Studi Hubungan Internasional (HI) secara tradisional didominasi oleh pendekatan rasionalis, yaitu Realisme dan Liberalisme, yang mengasumsikan bahwa perilaku negara didorong terutama oleh kepentingan material dan perhitungan kekuatan rasional. Namun, teori-teori ini seringkali gagal menjelaskan perubahan signifikan dalam sistem internasional dan mengapa negara-negara dengan kapabilitas material serupa dapat berperilaku secara fundamental berbeda. Konstruktivisme muncul sebagai kritik mendalam terhadap paradigma rasionalis, menawarkan perspektif yang menyoroti peran penting faktor-faktor non-material, seperti ide, norma, dan identitas, dalam membentuk realitas global.
Latar Belakang dan Kritik terhadap Paradigma Rasionalis (Realisme dan Liberalisme)
Kritik fundamental Konstruktivisme terletak pada penolakan terhadap gagasan bahwa kepentingan negara bersifat tetap, alamiah, atau sepenuhnya ditentukan oleh kebutuhan untuk bertahan hidup (survival) atau kekuatan politik semata, seperti yang diasumsikan oleh Neorealisme. Realisme berfokus pada kekuatan dan kepentingan material, sementara Liberalisme cenderung berfokus pada peran institusi dalam memitigasi anarki. Konstruktivisme berpendapat bahwa asumsi-asumsi Realisme dan Liberalisme—bahwa aktor-aktor berperilaku secara rasional demi kepentingan material yang telah ditentukan—tidak memadai untuk memahami kompleksitas dinamika global.
Konstruktivisme bergeser dari penekanan pada kapabilitas material, seperti jumlah rudal atau ukuran angkatan bersenjata, menuju pemahaman tentang makna yang diberikan pada kapabilitas tersebut. Sebagai contoh, sebuah rudal balistik hanyalah seonggok logam (materi); namun, ia menjadi “ancaman eksistensial” (makna) hanya melalui interpretasi ideologis dan konteks sosial yang melibatkan identitas aktor yang memilikinya. Dengan demikian, Konstruktivisme menawarkan pandangan holistik dalam memahami konflik dan kerjasama internasional dengan menyoroti faktor non-material.
Asumsi Ontologis Konstruktivisme: Realitas Sosial dan Intersubjektivitas
Inti dari Konstruktivisme adalah gagasan bahwa realitas internasional bukanlah sesuatu yang objektif, tetap, atau diberikan secara alamiah, melainkan dibentuk melalui proses konstruksi sosial, interaksi, ide-ide bersama, norma, dan nilai yang disepakati oleh aktor-aktor di arena internasional. Konstruktivisme menekankan bahwa hubungan internasional bukan hanya tentang kepentingan dan kekuasaan material, tetapi juga tentang bagaimana makna dan pemahaman dibangun secara kolektif.
Struktur utama dari sistem internasional, menurut Konstruktivisme, lebih bersifat intersubjektif—yaitu, didasarkan pada gagasan bersama—daripada material. Gagasan bersama inilah yang menjadi struktur kunci dalam sistem, yang pada gilirannya membentuk identitas dan kepentingan negara. Konsep ini menantang pandangan tradisional yang menganggap bahwa struktur material (seperti distribusi kekuatan) adalah faktor penentu utama perilaku negara.
Tujuan Analisis dan Struktur Laporan
Laporan ini bertujuan untuk (1) menyajikan fondasi teoretis Konstruktivisme, (2) menganalisis peran identitas dan norma dalam mengkonstruksi realitas keamanan, dan (3) menerapkan kerangka ini untuk menjelaskan studi kasus spesifik: mengapa Amerika Serikat (AS) memandang program nuklir Korea Utara (DPRK) sebagai ancaman yang secara kualitatif lebih serius dibandingkan dengan program nuklir yang dimiliki oleh sekutunya, seperti Inggris atau Prancis. Analisis ini akan menunjukkan bahwa pemaknaan ancaman, termasuk rasa takut, memiliki signifikansi kausal yang setara dengan kapabilitas material, karena ancaman itu sendiri merupakan konstruksi sosial yang dilekatkan pada identitas aktor.
Pilar Teori Konstruktivisme: Ide, Norma, dan Struktur Intersubjektif
Untuk memahami peran ide-ide bersama, penting untuk menguraikan kontribusi utama para pemikir Konstruktivisme, terutama mengenai bagaimana struktur sistem internasional dan kepentingan negara terbentuk.
