Latar Belakang dan Definisi Etika AI Global Inklusif

Etika Kecerdasan Buatan (AI) Global didefinisikan sebagai upaya kolektif untuk menyelaraskan nilai-nilai sosial, budaya, dan hukum di berbagai yurisdiksi, dengan tujuan utama memastikan bahwa pengembangan dan penerapan AI terjadi secara adil dan berkelanjutan. Meskipun AI menjanjikan dampak ekonomi yang substansial—seperti kontribusi robotika sebesar 0,4 poin persentase terhadap pertumbuhan PDB tahunan dan produktivitas tenaga kerja di 17 negara antara tahun 1993 dan 2007, sebanding dengan dampak mesin uap di Inggris—kemajuan teknologi ini tidak boleh mengorbankan hak asasi manusia (HAM) dan martabat.

Tesis utama yang diajukan dalam tulisan ini adalah bahwa kerangka kerja etika global yang ada saat ini menghadapi krisis legitimasi dan efektivitas. Krisis ini berakar pada kecenderungan dominasi filosofi, data, dan regulasi dari satu kawasan saja, yang memerlukan pergeseran mendasar menuju kerangka kerja tata kelola yang bersifat multi-dimensional, mengakomodasi pluralitas nilai, dan secara aktif mempromosikan keragaman budaya. Jika AI tidak dirancang untuk kemanusiaan secara universal, ia akan memperkuat ketimpangan sosial ekonomi dan merugikan kelompok yang kurang terwakili.

Dominasi Normatif AI: Dari Lembah Silikon ke Standar Internasional

Pengembangan AI sebagian besar dipimpin oleh perusahaan teknologi raksasa yang berpusat di negara-negara Barat, yang secara inheren mengkodekan nilai-nilai budaya dan prioritas mereka ke dalam algoritma dan produk. Fenomena ini, yang sering disebut sebagai hegemoni regulasi atau Brussels Effect, terlihat jelas ketika badan-badan regulasi dari entitas politik yang kuat, seperti Uni Eropa (melalui EU AI Act), menetapkan standar yang memiliki dampak ekstrateritorial yang meluas.

EU AI Act, yang mengkategorikan sistem AI berdasarkan tingkat risikonya (risiko tidak dapat diterima, risiko tinggi, risiko terbatas, dan risiko minimal), mewajibkan perusahaan teknologi global, termasuk yang berada di Indonesia, untuk mematuhi regulasi tersebut jika mereka ingin mengekspor produk AI ke pasar Eropa. Kepatuhan ini mencakup aspek perlindungan data dan mitigasi risiko. Meskipun regulasi ini mendorong Indonesia untuk mempercepat perumusan kebijakan AI nasional yang lebih kuat—seperti yang ditunjukkan dengan dikeluarkannya Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial—dominasi standar Barat ini berisiko meminggirkan atau mengabaikan kebutuhan etika, filosofi komunal, dan konteks hukum yang unik bagi kawasan Asia atau Global Selatan. Hal ini menciptakan tantangan strategis bagi negara-negara berkembang untuk tidak hanya mengadopsi, tetapi juga mengadaptasi, prinsip-prinsip AI secara inklusif.

Dampak Ekonomi, Sosial, dan Politik dari AI yang Bias

Kegagalan untuk menetapkan kerangka etika yang inklusif membawa dampak negatif nyata terhadap masyarakat. Secara sosial dan politik, penerapan AI tanpa pengawasan yang adil dapat menyebabkan manipulasi sosial melalui algoritma, serta penggunaan teknologi AI untuk pengawasan sosial yang tidak seimbang. Secara ekonomi, AI dapat memperparah ketimpangan sosio-ekonomi.

