Standardisasi teknologi telekomunikasi, yang dipimpin oleh badan internasional seperti 3GPP (Third Generation Partnership Project) dan ITU (International Telecommunication Union), secara tradisional berfungsi sebagai kerangka teknis yang memastikan interoperabilitas global. Namun, dalam dekade terakhir, peran standardisasi telah bergeser secara signifikan, bertransformasi dari sekadar mesin pembangunan industri menjadi faktor kunci dalam kekuatan geopolitik dan pengaruh global. Standar kini instrumental dalam mendefinisikan aturan sistem teknologi dan ekonomi, menentukan akses pasar, dan mengontrol aliran kekayaan intelektual (IP).
Eskalasi persaingan ini terwujud paling jelas dalam perebutan dominasi jaringan generasi kelima (5G), yang dijanjikan akan menjadi katalis Revolusi Industri Keempat, mengintegrasikan Internet of Things (IoT) mulai dari peralatan rumah tangga hingga kendaraan otonom dan infrastruktur kritis. Kontrol atas teknologi ini menjadi masalah keamanan nasional sekaligus kemajuan teknologi.
Konflik inti dalam standardisasi 5G berpusat pada persaingan antara penyedia jaringan berbasis Tiongkok, terutama Huawei dan ZTE, melawan aliansi vendor dan pemerintah Barat (AS, Inggris, dan Uni Eropa). Negara-negara Barat menuduh adanya potensi risiko keamanan nasional dan pengawasan yang dimungkinkan oleh perangkat keras Tiongkok, mengutip undang-undang Tiongkok yang mewajibkan perusahaan untuk bekerja sama secara rahasia dengan permintaan intelijen negara. Sebaliknya, konflik ini didorong oleh upaya Barat untuk menjaga kedaulatan teknologi di tengah keunggulan teknis dan biaya yang ditawarkan oleh Tiongkok.
Persaingan ini telah mengarah pada apa yang disebut “Dekopling Selektif” (Selective Decoupling). Berbeda dengan pemisahan total, dekopling selektif berfokus pada pembatasan akses terhadap teknologi yang dianggap strategis—seperti peralatan 5G—untuk mencegah dominasi Tiongkok di sektor kritikal. Perkembangan ini menunjukkan bahwa geopolitik telah mulai mendikte infrastruktur bukan hanya di tingkat vendor, tetapi juga di tingkat arsitektur (melalui promosi Open RAN) dan geografis (melalui inisiatif seperti Digital Silk Road Tiongkok versus upaya aliansi Barat), menciptakan perpecahan yang semakin dalam dalam ekosistem digital global.
Landasan Teknis 5G: Evolusi, Arsitektur, dan Kerentanan Roaming
Memahami perlombaan standar memerlukan analisis mendalam tentang arsitektur 5G, yang tidak homogen. Standar 5G yang ditetapkan oleh 3GPP terbagi menjadi dua fase utama: Non-Standalone (NSA) dan Standalone (SA).
Standar 5G Awal: Non-Standalone (NSA) vs. Standalone (SA)
Fase awal penyebaran 5G sebagian besar dilakukan menggunakan 5G NSA. Arsitektur NSA (contohnya Option 3x) dirancang untuk mempercepat rollout awal dengan menggunakan jaringan inti 4G LTE yang sudah ada sebagai jangkar kontrol. Dengan NSA, operator hanya perlu memperkenalkan sistem nirkabel 5G NR (New Radio) dan meningkatkan Evolved Packet Core (EPC) 4G untuk mendukung layanan 5G. Solusi ini memungkinkan penyebaran cepat dan transisi jaringan yang fleksibel, menjadikannya pilihan banyak operator pada tahap awal.
