Mengurai Fenomena ‘Religious Nones’

Fenomena global mengenai peningkatan jumlah individu yang tidak mengidentifikasi diri dengan agama terorganisir—sering disebut sebagai Religious Nones atau yang Tidak Berafiliasi Agama—adalah salah satu pergeseran demografi keagamaan yang paling signifikan di abad ke-21. Analisis sosiologis yang ketat diperlukan untuk memahami komposisi kelompok ini, yang sering kali disederhanakan sebagai ateis atau agnostik, padahal secara substansial lebih kompleks. Kebangkitan Nones bukanlah semata-mata tanda sekularisasi total, tetapi lebih merupakan indikasi krisis pasar institusional agama yang mendalam.

Definisi dan Demografi Global: Kompleksitas di Balik Kata ‘None’

Istilah Religious Nones pertama kali digunakan oleh sosiolog pada tahun 1960-an untuk merujuk pada individu yang memilih “tidak ada” atau “tidak ada di atas” ketika ditanya mengenai afiliasi agama mereka dalam survei. Terminologi ini berfungsi sebagai istilah payung yang menaungi spektrum keyakinan dan non-keyakinan yang luas, yang terdiri dari tiga sub-kelompok utama: ateis, agnostik, dan “spiritual tetapi tidak religius” (sering kali termasuk dalam kategori “tidak ada yang spesifik” atau Nothing in Particular/NIP).

Data demografi menunjukkan bahwa kelompok NIP adalah kelompok dominan dalam kategori Nones. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, mayoritas Nones (sekitar 63%) menggambarkan agama mereka sebagai “tidak ada yang spesifik,” sementara ateis hanya berjumlah 17% dan agnostik 20%. Fakta ini penting secara sosiologis: jika mayoritas Nones tidak secara definitif menolak realitas transenden (seperti yang dilakukan ateis), maka kenaikan kelompok ini utamanya adalah sebuah fenomena disafiliasi institusional, bukan konversi ateistik. Mereka telah meninggalkan organisasi formal, bukan keyakinan metafisik sepenuhnya.

Skala Makro dan Pertumbuhan Global

Secara global, populasi yang tidak berafiliasi agama merupakan kategori keagamaan terbesar ketiga di dunia, hanya kalah dari kelompok Kristen dan Muslim. Antara tahun 2010 dan 2020, kelompok yang tidak berafiliasi ini tumbuh lebih cepat daripada semua kelompok agama lain, kecuali Muslim. Pada tahun 2010, kelompok ini diperkirakan berjumlah sekitar 1,1 miliar jiwa. Pertumbuhan ini sangat terasa di Amerika Utara, Eropa, Amerika Latin, dan beberapa negara Asia-Pasifik seperti Australia dan Korea Selatan.

Nuansa Spiritual dalam Ketidakberafiliasian

Salah satu temuan paling bernuansa dan penting dalam studi Nones adalah bahwa disafiliasi tidak berarti ketiadaan keyakinan atau praktik spiritual. Penelitian menunjukkan bahwa banyak orang yang tidak termasuk dalam kelompok agama tertentu masih memegang keyakinan spiritual yang kuat

Di Amerika Serikat, misalnya, 54% orang dewasa Nones masih percaya pada Tuhan atau roh universal, dan 69% percaya bahwa manusia memiliki jiwa atau roh di samping tubuh fisik mereka. Persentase ini bahkan lebih tinggi di beberapa negara Amerika Latin. Survei menunjukkan bahwa di Brasil, 92% Nones yang disurvei mengungkapkan keyakinan pada Tuhan, diikuti oleh Kolombia (86%) dan Chile (69%). Bahkan keyakinan pada kehidupan setelah kematian juga umum, dengan 50% atau lebih dari Nones di tujuh dari 22 negara yang disurvei percaya pada konsep ini.

Tingginya tingkat keyakinan spiritual ini di antara mereka yang “tidak berafiliasi” menunjukkan bahwa kebangkitan Nones harus dipahami sebagai krisis pasar institusional, di mana organisasi agama kehilangan monopoli mereka dalam menyediakan makna eksistensial dan struktur komunitas. Mereka yang keluar dari gereja atau kuil tidak mencari nihilisme, melainkan mencari alternatif yang lebih otentik dan fleksibel untuk memenuhi kebutuhan spiritual mereka yang mendasar.

Tabel 1: Komposisi dan Orientasi Keyakinan Religious Nones

Kategori Sub-Kelompok Definisi Sosiologis Inti Orientasi Spiritual/Keyakinan Umum Relevansi Sosial
Atheist Penolakan definitif terhadap keberadaan ilahi. Fokus pada rasionalisme/sains, minim praktik ritual. Keterlibatan sipil dan politik cenderung tinggi.
Agnostic Keraguan atau ketidakmampuan untuk memastikan realitas transenden. Sering beririsan dengan SBNR (Spiritual but Not Religious), mencari makna melalui filsafat atau etika. Keterlibatan sipil moderat hingga tinggi.
Nothing in Particular (NIP) Tidak terafiliasi, tetapi sering memegang keyakinan spiritual/Tuhan. Inti dari SBNR, cenderung memiliki ketidakpercayaan institusional yang tinggi. Pendorong utama penurunan modal sosial dan kerelawanan di AS.

