Latar Belakang: Krisis Stres Perkotaan dan Kebutuhan Akan Kesejahteraan (Urban Well-being)
Percepatan urbanisasi global telah menempatkan mayoritas populasi dunia di lingkungan perkotaan. Meskipun kota menawarkan peluang ekonomi yang signifikan, pertumbuhan cepat ini sering kali disertai dengan serangkaian masalah lingkungan dan sosial yang kompleks, termasuk alih fungsi lahan hijau menjadi lahan terbangun dan kepadatan yang menghasilkan tingkat stres tinggi bagi penduduk. Stres perkotaan ini mengancam kualitas hidup dan produktivitas masyarakat.
Oleh karena itu, fokus perencanaan perkotaan telah mengalami pergeseran mendasar. Pendekatan perencanaan modern tidak lagi hanya menekankan struktur fisik atau peluang ekonomi semata, tetapi kini harus menyoroti kesehatan perkotaan dan kesejahteraan penduduk (urban well-being). Dalam konteks ini, mendefinisikan kesehatan atau kesejahteraan harus merujuk pada kerangka kerja holistik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan sehat sebagai kondisi yang sempurna secara fisik, mental, dan sosial, dan bukan hanya terbebas dari penyakit atau cacat. Perencanaan perkotaan yang efektif harus secara sadar merancang lingkungan fisik untuk mempromosikan ketiga dimensi kesejahteraan ini.
Landasan Filosofis: Dari Kota Berorientasi Mobil ke Kota Berpusat pada Manusia (Human-Centric Design)
Perencanaan kota yang berorientasi kesejahteraan menuntut peninjauan kembali prioritas penggunaan ruang. Sejarah panjang dominasi mobil dalam tata ruang perkotaan telah menciptakan kota-kota yang tidak nyaman dan bahkan berbahaya bagi pejalan kaki dan pesepeda. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan adopsi filosofi perencanaan yang berpusat pada manusia (human-centric).
Filosofi ini sangat dipengaruhi oleh karya penulis dan aktivis perkotaan Jane Jacobs, yang pada tahun 1961 menerbitkan The Death and Life of Great American Cities. Jacobs menentang perencanaan top-down yang dipaksakan oleh perencana berkuasa (seperti Robert Moses di New York) dan sebaliknya menegaskan bahwa kota harus dipahami melalui observasi dan akal sehat di tingkat komunitas. Sebuah kota yang berfungsi adalah kota yang beroperasi berdasarkan dinamika lokal dan desain yang mendukung interaksi spontan dan keamanan. Prinsip utama yang dikembangkan dari pemikiran Jacobs adalah konsep Kota 8-80, yang menyatakan bahwa sebuah kota yang dirancang dengan baik adalah kota yang berfungsi sama baiknya bagi anak usia 8 tahun yang bermain, maupun lansia usia 80 tahun yang bergerak mandiri. Konsep ini secara implisit memprioritaskan mobilitas aktif, keamanan, dan aksesibilitas universal.
Lebih lanjut, relevansi konsep Kota 15-Menit (15-Minute City) memperkuat prinsip human-centric ini. Konsep ini bertujuan memastikan bahwa semua kebutuhan dasar sehari-hari—seperti tempat kerja, sekolah, rekreasi, dan layanan kesehatan—dapat diakses dalam waktu 15 menit berjalan kaki atau bersepeda. Penerapan konsep ini secara langsung memberikan beberapa manfaat kesejahteraan: meningkatkan interaksi sosial di ruang publik, mengurangi emisi karbon, mendukung keberlanjutan lingkungan, dan mengintegrasikan pola permukiman dengan perencanaan transportasi publik.
Kerangka Konseptual: Integrasi Kesehatan, Sosial, dan Fisik dalam Tata Ruang
Keberhasilan implementasi kebijakan perkotaan yang berorientasi kesejahteraan bergantung pada kerangka tata kelola yang kuat. Kajian menunjukkan bahwa pembangunan kota yang berkelanjutan memerlukan Tata Kelola Perkotaan yang Baik (Good Urban Governance). Prinsip tata kelola ini mencakup partisipasi masyarakat dan keterlibatan pemangku kepentingan, manajemen dan administrasi kota yang efektif, serta transparansi dan akuntabilitas.