Alexander Wendt: Konstruksi Sosial Anarki
Alexander Wendt adalah tokoh utama Konstruktivisme yang dikenal dengan esai seminalnya, “Anarchy Is What States Make of It: The Social Construction of Power Politics”. Tesis sentral Wendt secara tajam menantang pandangan Neorealis, khususnya Kenneth Waltz, yang berpendapat bahwa anarki (tidak adanya otoritas pusat) secara otomatis memaksa negara untuk mengadopsi logika self-help (menolong diri sendiri).
Wendt berargumen bahwa anarki bukanlah kondisi yang tetap atau mutlak, melainkan sebuah konstruksi sosial yang dibentuk oleh persepsi, identitas, dan interaksi antara negara-negara. Tindakan negara tidak didasarkan pada anarki itu sendiri, melainkan pada bagaimana anarki dimaknai dalam interaksi. Jika interaksi antara negara-negara didominasi oleh permusuhan, hasilnya adalah anarki Hobbesian; namun, jika didominasi oleh kerja sama dan kepercayaan, hasilnya bisa berupa anarki Kantian. Karena anarki adalah konstruksi, struktur hubungan manusia dapat diubah melalui gagasan bersama.
Implikasi dari pandangan ini adalah bahwa sistem internasional bersifat dinamis dan dapat berubah, sesuatu yang sulit dijelaskan oleh Neorealisme dan Neoliberalisme. Perubahan struktur dapat terjadi melalui upaya disengaja untuk mengubah identitas. Contoh klasik adalah upaya Mikhail Gorbachev, yang menyadari bahwa Uni Soviet kalah dalam persaingan keamanan, dan berupaya mengubah identitas USSR—dan identitas lawannya—menjadi identitas kooperatif dengan mengirimkan sinyal perubahan (misalnya, mengembangkan senjata yang hanya berguna untuk pertahanan) dan memperlakukan Barat seolah-olah Barat juga telah berubah.
Identitas sebagai Variabel Independen Utama
Konstruktivisme menekankan bahwa identitas dan kepentingan aktor dikonstruksi oleh gagasan bersama, bukan diturunkan secara alamiah atau rasional. Identitas nasional yang beragam dan dinamis menjadi faktor penting yang membentuk kebijakan luar negeri.
Identitas berfungsi sebagai variabel independen yang menjelaskan perilaku negara. Kepentingan nasional, yang menentukan tindakan negara, dipengaruhi dan dibentuk oleh kekuatan sistem internasional yang bersifat sosial. Proses ini bersifat dialektis, di mana identitas dan praktik (tindakan negara) saling membentuk (mutually constituted). Identitas adalah elemen realitas subyektif yang terbentuk, dipertahankan, dimodifikasi, atau bahkan diubah melalui hubungan sosial dan interaksi.
Jika suatu negara memahami dirinya sebagai ‘pejuang HAM’ (identitas), kepentingan yang muncul adalah ‘menyelamatkan nyawa warga sipil’ di negara lain yang dianggap ‘pelanggar HAM’, yang kemudian melandasi tindakan atau kebijakan luar negeri spesifik (praktik), seperti intervensi di Libya. Proses ini menunjukkan alur kausalitas dari struktur intersubjektif (gagasan bersama) Identitas (‘Siapa Kami’ dan ‘Siapa Mereka’) Kepentingan (Tujuan) Tindakan (Kebijakan Luar Negeri).
Peran Norma dan Lembaga Internasional (Finnemore dan Sikkink)
Selain Wendt, tokoh kunci Konstruktivisme lainnya, seperti Martha Finnemore, meneliti peran norma dan organisasi internasional (OI) dalam membentuk perilaku negara. Finnemore berpendapat bahwa OI bukan hanya mekanisme teknis, melainkan juga agen yang mengkonstruksi norma dan nilai yang mengatur hubungan internasional.
Norma dan gagasan ideologis telah lama menjadi perhatian dalam studi politik internasional, bahkan Realis awal seperti Hans Morgenthau mengakui bahwa faktor ideasional dan normatif, seperti moralitas, nasionalisme, dan hukum internasional, membatasi pelaksanaan kekuasaan negara.
