Pembangunan infrastruktur skala besar di era modern telah mengambil dimensi strategis dan geopolitik yang kompleks, melampaui pertimbangan teknis dan ekonomi semata. Dalam konteks ini, tuntutan terhadap etika dan keberlanjutan menjadi inti dari setiap interaksi diplomatik dan pembiayaan proyek.

Definisi dan Landasan Normatif Pembangunan Infrastruktur yang Beretika

Secara akademis, Pembangunan Infrastruktur yang Beretika didefinisikan oleh landasan normatifnya yang mendalam. Definisi ini menuntut pendekatan yang jauh melampaui daftar periksa sederhana (simplistic checklist approach) terhadap kepatuhan etika. Sebaliknya, ia menuntut perspektif sistemik yang mempertimbangkan dampak holistik, fokus kritis pada dinamika kekuasaan yang terlibat dalam proyek mega, dan refleksi epistemologis, termasuk pertimbangan intergenerasi.

Tujuan dari kerangka etika yang ketat ini adalah untuk terlibat secara lebih mendalam dan berbasis teori dengan kompleksitas moral pembangunan infrastruktur di abad ke-21. Ini memerlukan penelitian yang ketat dan pengembangan kerangka kerja etika serta metodologi yang inovatif dan spesifik. Ketika proyek besar didanai oleh modal global dan melibatkan kepentingan strategis, kegagalan dalam memenuhi tuntutan etika sistemik ini menciptakan jurang legitimasi, di mana kepatuhan formal terhadap hukum domestik tidak mencukupi untuk menjamin penerimaan sosial atau etika.

Infrastruktur telah menjadi instrumen kebijakan luar negeri yang signifikan. Penguatan diplomasi infrastruktur di tingkat Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia telah diidentifikasi sebagai prasyarat fundamental untuk mencapai “DIPLOMASI HEBAT”. Dalam praktik diplomatik, khususnya yang melibatkan teknologi dan aset fisik, terdapat kebutuhan untuk menyelaraskan doktrin hukum dengan realitas teknis guna mengelola persaingan strategis melalui kerangka hukum yang transparan, mirip dengan praktik siber diplomasi yang menyeimbangkan antara teknis dan legal.

Integrasi Aspek Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam Pembiayaan Infrastruktur

Kerangka kerja Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola (ESG) telah dipromosikan sebagai standar global untuk keberlanjutan. ESG didefinisikan sebagai praktik yang secara substansial mengutamakan aspek keberlanjutan, yang mencakup keramahan lingkungan, keuntungan sosial yang jelas, dan tata kelola yang sangat baik.

Penerapan prinsip ESG dalam pembangunan proyek infrastruktur di Indonesia menawarkan insentif pasar yang kuat. Penggunaan prinsip ESG secara otomatis memenuhi standar reputasi global, sehingga lebih mudah dalam menarik investor. Peningkatan reputasi ini memungkinkan proyek untuk menarik pembiayaan swasta dalam jumlah yang lebih besar, yang pada gilirannya mengurangi peran pendanaan negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pemerintah Indonesia, melalui unit kerja seperti Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) dan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), telah menunjukkan upaya untuk mengimplementasikan standar ESG dalam pembiayaan, termasuk melalui penerbitan Surat Berharga Negara.

Pemerintah Indonesia menekankan bahwa proyek infrastruktur tidak boleh merugikan masyarakat dan lingkungan. Infrastruktur tidak seharusnya memperburuk lingkungan, termasuk menyebabkan perubahan iklim atau perusakan keanekaragaman hayati. Secara spesifik, aspek sosial dalam kerangka ESG di Indonesia mencakup:

  1. Masyarakat Adat: Penting untuk melestarikan Masyarakat Adat yang teridentifikasi dan menghindari dampak buruk sedini mungkin, serta melibatkan mereka dalam proses perencanaan dan pelaksanaan proyek.
  2. Ketenagakerjaan: Menerapkan kebijakan dan prosedur ketenagakerjaan sesuai peraturan domestik dan mempromosikan kondisi kerja yang aman dan sehat, sejalan dengan standar internasional, termasuk menghindari pekerja anak dan kerja paksa.
  3. Lingkungan: Fokus pada pencegahan polusi, pengelolaan dampak, dan mendorong penggunaan sumber daya yang berkelanjutan, sejalan dengan praktik terbaik global.