Kegagalan sering terjadi ketika disiplin ilmu yang terpisah (misalnya, departemen transportasi, departemen kesehatan, dan badan tata ruang) bekerja dalam silo (stove-piped), yang menghambat kemampuan kota untuk mengatasi masalah yang saling terkait. Laporan Pembangunan Dunia menekankan bahwa legitimasi kelembagaan adalah kunci stabilitas. Ketika lembaga negara gagal memberikan perlindungan, mencegah korupsi, atau menyediakan akses keadilan dan kesempatan, risiko konflik dan kekerasan meningkat. Oleh karena itu, keberhasilan kebijakan fisik seperti jalur sepeda dan RTH tidak hanya bergantung pada desain teknisnya, tetapi pada tindakan kolektif dan kembalinya kepercayaan publik dalam kemampuan lembaga pemerintah untuk bertindak secara terintegrasi dan sah.
Pilar 1: Mobilitas Aktif dan Reduksi Stres — Studi Kasus Jalur Sepeda (Kopenhagen & Amsterdam)
Mobilitas adalah penentu utama kualitas hidup perkotaan. Kota-kota yang memprioritaskan mobilitas aktif—berjalan kaki dan bersepeda—secara langsung mengatasi masalah kesehatan publik, mengurangi polusi, dan memerangi stres yang ditimbulkan oleh kemacetan. Kopenhagen, Denmark, menjadi contoh utama bagaimana investasi strategis dalam infrastruktur sepeda dapat menjadi kebijakan kesehatan publik dan ekonomi yang transformatif.
Strategi Cycle Superhighway Kopenhagen: Investasi Infrastruktur sebagai Kebijakan Kesehatan Publik
Kopenhagen telah mengadopsi visi Mobilitas Aktif sebagai tulang punggung sistem transportasinya. Strategi kunci adalah pembangunan jaringan Cycle Superhighway, rute komuter sepeda berkualitas tinggi yang dirancang untuk membuat perjalanan jarak jauh menjadi mudah dan aman.
Implementasi strategi ini sangat ambisius, mencakup lebih dari 60 rute yang direncanakan di Capital Region Denmark, dengan total panjang lebih dari 850 kilometer. Jalur superhighway ini dirancang secara khusus untuk komuter yang menempuh perjalanan antara tempat tinggal dan pekerjaan atau pendidikan, bahkan untuk jarak yang lebih jauh.
Efektivitas strategi ini terbukti secara kuantitatif. Evaluasi menunjukkan bahwa ketika suatu rute ditingkatkan menjadi cycle superhighway, jumlah pesepeda meningkat rata-rata sebesar 23%. Di rute spesifik, seperti Farumruten, di mana jarak komuter rata-rata adalah 14,7 km, terjadi peningkatan yang jauh lebih besar—mencapai 68% sejak rute tersebut menjadi cycle superhighway pada tahun 2013. Peningkatan ini bukan sekadar statistik transportasi; ini adalah indikasi nyata pergeseran perilaku dan penerimaan masyarakat terhadap sepeda sebagai sarana komuter yang serius.
Analisis Keuntungan Ganda (Double Dividend): Dampak Sosio-Ekonomi yang Terukur
Investasi dalam infrastruktur sepeda yang berkualitas tinggi (seperti Superhighway) harus dipandang sebagai aset modal kesehatan masyarakat dan ekonomi, bukan hanya sebagai biaya operasional transportasi. Analisis sosio-ekonomi dari cycle superhighways di Capital Region Denmark pada tahun 2018 memberikan bukti kuat atas pandangan ini.
Analisis menunjukkan bahwa investasi dalam jaringan 45 rute diperkirakan memberikan surplus sosio-ekonomi sebesar €765 juta. Surplus yang masif ini tidak berasal dari keuntungan operasional infrastruktur itu sendiri, melainkan dari manfaat sekunder yang berhubungan langsung dengan kesejahteraan. Komponen utama dari surplus ini meliputi:
- Kesehatan yang Lebih Baik:Pengurangan beban penyakit yang berkaitan dengan gaya hidup kurang bergerak (seperti obesitas atau penyakit kardiovaskular).