Faktor Pendorong Disafiliasi: Penolakan Otoritas dan Institusi

Meskipun global, fenomena Nones didorong oleh mekanisme yang bervariasi antara konteks Barat dan Asia, yang mencerminkan perbedaan dalam sejarah sekularisasi, hubungan agama-negara, dan praktik spiritual kultural.

Konteks Barat (Amerika Utara dan Eropa): Krisis Institusi dan Moralitas

Di negara-negara Barat, kebangkitan Nones sebagian besar dipicu oleh kegagalan institusi agama tradisional, terutama gereja, untuk mempertahankan kredibilitas dan relevansi moral di mata publik, khususnya generasi muda.

Penolakan Otoritas Institusional

Salah satu alasan utama disafiliasi di Amerika Serikat adalah persepsi bahwa organisasi keagamaan terlalu terlibat dalam politik, terlalu berfokus pada uang dan kekuasaan, dan terlalu kaku dalam menegakkan aturan. Disafeksi ini bukan hanya datang dari individu yang awalnya memiliki komitmen agama yang lemah. Bukti menunjukkan bahwa banyak Nones yang sebelumnya adalah penganut “yang benar-benar percaya dan mempraktikkan—bahkan ‘sangat taat'” (painfully devout). Transformasi dari penganut yang taat menjadi Nones (sering disebut Nonverts) menunjukkan adanya penolakan moral yang signifikan. Skandal dalam organisasi keagamaan, serta pengaruh politik yang merusak etika institusional, bertindak sebagai katalisator penolakan massal ini.

Selain itu, penurunan afiliasi agama di Barat merupakan bagian dari sekularisasi struktural yang lebih luas. Survei menunjukkan adanya kemerosotan menyeluruh dalam partisipasi keagamaan yang jelas terlihat di antara kelompok kelahiran yang lebih muda. Di AS, sekitar tiga dari sepuluh orang dewasa (32%) berusia di bawah 30 tahun tidak berafiliasi, dibandingkan dengan hanya satu dari sepuluh orang yang berusia 65 tahun ke atas (9%). Disafiliasi ini adalah pergeseran nilai antar-generasi yang sistematis, di mana individu semakin kurang memercayai otoritas hierarkis, baik agama maupun sekuler.

Konteks Asia: Modernitas, Budaya, dan Kategorisasi yang Tidak Tepat

Di Asia, terutama di kawasan Asia Timur seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan, tren peningkatan Nones bergerak cepat seiring dengan modernisasi, pertumbuhan ekonomi, dan urbanisasi. Namun, sifat dari ketidakberafiliasian di Asia sering kali berbeda secara fundamental dari Barat.

Tantangan Kategorisasi dan Folk Religion

Berbeda dengan Barat, di mana disafiliasi sering kali merupakan hasil penolakan moral-politik yang disengaja (Nonverts), di Asia, fenomena Nones sering kali merupakan masalah kategorisasi. Banyak individu di Asia secara budaya mempraktikkan bentuk-bentuk ritual spiritual yang berakar pada agama rakyat (folk religion) atau tradisi leluhur, tetapi mereka tidak mengidentifikasi diri mereka dengan agama formal (seperti Buddha, Islam, atau Kristen) dalam konteks survei.

Di Tiongkok, misalnya, hanya 10% populasi yang memiliki identitas agama, namun 21% orang dewasa Nones di sana masih membakar dupa untuk menyembah dewa setidaknya beberapa kali setahun, dan persentase yang sama mengunjungi situs untuk berdoa memohon keberuntungan. Studi tentang pemuda Tionghoa dan Jepang Amerika menunjukkan bahwa Nones, termasuk ateis, lebih cenderung percaya pada roh leluhur daripada Tuhan, dan mempertahankan praktik agama populer Asia meskipun tidak memiliki afiliasi formal.

Hal ini menunjukkan bahwa di Asia, banyak individu adalah penganut tradisi yang Unlabeled (tidak berlabel) yang keyakinan sinkretisnya tidak sesuai dengan definisi agama kaku yang digunakan dalam sensus atau survei. Kebangkitan Nones di Asia lebih merupakan ketidaksesuaian antara spiritualitas yang berakar pada budaya dengan definisi agama yang dipaksakan, seringkali dipengaruhi oleh konsep agama Barat.

Dualitas Motif Disafiliasi

Perbandingan ini menyoroti dualitas pendorong disafiliasi:

  1. Barat: Disafiliasi didorong oleh penolakan moral/politik terhadap gereja yang dianggap gagal.Nones di sini adalah Nonverts yang secara sadar meninggalkan afiliasi.
  2. Asia: Disafiliasi didorong oleh gap kategoris di mana kepercayaan yang dianut (seperti penghormatan leluhur) tidak diakui sebagai ‘agama’ formal.

Implikasi dari perbedaan ini sangat besar. Institusi keagamaan di Barat harus menghadapi masalah tata kelola dan politik yang mendasar, sementara para peneliti di Asia harus mengembangkan metodologi yang lebih peka terhadap bagaimana spiritualitas budaya diekspresikan di luar struktur organisasi formal.

