mata karena statusnya sebagai manusia, terlepas dari kebangsaan, lokasi, bahasa, agama, atau status lainnya. Sebaliknya, Relativisme Budaya menantang klaim ini dengan menegaskan bahwa nilai-nilai moral, etika, dan keadilan hanya dapat dipahami dan diterapkan secara sah dalam konteks budaya, agama, dan tradisi lokal tempat nilai-nilai tersebut berasal. Konflik konseptual ini bukan hanya debat akademis; ia merupakan inti dari politik internasional kontemporer dan manifestasi berulang dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pernyataan Dilema di PBB
Dilema ini memiliki implikasi kebijakan luar negeri, kedaulatan negara, dan legitimasi standar internasional. PBB, melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) yang diproklamirkan pada tahun 1948, menetapkan HAM sebagai “standar umum pencapaian bagi semua bangsa dan semua negara”. Meskipun demikian, negara-negara anggota sering menggunakan dalih relativisme budaya untuk membatasi atau menolak implementasi hak tertentu, khususnya yang berkaitan dengan kebebasan sipil, politik, dan perlindungan minoritas. Pada dasarnya, HAM adalah hak kodrati yang muncul secara otomatis. Namun, jika pemenuhannya dibebankan kepada negara dan dibalas dengan kewajiban asasi yang ditentukan secara kultural, HAM berisiko kehilangan sifat kodratinya dan menjadi hak bersyarat, yang melemahkan perlindungannya terhadap individu dari kekuasaan negara.
Tujuan dan Struktur Analisis
Laporan ini bertujuan untuk: (1) Menguraikan landasan filosofis dan hukum dari Universalisme HAM; (2) Menganalisis secara kritis argumen Relativisme Budaya, termasuk kritik post-kolonial; (3) Menyajikan studi kasus konflik yang sulit diselesaikan (irreducible conflict) yang muncul dalam perdebatan di PBB; dan (4) Mengeksplorasi model sintesis untuk menuju kerangka kerja “Universalisme Relatif” yang fungsional dalam praktik internasional.
Landasan Filosofis Dan Hukum Universalisme Ham
Asal-Usul Konseptual HAM Universal
Universalisme berakar pada gagasan hak kodrati (natural rights), di mana setiap manusia memiliki martabat inheren yang tidak dapat dicabut. Dasar filosofis universalitas ini dikembangkan oleh pemikir Pencerahan. John Locke, seorang filsuf Inggris, berfokus pada elemen politik dan hak individu, yang karyanya sangat berpengaruh pada dokumen-dokumen politik fundamental. Sementara itu, Immanuel Kant, melalui “revolusi Kopernikan” dalam filsafat, memberikan dasar rasional, menghubungkan moralitas dan hak dengan struktur akal manusia, memberikan justifikasi bahwa HAM bersifat universal karena melekat pada kondisi kemanusiaan itu sendiri.
Penganut universalisme murni memandang HAM sebagai hak yang muncul secara otomatis selama seseorang adalah manusia. Meskipun demikian, dalam realitasnya, hak-hak ini membutuhkan perjanjian internasional yang rentan untuk diingkari. Terdapat dilema: jika HAM bersyarat pada pemenuhan “kewajiban asasi” (yang ditentukan oleh negara atau budaya), maka hak tersebut berhenti menjadi kodrati dan dapat dicabut, melanggar sifat unalienable yang seharusnya melindungi individu dari tirani kolektif atau pemerintah. Perlindungan individu dari kekuasaan adalah tujuan utama HAM, sehingga konsep core minimum HAM universal menjadi penting.
UDHR 1948 sebagai Pilar Konsensus Global
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) yang diadopsi pada tahun 1948 adalah dokumen tonggak sejarah yang dirancang untuk menjadi “standar umum pencapaian bagi semua bangsa dan semua negara”. Dokumen ini disusun oleh perwakilan dari berbagai latar belakang hukum dan budaya dari semua wilayah dunia, suatu fakta yang menentang klaim bahwa deklarasi tersebut semata-mata merupakan produk peradaban Barat.