Tinjauan Lintas Inisiatif Infrastruktur Global: Kompetisi Etika

Konteks geopolitik pembangunan infrastruktur global saat ini ditandai oleh persaingan antara inisiatif-inisiatif raksasa. Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) Tiongkok, sebagai inisiatif infrastruktur global yang paling ekspansif, telah memicu respons strategis dari kekuatan Barat.

Inisiatif alternatif seperti Partnership for Global Infrastructure and Investment (PGII) dan Global Gateway (GG) Uni Eropa muncul sebagai upaya untuk menyeimbangkan pengaruh BRI dan mempromosikan kerangka kerja infrastruktur yang diklaim lebih transparan, berkelanjutan, dan berbasis aturan. Global Gateway, misalnya, berupaya menonjolkan keunggulan dalam proyek yang inovatif, berkelanjutan secara finansial, dan berorientasi pada transisi energi dan penguatan keamanan siber. Inisiatif ini juga berupaya kontras dengan kritik terhadap proyek Tiongkok yang seringkali dituding kurang melakukan transfer teknologi atau pelatihan keterampilan kepada mitra lokal.

Meskipun inisiatif-inisiatif alternatif ini berada pada posisi yang baik untuk mengatasi beberapa kekurangan BRI, belum ada bukti yang secara jelas mendukung satu model pembangunan di atas model lain dalam mencapai hasil kesejahteraan dan mengatasi kesenjangan pembangunan. Namun demikian, kompetisi strategis yang terjadi diharapkan dapat berkontribusi pada pembangunan infrastruktur yang lebih akuntabel, multidimensi, berkelanjutan, dan inklusif secara sosial.

Di sisi lain, kritik terhadap standar sosial dan lingkungan proyek yang didukung Tiongkok terus meningkat. Organisasi internasional mencatat bahwa perusahaan milik negara China sering melanggar atau menghindari standar sosial dan lingkungan, khususnya di negara-negara yang memiliki lembaga hukum yang belum kokoh. Selain itu, proyek BRI di negara kepulauan kecil, yang berfokus pada pariwisata dan infrastruktur, juga dinilai berisiko besar bagi lingkungan.

Bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, persaingan geopolitik ini menghasilkan tekanan ganda. Ada tekanan untuk mematuhi standar ESG yang ketat untuk menarik pembiayaan berstandar tinggi (seperti dari GG), namun juga ada potensi godaan untuk mengambil pembiayaan yang lebih cepat tetapi dengan regulasi yang longgar, yang dapat memicu race to the bottom dalam standar lingkungan. Diplomasi infrastruktur yang etis harus mampu memanfaatkan persaingan ini untuk mendesakkan kualitas dan keberlanjutan tanpa mengorbankan kecepatan.

Mekanisme Keberlanjutan Global: Evaluasi Standar Safeguard dan Implementasi

Efektivitas diplomasi infrastruktur yang beretika bergantung pada sejauh mana standar perlindungan global (safeguard) dapat mencegah kerusakan sosial dan lingkungan di lapangan.

Peran dan Evolusi Standar Perlindungan Bank Pembangunan Multilateral (MDBs)

Bank Pembangunan Multilateral (MDBs), seperti Bank Dunia, ADB, dan bank regional lainnya, memiliki kebijakan yang terintegrasi untuk mengelola risiko E&S dalam pembiayaan proyek. Meskipun demikian, perlindungan yang diberikan terhadap dampak negatif di negara berkembang seringkali dinilai tidak memadai.

