Latar Belakang Pasca-Proklamasi dan Mandat Sekutu di Indonesia

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 menciptakan sebuah vakum kekuasaan yang segera diisi oleh gerakan pemuda dan milisi lokal yang berupaya mengonsolidasikan kontrol atas sumber daya dan senjata rampasan dari Jepang. Dalam konteks geopolitik global pasca-Perang Dunia II, tanggung jawab untuk melucuti pasukan Jepang dan mengamankan tawanan perang (POW/RAPWI) di Asia Tenggara diserahkan kepada Sekutu, yang di Indonesia diwakili oleh Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) di bawah komando Inggris.

Pasukan AFNEI mulai memasuki Indonesia, termasuk Kota Surabaya, pada 25 Oktober 1945. Tujuan resmi kedatangan mereka adalah untuk menjalankan mandat teknis militer, yakni mengamankan para tawanan perang dan melucuti senjata tentara Jepang. Mayoritas pasukan Sekutu di Jawa Timur, termasuk yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby , terdiri dari Divisi India (British Indian Army).

Namun, konflik di Surabaya menjadi tak terhindarkan akibat adanya kontradiksi mendasar antara mandat teknis Sekutu dan realitas politik di lapangan. Meskipun Inggris berjanji hanya akan menangani masalah teknis, kedatangan mereka disertai dengan kehadiran Netherlands Indies Civil Administration (NICA)—administrasi sipil Belanda. Kehadiran NICA ini segera diinterpretasikan oleh rakyat Indonesia yang baru merdeka sebagai upaya terselubung untuk mengembalikan kekuasaan kolonial. Persepsi ini secara fundamental melanggar semangat kedaulatan yang baru dideklarasikan. Dengan demikian, misi yang semula hanya bersifat pelucutan senjata berubah menjadi intervensi militer, memicu polarisasi total dan mengubah Surabaya, yang merupakan pusat konsolidasi milisi dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan dikenal sebagai ‘kota paling revolusioner’, menjadi medan perang.

Pemicu Awal Konflik: Krisis Kepercayaan

Jauh sebelum bentrokan bersenjata besar pada November, Surabaya telah menunjukkan penolakan keras terhadap segala bentuk kembalinya simbolisme kolonial.

Insiden Hotel Yamato

Pernyataan ideologis keras pertama muncul melalui Insiden Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit) pada 19 September 1945. Peristiwa ini melibatkan perobekan warna biru pada bendera Belanda yang dikibarkan di hotel tersebut, setelah gagalnya perundingan antara Residen Surabaya, Soedirman, dan Victor Willem Charles Ploegman. Insiden simbolis ini merupakan babak awal perlawanan rakyat Surabaya dan secara tegas menunjukkan bahwa kedaulatan yang telah diraih Indonesia harus dihormati dan tidak dapat diganggu gugat.

Pertempuran Pendahuluan

Kedatangan pasukan Sekutu memicu ketegangan yang cepat. Kekuatan Indonesia di Surabaya telah terkonsolidasi, terdiri dari inti Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan berbagai laskar rakyat yang jumlahnya sangat masif. Kontak senjata pertama antara pemuda Surabaya dan tentara Inggris pecah pada 27 Oktober 1945. Pertempuran awal ini dengan cepat meluas menjadi serangan umum terhadap kedudukan Inggris, menunjukkan militansi dan kesiapan perlawanan rakyat.

Eskalasi di Surabaya sangat didorong oleh sektor non-negara. Meskipun TKR memiliki sekitar 20.000 pasukan infanteri, mereka didukung oleh lebih dari 100.000 hingga 140.000 relawan rakyat pejuang dari berbagai kelompok seperti Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) dan Kesetiaan Rakyat Indonesia dari Sulawesi (KRIS). Mobilisasi massa yang besar ini menunjukkan bahwa otoritas Republik di Surabaya masih terdesentralisasi, dan hasrat revolusioner rakyat mendahului komando militer formal. Oleh karena itu, pertempuran yang terjadi pada puncaknya adalah People’s War (Perang Rakyat), bukan sekadar konflik antar-tentara, yang menjelaskan mengapa intensitas perlawanan begitu luar biasa.