Norma memiliki kekuatan kausal yang besar. Dalam konteks yang lebih luas, norma, legitimasi, dan narasi diplomatik dapat menciptakan pengaruh yang jauh lebih besar daripada sekadar kekuatan militer. Contohnya, strategi negara kecil seperti Filipina dalam menghadapi raksasa seperti Tiongkok di Laut Cina Selatan, yang menunjukkan bahwa survival tidak hanya bergantung pada kekuatan material, tetapi juga pada legitimasi dan jaringan internasional yang dibangun di atas norma dan dokumen hukum.
Untuk memperkuat pemahaman tentang perbedaan fundamental dalam ontologi, Tabel 1 merangkum perbedaan asumsi dasar Konstruktivisme dibandingkan dengan paradigma tradisional dalam HI.
Table 1: Asumsi Dasar Paradigma dalam Hubungan Internasional
| Dimensi | Realisme Klasik/Neorealisme | Liberalisme/Neoliberalisme | Konstruktivisme Sosial |
| Sifat Anarki | Objektif/Kekal (Struktur Material memaksa self-help) | Objektif, tetapi dimitigasi oleh institusi | Intersubjektif (Dikonstruksi oleh interaksi sosial) |
| Sumber Kepentingan | Alamiah/Ditentukan oleh survival dan Kekuatan (Materi) | Rasional, ditentukan oleh keuntungan absolut | Dibentuk secara sosial melalui identitas dan ide-ide bersama |
| Fokus Utama | Kekuatan dan Distribusi Kapabilitas Material | Institusi, Kerja Sama, dan Hukum Internasional | Ide, Norma, dan Konstruksi Identitas |
Mekanisme Konstruksi Identitas dan Persepsi Ancaman
Persepsi ancaman, termasuk pembentukan rasa takut, merupakan hasil dari proses interaksi sosial yang menciptakan pembedaan fundamental antara Self (diri sendiri) dan Other (pihak lain), atau antara ‘teman’ dan ‘musuh’.
Konstruksi Dikotomi Identitas: ‘Siapa Kami’ dan ‘Siapa Mereka’
Salah satu kontribusi paling signifikan dari Konstruktivisme adalah penekanannya pada identitas sebagai faktor pembentuk kebijakan luar negeri. Identitas adalah elemen realitas subyektif yang terbentuk melalui proses sosial dan berada dalam hubungan dialektis dengan masyarakat.
Pemaknaan tentang ‘siapa kami’ dan ‘siapa mereka’ sangat menentukan konsepsi tentang apa tujuan yang hendak dicapai (kepentingan) dan tindakan apa yang akan diambil. Dalam studi kasus AS, perbedaan identitas ideologis—misalnya, AS sebagai ‘negara demokrasi’ versus negara lain sebagai ‘negara sosialis’—mengakibatkan perbedaan pemaknaan dalam konteks interaksi. Kuba dipersepsi sebagai ‘musuh’ karena identitas sosialisnya, sementara Kanada dipersepsi sebagai ‘teman’ karena kesamaan identitas demokratis, terlepas dari kedekatan geografis atau potensi ancaman material yang serupa. Perbedaan dalam pemaknaan identitas ini adalah kunci mengapa kapabilitas material yang sama dapat diartikan secara berbeda.
Tipologi Identitas dan Struktur Anarki
Wendt mengidentifikasi tiga budaya anarki yang muncul dari interaksi dan identitas yang dikonstruksi, yang menentukan tingkat ancaman yang dipersepsikan:
- Enemies (Hobbesian): Struktur ini dicirikan oleh identitas egoistik di mana negara memandang yang lain sebagai ancaman eksistensial dan bertindak atas dasar self-help yang brutal.
- Rivals (Lockean): Negara-negara mengakui kedaulatan satu sama lain tetapi tetap kompetitif. Hubungan ini kurang intens permusuhannya dibandingkan Hobbesian.
- Friends (Kantian): Negara-negara mengembangkan identitas kolektif dan kooperatif, di mana keamanan satu pihak dipandang sebagai keamanan bagi diri sendiri.
Interaksi sosiallah yang memosisikan suatu hubungan dalam salah satu budaya anarki ini. Pergeseran dari satu budaya anarki ke budaya anarki lainnya mensyaratkan perubahan dalam gagasan bersama dan praktik interaksi.