  1. World Bank Environmental and Social Framework (ESF)

ESF Bank Dunia mewakili upaya untuk meningkatkan manajemen risiko, menekankan pada integrasi risiko E&S dan penguatan sistem manajemen nasional peminjam. ESF mencakup sepuluh Environmental and Social Standards (ESS), yang mencakup isu-isu krusial seperti: kesehatan komunitas, Masyarakat Adat, akuisisi lahan dan relokasi involunter, dan mekanisme keluhan yang responsif. Penerapan ESF, yang menggantikan Safeguard Policies sebelumnya, bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan pelibatan pemangku kepentingan melalui konsultasi yang bermakna sepanjang siklus proyek.

  1. Asian Development Bank (ADB) Safeguard Policy Statement (SPS)

ADB Safeguard Policy Statement (SPS) yang disetujui pada tahun 2009 dibangun di atas tiga kebijakan perlindungan sebelumnya mengenai lingkungan, relokasi involunter, dan masyarakat adat. Kebijakan ini mewajibkan peminjam untuk mengidentifikasi dampak proyek, menilai signifikansinya, dan menyiapkan rencana pengelolaan lingkungan yang harus dipantau dan diimplementasikan.ADB berencana menggantikan SPS dengan Environmental and Social Framework (ESF) baru yang disetujui pada November 2024 dan efektif mulai Januari 2026, yang menunjukkan evolusi berkelanjutan dalam standar perlindungan.

Secara kritis, analisis terhadap standar MDB menunjukkan adanya kekurangan fokus keberlanjutan yang komprehensif dibandingkan dengan sistem rating keberlanjutan internasional. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun kebijakan safeguard MDB bersifat wajib (mandatory) dan disetujui Dewan, MDB harus terus mengembangkan panduan manajemen yang lebih rinci dan mengatasi dampak yang melampaui kerangka hukum wajib untuk memastikan pelibatan pemangku kepentingan yang lebih baik dan hasil proyek yang benar-benar berkelanjutan.

Prinsip Ekuator (Equator Principles – EP) dan Keuangan Swasta

Prinsip Ekuator (EP) adalah tolok ukur yang digunakan oleh institusi keuangan untuk mengelola risiko lingkungan dan sosial (E&S) dalam proyek. Institusi Keuangan Prinsip Ekuator (EPFIs) mengimplementasikan 10 Prinsip Ekuator melalui kebijakan dan prosedur internal mereka.

Penerapan EP menawarkan manfaat signifikan bagi lembaga keuangan, termasuk peningkatan manajemen risiko E&S, pengurangan risiko kredit, dan peningkatan reputasi. Evolusi EP mencerminkan pengakuan risiko yang semakin luas. EP4 (2020) memperluas cakupan aplikasinya dan secara signifikan memperkenalkan Penilaian Risiko Perubahan Iklim (Climate Change Risk Assessment) dan Penilaian Hak Asasi Manusia (Human Rights Assessment).

Peningkatan fokus pada risiko iklim dalam EP sejalan dengan tren di sektor keuangan Asia Tenggara. Bank-bank di ASEAN, termasuk BRI dan Mandiri, telah menunjukkan peningkatan ambisi iklim, dengan 11 dari 14 bank yang diteliti menetapkan target net-zero jangka panjang untuk emisi dari pembiayaan mereka. Keterlibatan perbankan domestik dalam upaya keberlanjutan, seperti program penanaman pohon yang menyerap karbon, menunjukkan bahwa risiko lingkungan kini diinternalisasi sebagai risiko finansial dan reputasi, yang membatasi akses pendanaan bagi proyek yang gagal memenuhi standar etika.

Dampak Sosial: Hak Masyarakat Adat dan Kompleksitas Relokasi Involunter

Dampak sosial dari proyek infrastruktur mega, terutama yang berkaitan dengan Masyarakat Adat dan pemindahan penduduk, adalah area utama di mana kegagalan etika paling sering terjadi.

Prinsip Hak Asasi Manusia dan Perlindungan Masyarakat Adat

Perlindungan Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (IPLCs) diatur oleh prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) atau Persetujuan Bebas, Didahulukan, dan Diinformasikan. Proses FPIC bertujuan untuk mencari persetujuan kolektif dari IPLCs, menghormati hak mereka untuk membuat keputusan mengenai penggunaan lahan dan sumber daya alam mereka.