Inti dari klaim universalitas UDHR adalah penekanan pada hak yang melekat pada human being—manusia—terlepas dari status kewarganegaraan (citizenship). Ini termasuk perlindungan bagi pengungsi dan pencari suaka. Martabat inheren manusia diakui sebagai dasar kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia. Lebih jauh, analisis menunjukkan bahwa gerakan kemerdekaan dan anti-apartheid yang terjadi di pertengahan abad ke-20 secara historis menggunakan bahasa universal hak dan kesetaraan yang kini dikenal sebagai HAM, untuk melegitimasi perjuangan mereka melawan penindasan kolonial. Ini membuktikan bahwa universalitas pada dasarnya adalah bahasa anti-tirani, bukan bahasa imperialis.
Penegasan Universalitas di Hukum Internasional Kontemporer
Untuk memperkuat fondasi ini, komunitas internasional memberikan respons diplomatik yang tegas terhadap gelombang relativisme pasca-Perang Dingin, khususnya dalam Deklarasi dan Program Aksi Wina tahun 1993. Deklarasi Wina secara eksplisit menyatakan bahwa “semua hak asasi manusia adalah universal, tak terbagi (indivisible), saling bergantung (interdependent) dan saling terkait (interrelated)“.
Penegasan prinsip tak terbagi (indivisibility) ini sangat krusial, karena menolak upaya untuk menciptakan hierarki di antara hak-hak (misalnya, memprioritaskan hak ekonomi di atas hak sipil dan politik, atau sebaliknya). Prinsip ini juga merupakan alat penting dalam menangkis argumen dari negara-negara yang ingin membatasi kebebasan politik demi pembangunan ekonomi. Dalam kerangka hukum internasional, perlindungan dan promosi hak-hak dasar ini didefinisikan sebagai tanggung jawab pertama pemerintah.
Argumen Dan Kritik Relativisme Budaya
Relativisme Budaya adalah tantangan teoritis paling utama terhadap konsep HAM universal.3 Pijakannya adalah bahwa nilai moral dan etika hanya dapat dipahami dalam kerangka budaya tempat nilai tersebut terbentuk.
Taksonomi Pandangan Relativis
Untuk menganalisis dampak Relativisme Budaya (RB), penting untuk membedakan bentuk-bentuknya, seperti yang dipilah oleh sarjana HAM.
- Partikularistik-Absolut: Ini adalah pandangan ekstrem yang secara total menolak berlakunya dokumen internasional. Penganutnya melihat HAM murni sebagai persoalan masing-masing bangsa. Pandangan ini sering digunakan untuk membenarkan kedaulatan mutlak dan menolak campur tangan internasional.
- Universalisme-Relatif (Relativisme Terbatas/Lemah): Pandangan ini mengakui HAM sebagai masalah universal namun menerima adanya perkecualian (exceptions) atau variasi implementasi yang didasarkan pada asas-asas hukum internasional yang diakui dan dipengaruhi oleh moral serta etika lokal. Posisi ini adalah upaya mencari sintesis yang pragmatis.
Kritik Post-Kolonial dan Hegemoni Barat
Argumen relativis yang paling kuat berakar pada perspektif post-kolonial, yang melihat HAM universal sebagai instrumen hegemoni Barat. Kritik ini menunjukkan bahwa kolonialisme sangat sentral dalam perkembangan hukum internasional.
Para kritikus berpendapat bahwa negara-negara maju menggunakan HAM universal sebagai alat penilai (tool of judgment) yang eksploitatif untuk menekan negara-negara berkembang. Konsep HAM universal, yang dimulai dari pembentukan konsep kedaulatan, dianggap mengulang pola hegemoni pemikiran Barat yang merupakan bentuk Imperialisme Kultural baru. Dalam konteks ini, PBB menemukan adanya tren di mana “budaya” digunakan sebagai trope (dalih) oleh aktor anti-hak untuk membenarkan pelecehan HAM kontemporer, suatu penyalahgunaan sejarah kolonial yang merusak tujuan asli HAM.
Perbedaan Struktural Budaya dan Agama
Perbedaan landasan struktural budaya dan agama sering dijadikan dasar untuk menolak universalitas penuh. Misalnya, meskipun peradaban Barat mengklaim asal mula konsep HAM, dunia Islam juga berargumen bahwa konsep ini berasal dari ajaran Islam yang asli, menunjukkan bahwa akar permasalahannya adalah perbedaan landasan struktural yang digunakan, bukan semata-mata perbedaan agama. Upaya harus diarahkan untuk merekonstruksi kesamaan daripada hanya fokus pada perbedaan.