Meskipun para ekonom menunjukkan optimisme terhadap prospek pertumbuhan ekonomi dari AI, terdapat kekhawatiran serius mengenai siapa yang akan tertinggal. Kebijakan harus secara spesifik menargetkan kelompok yang paling rentan, termasuk pengasuh, perempuan dan anak perempuan, kelompok masyarakat yang kurang terwakili, dan kelompok rentan lainnya, serta berfokus pada mereka yang membangun sistem AI untuk mengatasi ‘desain produk yang tidak tepat, titik buta, asumsi yang salah [dan] sistem nilai dan tujuan yang dikodekan ke dalam mesin’. Jika bias AI tidak diatasi, hal itu dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap teknologi, menghambat adopsi yang bertanggung jawab, dan pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang dijanjikan AI.

Manifestasi Bias Budaya dalam Sistem AI: Diagnosis Krisis

Bias budaya dan sosio-ekonomi yang tertanam dalam AI adalah masalah struktural yang muncul dari kurangnya keragaman dalam data dan tim pengembang. Hal ini tidak hanya memengaruhi keadilan keputusan, tetapi juga secara sistematis melanggengkan diskriminasi historis.

Sumber Bias Algoritmik: Data Homogen, Bias Laten, dan Titik Buta Pengembang

Bias algoritmik terjadi ketika kesalahan sistematis dalam algoritma machine learning menghasilkan hasil yang tidak adil atau diskriminatif. Penting untuk dipahami bahwa bias ini tidak timbul dari algoritma itu sendiri, tetapi terutama disebabkan oleh cara pengembang mengumpulkan dan mengodekan data pelatihan.

Terdapat tiga jenis bias utama yang perlu dicermati. Pertama, bias seleksi, di mana model yang dilatih gagal mewakili semua kelompok manusia secara adil karena pengambilan gambar dari internet atau pustaka foto cenderung homogen. Kedua, bias laten, yang terjadi ketika asumsi implisit atau pengalaman pribadi pengembang disuntikkan ke dalam model. Misalnya, jika data pelatihan untuk AI mengenai sosok fisikawan sebagian besar terdiri dari gambar fisikawan di masa lalu (mayoritas pria), algoritma tersebut akan mengembangkan bias laten yang secara tidak proporsional mengarahkan hasil untuk mendukung pria dalam peran tersebut. Bias implisit ini terlihat juga dalam sistem evaluasi pelamar kerja, yang mungkin secara tidak sadar memprioritaskan resume dengan bahasa yang dikodekan secara maskulin, bahkan ketika jenis kelamin tidak menjadi faktor eksplisit dalam model.

Oleh karena itu, upaya menghilangkan bias AI membutuhkan penelusuran ke dalam kumpulan data, algoritma machine learning, dan elemen lain dari sistem AI untuk mengidentifikasi sumber potensi bias. Pengurangan bias data adalah langkah penting, yang dapat dicapai melalui pengumpulan data representatif, transparansi, audit, dan pembentukan tim inklusif.

Studi Kasus Bias Ras, Gender, dan Keadilan Sistemik

Dampak bias AI tersebar luas, memperkuat ketidakadilan dalam berbagai bidang kehidupan sosial.

Diskriminasi dalam Pengenalan Wajah dan Penegakan Hukum

Teknologi pengenalan wajah, meskipun dipasarkan sebagai alat yang meminimalkan kesalahan manusia, tetap tidak dapat dilepaskan dari bias struktural pembuatnya. Teknologi ini terbukti memiliki akurasi yang minim dan memiliki bias sistemik yang tidak mampu mengidentifikasi ras, etnis, dan jenis kelamin secara adil, yang secara langsung merugikan kelompok minoritas. Dalam konteks penegakan hukum, algoritma yang digunakan untuk memprediksi risiko kriminalitas dapat menargetkan kelompok minoritas secara tidak adil, yang memperkuat siklus diskriminasi. Sebuah kasus di Amerika Serikat menunjukkan bahwa pengawasan model Project Green Light, yang memasang kamera definisi tinggi, terpusat di daerah-daerah mayoritas kulit hitam dan menghindari kantong-kantong kulit putih, yang menunjukkan adanya rasisme sistematis yang melekat pada pengawasan digital.