Namun, arsitektur NSA memiliki keterbatasan fundamental. Karena jaringan 4G tetap berfungsi sebagai jangkar, latensi dibatasi oleh kebutuhan untuk melakukan manajemen kontrol melalui inti LTE. Akibatnya, manfaat penuh 5G—seperti latensi ultra-rendah, network slicing yang canggih, dan layanan industri transformatif—tidak dapat terealisasi sepenuhnya. Manfaat ini hanya dapat dicapai melalui migrasi ke 5G SA (Standalone), yang menggunakan inti 5G Core (5GC) yang sepenuhnya baru.
Geopolitik telah memengaruhi kecepatan transisi dari NSA ke SA, terutama di negara-negara Barat. Operator yang awalnya mengandalkan Huawei atau ZTE harus menghadapi larangan politik terhadap peralatan 5G yang sensitif. Larangan ini memaksa mereka untuk melakukan penggantian peralatan yang memakan waktu dan biaya, terutama dalam pembangunan kembali inti jaringan (5G Core) menggunakan vendor Barat. Keterlambatan ini memperlambat realisasi manfaat 5G SA yang kritis untuk kasus penggunaan canggih seperti IoT industri dan manufaktur cerdas.
Isu Interoperabilitas dan Keamanan Roaming Global 5G
Ketika jaringan 5G mulai meluas, isu keamanan dan interoperabilitas roaming global menjadi semakin kompleks. Ekosistem roaming saat ini melibatkan lebih dari 2.000 mitra global, didukung oleh interkoneksi yang mencakup empat generasi teknologi seluler (2G, 3G, 4G, 5G) dan lusinan antarmuka. Meskipun 5G memperkenalkan peningkatan keamanan yang signifikan, seperti Security Edge Protection Proxy (SEPP), sebagian besar lalu lintas dan kontrol jaringan seluler global masih terpapar pada protokol lama yang kurang aman, seperti GTP (GPRS Tunneling Protocol).
Transisi yang bertahap ini, dengan 85% pelanggan diperkirakan masih dilayani oleh jaringan 4G, 3G, dan 2G pada tahun 2025, secara inheren memperbesar attack surface. Dalam konteks dekopling digital, bifurkasi vendor global meningkatkan kompleksitas keamanan di titik interkoneksi roaming. Jika satu blok geografis (misalnya, yang bergantung pada Digital Silk Road) menggunakan infrastruktur yang dianggap rentan atau tidak tepercaya oleh blok lain (Barat), interoperabilitas roaming berfungsi sebagai attack surface kritis. Ini berpotensi memaparkan jaringan inti negara-negara Barat kepada serangan yang berasal dari mitra roaming yang menggunakan peralatan High-Risk Vendor (HRV). Operator oleh karena itu dituntut untuk menerapkan GTP firewalls dan mengelola keamanan di titik pertukaran secara lebih ketat.
Table 1: Perbandingan Arsitektur 5G NSA vs. SA
| Fitur | 5G NSA (Non-Standalone) | 5G SA (Standalone) |
| Inti Jaringan (Core) | 4G LTE Core (Sebagai Jangkar) | 5G Core Baru |
| Latensi | Terbatas (Diatur oleh 4G Core) | Ultra-Rendah (Penuh) |
| Manfaat Penuh 5G | Tidak Terealisasi Sepenuhnya | Terealisasi Sepenuhnya (URLLC, Network Slicing) |
| Kecepatan Deployment | Cepat/Awal (Adopsi oleh banyak operator) | Lebih Lambat (Membutuhkan Core Baru) |
Analisis Konflik Vendor: Keamanan, Subsidi, dan Dominasi Pasar
Konflik 5G antara Huawei dan Barat tidak hanya didasarkan pada keamanan murni, tetapi juga didasarkan pada keunggulan kompetitif Tiongkok yang didukung oleh skala investasi dan struktur pendanaan negara.