- Hari Sakit yang Lebih Sedikit (Fewer Days of Sick Leave):Peningkatan kesehatan penduduk yang bersepeda secara teratur meningkatkan produktivitas tenaga kerja.
- Waktu yang Hilang Lebih Sedikit karena Kemacetan:Dengan mengalihkan komuter dari mobil ke sepeda, kota mengurangi waktu yang terbuang sia-sia dalam kemacetan lalu lintas.
Kemampuan Kopenhagen untuk mengukur dampak sosio-ekonomi dari manfaat kesehatan dan produktivitas ini adalah kunci. Hal ini memungkinkan pembenaran investasi infrastruktur kesejahteraan sebagai investasi ekonomi makro yang sah, memberikan cetak biru bagi kota lain untuk mereplikasi model akuntabilitas ini.
Desain Infrastruktur untuk Kesejahteraan Psikologis
Selain manfaat fisik, mobilitas aktif secara signifikan mengurangi stres komuting. Studi komuter di London, sebuah kota yang sangat bergantung pada angkutan massal, menemukan bahwa transportasi umum adalah bagian paling membuat stres dalam kehidupan kota. Komuter di sekitar London mengalami perjalanan terpanjang di Inggris (rata-rata 74,2 menit), hampir dua kali lipat rata-rata global, dan hal ini dikaitkan dengan tingkat kepuasan hidup rendah, kurang harga diri, dan tingginya kecemasan.
Sebaliknya, merancang infrastruktur seperti cycle superhighway menggantikan commuting stress yang pasif dan tidak nyaman dengan aktivitas fisik yang terkelola. Keberhasilan Kopenhagen tidak hanya terletak pada panjang jaringan, tetapi pada kualitasnya: konektivitas yang aman, aspal yang baik, dan pemeliharaan rutin, yang memastikan pengalaman bersepeda yang mulus dan bebas hambatan. Infrastruktur yang baik adalah infrastruktur yang aman, dan rasa aman serta keandalan dalam perjalanan adalah faktor utama dalam mitigasi tekanan psikologis perkotaan.
Pilar 2: Oase Perkotaan dan Kesehatan Mental — Studi Kasus Ruang Terbuka Hijau (Singapura)
Ruang Terbuka Hijau (RTH) memiliki fungsi ekologis, ekonomis, dan sosial yang krusial untuk meningkatkan kualitas kehidupan perkotaan. RTH berfungsi sebagai paru-paru kota, sarana rekreasi, ruang silaturahmi, dan amenitas estetis. Di tengah kepadatan perkotaan Asia, kisah Singapura memberikan pelajaran penting mengenai bagaimana RTH dapat menjadi infrastruktur sosial dan psikologis yang non-negosiabel.
Visi Politik Kuat: Kebijakan “City in a Garden” Singapura sebagai Model Keberlanjutan
Keberhasilan Singapura dalam merencanakan RTH menunjukkan bahwa hambatan utama bukanlah keterbatasan geografis, tetapi kurangnya kemauan politik. Singapura, meskipun memiliki luas wilayah yang terbatas, berhasil memiliki 47% RTH dari total luas lahannya, menjadikannya salah satu yang terbesar di dunia.
Pencapaian ini adalah hasil langsung dari kebijakan politik yang kuat, di mana visi City in a Garden secara eksplisit dinyatakan dalam Master Plan Hijau dan Biru (Green and Blue Master Plan), dan implementasinya didukung oleh semua pemangku kepentingan. Kepemimpinan ini bersifat top-down, dipimpin langsung oleh Perdana Menteri, yang memastikan alokasi lahan RTH dan menahan tekanan pembangunan komersial.
Kontras antara keberhasilan Singapura dan kota-kota lain di Asia Tenggara yang padat—misalnya Jakarta, yang RTH-nya hanya berkisar 5 sampai 10% dan terus menurun akibat pesatnya pembangunan komersial dan residensial—menggarisbawahi bahwa penentuan baseline RTH yang resmi dan Master Plan yang terintegrasi merupakan prasyarat mutlak untuk konservasi jangka panjang. Konservasi RTH memerlukan pergeseran kekuasaan dari kepentingan pengembangan jangka pendek ke mandat politik konservasi jangka panjang.