Penguatan Ketimpangan Sosial-Ekonomi (Gender dan Pekerjaan)

Di luar penegakan hukum, bias juga memanifestasikan dirinya dalam sektor ekonomi. Algoritma iklan mesin pencari dapat memperkuat bias gender pada peran pekerjaan. Penelitian independen di Carnegie Mellon University, Pittsburgh, menemukan bahwa sistem periklanan online Google lebih sering menampilkan posisi bergaji tinggi kepada laki-laki daripada perempuan. Selain itu, dalam sektor pendidikan, algoritma yang digunakan untuk menilai kinerja siswa atau merekomendasikan jalur pendidikan dapat memperlihatkan bias terhadap siswa dari latar belakang tertentu, yang secara langsung membatasi peluang mereka untuk maju. Kumpulan studi kasus ini menunjukkan bahwa bias AI menciptakan spiral ketidakadilan, di mana ketidakadilan yang sudah ada diperkuat oleh teknologi.

Strategi Mitigasi Bias saat Ini: Audit dan Transparansi

Mengatasi bias AI memerlukan pendekatan multidisiplin yang komprehensif. Strategi mitigasi harus mencakup implementasi teknis dan tata kelola yang ketat. Secara teknis, ini mencakup penggunaan model AI yang dapat dijelaskan (interpretable models), penyediaan dokumentasi lengkap mengenai cara kerja algoritma, dan penggunaan alat deteksi bias seperti Fairlearn atau AI Fairness 360.

Dari perspektif tata kelola, audit harus dilakukan pada setiap tahap pengembangan, mulai dari pengumpulan data hingga deployment model. Audit ini harus melibatkan tim multidisiplin yang terdiri dari ahli etika, teknologi, dan hukum. Selain itu, pelibatan pengguna dalam proses pengujian sistem sangat penting untuk meningkatkan pemahaman mereka terhadap sistem AI dan mengidentifikasi bias interaksi yang mungkin terlewat oleh pengembang.

Perbandingan Filosofis Etika AI: Individualisme vs. Komunalisme

Konflik filosofis antara pendekatan individualistik dan komunal adalah inti dari tantangan dalam merumuskan kerangka etika AI global yang pluralis. Kerangka kerja yang sukses harus menjembatani jurang pemisah ini.

Fondasi Etika AI Barat: Fokus pada Hak Individu dan Otonomi

Etika AI yang dominan di Barat, yang secara filosofis berakar pada nilai-nilai individualistik dan hak asasi manusia, cenderung menekankan otonomi, privasi data pribadi, dan kebebasan individu. Prinsip-prinsip ini mendasari regulasi utama seperti General Data Protection Regulation (GDPR) di Uni Eropa dan banyak prinsip yang ditawarkan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Fokus utamanya adalah melindungi individu dari penyalahgunaan AI, khususnya melalui pengawasan pribadi dan pelanggaran privasi.

Paradigma Etika Komunal dan Kolektif: Kasus Asia dan Afrika

Paradigma komunal, yang lazim di banyak negara Asia dan Afrika, menempatkan kepentingan kolektif, stabilitas sosial, dan kesejahteraan masyarakat di atas hak individu yang absolut.

Perspektif Tiongkok (Stabilitas dan Kontrol Sosial)

Di Tiongkok, penerapan AI berfokus secara ekstensif pada kontrol sosial, pencegahan kejahatan, dan penegakan hukum, di mana teknologi seperti Natural Language Processing (NLP) dan computer vision digunakan secara masif dalam sistem pengawasan dan pengambilan keputusan hukum. Meskipun bertujuan meningkatkan efektivitas penegakan hukum, fokus pada stabilitas sosial dan sistem ideologi negara dapat membatasi atau melarang inovasi AI yang dianggap menantang, serta memerlukan penyaringan konten yang ketat pada chatbot. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun AI diterapkan untuk manfaat kolektif, implikasi etika terhadap privasi dan kebebasan berekspresi tetap menjadi tantangan serius.