Krisis Oktober: Kematian Mallaby dan Pemicu Retaliasi

Kronologi Insiden Gedung Internatio dan Tewasnya Mallaby

Puncak dari pertempuran pendahuluan yang tegang terjadi pada 30 Oktober 1945, hanya beberapa hari setelah kontak senjata pertama. Pada hari itu, Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby, Komandan Brigade Infanteri Inggris-India ke-49, tewas di dekat Jembatan Merah, di lokasi Gedung Internatio. Mallaby sedang berada dalam mobilnya ketika insiden terjadi. Kematian seorang perwira tinggi Sekutu ini segera mengubah dinamika konflik.

Secara instan, Mallaby digantikan oleh Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh. Kematian ini memicu kemurkaan mendalam di pihak Inggris, yang menganggapnya sebagai pelanggaran serius atas gencatan senjata yang sebelumnya telah diupayakan, dan memicu langkah-langkah retaliasi yang sangat keras.

Analisis Historiografi Kematian Mallaby: Ambiguitas Sejarah

Terdapat ketidakjelasan signifikan (ambiguitas historiografi) mengenai penyebab pasti kematian Jenderal Mallaby. Terdapat beberapa versi:

  1. Versi Tembakan Langsung Indonesia: Salah satu versi, seperti yang dikisahkan oleh Ruslan Abdulgani, menyebutkan adanya sekelompok pemuda Surabaya yang melaporkan bahwa mobil Mallaby dihujani peluru oleh pihak Indonesia.
  2. Versi Salah Sasaran/Granat: Versi lain, termasuk dalam buku Pertempuran Surabaya oleh Des Alwi, menyebutkan bahwa Mallaby terkena tembakan salah sasaran. Terdapat pula dugaan bahwa mobil Mallaby meledak akibat granat, baik dari pejuang Indonesia atau bahkan kemungkinan friendly fire dari anak buahnya sendiri.

Meskipun historiografi terus memperdebatkan siapa sebenarnya yang bertanggung jawab (apakah pejuang Indonesia yang menembak atau faktor lain) , terlepas dari versi yang benar, kematian Mallaby berfungsi sebagai casus belli (alasan perang) yang mutlak bagi Inggris untuk meningkatkan operasi militer. Kematian perwira tinggi di tengah misi Sekutu dianggap sebagai penghinaan serius oleh London. Peristiwa ini segera memberikan pembenaran moral dan politik bagi Inggris untuk meninggalkan kebijakan negosiasi yang sempat diupayakan dan segera melancarkan serangan skala besar pada 10 November , yang didahului dengan Ultimatum Mansergh yang bersifat memaksa.

Garis Perang: Ultimatum Mansergh dan Keputusan Menolak

Isi Ultimatum 10 November 1945

Kematian Mallaby dijawab oleh Sekutu dengan eskalasi militer dan tuntutan politik yang tidak dapat diterima. Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh, sebagai pengganti Mallaby, mengeluarkan ultimatum yang sangat keras pada 10 November 1945. Isi ultimatum tersebut mencerminkan niat Inggris untuk menghancurkan perlawanan di Surabaya dan menegakkan kekuasaan tanpa syarat.

Tuntutan utama ultimatum tersebut meliputi:

  1. Seluruh pemimpin Indonesia di Surabaya harus melaporkan diri kepada Inggris.
  2. Seluruh senjata yang dimiliki pihak Indonesia harus diserahkan kepada Inggris.
  3. Para pemimpin Indonesia harus datang selambat-lambatnya tanggal 10 November 1945, pukul 06.00 pagi, di tempat yang telah ditentukan, dan bersedia menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.

Ultimatum yang menghina ini, alih-alih menimbulkan ketakutan, justru memicu kemarahan kolektif yang luar biasa di kalangan rakyat Surabaya.

Keputusan Politik: Penolakan Gubernur Suryo

Menghadapi tuntutan yang secara implisit menolak pengakuan kedaulatan Indonesia, kepemimpinan politik di Jawa Timur harus membuat keputusan monumental. Gubernur Jawa Timur, R. M. T. Ario Soerjo , memainkan peran krusial.