Keunggulan Kompetitif Huawei: Investasi R&D
Huawei telah membangun dominasinya melalui dedikasi yang intensif dan fokus pelanggan, didukung oleh investasi R&D yang masif dan berkelanjutan. Data menunjukkan disparitas investasi R&D yang signifikan antara Huawei dan pesaing Baratnya. Pada tahun 2022, Huawei menghabiskan lebih dari $23 miliar untuk R&D, dan perkiraan tahun 2023 menunjukkan peningkatan menjadi sekitar $27.3 miliar. Angka ini jauh melampaui gabungan pesaing utamanya. Sebagai perbandingan, Ericsson menghabiskan sekitar $4.6 miliar hingga $7.1 miliar, sementara Nokia menghabiskan sekitar $4.9 miliar hingga $11 miliar dalam periode yang sama (tergantung sumber dan tahun).
Disparitas R&D yang besar ini adalah alasan fundamental di balik keunggulan teknis Huawei, harga yang lebih kompetitif, dan kecepatan inovasi mereka. Disparitas ini pada gilirannya menciptakan ketergantungan teknologi yang signifikan di Eropa, di mana operator awalnya enggan melarang Huawei karena teknologinya dianggap lebih murah dan lebih maju daripada alternatif Barat. Meskipun Huawei mengklaim bahwa manfaat finansial yang diterima dari pemerintah Tiongkok, seperti insentif R&D dan pinjaman bank, proporsional dengan yang diterima oleh pesaing global setelah disesuaikan dengan ukuran perusahaan , negara-negara Barat tetap menganggap Huawei sebagai entitas yang didanai negara.
Table 2: Disparitas Investasi R&D Vendor Telekomunikasi Global (Estimasi 2023)
| Vendor | Anggaran R&D Tahunan (USD Miliar) | Rasio Terhadap Pesaing Barat (Nokia + Ericsson) | Dampak Strategis |
| Huawei | ~$27.3 Miliar | Dominasi Jauh Lebih Besar (>150%) | Mempertahankan keunggulan teknis dan dominasi paten 5G/6G. |
| Nokia | ~$11.0 Miliar (Estimasi TInggi) | Dasar Pembanding | Fokus pada diversifikasi dan inovasi untuk melawan dominasi Tiongkok. |
| Ericsson | ~$7.1 Miliar (Estimasi TInggi) | Dasar Pembanding | Menghadapi tantangan pasar yang menyusut dan kebutuhan untuk investasi R&D yang lebih besar. |
Tuduhan Keamanan Nasional dan Basis Hukum Pembatasan
Kekhawatiran keamanan nasional Barat berakar pada premis bahwa keterlibatan Huawei dalam infrastruktur kritis dapat memungkinkan pengawasan oleh Pemerintah Tiongkok. Tuduhan ini didukung oleh fakta bahwa Hukum Intelijen Nasional Tiongkok mengharuskan perusahaan Tiongkok untuk bekerja sama secara rahasia dengan permintaan intelijen negara, dan potensi perusahaan untuk mengubah kode sumbernya kapan saja untuk menyisipkan backdoors atau ‘saklar pembunuh’ (kill switches) melalui pembaruan yang cepat.
Di Inggris, Huawei Cyber Security Evaluation Centre (HCSEC) Oversight Board secara konsisten menyatakan kurangnya kepercayaan terhadap kapasitas Huawei untuk memperbaiki “cacat mendasar” dalam rekayasa perangkat lunaknya secara jangka panjang. Laporan juga mencatat adanya kerentanan akses backdoor dan pola praktik pengembangan perangkat lunak yang sangat tidak aman, menunjukkan risiko kuantitatif yang lebih tinggi dibandingkan perangkat sejenis lainnya.