Di tingkat domestik, Indonesia menjadi studi kasus yang kompleks. Keragaman budaya dan prevalensi relativisme memengaruhi implementasi HAM. Konstitusi Indonesia memasukkan pembatasan terhadap HAM individu yang didasarkan pada “nilai-nilai agama” dan “pertimbangan moral” atau penerapan Hukum Adat. Dalam praktiknya, pembatasan ini, dengan dalih menjaga moralitas dan ketertiban umum, dapat membatasi kebebasan beragama minoritas atau kebebasan berekspresi. Konsep relativisme budaya memiliki sifat prismatic, berfungsi sebagai lensa yang mengintegrasikan nilai-nilai lokal saat menginterpretasikan standar HAM. Jika tidak dibatasi, lensa ini dapat digunakan untuk meniadakan perlindungan dasar individu ketika berbenturan dengan norma kolektif.
Titik Konflik Irreduksibel Di PBB(Studi Kasus)
Dilema universalisme vs. relativisme mencapai puncaknya ketika tradisi budaya berbenturan dengan hak-hak individu yang dianggap mutlak secara internasional.
Pelanggaran Martabat Manusia yang Mutlak: Batasan Relativisme
Beberapa bentuk kekejaman tidak dapat dinegosiasikan dengan alasan budaya, agama, atau kedaulatan. Kasus Kerangkeng Manusia dan perbudakan modern (di mana korban mengalami kerja paksa tanpa upah dan penyiksaan) adalah contoh pelanggaran martabat inheren yang absolut dan melampaui justifikasi budaya. Dalam hukum internasional, praktik perbudakan atau penyiksaan dilarang secara mutlak.
Hal ini menekankan bahaya Relativisme Budaya yang tak terbatas. Jika diterapkan tanpa batas, relativisme dapat digunakan sebagai pembenaran bagi penindasan sistematis terhadap kelompok atau individu yang rentan. Fungsi utama HAM adalah menjadi garis pertahanan bagi individu, dan jika garis itu bersifat relatif, maka perlindungan dasar akan hilang.
Konflik Budaya dan Integritas Tubuh: Mutilasi Genital Perempuan (FGM)
Mutilasi Genital Perempuan (FGM) adalah isu sensitif yang terus diperdebatkan di PBB. Praktik ini berakar pada basis nilai yang berbeda-beda, seperti inisiasi perempuan menuju kedewasaan, pemurnian, atau sebagai penentu kesuburan wanita dalam masyarakat tertentu. Praktik ini dianggap esensial bagi identitas sosial dan budaya komunitas yang mempraktikkannya.
Namun, PBB memandang FGM sebagai pelanggaran berat terhadap hak atas kesehatan, integritas fisik, dan kesetaraan gender. PBB secara eksplisit menyerukan tindakan global untuk menghilangkan prosedur FGM sepenuhnya pada tahun 2030, menetapkan standar nol toleransi. Penegasan ini membuktikan bahwa komunitas internasional menarik garis batas yang tegas pada praktik-praktik yang menimbulkan kerugian fisik yang serius, melebihi justifikasi kultural apa pun.
Hak-hak Minoritas Seksual dan Moralitas Mayoritas (Kasus LGBTQ+)
Isu hak-hak minoritas seksual (LGBTQ+) menyoroti bentrokan antara hak individu (kebebasan berekspresi dan non-diskriminasi) dengan moralitas kolektif yang dianut oleh mayoritas. Di Indonesia, komunitas LGBTQ+ menghadapi diskriminasi dan larangan karena dianggap bertentangan dengan hukum agama dan adat.
Beberapa pihak berupaya membenarkan pembatasan ini dengan menerapkan teori utilitarianisme, di mana suara dan kepentingan mayoritas digunakan untuk mengkalkulasi “manfaat” dan membenarkan pembatasan hak minoritas demi ketertiban umum dan moralitas mayoritas. Pendekatan ini secara inheren bertentangan dengan prinsip HAM, yang justru dirancang untuk melindungi individu dan minoritas dari tirani mayoritas. Ketika relativisme budaya digunakan untuk memprioritaskan norma kolektif di atas hak individu yang mendasar, hal itu menjadi penyangkal perlindungan bagi kelompok minoritas.