Gubernur Suryo, setelah insiden Mallaby, telah berupaya menjelaskan kejadian tersebut kepada pemimpin di Jakarta dan negara lain. Namun, terhadap ultimatum Mansergh, ia mengambil sikap tegas. Setelah berkoordinasi dengan para pemimpin TKR dan laskar, Gubernur Suryo menolak ultimatum Inggris. Penolakan ini merupakan tindakan politik tertinggi yang mengesahkan pertempuran habis-habisan sebagai respons kedaulatan. Penolakan ini adalah deklarasi kedaulatan yang bersifat retoris dan legal, di mana Indonesia memilih martabat dan perang (berdasarkan hukum konflik) daripada penyerahan yang ilegal di mata Republik yang berdaulat.

Pada 9 November 1945, sehari sebelum batas waktu ultimatum, Gubernur Suryo menyampaikan pidato melalui radio, memotivasi rakyat Surabaya untuk melawan pasukan Sekutu dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pidatonya memberikan semangat kepada rakyat untuk mempertahankan kota dan kemerdekaan.

Mobilisasi Moral: Peran Orasi Bung Tomo

Keputusan politik Gubernur Suryo untuk menolak menyerah harus diterjemahkan menjadi mobilisasi massa yang efektif di tengah masyarakat yang terfragmentasi oleh berbagai laskar. Di sinilah peran Sutomo, atau yang dikenal sebagai Bung Tomo , menjadi sentral.

Bung Tomo dikenal luas melalui pidatonya yang disiarkan melalui radio Pemberontak Surabaya (yang terletak di Jalan Mawar No. 4). Orasinya berhasil membakar semangat jihad rakyat dan pemuda, menyatukan mereka dalam tekad “Merdeka atau Mati!”. Retorika Bung Tomo berfungsi sebagai senjata psikologis utama, mengubah kepanikan menjadi keberanian. Pidato yang menggelorakan ini memberikan tekad kepada para pejuang untuk mempertahankan kehormatan tanah air.

Keberhasilan Bung Tomo dalam membangkitkan semangat pemuda Surabaya adalah sangat penting dan bersejarah. Hal ini menegaskan adanya koordinasi yang efektif, di mana elite politik (Suryo) membuat keputusan strategis, sementara agitator massa (Bung Tomo) menerjemahkan keputusan tersebut menjadi mobilisasi rakyat yang tak terhentikan. Atas kontribusinya ini, Bung Tomo diakui sebagai simbol keberanian dan persatuan bangsa , dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 2008.

Analisis Militer: Battle of Surabaya

Perbandingan Kekuatan dan Persenjataan

Pertempuran Surabaya ditandai oleh disparitas kekuatan yang ekstrem. Di satu sisi, terdapat milisi yang baru terbentuk dan pasukan TKR dengan persenjataan terbatas. Di sisi lain, Sekutu adalah kekuatan profesional yang didukung logistik penuh pasca-Perang Dunia II.

Tabel V.1: Perbandingan Kekuatan Militer dan Logistik (Indonesia vs. Sekutu)

Aspek Pihak Indonesia (TKR/Laskar) Pihak Sekutu (Inggris/India/NICA)
Kekuatan Personel (Est.) 20.000 TKR, 100.000 – 140.000+ Relawan Divisi Infanteri India ke-5, Divisi Infanteri India ke-23, Brigade Infanteri India ke-49
Persenjataan Mayoritas senjata rampasan Jepang atau senjata sederhana Superioritas mutlak: Pesawat terbang, kapal perang (Naval Bombardment), Tank, Artileri berat, kendaraan lapis baja
Komandan Utama Ario Soerjo, Sutomo, Soengkono, Moestopo, dll. A.W.S. Mallaby ⚔, Robert Mansergh
Tujuan Utama Mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan kota Melaksanakan mandat, menghancurkan perlawanan, menanggapi kematian Mallaby

Taktik Pertempuran dan Strategi Indonesia

Pada 10 November 1945, Inggris memulai serangan yang brutal dan terkoordinasi. Surabaya dibombardir secara membabi-buta dari laut (meriam kapal perang) dan darat (artileri dan tank). Dua kuintal bom dijatuhkan oleh Sekutu, menyebabkan Surabaya menjadi lautan api pada pukul 06.10 pagi. Pengeboman intensif dari segala penjuru ini dilakukan sebagai tanggapan atas kemarahan Inggris akibat kematian Mallaby.