Titik balik yang mengarah pada dekopling total adalah keputusan Inggris pada Juli 2020 untuk melarang total pembelian peralatan 5G Huawei yang baru setelah 31 Desember 2020, dengan target penghapusan total pada akhir 2027. Keputusan ini dipicu oleh sanksi AS yang diterapkan pada Mei 2020, yang memutus akses Huawei terhadap produk yang dibuat berdasarkan teknologi semikonduktor AS. National Cyber Security Centre (NCSC) Inggris menyimpulkan bahwa sanksi ini akan memaksa Huawei merekonfigurasi rantai pasokannya secara besar-besaran, membuat pengawasan keamanan peralatan di masa depan menjadi “sangat sulit, dan berpotensi mustahil”. Ini adalah demonstrasi yang jelas bagaimana kontrol AS terhadap teknologi semikonduktor menjadi katalis yang memicu ‘dekopling selektif’ global.
Studi Kasus Geopolitik dan Reaksi Saling Balas
Respons global terhadap Huawei tidak seragam, meskipun ada tekanan kuat dari AS. AS telah memasukkan Huawei dan ZTE ke dalam “Entity List” dan membatasi penyebaran domestik mereka. Uni Eropa melalui Komisi Eropa telah mendesak negara-negara anggota untuk menghapus vendor berisiko tinggi (HRV). Namun, di Eropa, negara-negara seperti Inggris dan Swedia telah melarang total, sementara Spanyol dan Yunani masih mengizinkan penggunaan solusi jaringan Tiongkok.
Sebagai respons langsung terhadap pembatasan Barat, Tiongkok telah mengambil langkah-langkah untuk memperketat cengkeramannya pada pemasok asing seperti Nokia dan Ericsson, sejalan dengan kampanye yang lebih luas untuk kemandirian teknologi (self-reliance). Kontrak dari vendor Eropa kini menjalani pemeriksaan keamanan “kotak hitam” yang ketat oleh Administrasi Ruang Siber Tiongkok (CAC). Proses peninjauan ini dapat memakan waktu tiga bulan atau lebih, memberikan kerugian besar bagi vendor Eropa yang tidak menghadapi proses serupa.
Analisis ini menunjukkan bahwa konflik ini bersifat simetris: Barat menggunakan kekhawatiran keamanan untuk membatasi akses pasar Tiongkok, dan Tiongkok membalas dengan menggunakan alasan keamanan untuk menghambat akses pasar Barat. Langkah-langkah ini mempercepat aspirasi Tiongkok untuk mencapai kemandirian total dalam rantai pasok teknologi kritis.
Biaya Dekopling Digital dan Strategi Diversifikasi Pasar
Keputusan politik untuk melarang vendor berisiko tinggi memiliki konsekuensi ekonomi langsung yang signifikan bagi operator telekomunikasi dan ekonomi nasional.
Kuantifikasi Dampak Ekonomi dari Penggantian Peralatan
Laporan ekonomi menunjukkan bahwa membatasi penyedia utama di 31 negara Eropa dapat meningkatkan total biaya investasi hampir €3 miliar per tahun, berdasarkan skenario biaya sentral. Dampak yang lebih akut terlihat di Inggris, di mana keterlambatan roll-out 5G selama tiga tahun akibat larangan tersebut diperkirakan merugikan ekonomi hingga £18.2 Miliar.
Operator yang terpaksa mengakhiri kontrak dengan Huawei harus mengeluarkan biaya besar untuk rip and replace peralatan, yang tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi, tetapi juga menunda penerapan infrastruktur 5G mereka. Hal ini meningkatkan kemungkinan bahwa operator akan menuntut kompensasi dari negara, menambah beban ekonomi.
Biaya-biaya yang timbul dari keputusan politik ini menciptakan hambatan yang tidak terduga bagi diversifikasi. Karena operator dihadapkan pada biaya modal yang signifikan untuk rip and replace, ditambah dengan ketidakpastian komersial dari jaringan 5G itu sendiri, mereka cenderung mengadopsi strategi investasi yang lebih menghindari risiko. Hal ini ironisnya mengurangi selera mereka untuk berinvestasi pada pemasok baru atau market entrant potensial, yang pada akhirnya menghambat tujuan strategis Barat untuk diversifikasi rantai pasokan.