Keamanan Ontologis (Ontological Security) dan Status
Konstruktivisme juga memperkenalkan konsep keamanan ontologis, yaitu kebutuhan negara untuk mempertahankan rasa diri atau identitas yang koheren. Negara tidak hanya termotivasi oleh keamanan fisik (survival) tetapi juga oleh kebutuhan untuk mempertahankan identitas diri yang stabil dan konsisten.
Bagi negara-negara yang dicap sebagai ‘negara nakal’ (rogue states) atau berada di bawah isolasi, perhatian terhadap status dan pengakuan internasional menjadi motivasi kebijakan luar negeri yang krusial. Bagi Korea Utara (DPRK), misalnya, pengakuan sebagai aktor yang sah di panggung internasional (penanganan masalah status mereka) mungkin sama pentingnya dengan kepentingan material dalam menjaga rezim. Jika status mereka terus direndahkan atau diabaikan, upaya untuk membangun kapabilitas nuklir (praktik) berfungsi ganda, yaitu untuk keamanan material dan juga untuk memaksa pengakuan status di tingkat global.
Proses dialektis antara identitas dan praktik menjelaskan mengapa antagonisme sulit dipecahkan. Ketika AS mendiskreditkan DPRK sebagai “irasional” dan “jahat”, wacana ini merupakan praktik yang memperkuat identitas musuh DPRK. DPRK kemudian merespons dengan praktik militer agresif (misalnya, uji coba rudal), yang pada gilirannya menguatkan kembali persepsi awal AS, menciptakan lingkaran setan (self-fulfilling prophecy) yang mempertahankan struktur antagonis Hobbesian. Perubahan hanya mungkin jika AS mengubah praktik interaksi dan wacan
Aplikasi Kasus: Konstruksi Diferensiasi Ancaman Nuklir AS
Pertanyaan inti—mengapa AS memandang program nuklir DPRK lebih mengancam daripada program nuklir sekutunya—tidak dapat dijawab secara memuaskan oleh Realisme karena perhitungannya murni material. Konstruktivisme memberikan kerangka yang memungkinkan untuk menganalisis bagaimana perbedaan identitas dan norma mengubah makna dari kapabilitas material yang pada dasarnya serupa.
Kerangka Konstruktivis vs. Realis dalam Ancaman Nuklir
Realisme berfokus pada kapabilitas (jumlah hulu ledak) dan niat rasional. Realis akan kesulitan menjelaskan mengapa negara-negara seperti Inggris atau Prancis, yang memiliki persenjataan nuklir yang lebih andal dan jangkauan yang luas, tidak memicu ketakutan yang sama di Washington seperti halnya DPRK. Realis melihat rudal nuklir sebagai objek material yang sama.
Sebaliknya, Konstruktivisme berpendapat bahwa ancaman adalah konstruksi sosial. Artinya, objek material (rudal nuklir) memperoleh signifikansi ancaman berdasarkan struktur intersubjektif hubungan antara AS dan pemilik rudal tersebut.
Dyad Antagonis: AS – Korea Utara (DPRK)
Hubungan AS–DPRK secara efektif merupakan struktur anarki Hobbesian, di mana kedua pihak mengkonstruksi identitas antagonis melalui wacana dan praktik yang diwarisi dari Perang Dingin.
Konstruksi Identitas ‘Musuh yang Irasional’
Kebijakan luar negeri AS selama bertahun-tahun secara aktif menggunakan wacana yang menggambarkan DPRK sebagai entitas yang “irasional” dan “jahat” (irrational and evil). Identitas ini berakar pada ideologi yang diwarisi dari Perang Dingin (demokrasi vs. sosialis).
Wacana ini memiliki konsekuensi praktis yang mendalam: dengan melabeli DPRK sebagai “irasional,” para analis keamanan AS, seperti Penasihat Keamanan Nasional H.R. McMaster, menyatakan bahwa teori penangkalan klasik (classical deterrence theory) tidak dapat diterapkan pada rezim tersebut. Jika deterrence klasik dianggap tidak berlaku, maka diperlukan respons militer yang berlebihan (overwhelming) dan agresif, atau bahkan opsi pencegahan (preventive military action). Kapabilitas nuklir DPRK, di bawah identitas ini, diterjemahkan bukan sebagai alat pertahanan rasional, tetapi sebagai alat pemerasan atau ancaman eksistensial.