FPIC memastikan bahwa Masyarakat Adat tidak hanya dilihat sebagai penerima pasif pembangunan, tetapi sebagai mitra aktif dengan visi pengembangan mereka sendiri. Pengetahuan tradisional mereka sangat penting untuk membangun masyarakat yang tangguh dan menjamin ketahanan pangan global. Meskipun kerangka ESG di Indonesia mewajibkan pelestarian Masyarakat Adat dan pelibatan mereka dalam perencanaan proyek , realitasnya menunjukkan bahwa PBB masih menyerukan kepada Indonesia untuk segera melindungi Masyarakat Adat dari tekanan.

Isu Utama dalam Pengadaan Tanah dan Relokasi Involunter (Involuntary Resettlement)

Pengadaan tanah adalah tahap proyek yang paling rentan terhadap konflik dan pelanggaran HAM.

  1. Konflik Hak atas Tanah dan Ketidakpastian Hukum

Ketidakpastian hukum properti merupakan hambatan besar bagi diplomasi infrastruktur yang etis. Kasus sengketa tanah di Proyek Jalan Tol Kediri–Tulungagung menunjukkan adanya tumpang tindih antara Sertifikat Hak Milik (SHM) milik warga dengan Sertifikat Hak Pakai (SHP) Pemerintah Kota. Sengketa ini menyoroti kelemahan sistematis di mana BPN tidak berwenang untuk menentukan kepemilikan sah, mendorong warga untuk menempuh jalur hukum guna mencari kejelasan hak miliknya yang telah dikuasai turun-temurun.  Kegagalan administrasi mendasar ini secara langsung memicu konflik sosial dan meningkatkan risiko proyek.

  1. Kegagalan Kompensasi yang Adil dan Arbitrari (Kasus Mandalika)

Relokasi involunter harus dilakukan dengan menjamin kompensasi yang adil dan memadai, yang mencakup biaya pemindahan, nilai atas properti, kompensasi karena kehilangan usaha atau pekerjaan, serta biaya alih profesi. Proyek juga harus menyediakan kejelasan lahan relokasi.

Namun, studi kasus Proyek Mandalika, yang didanai AIIB, menunjukkan pemukiman kembali dan skema kompensasi yang sewenang-wenang. Laporan Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia (KPPII) mencatat ketiadaan kompensasi yang memadai dan dampak sosio-ekonomi yang merugikan.

Kegagalan ini diperburuk oleh masalah akuntabilitas. Dalam kasus Mandalika, ketidaklibatan yang bermakna telah menyebabkan ketidakpercayaan parah terhadap pengembang dan AIIB. Sebanyak 96% responden di Mandalika tidak mengetahui tentang mekanisme penanganan keluhan resmi yang tersedia, dan tidak ada responden yang percaya bahwa mekanisme tersebut akan berfungsi untuk mengatasi keluhan mereka. Hal ini mengindikasikan adanya masalah akuntabilitas fiktif—adanya kebijakan safeguard AIIB (termasuk Environmental and Social Standard 2 mengenai Relokasi Involunter) yang gagal diterapkan dan diawasi secara efektif di lapangan.

  1. Tantangan Kepastian Hukum Pasca-Relokasi

Bahkan setelah masyarakat dipindahkan, masalah ketidakpastian hukum berlanjut. Studi kasus pembangunan Bendungan Semantok menunjukkan bahwa masyarakat di lokasi relokasi menghadapi kekhawatiran karena status kepemilikan tanah mereka yang baru tidak segera jelas. Keterlambatan penerbitan sertipikat dan masalah administrasi menyebabkan masyarakat kehilangan kepastian hukum atas lahan baru yang mereka tempati.32 Kegagalan sistematis ini menunjukkan bahwa masalah tata kelola di tingkat administrasi pertanahan adalah hambatan utama bagi pembangunan infrastruktur yang etis.