Meskipun menghadapi superioritas logistik dan persenjataan Sekutu yang lengkap , pihak Indonesia mengandalkan strategi pertahanan kota, gerilya urban, dan memanfaatkan pengetahuan medan. Salah satu taktik strategis penting Indonesia adalah penggunaan siaran radio oleh Bung Tomo untuk membangkitkan dan mengoordinasikan semangat masyarakat di tengah kekacauan, menjadikannya senjata psikologis utama.

Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari saja, mengingat kekuatan militer yang mereka kerahkan. Namun, di luar dugaan, perlawanan besar-besaran ini berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke minggu, memakan waktu hingga satu bulan penuh.

Pertempuran Surabaya adalah kekalahan taktis yang parah bagi Indonesia karena kerugian material dan korban jiwa yang tinggi. Namun, perlawanan yang gigih selama sebulan penuh, menghadapi senjata modern yang lengkap , terbukti sangat mahal bagi Inggris dan mengejutkan dunia. Keberanian ini mengubah kekalahan militer menjadi kemenangan strategis dan moral. Perlawanan ini membalikkan citra ‘kemenangan mudah’ bagi Sekutu, membuktikan tekad revolusioner bangsa Indonesia, dan menjadi titik penting dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Konsekuensi Jangka Pendek dan Panjang

Dampak Kemanusiaan dan Material

Skala kerugian di pihak Indonesia sangat besar, mencerminkan intensitas pertempuran kota. Peristiwa berdarah ini menyebabkan ribuan penduduk menjadi korban. Trauma dan duka mendalam dirasakan oleh keluarga yang ditinggalkan dan warga setempat.

Data korban Pertempuran Surabaya, meskipun sulit diverifikasi secara pasti, menunjukkan skala bencana kemanusiaan:

Tabel VI.1: Perkiraan Korban Pertempuran Surabaya (November 1945)

Pihak Perkiraan Korban Tewas (Konservatif) Perkiraan Korban Tewas (Maksimal/Narasi) Perkiraan Korban Luka-luka
Indonesia (Rakyat & Pejuang) 6.300 – 15.000 Hingga 30.000 (Beberapa sumber mencapai 16.000 ) 20.000
Sekutu (Inggris/India) 295 – 2.000 210

Selain korban jiwa, pertempuran memaksa sekitar 150.000 orang untuk meninggalkan Kota Surabaya dan mengungsi ke tempat lain, mencari perlindungan dan bantuan. Angka pengungsian massal ini adalah bukti nyata dari kebijakan militer Inggris yang keras. Data mengenai pengungsi dan korban sipil yang tinggi menjadi alat diplomasi yang krusial bagi Republik Indonesia, digunakan untuk menarik simpati dan tekanan internasional terhadap Inggris atas penggunaan kekuatan yang tidak proporsional.

Dampak Psikologis dan Konsolidasi Nasional

Meskipun secara militer Surabaya jatuh, dampak psikologis dan moral bagi bangsa Indonesia bersifat transformatif. Keberanian dan ketahanan rakyat Surabaya dalam menghadapi pasukan Sekutu, yang jauh lebih superior, secara signifikan membantu meningkatkan kepercayaan diri masyarakat Indonesia. Ini menumbuhkan keyakinan moral bahwa mereka mampu melanjutkan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Pertempuran ini juga memperkuat solidaritas di antara masyarakat, terutama di Jawa Timur, yang bersatu melawan penjajah. Selain itu, ia meningkatkan kesadaran politik. Masyarakat menyadari bahwa perjuangan politik adalah kunci untuk mencapai kemerdekaan, dan mereka menjadi lebih terlibat dalam proses politik, menyadari pentingnya kesatuan politik. Secara nasional, peristiwa 10 November menggerakkan gelombang perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah.