Implementasi Jaringan Blue-Green dan Integrasi Ekologi
Untuk mengatasi keterbatasan ruang dan ancaman degradasi lingkungan, Singapura menyusun perencanaan dan program jaringan blue-green yang bertujuan melindungi nilai hidrologi dan ekologi lanskap perkotaan.
Salah satu contoh paling sukses dari integrasi ini adalah Program Active, Beautiful, Clean Water (ABC Waters) yang digagas oleh Badan Air Nasional (PUB) Singapura pada tahun 2006. Program ini tidak hanya berfokus pada konservasi air, tetapi juga mengintegrasikannya dengan penghijauan. Taman Bishan-Ang Mo Kio di Sungai Kallang merupakan perwujudan program ABC Waters, mengubah saluran beton menjadi sungai alami yang dikelilingi taman multifungsi. Ini menunjukkan bahwa infrastruktur air dapat dirancang sebagai ruang rekreasi publik yang berfungsi ganda secara ekologis dan sosial.
Fungsi Psikologis RTH: Peran sebagai Buffer Stres Perkotaan
Selain manfaat ekologis, RTH menyediakan fungsi psikologis yang vital bagi penduduk perkotaan. RTH menawarkan sebuah alternatif tempat refreshing atau rekreasi yang mudah diakses, yang dilengkapi dengan tanaman peneduh yang memberikan kesejukan bagi pengunjung. Ini adalah mekanisme penting untuk mengatasi tekanan hidup perkotaan.
Peran RTH sebagai peredam stres mental semakin terbukti selama krisis global. Selama pandemi COVID-19, studi komparatif antara Jakarta dan New York menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat untuk berekreasi dan relaksasi terhadap alam meningkat, didorong oleh upaya mengurangi dampak psikologis yang disebabkan oleh pembatasan sosial. Responden di New York secara spesifik menyatakan bahwa mereka menganggap RTH lebih penting untuk kesehatan mental dan fisik mereka daripada sebelum pandemi. Perubahan perilaku ini, yang juga terlihat di Jakarta dengan meningkatnya aktivitas pejalan kaki di koridor hijau, menjadi pendorong kebijakan publik untuk mengakomodasi kebutuhan baru terhadap relaksasi alam.
Lebih jauh, RTH adalah katalisator kohesi sosial. Ruang-ruang ini adalah tempat warga bersilaturahmi, yang secara langsung mendukung komponen kesejahteraan sosial dalam definisi WHO.
Pilar 3: Transportasi Publik Terintegrasi dan Mengatasi Stres Komuting (Singapura)
Transportasi publik adalah sistem saraf kota modern. Kegagalan dalam sistem ini tidak hanya memicu kemacetan dan kerugian ekonomi, tetapi juga menimbulkan beban psikologis signifikan bagi komuter.
Menilai Beban Stres Komuting: Hubungan antara Perjalanan Panjang dan Kesejahteraan Mental
Analisis menunjukkan hubungan yang jelas antara kualitas sistem komuting dan kesehatan mental. Komuter yang mengalami perjalanan panjang dengan transportasi umum yang buruk cenderung menunjukkan tingkat kepuasan hidup yang rendah, kurangnya harga diri, dan tingginya kecemasan.
Tingkat stres komuting yang tinggi ini juga memiliki implikasi sosial yang merugikan. Terdapat korelasi antara tekanan perjalanan dan penurunan perilaku menolong spontan (spontaneous helping behavior) di lingkungan perkotaan yang sibuk. Ini menunjukkan bahwa sistem transportasi yang penuh gesekan (penuh ketidakpastian, keterlambatan, dan kesulitan akses) tidak hanya melelahkan individu tetapi juga mengikis kohesi sosial dan kemauan warga untuk terlibat dalam aksi kolektif positif.
Model Singapura: Keberhasilan Integrasi Multimoda dan Penggunaan Lahan (TOD)
Singapura telah berhasil mengatasi masalah stres komuting melalui sistem transportasi terintegrasi yang efisien, dengan MRT (Mass Rapid Transit) sebagai tulang punggungnya. Tingkat kepuasan pengguna MRT di Singapura tercatat sangat tinggi, suatu cerminan dari keandalan jadwal, kebersihan, dan keamanan sistem.