Pendekatan Afrika: Menuju “African Intelligence” dan Kedaulatan Digital

Pendekatan Afrika terhadap AI secara aktif menentang model dominan. Fokusnya adalah mencapai kedaulatan data dan memastikan AI mendukung tujuan pembangunan Benua Afrika (Agenda Uni Afrika 2063). Para ahli di Afrika menyarankan strategi counter-hegemonic, termasuk pengembangan sistem AI lokal bertenaga surya yang dapat beroperasi offline dan menyimpan data secara lokal untuk mencegah kebocoran data. Visi strategisnya adalah agar Afrika memimpin dunia dalam AI pertanian—menggunakan kekuatan alam untuk ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi—sehingga mengubah Kecerdasan Buatan menjadi “Kecerdasan Afrika” yang etis dan inklusif.

Menjembatani Kesenjangan: Pluralitas Nilai dan Partisipasi

Untuk mencapai kerangka kerja yang berkelanjutan, harus ada penekanan pada pendekatan humanistik yang menghormati pluralitas nilai. Hal ini membutuhkan integrasi yang efektif antara nilai sosial (keadilan, non-diskriminasi, perlindungan HAM) dan nilai ekonomi (efisiensi, keberlanjutan, pemerataan manfaat). Sebagai contoh, AI di sektor kesehatan memiliki nilai sosial karena menyelamatkan nyawa (diagnosis cepat) sekaligus nilai ekonomi karena mengurangi biaya layanan kesehatan.

Pendekatan humanistik juga menekankan sentralitas partisipasi kolektif. Partisipasi warga negara dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan AI penting karena mengafirmasi status mereka sebagai anggota komunitas yang bebas dan setara, sekaligus melawan kecenderungan AI untuk disalahgunakan oleh mode keputusan teknokratis.

Perbedaan mendasar dalam paradigma etika ini dapat diringkas sebagai berikut:

Table I: Perbandingan Nilai Etika AI: Paradigma Individualistik vs. Komunal

Dimensi Etika Pendekatan Individualistik (Barat) Pendekatan Komunal/Kolektif (Global Selatan) Implikasi Tata Kelola Global
Unit Fokus Utama Hak dan Kebebasan Individu, Privasi Data Pribadi. Kesejahteraan Komunal, Stabilitas Sosial, Kedaulatan Data Kolektif. Perlunya kerangka yang menyeimbangkan data rights individu dengan data sovereignty komunitas.
Nilai Kunci Otonomi, Transparansi Individual. Authority to Control (Otoritas untuk Mengontrol), Collective Benefit (Manfaat Kolektif), Tanggung Jawab. Mendorong proses partisipatif untuk mengafirmasi status warga negara sebagai anggota komunitas yang setara.
Isu Sentral Bias Algoritma, Pengawasan Pribadi. Apropriasi Pengetahuan Tradisional (HKI), Ketimpangan Digital, Hilangnya Kedaulatan Data. Memerlukan kebijakan yang menargetkan kelompok paling berisiko tertinggal.

Tantangan Kreativitas dan HKI dalam AI Generatif yang Tidak Inklusif

Perkembangan pesat AI Generatif (Gen AI) menghadirkan tantangan etika dan hukum yang mendalam, terutama terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan potensi apropriasi budaya yang sistematis.

Dilema Orisinalitas dan Integritas Kreatif di Era Gen AI

Teknologi Gen AI, seperti ChatGPT, DALL·E, dan MidJourney, telah memungkinkan siapa pun untuk menghasilkan konten (tulisan, gambar, musik) dengan perintah sederhana, yang secara signifikan mempercepat proses pembuatan konten. Namun, efisiensi ini diimbangi dengan pertanyaan kritis mengenai tanggung jawab etika, risiko plagiarisme digital, penyebaran misinformasi, dan erosi nilai orisinalitas manusia.