Tabel D.2: Titik Konflik Irreduksibel dalam Praktik HAM
| Isu Konflik | Klaim Universalisme | Klaim Relativisme Budaya | Keputusan PBB/Standar Global |
| Perbudakan Modern/Penyiksaan | Pelanggaran martabat inheren yang absolut (Hak Kodrati). | Mungkin ditutupi oleh alasan struktural domestik atau kedaulatan. | Larangan Mutlak; Tidak ada pembenaran budaya yang diterima. |
| Mutilasi Genital Perempuan (FGM) | Pelanggaran hak atas kesehatan, integritas fisik, dan kesetaraan gender. | Merupakan praktik inisiasi, pemurnian, atau bagian dari identitas budaya. | Seruan Global untuk Penghapusan Total (Zero Tolerance). |
| Hak Minoritas Seksual (LGBTQ+) | Kebebasan berekspresi, non-diskriminasi, dan hak untuk hidup layak. | Bertentangan dengan hukum agama/adat, moralitas mayoritas, dan ketertiban umum. | Hak Non-Diskriminasi dan Perlindungan atas SOGIE didorong sebagai universal. |
Bagian Iv: Mencari Sintesis: Menuju Universalitas Relatif
Pendekatan Universalisme Absolut dan Relativisme Absolut sama-sama tidak berkelanjutan dalam tata kelola global. Oleh karena itu, solusi praktis terletak pada model sintesis yang dapat menjembatani jurang antara standar normatif dan implementasi kontekstual.
Universalisme Relatif (Jack Donnelly)
Salah satu upaya paling berpengaruh untuk menjembatani dilema ini adalah konsep Universalisme Relatif, yang berargumen bahwa terdapat universalitas pada tingkat konsep HAM, sementara interpretasi dan pelaksanaan (implementasi) hak-hak tersebut dapat bersifat relatif terhadap konteks budaya, politik, dan ekonomi.
Pendekatan ini mempertahankan inti hak yang tidak dapat dinegosiasikan (misalnya, hak untuk hidup bebas dari penyiksaan) tetapi mengizinkan variasi dalam detail praktis, seperti mekanisme hukum atau bentuk kelembagaan untuk penegakan hak tersebut. Universalisme Relatif menunjukkan bahwa konsensus telah tercapai mengenai hak apa yang harus dimiliki manusia, namun bagaimana hak tersebut diwujudkan di lapangan dapat disesuaikan. Meskipun demikian, kritikus mencatat bahwa istilah ini dapat mengaburkan batas moral yang diperlukan untuk menjamin legitimasi HAM, menyarankan pergeseran ke pemahaman di mana HAM bersifat “Neither Relative nor Universal” dalam pengertian yang familier.
Konsensus Tumpang Tindih (Overlapping Consensus – John Rawls)
John Rawls menawarkan metode yang berfokus pada legitimasi politik fungsional, yang dikenal sebagai Konsensus Tumpang Tindih. Konsensus ini memungkinkan pendukung berbagai doktrin normatif komprehensif (seperti agama, ideologi, atau sistem moral yang berbeda) untuk menyepakati prinsip-prinsip keadilan politik tertentu, termasuk HAM, meskipun landasan moral fundamental yang mereka gunakan untuk mencapai kesimpulan itu berbeda.
Model ini memindahkan debat HAM dari domain filosofis yang tidak pernah berakhir (metafisik) ke masalah politik praktis dan stabilitas sosial. Konsensus Tumpang Tindih lebih kuat daripada kesepakatan strategis sementara (modus vivendi) karena didukung oleh penalaran moral internal dari setiap doktrin yang berbeda. Dengan kata lain, negara-negara dapat menyetujui prinsip HAM (misalnya, kebebasan beragama) bukan karena mereka mengadopsi filosofi liberal Barat, tetapi karena prinsip tersebut didukung oleh nilai-nilai dan moralitas internal mereka sendiri. Legitimasi yang lahir dari dukungan moral internal seperti ini cenderung jauh lebih stabil dan efektif dalam jangka panjang.