Open RAN sebagai Solusi Kedaulatan Teknologi
Menghadapi dominasi vendor tunggal dan risiko geopolitik, Open Radio Access Network (Open RAN atau O-RAN) muncul sebagai respons strategis utama Barat. Open RAN mengambil pendekatan disagregasi, memisahkan perangkat keras dan perangkat lunak RAN, dan menggunakan antarmuka terbuka dan terstandarisasi (seperti yang didefinisikan oleh O-RAN Alliance). Hal ini memungkinkan operator untuk mencampur dan mencocokkan komponen dari vendor yang berbeda, mengurangi ketergantungan pada pemasok tunggal (vendor lock-in).
Manfaat strategis utama Open RAN meliputi:
- Diversifikasi Vendor: Mengizinkan ekosistem multi-vendor yang lebih luas, termasuk startup dan vendor khusus.
- Efisiensi Biaya: Penggunaan perangkat keras off-the-shelf dan fungsi cloud-native yang divirtualisasi berpotensi mengurangi biaya operasional dan modal (CapEx dan OpEx).
- Inovasi: Mempercepat inovasi dengan memungkinkan integrasi fitur-fitur khusus melalui RAN Intelligent Controllers (RICs).
Pasar Open RAN menunjukkan pertumbuhan yang substansial, dengan perkiraan Compound Annual Growth Rate (CAGR) berkisar antara 25.6% hingga 39.4% setelah tahun 2025. Amerika Utara saat ini mendominasi pasar ini, menyumbang 41.2% pangsa pasar pada tahun 2024, menunjukkan bahwa Open RAN adalah upaya yang didukung Barat untuk menciptakan rantai pasok alternatif yang terstandarisasi.
Analisis Risiko Keamanan Open RAN vs. Traditional RAN
Transisi ke Open RAN adalah pergeseran paradigma arsitektur, yang juga mengubah model keamanan. Jaringan Traditional RAN sering digambarkan sebagai ‘kotak hitam’ karena antarmukanya tertutup dan milik vendor tunggal. Meskipun hal ini menciptakan attack surface yang lebih kecil, kerentanannya tersembunyi dan operator sepenuhnya bergantung pada praktik keamanan vendor.
Sebaliknya, Open RAN, meskipun menawarkan fleksibilitas dan transparansi, secara inheren memperluas attack surface. Penggunaan beberapa vendor dan antarmuka yang terbuka berarti lebih banyak titik potensi kompromi. Selain itu, fungsi RAN yang divirtualisasi dan integrasi dengan cloud memperkenalkan risiko yang sama seperti yang terlihat di lingkungan IT yang luas: miskonfigurasi, kerentanan rantai pasok perangkat lunak, dan eksploitasi perangkat lunak.
Oleh karena itu, Open RAN tidak secara otomatis menjamin keamanan yang lebih tinggi; sebaliknya, ini adalah pergeseran tanggung jawab. Open RAN memindahkan beban keamanan dan integrasi dari vendor tunggal ke operator jaringan, yang kini harus bertindak sebagai integrator sistem canggih untuk mengamankan sistem multi-vendor yang kompleks. Operator harus menyeimbangkan efisiensi integrasi dengan fleksibilitas keterbukaan sambil merumuskan ulang model keamanan mereka secara fundamental.
Pembelahan Global: Digital Silk Road (DSR) Tiongkok
Dekopling digital yang terjadi di Barat memiliki cerminan geopolitik di negara-negara berkembang melalui inisiatif ambisius Tiongkok, Digital Silk Road (DSR), yang bertujuan untuk mengekspor teknologi digital dan standarnya secara global.