Reaksi Internasional dan Konsekuensi Diplomatik

Skala kekerasan di Surabaya menarik perhatian media dan politik internasional. Tingkat kerugian yang dialami Inggris—terutama tewasnya Mallaby dan tingginya biaya operasi militer—berkontribusi pada perhitungan politik Inggris.

Perlawanan sengit di Surabaya menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia serius dalam mempertahankan kedaulatannya, meskipun tanpa senjata modern. Hal ini memberikan leverage politik bagi pemimpin Indonesia di meja perundingan. Skala konflik yang tidak terduga dan korban yang besar pada akhirnya mempercepat keputusan politik Inggris untuk mengurangi keterlibatan mereka. Inggris kemudian menyerahkan tanggung jawab militer di Indonesia kepada Belanda (NICA) , sebuah langkah yang berdampak besar pada fase Revolusi Nasional selanjutnya.

Warisan Historiografi dan Peringatan Nasional

Penetapan Hari Pahlawan

Atas pengorbanan dan keberanian luar biasa yang ditunjukkan oleh Arek-Arek Suroboyo dalam menghadapi kekuatan asing yang jauh lebih unggul, tanggal 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Penetapan ini bukan sekadar peringatan, tetapi pembentukan mitos pendiri (founding myth) yang menggarisbawahi sifat heroik, spontan, dan berkorban diri dari perjuangan kemerdekaan.

Peringatan Hari Pahlawan bertujuan untuk mengenang jasa para pejuang yang gugur dan meneladani semangat perjuangan mereka. Semboyan yang dikumandangkan Bung Tomo, “Merdeka atau Mati!”, telah menjadi ikon nasional yang melambangkan keteguhan bangsa. Bung Tomo, sebagai motor penggerak jihad, ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 2008.

Kontribusi terhadap Revolusi Nasional

Pertempuran Surabaya memiliki dampak institusional yang signifikan. Meskipun perlawanan awalnya spontan, pengalaman pahit menghadapi persenjataan modern Inggris menumbuhkan kesadaran akan perlunya struktur komando yang lebih teratur. Peristiwa ini mempercepat profesionalisasi dan konsolidasi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), mendorong integrasi para pejuang laskar ke dalam barisan militer yang terorganisir.

Dalam historiografi nasional, Pertempuran Surabaya diakui sebagai salah satu monumen terpenting, melambangkan keteguhan bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan, membuktikan bahwa meskipun kalah secara taktis, Indonesia memenangkan perang moral dan politik.

Kesimpulan Analitis: Pertempuran Epik yang Mengubah Arah Sejarah

Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 merupakan titik balik psikologis dan politis dalam Revolusi Nasional Indonesia. Konflik ini berakar dari kontradiksi mendasar antara mandat Sekutu yang sempit dan agenda politik tersembunyi untuk mengembalikan kekuasaan Belanda, yang segera memicu reaksi keras dari rakyat yang telah menegaskan kedaulatannya.

Krisis yang dipicu oleh kematian Jenderal Mallaby dan respons politik dalam bentuk penolakan Ultimatum Mansergh oleh Gubernur Suryo, yang diterjemahkan menjadi mobilisasi massa besar-besaran oleh Bung Tomo, menunjukkan adanya sinergi antara kepemimpinan politik dan hasrat revolusioner rakyat. Meskipun secara militer pihak Indonesia menderita kerugian besar (korban jiwa mencapai ribuan dan 150.000 pengungsi), durasi perlawanan yang mencapai satu bulan terhadap kekuatan udara dan laut Inggris menggetarkan dunia.

Peristiwa ini mengubah persepsi internasional tentang tingkat komitmen Indonesia untuk merdeka dan membuktikan mahalnya biaya yang harus dibayar Inggris untuk mendukung upaya kolonial Belanda. Secara strategis, Pertempuran Surabaya membantu memperkuat identitas nasional, meningkatkan moral, dan mempercepat penarikan pasukan Inggris, secara efektif memaksa Belanda untuk menghadapi perlawanan Republik secara langsung di masa depan. Warisan pertempuran ini diabadikan sebagai Hari Pahlawan, menjadikannya simbol pengorbanan dan ketidakgentaran Arek-Arek Suroboyo dalam mempertahankan kehormatan Republik.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6 + 1 =
Powered by MathCaptcha