Dampak Lingkungan Lintas Batas dan Tantangan Geopolitik Regional

Isu lingkungan dalam diplomasi infrastruktur menjadi rumit ketika dampak proyek melintasi batas-batas kedaulatan, menciptakan ketegangan geopolitik dan merusak hubungan regional.

Isu Polusi Lintas Batas (Transboundary Haze Pollution) di ASEAN

Fenomena kabut asap lintas batas yang disebabkan oleh Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di Indonesia adalah masalah lingkungan regional yang berulang. Kabut asap ini berdampak pada negara tetangga, termasuk Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, dan Filipina, memicu protes dan nota diplomatik dari negara-negara yang mengalami kerugian.

Kerangka kerja untuk mengatasi masalah ini adalah ASEAN Agreement On Transboundary Haze Pollution (AATHP), yang diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2014. Perjanjian tersebut memuat langkah-langkah untuk pengamatan, pencegahan, dan tanggap darurat nasional dan gabungan. Meskipun terjadi penurunan luas kebakaran hutan di Indonesia setelah persetujuan AATHP, kerja sama bilateral seperti Memorandum of Understanding (MoU) dengan Malaysia untuk penanganan Karhutla di Riau tetap diperlukan.

Penting untuk dipahami bahwa Karhutla, meskipun fenomena iklim, seringkali terkait dengan praktik akuisisi lahan untuk proyek-proyek industri. Ini menunjukkan bahwa kegagalan penegakan hukum lingkungan dan penyelesaian konflik sosial di tingkat lokal memiliki konsekuensi yang merusak hubungan diplomatik di tingkat regional.

Diplomasi Air: Dampak Bendungan Mega di Hulu Sungai Mekong

Sungai Mekong melintasi negara-negara hulu (Tiongkok, Myanmar) dan hilir (Kamboja, Laos, Thailand, Vietnam), dan merupakan sumber kehidupan utama bagi masyarakat di kawasan hilir.

Proyek bendungan pembangkit listrik tenaga air di hulu, terutama di Tiongkok, dilihat sebagai upaya maksimalisasi kepentingan rasional dalam perspektif neoliberal. Tindakan ini menyebabkan pengurasan aliran air, menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan penduduk Laos dan Thailand. Kontrol atas air ini secara langsung mengancam ketahanan pangan (food security) di negara-negara hilir, karena ketersediaan air memengaruhi proses produksi dan distribusi pangan yang berkelanjutan.

Meskipun Tiongkok berpartisipasi dalam mekanisme seperti Mekong River Commission, tindakan mereka sering dianggap sebagai upaya soft diplomacy untuk citra baik, sementara tindakan di hulu tetap menimbulkan kerugian di hilir. Kasus Mekong mencontohkan bagaimana infrastruktur dapat menjadi alat kontrol strategis dan manifestasi dinamika kekuasaan dalam hubungan internasional. Diplomasi infrastruktur etis harus menghindari model ini dan memastikan pembagian sumber daya air yang adil.

Tantangan Tata Kelola Lingkungan Regional (Race to the Bottom)

Negara-negara ASEAN mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, namun ini membawa konsekuensi serius terhadap kelestarian lingkungan. Pertumbuhan ini menciptakan risiko geopolitik di mana terjadi fenomena race to the bottom. Negara-negara ASEAN dapat bersaing untuk menarik investasi asing dengan menawarkan regulasi lingkungan yang lebih longgar, yang pada akhirnya akan melemahkan standar perlindungan regional secara keseluruhan. Diplomasi yang etis dan bertanggung jawab harus secara aktif mendorong harmonisasi standar lingkungan yang lebih tinggi dan menolak kompromi demi investasi jangka pendek.

Studi Kasus Komprehensif di Indonesia: Infrastruktur dan Akuntabilitas

Studi kasus proyek infrastruktur mega di Indonesia mengungkapkan kesenjangan substansial antara komitmen kebijakan dan hasil operasional.