Kritikus berpendapat bahwa AI harus diposisikan semata-mata sebagai alat bantu kreatif, bukan sebagai pengganti kreativitas manusia. Para kreator digital harus tetap memegang tanggung jawab moral untuk memastikan keaslian, keakuratan, dan nilai-nilai kemanusiaan dari setiap karya yang dihasilkan dengan bantuan AI. Situasi ini mendorong institusi, termasuk perguruan tinggi, untuk mengintegrasikan literasi AI dan etika digital ke dalam kurikulum guna memastikan pemanfaatan teknologi secara bertanggung jawab.

Penggunaan Data Budaya Non-Barat dan Masalah HKI

Isu HKI menjadi sangat rumit karena model Gen AI dilatih menggunakan kumpulan data masif yang diambil dari berbagai karya seni dan budaya yang tersedia secara publik di internet. Meskipun AI tidak secara langsung menyalin karya yang ada, melainkan “belajar” dari pola data, hasil keluarannya dapat menyerupai ciptaan asli, yang memicu tuduhan pelanggaran hak cipta tanpa izin atau kompensasi.

Model HKI tradisional yang berlaku di banyak negara (seperti fasilitas pendaftaran HKI di Indonesia yang berfokus pada individu atau pelaku ekonomi kreatif ) secara inheren gagal melindungi pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya kolektif yang merupakan aset komunal non-Barat. Ketika Gen AI menyerap motif, gaya, atau narasi budaya tradisional dari Global Selatan tanpa mekanisme kompensasi atau pengakuan berbasis komunitas, ini merupakan bentuk apropriasi budaya digital yang sistematis. Hukum masih berada di area abu-abu, membutuhkan regulasi yang lebih jelas untuk menyeimbangkan hak pencipta dengan perkembangan teknologi AI.

Kebutuhan akan Lisensi Transparan dan Mekanisme Royalti yang Adil

Diperlukan langkah hukum dan tata kelola yang proaktif untuk mengatasi tantangan HKI ini. Salah satu solusi adalah mewajibkan regulasi yang menuntut transparansi dalam pengumpulan data yang digunakan untuk melatih AI. Sebagai contoh, regulasi seperti EU AI Act sudah mulai menyoroti aspek ini.

Selain transparansi, diperlukan mekanisme kompensasi yang adil. Perusahaan AI dapat membuat sistem lisensi yang memungkinkan penggunaan karya berhak cipta untuk melatih AI dengan pembayaran royalti kepada pencipta asli. Mekanisme ini harus diperluas untuk mencakup skema lisensi kolektif yang mengakui hak-hak komunal, sehingga menjamin bahwa kreativitas di era AI tetap bermakna dan bertanggung jawab.

Kedaulatan Data dan Pemberdayaan Komunitas Adat

Inklusivitas budaya dalam etika AI tidak akan tercapai tanpa mengintegrasikan perspektif kelompok yang paling rentan terhadap bias dan eksploitasi data: Masyarakat Adat. Isu kedaulatan data di sini menjadi parameter kunci keadilan global.

Implikasi Etis AI terhadap Masyarakat Adat

Kecerdasan Buatan memiliki potensi yang tak terbatas, namun risiko etisnya terhadap kelompok minoritas dan rentan, yang suaranya sering terpinggirkan, harus dipertimbangkan secara serius. Penggunaan AI menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai hak dan privasi Masyarakat Adat.

Masalah utama adalah risiko misrepresentasi suara dan pengetahuan Masyarakat Adat. Data yang digunakan untuk melatih AI seringkali mengandung bias dan persepsi palsu yang berakar pada sejarah kolonial. Jika AI dilatih menggunakan data yang tidak representatif atau bias, teknologi tersebut akan melanggengkan representasi yang salah, yang mengancam penentuan nasib sendiri dan martabat komunitas.