Kunci keberhasilan sistem ini bukan hanya pada teknologinya, tetapi pada perencanaan yang cermat dalam hal penggunaan lahan. Sistem transportasi terintegrasi di Singapura didukung oleh Transit-Oriented Development (TOD), yang secara mulus mengintegrasikan sistem transit dengan berbagai tipologi penggunaan lahan—perumahan, komersial, dan rekreasi. Perencanaan yang baik ini menghilangkan ambiguitas perjalanan dan memfasilitasi kemudahan dan efisiensi perjalanan, mengurangi kebutuhan untuk transfer yang rumit dan melindungi penumpang dari cuaca dengan konektivitas dasar yang terlindungi. TOD yang holistik ini secara efektif mengurangi ketergantungan pada mobil pribadi, yang pada gilirannya menumbuhkan komunitas yang lebih hidup dan mengurangi stres komuter.
Analisis Kinerja TOD: Indikator Kepadatan, Keanekaragaman, dan Desain
Studi komparatif tentang TOD menunjukkan bahwa Singapura memiliki skor TOD yang lebih tinggi di sekitar stasiun MRT-nya dibandingkan kota padat lainnya di Asia, seperti Beijing, terutama dalam dimensi desain, keragaman, dan konektivitas. Ini menggarisbawahi bahwa perencanaan TOD di Singapura lebih matang dan berpusat pada manusia.
Faktor-faktor lingkungan binaan (built environment) yang dirancang dengan baik terbukti berkorelasi positif dengan peningkatan jumlah penumpang (ridership). Indikator seperti kepadatan penduduk, kepadatan ritel di lantai dasar, dan jumlah pintu masuk metro yang memadai secara signifikan terkait dengan penggunaan transit yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa TOD yang efektif harus berfokus pada detail desain yang mendorong interaksi sosial spontan (ritel lantai dasar) dan mempermudah orientasi komuter (pintu masuk stasiun).
Desain Inklusif dan Human-Centric dalam Sistem Transit
Efisiensi harus berjalan beriringan dengan inklusivitas. Sistem transit yang dirancang dengan baik harus meminimalkan “gesekan komuter” dan mengutamakan aksesibilitas universal. Desain stasiun yang lebih efisien (misalnya, dengan jumlah area masuk yang optimal dan sirkulasi vertikal yang jelas) memudahkan komuter dalam berorientasi dan menemukan jalan mereka.
Singapura juga menunjukkan komitmen yang kuat terhadap desain inklusif sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan PBB, yang secara khusus memberi perhatian pada kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, perempuan, anak-anak, dan orang tua. MRT Singapura dilengkapi dengan lift ke peron, lantai taktil untuk tuna netra, dan akses yang tersedia untuk pengguna kursi roda, keluarga dengan kereta dorong bayi, dan wisatawan dengan bagasi besar. Komitmen terhadap desain yang tidak berpihak ini menjamin bahwa sistem transit melayani semua lapisan masyarakat, yang merupakan pilar penting dari legitimasi kelembagaan.
Sintesis Komparatif dan Faktor Kunci Keberhasilan
Kopenhagen dan Singapura, meskipun berbeda secara geografis dan budaya, menunjukkan konvergensi dalam strategi mereka untuk merancang kota yang lebih bahagia. Keberhasilan mereka terletak pada kerangka kebijakan yang terintegrasi dan didorong oleh visi, yang dapat disintesis dalam tabel komparatif berikut:
Kerangka Kebijakan Kesejahteraan Perkotaan: Studi Komparatif
| Pilar Kebijakan | Kopenhagen (Mobilitas Aktif) | Singapura (RTH & Transit) | Strategi Tata Kelola Inti |
| Visi Utama | Prioritas Non-Motorisasi (8-80 Cities) | City in a Garden & Efisiensi TOD | Vision-led, Data-Driven, Integrated |
| Inisiatif Kunci | Cycle Superhighways (850+ km) | RTH 47%, Program ABC Waters, Jaringan TOD terintegrasi | Manajemen kota efektif, Kemitraan Stakeholder |
| Dampak Kesejahteraan Kunci | Peningkatan aktivitas fisik, Surplus Sosio-Ekonomi €765 juta | Resiliensi psikologis, Reduksi stres komuting, Mobilitas efisien | Legitimasi kelembagaan, Kohesi sosial |
Faktor Penggerak Utama (Drivers of Success)
Tiga faktor utama telah diidentifikasi sebagai penggerak keberhasilan kebijakan kesejahteraan perkotaan di kota-kota ini:
- Kepemimpinan Politik dan Visi Jangka Panjang:Perubahan transformatif tidak dapat terjadi dari tingkat operasional rendah. Kebijakan membutuhkan dukungan politik tingkat tinggi (seperti yang terlihat dari peran Perdana Menteri dalam kebijakan RTH Singapura ) untuk mengalokasikan sumber daya, menahan tekanan pengembangan, dan mengubah norma perkotaan. Legitimasi kelembagaan ini sangat penting untuk stabilitas kebijakan.