DSR sebagai Mekanisme Ekspor Standar dan Teknologi
DSR adalah komponen kunci dari inisiatif Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok, yang bertujuan untuk memperluas teknologi digital Tiongkok di seluruh Afrika, Timur Tengah, Eropa Timur, Amerika Latin, dan Asia Tenggara. Negara-negara di kawasan ini sangat membutuhkan teknologi berbiaya rendah dan berkualitas tinggi untuk memperluas jaringan nirkabel dan jangkauan internet broadband, guna mengisi kesenjangan pembiayaan infrastruktur global yang diperkirakan mencapai hampir $15 triliun pada tahun 2040.
Dengan menyediakan atau membantu pembiayaan infrastruktur kritis ini, DSR secara efektif menciptakan pasar yang stabil dan luas bagi perusahaan Tiongkok seperti Huawei dan ZTE. Strategi ini secara institusional mengunci negara-negara penerima DSR ke dalam ekosistem digital Tiongkok, yang mengintegrasikan teknologi dan standarnya. Selain itu, perusahaan Tiongkok sering kali menyediakan pusat pelatihan dan program R&D untuk meningkatkan kerja sama teknis dengan para ilmuwan dan insinyur lokal.
Implikasi Kedaulatan Data dan Pengawasan
Meskipun DSR menawarkan manfaat ekonomi yang nyata, inisiatif ini menimbulkan kekhawatiran serius di kalangan negara-negara demokrasi mengenai kedaulatan data dan potensi pengawasan. Para pengamat khawatir bahwa Tiongkok dapat menggunakan DSR untuk mengekspor model authoritarianism berbasis teknologi, membantu pemerintah negara penerima mengembangkan kemampuan pengawasan dan penyensoran internet secara real-time.
Risiko ini diperkuat oleh legislasi siber Tiongkok. Meskipun perusahaan Tiongkok secara nominal bersifat swasta, mereka diwajibkan untuk menyimpan data di server di Tiongkok dan tunduk pada pemeriksaan otoritas. Hal ini menimbulkan risiko spionase, koersi politik, dan hilangnya kedaulatan data bagi negara-negara pengguna yang mengizinkan perusahaan Tiongkok membangun infrastruktur 5G mereka dan menetapkan standar teknologi yang dapat menjadi norma.
Analisis Bifurkasi Pasar Global (Digital Bifurcation)
Persaingan geopolitik saat ini menghasilkan pembelahan di garis patahan infrastruktur telekomunikasi dan teknologi digital. Dunia sedang bergerak menuju dua ekosistem teknologi digital yang berbeda:
- Blok Barat: Berfokus pada keamanan, diversifikasi vendor (Open RAN), dan kedaulatan data (Aliansi AS-Eropa).
- Blok Tiongkok/DSR: Berfokus pada efisiensi, kecepatan penyebaran, dan integrasi vertikal (Negara-negara yang bergantung pada ICT Tiongkok).
Implikasi dari bifurkasi ini meluas jauh melampaui telekomunikasi sipil, memengaruhi keamanan, pertahanan, dan kerja sama intelijen aliansi. Jika sekutu-sekutu AS di Asia atau Eropa menggunakan infrastruktur ICT yang dianggap tidak tepercaya oleh AS, interoperabilitas pertahanan dan pertukaran intelijen dapat terancam. Oleh karena itu, digital divorce ini menciptakan tantangan strategis mendalam, di mana sistem keamanan dan ekonomi terbelah menjadi dua kutub yang didorong oleh standar dan pemasok yang berbeda.
Masa Depan Standar: Perlombaan Geopolitik 6G (IMT-2030)
Perlombaan standar geopolitik yang mendefinisikan 5G kini beralih ke generasi berikutnya, 6G, yang secara resmi dinamai International Mobile Telecommunications (IMT-2030) oleh ITU pada tahun 2023.
Visi Teknis 6G dan Nilai Strategisnya
Peluncuran 6G diperkirakan terjadi sekitar tahun 2030. 6G diproyeksikan menjadi lompatan transformatif, melampaui peningkatan inkremental semata. 6G akan menjadi komponen tak terpisahkan yang mendukung kerja sama yang mulus antara dunia digital dan fisik, memungkinkan otomatisasi cerdas, dan membuka model layanan baru.