Prinsip Data Terbuka (Open Data) vs. Hak Kepemilikan Data Adat

Banyak perangkat AI modern beroperasi berdasarkan prinsip ‘berbagi data terbuka’ (open data), di mana data yang ada digunakan untuk melatih model guna menghasilkan hasil tertentu. Prinsip ini berada dalam konflik langsung dengan konsep kedaulatan data Masyarakat Adat, yaitu hak untuk memiliki, mengendalikan, mendapatkan manfaat, dan melindungi data mereka. Konflik ini sangat relevan mengingat sejarah penghapusan dan apropriasi bahasa dan budaya Adat.

Kedaulatan data Masyarakat Adat dan Prinsip Persetujuan Bebas, Sebelumnya, dan Berinformasi (Free, Prior, and Informed Consent – FPIC) harus menjadi panduan dalam penggunaan data dan teknologi yang bertanggung jawab, terutama dalam tata kelola iklim dan keanekaragaman hayati.

Mengintegrasikan Prinsip CARE dalam Tata Kelola AI Global

Untuk mengatasi konflik ini, kerangka tata kelola global harus secara wajib mengintegrasikan Prinsip CARE (Collective benefit, Authority to Control, Responsibility, Ethics) untuk Tata Kelola Data Adat. Prinsip CARE bersifat people and purpose-oriented, yang secara fundamental berbeda dari prinsip data teknis (seperti FAIR—Findable, Accessible, Interoperable, Reusable).

Prinsip CARE memastikan bahwa:

  1. Manfaat Kolektif (Collective benefit):Data harus dikelola untuk mendukung tata kelola Adat dan inovasi.
  2. Otoritas untuk Mengontrol (Authority to Control):Komunitas Adat memiliki hak untuk menentukan bagaimana data mereka digunakan.
  3. Tanggung Jawab (Responsibility):Mereka yang menggunakan data Adat harus bertanggung jawab dan akuntabel terhadap komunitas tersebut.
  4. Etika (Ethics):Penggunaan data harus konsisten dengan pandangan dunia dan nilai-nilai Adat.

Prinsip-prinsip ini mengakui hak komunitas untuk menciptakan nilai dari data adat yang berlandaskan pada pandangan dunia mereka, memastikan inovasi AI dan penentuan nasib sendiri. Integrasi Prinsip CARE mengubah alur nilai dari eksploitasi data menjadi manfaat kolektif.

Merancang Arsitektur Tata Kelola AI Global yang Inklusif

Pembentukan norma internasional untuk etika AI ke depan harus bersifat multi-dimensional. Ini membutuhkan arsitektur tata kelola global yang kooperatif dan terstruktur, yang menggabungkan hukum keras, hukum lunak, dan partisipasi yang beragam.

Evaluasi Kerangka Kerja Global Saat Ini

Kerangka kerja saat ini memberikan landasan tetapi menunjukkan keterbatasan dalam inklusivitas budaya:

  • UNESCO Recommendation on the Ethics of AI:Kerangka ini memuat prinsip-prinsip yang dirancang untuk memastikan AI mengutamakan kesejahteraan manusia dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. UNESCO, melalui program pelatihan bagi pengadilan, berupaya memperkuat standar internasional mengenai AI, keadilan, bias, dan transparansi.
  • OECD AI Principles:Sebagai standar antar-pemerintah pertama mengenai AI, kerangka ini telah diadopsi oleh 47 penganut. Anggota G20, termasuk Indonesia, India, dan Tiongkok, telah berkomitmen pada Prinsip AI G20 yang didasarkan pada OECD. Namun, daftar keanggotaan OECD (yang didominasi oleh negara-negara maju) menunjukkan bahwa kerangka ini perlu dievaluasi secara berkelanjutan untuk memastikan bahwa ia tidak didominasi oleh perspektif non-Barat secara memadai.
  • EU AI Act:Regulasi hukum keras ini menetapkan standar risiko yang tinggi dan memiliki sanksi denda yang curam (hingga 7% dari omzet global). Meskipun memiliki dampak global yang tak terhindarkan , risiko dari hard law yang didominasi oleh satu kawasan ini adalah memaksakan standar kepatuhan individualistik tanpa sepenuhnya mengakomodasi keragaman pendekatan tata kelola komunal.