- Integrasi Lintas Sektor dan Lintas Disiplin:Kegagalan kebijakan seringkali berasal dari badan/agensi pemerintah yang bekerja dalam silo (stove-piped). Keberhasilan di Singapura terletak pada integrasi antara perencanaan transportasi dan perencanaan penggunaan lahan (TOD). Demikian pula, model Kopenhagen mengintegrasikan investasi infrastruktur transportasi dengan perhitungan kesehatan publik dan produktivitas ekonomi. Integrasi ini memastikan bahwa kebijakan RTH, misalnya, tidak terpisah dari perencanaan jaringan jalan, ruang biru, atau transportasi.
- Pendekatan Berpusat pada Pengguna (Human-Centric) dan Inklusif:Filosofi perencanaan harus bergeser dari mengutamakan kendaraan bermotor menjadi mengutamakan manusia, mengikuti prinsip Jane Jacobs. Kota yang berhasil memprioritaskan yang rentan, seperti pejalan kaki, pesepeda, dan penyandang disabilitas. Prinsip good urban governance hanya akan tercapai jika fasilitas publik benar-benar dapat diakses dan digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Di kota-kota yang didominasi mobil, ini menuntut perubahan regulasi dan penegakan hukum yang tegas untuk memastikan hak pejalan kaki, termasuk ketersediaan trotoar dan penyeberangan yang aman, tidak diganggu oleh hambatan seperti pedagang kaki lima.
Konsep Kunci yang Relevan untuk Replikasi
Konsep Kota 15-Menit adalah kerangka operasional yang sangat relevan untuk replikasi, terutama di kota-kota yang padat, karena secara eksplisit mengaitkan kepadatan (efisiensi) dengan desain (kualitas hidup). Konsep ini mendorong terciptanya lingkungan campuran (mixed-use) yang lebih hidup dan aman, sesuai dengan kriteria yang diadvokasi oleh Jane Jacobs. Selanjutnya, penting untuk mengadopsi metodologi perencanaan yang tidak hanya memenuhi permintaan (misalnya, memperlebar jalan untuk mobil) tetapi secara aktif membentuk perilaku (mendorong berjalan kaki dan bersepeda) melalui insentif infrastruktur yang dirancang dengan matang.
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
Ringkasan Temuan Utama: Bukti Nyata Peningkatan Kualitas Hidup
Analisis studi kasus menunjukkan bahwa kebijakan publik perkotaan yang berfokus pada mobilitas aktif, ruang hijau, dan transportasi publik yang efisien memberikan manfaat kuantitatif dan kualitatif yang signifikan terhadap kesejahteraan penduduk. Keberhasilan ini dicapai melalui visi jangka panjang, legitimasi kelembagaan, dan integrasi lintas sektor.