Pelanggaran Norma Regional dan Global
DPRK terus-menerus digambarkan sebagai pelanggar norma-norma non-proliferasi dan resolusi Dewan Keamanan PBB terkait penggunaan teknologi rudal balistik. Kegagalan uji coba satelit atau rudal mereka dikutuk oleh AS dan sekutunya sebagai pelanggaran, memperkuat identitas mereka sebagai aktor di luar sistem normatif yang sah.
Respons AS dan sekutunya (Korea Selatan dan Jepang) didorong oleh kebutuhan untuk membela norma regional. Mereka membentuk kerja sama pertahanan trilateral yang kuat dan bersiap untuk balasan militer besar-besaran untuk mempertahankan diri dan aliansi, yang dikonstruksi sebagai tindakan sah terhadap pelanggar norma.
Dyad Kooperatif: AS – Sekutu Nuklir (Misalnya, Inggris, Prancis)
Sebaliknya, hubungan AS dengan sekutu nuklirnya (Inggris, Prancis, dan anggota NATO lainnya) beroperasi dalam struktur anarki yang sangat kooperatif, mendekati budaya Kantian, meskipun mereka memiliki persenjataan nuklir yang sama-sama mematikan.
Kesamaan Norma dan Identitas Kolektif
Hubungan ini dibangun di atas kesamaan identitas ideologis dan norma yang kuat: mereka adalah ‘teman alami’ yang berbagi nilai demokrasi, penegakan HAM, dan keanggotaan dalam aliansi pertahanan (NATO). Mereka tidak memandang satu sama lain sebagai ancaman, melainkan sebagai bagian dari ‘diri kolektif’.
Legitimasi Kapabilitas Nuklir
Dalam dyad kooperatif, kapabilitas nuklir diterjemahkan sebagai alat yang sah, stabil, dan suportif. Senjata mereka dilihat sebagai bagian dari extended deterrence yang memperkuat struktur keamanan aliansi. Kapabilitas ini diterima karena didasarkan pada kepercayaan intersubjektif yang kuat terhadap niat mereka dan kepatuhan mereka terhadap kerangka norma internasional dan transparansi. Ancaman yang dirasakan terhadap AS berasal dari luar aliansi tersebut.
Analisis Tambahan: Realisme Konstruktif dan Kekuatan Regional
Meskipun Konstruktivisme memberikan penjelasan yang kuat melalui identitas, analisis yang komprehensif juga harus mengakui persinggungan dengan motivasi material. Kebijakan AS terhadap DPRK mungkin didorong oleh kepentingan Realis untuk mempertahankan posisi kekuasaan di Asia Timur. Dalam konteks ini, DPRK dapat berfungsi sebagai pembenaran sempurna (perfect excuse) untuk mempertahankan kehadiran militer AS yang signifikan di Northeast Asia tanpa secara langsung memprovokasi Tiongkok.
Konstruktivisme melengkapi pandangan ini dengan menjelaskan mekanisme sosialnya: mempertahankan wacana yang menggambarkan DPRK sebagai ‘jahat’ melayani kepentingan ganda. Secara Realis, ini mempertahankan kekuatan regional. Secara Konstruktivis, ini memperkuat struktur sosial antagonis yang membenarkan kehadiran militer tersebut dan membentuk kebijakan balasan militer yang luar biasa.
Table 2: Konstruksi Sosial Identitas dan Diferensiasi Ancaman Nuklir AS
| Dyad Hubungan | Identitas yang Dikostruksi AS | Norma Kunci yang Relevan | Interpretasi Kapabilitas Nuklir | Konsepsi Keamanan |
| AS – Korea Utara (DPRK) | “Musuh”, “Irasional”, “Evil” (Non-Demokratis, Posesif) | Pelanggaran norma non-proliferasi, norma regional UN | Ancaman Eksistensial, Senjata Agresi/Pemerasan (Blackmail) | Kebutuhan akan respons militer yang luar biasa (overwhelming) |
| AS – Sekutu (ex. UK/France) | “Teman”, “Alami”, “Demokratis” (Identitas Kolektif, Kooperatif) | Penegakan norma aliansi (NATO), Non-proliferasi yang sah | Kapabilitas yang Sah, Alat Penangkalan (Extended Deterrence) | Stabilitas dan Keamanan Kolektif |
Kesimpulan
Analisis ini menunjukkan bahwa peran Konstruktivisme dalam hubungan internasional sangat penting untuk memahami bagaimana realitas keamanan, termasuk persepsi ancaman nuklir, dibentuk. Struktur sistem internasional tidak didominasi oleh materi, tetapi oleh gagasan intersubjektif. Ancaman dikonstruksi secara sosial.