Pilar-Pilar Tata Kelola Kooperatif Global (Model WEF/UN)

Untuk menstabilkan kepercayaan terhadap AI—yang digambarkan sebagai mata uang baru di Era Cerdas—diperlukan arsitektur global yang kooperatif. PBB telah didorong untuk menciptakan aturan global tentang AI yang inklusif dan berbasis kerja sama internasional. Arsitektur ini harus beristirahat pada pilar-pilar berikut:

Pilar I: Kerangka Kerja Konstitusional

Pilar ini harus mendefinisikan prinsip-prinsip bersama untuk keselamatan, transparansi, dan penggunaan AI yang etis. Kerangka ini harus melampaui fokus tunggal pada HAM individualistik dengan secara eksplisit mengkodifikasi Prinsip CARE  dan konsep etika komunal, memastikan bahwa nilai-nilai ekonomi dan sosial terintegrasi.

Pilar II: Sistem Operasi Kepercayaan Global

Pilar ini memastikan interoperabilitas dan verifikasi lintas batas. Sistem ini memerlukan mekanisme operasional yang kuat, termasuk peluncuran inisiatif “model passport” dengan koalisi negara dan perusahaan yang bersedia, untuk mengoperasionalkan transparansi dan kepercayaan AI. Audit harus menjadi wajib, di mana praktik tata kelola AI harus diterapkan untuk mencegah bias dan diskriminasi di seluruh siklus hidup AI.

Pilar III: Dewan Tetap untuk Intelijen Kooperatif

Pilar institusional ini adalah organisasi modern yang bertugas menyelaraskan strategi nasional, inovasi privat, dan perlindungan sosial. Fungsi dewan ini termasuk mendorong pertukaran pakar dan penguatan kapasitas sumber daya manusia di bidang digital secara strategis antarnegara. Dewan ini dapat berfungsi sebagai badan multilateral untuk dialog, kerja sama, dan penyusunan standar bagi penerapan AI yang bertanggung jawab.

Tabel berikut menyajikan ringkasan arsitektur tata kelola yang inklusif ini:

Table II: Usulan Arsitektur Tata Kelola AI Global yang Inklusif

Pilar Arsitektur Fungsi Kunci Strategi Inklusivitas Budaya Sumber Daya Pendukung
I. Kerangka Konstitusional (Prinsip) Kodifikasi prinsip dasar etika, keadilan, dan HAM. Meleburkan nilai sosial dan ekonomi; menjamin pluralitas nilai (melawan hegemoni tunggal). UNESCO Recommendation, UN Global Compact.
II. Sistem Kepercayaan Global (Operasional) Interoperabilitas, verifikasi, dan audit siklus hidup AI. Mewajibkan transparansi data pelatihan; memfasilitasi audit bias oleh tim multidisiplin. Model Passport Inisiatif, Trusys.ai Blueprint, Alat Fairlearn/AIF360.
III. Tata Kelola Data Berbasis Kedaulatan Regulasi pengumpulan dan penggunaan data sensitif secara budaya. Wajib adopsi Prinsip CARE dan FPIC untuk data komunitas adat; mendukung model AI lokal/offline. Prinsip CARE, Pendekatan “African Intelligence”.
IV. Dewan Kooperatif Global (Institusional) Penyelarasan kebijakan nasional dan pertukaran pengetahuan pakar. Mendorong keragaman kognitif dalam tim pengembang AI; mengatasi titik buta budaya pengembang. Forum Multilateral (WEF, PBB Task Force).

Strategi Pengurangan Bias Struktural dan Peningkatan Keterwakilan

Untuk mendukung arsitektur ini, praktik tata kelola perlu berfokus pada sumber masalah: keterwakilan manusia dan data. Keterlibatan tim inklusif dan audit multidisiplin penting untuk mengurangi bias implisit dalam pengembangan AI. Lebih dari sekadar hasil akhir, audit harus juga fokus pada prosedur yang diadopsi. Pemerintah harus mempertimbangkan investasi publik dan mendorong investasi swasta dalam dataset terbuka yang representatif dan menghormati privasi dan perlindungan data, guna memastikan lingkungan R&D AI yang bebas dari bias yang tidak tepat.