Ringkasan Dampak Kuantitatif Investasi Infrastruktur pada Kesejahteraan Perkotaan
| Studi Kasus/Inisiatif | Indikator Kuantitatif Kunci | Dampak Positif Kesejahteraan | Referensi Data Kunci |
| Cycle Superhighways (Kopenhagen) | Peningkatan jumlah pesepeda | +23% (Rata-rata rute) | Peningkatan kesehatan, pengurangan hari sakit |
| Cycle Superhighways (Kopenhagen) | Surplus Sosio-Ekonomi Jaringan | €765 juta | Reduksi kemacetan, penghematan biaya kesehatan |
| Ruang Terbuka Hijau (Singapura) | Persentase RTH dari total luas lahan | 47% | Resiliensi psikologis, fungsi rekreasi vital pasca-pandemi |
| Sistem Transportasi (Singapura) | Tingkat Kepuasan Pengguna MRT | Sangat Tinggi | Efisiensi mobilitas, pengurangan commuting stress |
Rekomendasi Strategis: Peta Jalan Adaptasi Kebijakan (Konteks Indonesia/Asia Tenggara)
Bagi Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) dan pengambil keputusan yang merujuk pada kerangka kerja seperti Kebijakan Perkotaan Nasional 2045 , rekomendasi strategis berikut disajikan untuk memfasilitasi kota yang lebih berorientasi kesejahteraan:
- Mandat Politik Konservasi RTH:Diperlukan master plan RTH-Biru yang memiliki mandat politik kuat, dipimpin oleh eksekutif tertinggi, untuk menetapkan baseline RTH yang tidak dapat diganggu gugat. Penetapan ini harus diintegrasikan dengan jaringan air dan jalan, dan didukung oleh penegakan hukum yang tegas terhadap alih fungsi lahan hijau atau pelanggaran ruang publik (seperti trotoar yang ditempati PKL).
- Re-alokasi Dana untuk Mobilitas Aktif:Dana pembangunan infrastruktur harus dialihkan secara signifikan dari proyek pelebaran jalan raya menuju pembangunan infrastruktur jalur sepeda yang grade-separated (terpisah dan aman) dan trotoar yang inklusif dan memadai. Untuk membenarkan investasi ini, kota harus menerapkan Life-Cycle Costing yang mengukur manfaat kesehatan dan produktivitas yang dihasilkan (meniru model Kopenhagen).
- Penguatan Transit-Oriented Development (TOD) Berorientasi Kesejahteraan:Penerapan TOD harus melampaui fokus pada kepadatan bangunan. Desain TOD harus memasukkan prinsip human-centric design yang memastikan:
- Aksesibilitas Universal:Mengadopsi standar desain inklusif (lift, lantai taktil, koneksi terlindungi cuaca) sebagai standar minimum dalam semua proyek transit baru.
- Desain Fungsi Campuran:Memastikan kepadatan ritel lantai dasar yang tinggi di sekitar stasiun untuk mendorong interaksi sosial dan mengurangi jarak perjalanan.
Tabel 3 di bawah ini merangkum prinsip desain TOD yang terbukti meningkatkan kesejahteraan komuter:
Prinsip Desain TOD Berorientasi Kesejahteraan (Studi Kasus Singapura)
| Dimensi TOD | Fokus Kesejahteraan | Metrik Kinerja (Contoh) | Relevansi |
| Kepadatan (Density) | Kepadatan Campuran (Residensial, Ritel) | Kepadatan ritel lantai dasar di stasiun | Mendorong interaksi sosial spontan dan mengurangi jarak perjalanan. |
| Desain (Design) | Konektivitas dan Keterlindungan | Akses terlindung cuaca ke stasiun, Desain inklusif (lift, lantai taktil) | Mengurangi gesekan dan stres komuter; menjamin aksesibilitas universal. |
| Keragaman (Diversity) | Penggunaan Lahan Campuran | Jarak ke layanan penting (prinsip 15-Minute City) | Menciptakan lingkungan yang lebih hidup dan aman (sesuai filosofi Jane Jacobs). |
Kebutuhan Mendesak: Mengubah Metodologi Perencanaan
Pada akhirnya, perubahan yang paling mendesak adalah mengubah metodologi perencanaan itu sendiri. Perencanaan tidak boleh lagi didasarkan pada respons pasif terhadap permintaan (misalnya, menambah lajur jalan karena kemacetan), tetapi harus proaktif dalam membentuk perilaku menuju keberlanjutan. Kualitas hidup, yang diukur melalui indikator kesehatan fisik, mental, dan sosial, harus menjadi indikator kinerja utama pembangunan perkotaan, setara dengan metrik ekonomi tradisional. Dengan memprioritaskan desain yang berpusat pada manusia dan memperkuat tata kelola kelembagaan, kota-kota dapat secara sadar merancang lingkungan yang tidak hanya efisien, tetapi juga secara fundamental lebih bahagia.