Evaluasi Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB)

Proyek KCJB menjadi sorotan utama karena isu tata kelola dan transparansi. Analisis menunjukkan bahwa transparansi dalam perencanaan proyek KCJB merupakan isu sentral yang memengaruhi kepercayaan publik. Masalah transparansi mencakup pengelolaan anggaran, yang menjadi fokus utama sorotan, dan komunikasi publik yang harusnya efektif untuk menjaga kepercayaan.

Selain masalah transparansi, terdapat tuntutan berkelanjutan dari publik untuk adanya tanggung jawab penuh atas pemulihan lingkungan dan kompensasi bagi warga yang terdampak oleh megaproyek. Studi kasus ini menunjukkan bahwa terlepas dari sumber pembiayaan, masalah kepatuhan ESG di Indonesia seringkali berakar pada kelemahan transparansi dan kegagalan pelaksana proyek untuk menginternalisasi sepenuhnya biaya pemulihan sosial dan lingkungan.

Analisis Kritis terhadap Proyek Mandalika: Pelanggaran Standar AIIB

Proyek Mandalika menyajikan kritik tajam terhadap efektivitas safeguard MDB. AIIB, yang berkomitmen pada keberlanjutan, dikritik karena proyeknya menunjukkan kegagalan dalam memenuhi standar sosial. Laporan KPPII menyoroti bahwa proyek Mandalika dicirikan oleh ketiadaan kompensasi yang memadai dan dampak sosio-ekonomi negatif.

Kegagalan ini dikaitkan dengan ketidaklibatan yang bermakna terhadap masyarakat lokal, yang menyebabkan ketidakpercayaan parah terhadap pelaksana proyek (ITDC) dan pemberi pinjaman (AIIB). Tingkat ketidakpercayaan yang tinggi terhadap mekanisme penanganan keluhan formal AIIB, di mana 96% responden tidak mengetahui keberadaannya, mengindikasikan bahwa akuntabilitas AIIB di lapangan tidak berfungsi. Masalah lingkungan juga muncul, seperti pengalihan sumber air bersih untuk kawasan Mandalika, yang menunjukkan adanya sensitivitas dan potensi konflik sumber daya lokal yang harus dikelola dengan hati-hati.

Tantangan Tata Kelola (Governance) dan Korupsi

Pelajaran dari Mandalika dan KCJB menunjukkan bahwa kegagalan sosial-lingkungan persisten terlepas dari sumber pendanaan, karena masalah mendasar terletak pada tata kelola domestik. Etika administrasi publik dan birokrasi yang kuat berfungsi sebagai upaya preventif yang efektif terhadap tindak pidana korupsi.

Oleh karena itu, upaya untuk memitigasi risiko investasi asing harus berpusat pada penerapan prinsip ESG dan manajemen risiko yang ketat. Kegagalan dalam transparansi dan tata kelola yang buruk meningkatkan risiko operasional dan kredit, yang merupakan faktor yang bertentangan dengan tujuan pembangunan infrastruktur yang beretika. Indonesia harus menjadikan penguatan kelembagaan internal—terutama dalam penyelesaian sengketa tanah dan transparansi anggaran—sebagai prasyarat mutlak dalam negosiasi infrastruktur.

Kesimpulan

Diplomasi Infrastruktur yang Beretika menuntut lebih dari sekadar mengadopsi kerangka global; ia memerlukan implementasi yang tegas dan akuntabilitas yang berfungsi di tingkat lapangan. Terdapat kesenjangan kritis antara komitmen ESG global dan realitas operasional dalam menangani hak Masyarakat Adat, relokasi, dan kerusakan lingkungan lintas batas.

Kesenjangan ini disebabkan oleh kegagalan yang saling terkait: (1) Kegagalan MDB dan EPFIs untuk memastikan safeguard mereka menghasilkan akuntabilitas fungsional (kasus Mandalika); (2) Kelemahan sistemik dalam tata kelola pertanahan domestik yang memicu konflik (kasus Kediri–Tulungagung dan Semantok); dan (3) Eksploitasi kelemahan regulasi domestik yang memicu dampak geopolitik lintas batas (Haze dan Mekong).