Kesimpulan

Tulisan ini menyimpulkan bahwa tantangan etika AI global saat ini adalah perwujudan dari ketidakseimbangan struktural, di mana AI yang dikembangkan dan diatur oleh paradigma individualistik Barat cenderung memperkuat bias sistemik, merugikan kelompok rentan, dan mengancam kedaulatan data serta HKI komunal di Global Selatan. Dominasi regulasi seperti EU AI Act, meskipun penting untuk kepatuhan, berisiko meminggirkan kebutuhan tata kelola komunal yang mendasar, seperti yang diwujudkan dalam fokus Asia pada stabilitas sosial dan dorongan Afrika untuk African Intelligence berbasis data lokal. Dalam domain kreativitas, Gen AI menimbulkan dilema HKI yang serius karena kemampuannya menyerap pengetahuan tradisional komunal tanpa mekanisme kompensasi yang adil, menuntut pergeseran dari HKI yang berorientasi individu ke perlindungan kolektif.

Berdasarkan analisis multi-dimensional ini, disajikan empat rekomendasi strategis untuk mendorong kerangka kerja kreativitas AI yang inklusif dan beragam budaya:

  1. Mengintegrasikan Standar Kedaulatan Data Komunal:Organisasi multilateral harus secara resmi mengakui dan mewajibkan penerapan Prinsip CARE (Collective benefit, Authority to Control, Responsibility, Ethics) dan Prinsip FPIC dalam tata kelola data yang digunakan untuk melatih sistem AI, terutama yang bersentuhan dengan pengetahuan tradisional dan data komunitas adat.
  2. Harmonisasi Regulasi Berbasis Pluralitas Nilai:Negara-negara non-Barat didorong untuk merespons regulasi global (seperti EU AI Act) bukan hanya dengan kepatuhan pasif, tetapi dengan secara aktif menyuntikkan nilai-nilai komunal, perlindungan HAM, dan kedaulatan digital ke dalam kebijakan nasional mereka (misalnya, melalui peninjauan ulang dan penguatan SE Menkominfo No. 9 Tahun 2023).
  3. Mewajibkan Transparansi Data Latihan dan Lisensi yang Adil:Regulasi AI global harus mewajibkan perusahaan Gen AI untuk mendokumentasikan sumber data pelatihan mereka dan mengembangkan sistem lisensi yang memungkinkan pembayaran royalti atau kompensasi kepada pencipta asli, termasuk skema untuk aset budaya komunal.
  4. Memandatkan Keragaman Kognitif dan Tata Kelola Lokal:Pemerintah dan industri harus diwajibkan untuk membentuk tim pengembang dan tim audit yang inklusif dan multidisiplin untuk mengatasi titik buta budaya dan bias laten. Selain itu, investasi harus dialokasikan untuk mengembangkan ekosistem AI lokal dan open datasets yang representatif dan menjaga kedaulatan data di tingkat regional, mencontoh model yang diajukan dalam visi African Intelligence.

Visi jangka panjangnya adalah menggeser paradigma dari Kecerdasan Buatan yang didominasi satu kawasan menuju “Kecerdasan Global” yang adil. Hal ini menuntut bahwa teknologi AI harus melampaui sekadar cerdas atau efisien; ia harus adil, transparan, akuntabel, dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan keragaman budaya. Tata kelola AI yang sukses harus menjadi arsitektur kerja sama global yang mampu menyatukan dan mengangkat semua ekonomi global, memastikan bahwa mereka yang mengendalikan AI dengan integritas akan memimpin jalan menuju inovasi yang bertanggung jawab.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

− 3 = 2
Powered by MathCaptcha