Fitur transformatif yang diantisipasi meliputi:
- Integrated Sensing and Communication (ISAC): Mengintegrasikan kemampuan penginderaan dengan infrastruktur komunikasi, memungkinkan pemanfaatan yang lebih luas dalam lingkungan industri.
- Real-Time Digital Twins: Replikasi virtual aset fisik untuk pemantauan dan optimasi secara real-time.
- AI and Machine Learning (AI/ML): Integrasi AI yang mendalam untuk manajemen data dan otomatisasi jaringan.
Untuk mencapai manfaat ini, 6G membutuhkan persyaratan kritis, termasuk keandalan dan ketahanan tinggi, serta latensi end-to-end yang sangat rendah, mendekati 1 ms. Kontrol atas teknologi yang akan sangat memengaruhi ekonomi global ini menjadikan penyebaran 6G sama pentingnya dengan masalah keamanan nasional seperti halnya kemajuan teknologi.
Roadmap Standarisasi Internasional dan Geopolitik Dini
Roadmap 3GPP menuju 6G terbagi menjadi beberapa fase. Saat ini berfokus pada Release 19 (Rel-19), yang berfungsi sebagai jembatan menuju 6G. Kemudian akan dilanjutkan dengan Release 20 untuk studi 6G, dan Release 21 untuk pekerjaan normatif dan spesifikasi 6G. Mengingat bahwa setiap Release membutuhkan waktu hampir dua tahun untuk diselesaikan, pekerjaan spesifikasi normatif 6G akan dimulai dalam waktu dekat.
Meskipun penyebaran 6G komersial mungkin masih lima tahun lagi, standardisasi teknis, yang menentukan definisi teknologi 6G, sudah dimulai. Standardisasi menjadi sangat diperebutkan karena membentuk kompatibilitas dan mengontrol aliran kekayaan intelektual. Negara yang berhasil memengaruhi atau mendominasi standar 6G akan memegang tuas kendali atas pertumbuhan ekonomi dan kapabilitas digital global di tahun 2030-an.
Badan Promosi 6G yang Bersaing
Persaingan 6G diwujudkan melalui badan promosi regional yang didanai negara dan industri:
- Tiongkok: IMT-2030 Promotion Group, didirikan pada tahun 2019, memimpin upaya R&D 6G Tiongkok.
- Amerika Utara: The Next G Alliance (dibentuk oleh ATIS) bertujuan memposisikan Amerika Utara sebagai pemimpin teknologi 6G, berfokus pada teknologi, aplikasi, dan kebutuhan sosial-ekonomi.
- Eropa: 6G Smart Networks and Services Industry Association (6G-IA) adalah platform utama Eropa. Uni Eropa telah menanggapi persaingan ini dengan inisiatif “AI Continent,” menjanjikan €200 miliar untuk program kolaboratif, termasuk dukungan R&D 6G, sebagai upaya untuk mencapai kedaulatan teknologi berbasis AI dan kerangka keamanan siber.
Meskipun asumsi kerja adalah bahwa akan ada standar global 6G yang terpadu , implementasi komersial 6G diperkirakan akan berbeda secara signifikan antar negara karena pilihan teknologi dan alokasi spektrum.
Risiko fragmentasi standar 6G adalah implikasi yang paling mengkhawatirkan dari konflik 5G. Jika badan-badan yang bersaing (seperti Next G Alliance dan IMT-2030) gagal menyelaraskan prioritas mereka dalam badan standar global (3GPP/ITU), dunia dapat menghadapi skenario di mana dua set standar 6G yang berbeda muncul—satu didorong oleh teknologi Tiongkok dan satu lagi oleh aliansi Barat. Hal ini akan memperdalam dekopling digital yang sudah terlihat di era 5G. Pentingnya membangun “posisi kepercayaan yang lebih besar dalam jaringan” menjadi persyaratan utama 6G, yang mencerminkan secara langsung masalah keamanan dan integritas yang memicu konflik 5G.