Perlunya Rekonstruksi dan Dialog Inklusif
Pencarian sintesis ini menuntut pengakuan bahwa hegemoni pemikiran Barat harus diatasi, dan HAM tidak boleh menjadi alat penindas baru. Penting untuk mengadopsi paradigma yang tidak eksklusionis, yang berfokus pada rekonstruksi kesamaan struktural daripada perbedaan, seperti yang disarankan dalam konteks dialog Islam-Barat.
Model sintesis menyimpulkan bahwa meskipun konsep hak mendasar adalah universal, penerimaannya harus didukung oleh alasan moral yang datang dari dalam masyarakat yang berbeda. Terdapat kebutuhan untuk memperkuat komitmen global terhadap HAM dan demokrasi sebagai prinsip yang mendasari tatanan sosial yang adil, sekaligus secara tegas menentang penggunaan klaim “budaya” sebagai dalih strategis untuk membenarkan penolakan terhadap hak dan kebebasan mendasar.
Kesimpulan
Dialektika antara Universalisme HAM dan Relativisme Budaya mewakili ketegangan mendasar antara kebutuhan akan standar minimum global untuk melindungi individu dan tuntutan akan penghormatan terhadap keragaman kedaulatan dan budaya. Universalisme menyediakan bahasa dan standar minimum untuk melawan tirani (seperti perbudakan dan penyiksaan), sementara relativisme menawarkan kritik yang sah terhadap hegemoni kultural. Kegagalan muncul ketika salah satu pandangan didorong secara absolut: universalisme yang kaku akan dicap imperialis, dan relativisme yang tidak terbatas akan membenarkan opresi dan kekejaman.
Mengatasi Dilema: Perlunya Kerangka Kerja yang Tegas namun Inklusif
Resolusi praktis terletak pada penguatan kerangka Universalisme Relatif, yang membedakan antara inti hak yang tidak dapat dicabut (Hak Kodrati) dan interpretasi implementasi budaya. Hak-hak inti yang meliputi hak atas hidup, kebebasan dari penyiksaan, dan non-diskriminasi fundamental, harus dipertahankan sebagai standar global absolut. Adaptasi budaya harus diizinkan hanya pada mekanisme penerapan (misalnya, sistem peradilan adat) dan tidak boleh mengurangi substansi dari perlindungan hak minimum, terutama bagi kelompok minoritas yang rentan terhadap penindasan kolektif (Kasus LGBTQ+).
Rekomendasi Kebijakan bagi Negara dan PBB
Untuk memperkuat rezim HAM internasional sambil menghormati keragaman, direkomendasikan beberapa tindakan kebijakan:
- Penguatan Standar Non-Negosiabel: PBB harus secara eksplisit mempertegas batas-batas relativisme budaya dengan memperkuat daftar hak-hak inti yang tidak dapat dinegosiasikan. Setiap praktik, terlepas dari pembenaran kulturalnya (seperti FGM), yang melanggar integritas fisik atau menyebabkan penderitaan yang melampaui batas, harus ditangani sebagai pelanggaran HAM mutlak.
- Mendorong Legitimasi Internal: Negara-negara perlu didorong untuk menggunakan model Konsensus Tumpang Tindih John Rawls, yaitu mencari landasan moral internal dalam tradisi atau agama mereka sendiri untuk mendukung prinsip-prinsip HAM universal. Ini akan memastikan bahwa komitmen terhadap HAM berakar secara organik dalam masyarakat, bukan hanya sebagai kepatuhan eksternal.
- Menantang Manipulasi Politik Budaya: Badan-badan PBB harus secara konsisten menantang pemerintah yang menggunakan klaim relativisme budaya sebagai trope atau dalih strategis untuk menolak kebebasan mendasar, menghindar dari akuntabilitas, atau menindas oposisi politik.
- Fleksibilitas Implementasi yang Terukur: Mengizinkan fleksibilitas dalam cara hak diwujudkan (sesuai dengan prinsip Universalisme Relatif), namun mengharuskan bahwa hasil akhir dari implementasi tersebut harus menjamin perlindungan hukum dan non-diskriminasi yang setara bagi semua individu.