Untuk mengatasi kegagalan etika dan memperkuat posisi diplomasi Indonesia, rekomendasi kebijakan strategis harus difokuskan pada tiga pilar:

Penguatan Pilar Tata Kelola dan Penegakan Hukum Domestik

  • Jaminan Kepastian Hukum Tanah: Melakukan reformasi administrasi pertanahan untuk menyelesaikan tumpang tindih sertifikat (SHM dan SHP) secara proaktif sebelum Proyek Strategis Nasional (PSN) dimulai.27
  • Preventif Korupsi: Memastikan transparansi penuh dalam pengelolaan anggaran proyek mega dan memperkuat etika administrasi publik sebagai upaya preventif terhadap tindak pidana korupsi.38
  • Penegakan Lingkungan: Memperkuat lembaga penegakan hukum lingkungan untuk mencegah fenomena race to the bottom dalam regulasi yang mengorbankan kelestarian lingkungan demi menarik investasi.12

Peningkatan Standar Safeguard Sosial yang Mengikat

  • Implementasi FPIC yang Mutlak: Menerapkan prinsip FPIC sebagai persyaratan hukum yang tidak dapat dinegosiasikan untuk proyek yang berdampak pada Masyarakat Adat, memastikan bahwa pelibatan masyarakat benar-benar bermakna dan memulihkan kepercayaan.23
  • Jaminan Relokasi Involunter: Segera menerbitkan sertipikat hak atas tanah di lokasi relokasi untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat yang dipindahkan, mengatasi kekhawatiran yang muncul di kasus Bendungan Semantok.32
  • Audit Akuntabilitas: Mewajibkan mekanisme keluhan independen yang diaudit secara eksternal dan publikasinya diwajibkan, guna mengatasi kegagalan akuntabilitas fiktif yang terlihat di Mandalika.31

Strategi Diplomatik untuk Mengelola Risiko Lintas Batas

  • Pendorong Standar Regional: Memanfaatkan diplomasi untuk mendorong MDBs dan inisiatif pembiayaan asing (BRI, GG) agar mengadopsi standar keberlanjutan yang lebih tinggi dan harmonis, tidak hanya sebagai retorika, tetapi sebagai persyaratan operasional yang ketat.
  • Kerja Sama Lingkungan: Memperkuat implementasi ASEAN Agreement On Transboundary Haze Pollution (AATHP) dan mendorong tanggung jawab korporasi lintas batas terkait Karhutla.34
  • Diplomasi Sumber Daya: Mengambil peran proaktif dalam forum regional untuk memastikan pembagian dan pengelolaan sumber daya transboundary (seperti air) yang adil, menghindari konflik berbasis hegemoni, dan menyeimbangkan pembangunan energi dengan ketahanan pangan regional.36
Fokus Kebijakan Tujuan Spesifik Kesenjangan yang Ditangani (Bukti Kasus) Tingkat Implementasi
Penguatan Legalitas Tanah Jaminan Kepastian Hukum (SHM/SHP) di area proyek/relokasi. Sengketa Tumpang Tindih (Tol Kediri), Ketidakjelasan Sertifikat (Semantok) 27 Domestik/BPN
Implementasi FPIC Pelibatan yang Bermakna dan Persetujuan Kolektif Masyarakat Adat. Ketiadaan Pelibatan Bermakna dan Kompensasi Sewenang-wenang (Mandalika) 30 Proyek/MDB Safeguard
Transparansi Tata Kelola Audit Anggaran dan Komunikasi Publik Proaktif. Kurangnya Transparansi (KCJB), Risiko Korupsi 38 Domestik/Governance
Diplomasi Lingkungan Regional Mendorong standar E&S yang harmonis (Anti Race to the Bottom). Kerusakan Lintas Batas (Haze/Mekong) 12 Regional/ASEAN

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

49 − 39 =
Powered by MathCaptcha