Identitas negara—pemaknaan AS tentang ‘siapa Korea Utara’ dan ‘siapa sekutunya’—adalah variabel penentu utama yang membedakan respons terhadap kapabilitas nuklir. Senjata DPRK dianggap berbahaya karena identitas DPRK yang dikonstruksi sebagai musuh irasional dan pelanggar norma. Sementara itu, senjata nuklir sekutu diterima karena mereka berbagi identitas teman yang normatif dan kooperatif.
Kegagalan kebijakan denuklirisasi terhadap DPRK selama beberapa dekade 12 dapat dijelaskan dari sudut pandang Konstruktivis: upaya-upaya tersebut terlalu sering berfokus semata-mata pada kapabilitas material (sanksi, pembatasan hulu ledak), tetapi gagal untuk menangani atau mengubah struktur sosial yang mendasarinya, yaitu identitas antagonis yang kental.
Implikasi Kebijakan Konstruktivis: Membangun Kepercayaan dan Mengubah Identitas
Jika identitas adalah akar dari masalah keamanan yang mendalam, maka kebijakan Realis yang didasarkan pada pemaksaan hanya akan memperkuat identitas musuh tersebut (DPRK melihat pemaksaan sebagai konfirmasi ancaman AS). Solusi konstruktivis menyarankan bahwa untuk mencapai perubahan fundamental (roll back program nuklir), AS harus menargetkan sumber dari kepentingan tersebut melalui perubahan sosial dan ide.
Implikasi kebijakan yang harus diambil adalah:
- Pergeseran Wacana (Discursive Shift): Agar kemajuan hubungan terjadi, wacana kebijakan luar negeri AS harus berhenti menggambarkan DPRK sebagai “irasional” dan “jahat”.11 Perubahan bahasa diplomatik dan praktik interaksi adalah langkah pertama dalam mendekonstruksi identitas musuh, membuka ruang bagi re-socialization di mana DPRK dapat mulai dilihat sebagai aktor yang rasional, meskipun kompetitif.
- Fokus pada Pengakuan Status (Status Recognition): Diplomasi harus berorientasi pada perubahan identitas, mirip dengan upaya Gorbachev di akhir Perang Dingin.6 Ini berarti menanggapi kepentingan DPRK terkait keamanan rezim dan, yang lebih krusial, kekhawatiran mereka tentang status dan pengakuan internasional.11 Perlakuan yang setara sebagai aktor yang sah dapat mengurangi kebutuhan DPRK untuk menggunakan kapabilitas nuklir sebagai alat untuk menarik perhatian atau pengakuan.
- Memanfaatkan Proses Sosial: Konstruktivisme menyarankan bahwa diplomasi harus dipahami tidak hanya sebagai platform untuk mengatur kepentingan material, tetapi juga sebagai proses sosial untuk membangun makna dan kepercayaan bersama. Fokus harus pada membangun kembali identitas dyad dari Hobbesian (Musuh) menjadi Lockean (Pesaing yang stabil) atau Kantian (Teman).
Konstruktivisme terus berkembang dengan menggabungkan pendekatan kritis dan postmodern.2 Penelitian di masa depan dapat berfokus pada:
- Investigasi Kultural dan Identitas Nasional: Melakukan investigasi mendalam mengenai bagaimana konteks budaya dan sejarah suatu negara membentuk identitas nasional dan kebijakan luar negerinya, terutama di Asia Timur, seperti yang disarankan oleh Peter Katzenstein.
- Etika Dialog dan Perubahan Normatif: Studi tentang peran emancipatory knowledge (pengetahuan emansipatoris) dalam mengubah norma dan etika global, khususnya dalam isu senjata pemusnah massal, untuk mencari jalan menuju perubahan sistemik yang lebih damai.
Kesimpulannya, Konstruktivisme menyediakan lensa yang tak tergantikan untuk memahami bahwa realitas internasional kita adalah cerminan dari ide-ide dan identitas yang kita bagikan dan konstruksi yang kita pertahankan. Mengubah ancaman nuklir DPRK menjadi isu yang dapat dinegosiasikan memerlukan lebih dari sekadar perubahan kapabilitas militer; ia memerlukan perubahan mendasar dalam struktur sosial antagonis yang mendefinisikan hubungan AS-DPRK.