Kesimpulan
Konflik standar jaringan 5G telah bertransisi dari isu komersial menjadi masalah kedaulatan strategis, memecah pasar telekomunikasi global menjadi dua blok yang saling tidak percaya. Keputusan negara memilih penyedia jaringan, seperti yang terlihat dalam kasus Huawei vs. Barat, adalah keputusan geopolitik, didorong oleh kekhawatiran keamanan nasional dan kontrol rantai pasok, meskipun harus dibayar dengan biaya ekonomi yang tinggi dan keterlambatan rollout 5G.
Dekopling digital ini bersifat timbal balik. Di satu sisi, AS dan sekutunya berhasil membatasi akses Huawei ke pasar mereka, dengan sanksi AS terhadap semikonduktor berfungsi sebagai alat dekopling yang sangat efektif. Di sisi lain, Tiongkok membangun ekosistem alternatif melalui Digital Silk Road dan merespons pembatasan dengan mengetatkan kontrol atas vendor Barat di pasar domestiknya. Dunia kini bergerak menuju realitas dua ekosistem digital yang mungkin tidak memiliki interoperabilitas mulus di masa depan.
Upaya Barat untuk mencapai kedaulatan teknologi terwujud dalam Open RAN, yang merupakan respons arsitektur terhadap dominasi vertikal vendor. Meskipun Open RAN menjanjikan diversifikasi dan inovasi, ia memerlukan investasi besar dan menggeser beban kompleksitas keamanan ke operator, yang kini harus mengelola risiko yang lebih besar dari attack surface multi-vendor.
Untuk mengelola transisi ke 6G dan memitigasi risiko fragmentasi standar, laporan ini menyajikan beberapa rekomendasi strategis:
- Penguatan Koordinasi Standarisasi Global: Negara-negara Barat dan Uni Eropa harus mengoordinasikan suara kolektif mereka secara efektif dalam badan standardisasi internasional seperti 3GPP dan ITU. Koordinasi ini sangat penting untuk memastikan bahwa standar 6G (IMT-2030) mencerminkan prioritas keamanan, kepercayaan, dan persaingan yang terbuka.
- Akselerasi dan Pengamanan Open RAN: Pemerintah dan industri harus meningkatkan investasi publik-swasta yang masif untuk mengatasi tantangan teknis, integrasi, dan keamanan yang melekat pada Open RAN. Keberhasilan Open RAN adalah cara yang terukur untuk membangun rantai pasok alternatif yang layak secara komersial dan aman, yang sangat penting untuk melawan keunggulan R&D Tiongkok.
- Kebijakan Timbal Balik Terhadap Pembatasan Pasar: Negara-negara Barat perlu mewaspadai upaya Tiongkok untuk membatasi akses pasar bagi vendor seperti Ericsson dan Nokia melalui peninjauan keamanan yang ketat. Pilihan kebijakan timbal balik harus dipertimbangkan untuk memastikan lingkungan kompetitif yang adil, sejalan dengan pernyataan bahwa jika Tiongkok memberlakukan standar keamanan untuk membatasi vendor asing, Eropa harus mempertimbangkan untuk menerapkan standar yang setara.
- Menyediakan Alternatif untuk Negara Berkembang: Aliansi Barat perlu menawarkan alternatif yang kompetitif, terjangkau, dan aman untuk melawan narasi Digital Silk Road Tiongkok. Alternatif ini harus menekankan perlindungan kedaulatan data dan model pemerintahan internet yang terbuka, guna mencegah lebih lanjut penguncian negara-negara berkembang ke dalam ekosistem digital Tiongkok.