Manifestasi Spiritualisme Tanpa Afiliasi Generasi Muda

Generasi Z dan Millennials (Gen Z) memimpin tren disafiliasi di seluruh dunia. Generasi ini secara aktif merekonstruksi spiritualitas mereka dalam bentuk yang sangat personal dan adaptif, yang dikenal sebagai Do-It-Yourself (DIY) Spirituality atau Spiritual but Not Religious (SBNR). Spiritualisme ini berfokus pada otentisitas, kesehatan mental, dan eksplorasi berbasis teknologi.

Generasi Z: Otentisitas, Wellness, dan Self-Discovery

Gen Z dicirikan oleh penolakan terhadap gaya otoriter dan penekanan pada otentisitas, menghargai keterlibatan yang tulus di atas tindakan yang bersifat performatif.  Spiritualisme yang mereka ciptakan sangat terintegrasi dengan isu-isu kesehatan mental dan kesejahteraan (wellness), menjadikannya spiritualitas yang berorientasi pada terapi dan internal.

Tren yang menonjol adalah peningkatan minat pada mindfulness dan meditasi. Praktik-praktik ini dipandang sebagai alat penting untuk kesehatan mental dan emosional, membantu manajemen stres dan mencapai kedamaian batin. Gen Z mengintegrasikan mindfulness ke dalam rutinitas harian mereka, termasuk makan, berolahraga, dan bernapas, untuk mengurangi kecemasan dan mengkultivasi kehadiran.

Meskipun terlihat independen, perlu diakui bahwa Nones dan SBNR menghadapi perjuangan spiritual yang nyata (spiritual struggles). Fenomena ini bukanlah unik bagi penganut agama formal. SBNR juga bergumul dengan isu-isu eksistensial umum manusia—pertanyaan tentang diri, makna hidup, kejahatan, kematian, dan hubungan diri dengan Yang Ilahi atau kosmik. Studi menunjukkan bahwa perjuangan utama Nones terletak di area Self dan Self-in-Relation (diri dalam hubungan). Realitas perjuangan spiritual ini menegaskan bahwa kebutuhan untuk mencari makna tetap universal, terlepas dari keberadaan afiliasi institusional.

Sinkretisme Praktik dan Kebangkitan Budaya Okultisme

Spiritualisme DIY Gen Z ditandai oleh sinkretisme yang berani, di mana individu menggabungkan praktik-praktik yang diambil dari berbagai tradisi kuno yang disekularisasi atau yang sebelumnya dianggap marginal.

Kebangkitan astrologi dan tarot telah terlihat secara nyata. Alat-alat ini menawarkan wawasan pribadi, berfungsi sebagai “gerbang menuju pemahaman diri” (gateways to self-understanding), dan memberikan rasa koneksi di tengah krisis identitas. Selain itu, praktik spiritual SBNR sering kali berhubungan dengan pemikiran spiritual feminis, spiritualitas ekologis, dan praktik-praktik yang terkait dengan Neo-Paganisme, Wicca, Shamanisme, dan sihir seremonial. Praktik New Age seperti Ouija boards, Tarot cards, dan I Ching juga merupakan bagian dari eksplorasi ini.

Selain praktik yang berfokus pada diri, Gen Z memiliki keterkaitan spiritual yang mendalam dengan alam dan keberlanjutan (sustainability). Mereka merasakan tanggung jawab yang kuat terhadap lingkungan, mengintegrasikan praktik ramah lingkungan ke dalam ekspresi spiritual mereka, yang mencerminkan kedekatan dengan spiritualitas ekologis.

Ruang Digital sebagai Kuil Baru dan Desentralisasi Otoritas

Platform digital telah menjadi infrastruktur penting bagi spiritualitas Nones dan SBNR. Media sosial dan aplikasi menyediakan akses mudah ke komunitas spiritual, memfasilitasi eksplorasi spiritual, dan menumbuhkan rasa koneksi dan pengalaman bersama.

Digitalisasi spiritualisme memiliki dampak transformatif pada otoritas agama. Otoritas telah bergeser dari hierarki institusional ke aktor-aktor baru di cyberspace, seperti influencer atau pemimpin komunitas virtual. Spiritualisme Gen Z menjadi sangat mobile dan terdesentralisasi, di mana interaksi rohani dapat terjadi di ruang virtual tanpa melalui filter kelembagaan tradisional.

Perkembangan ini menunjukkan bahwa spiritualitas kini menjadi subjek komodifikasi dan personalisasi yang tinggi. Dengan transmisi makna melalui influencer dan platform, individu dapat memilih dan mencampur keyakinan (pick and choose) untuk menciptakan sistem spiritual à la carte. Desentralisasi ini, meskipun menawarkan fleksibilitas dan otentisitas, menimbulkan risiko terbentuknya bubble chamber spiritual, di mana individu hanya mengonsumsi konten yang memperkuat pilihan DIY mereka. Hal ini berpotensi mengurangi komitmen terhadap etika universal atau tanggung jawab sosial yang secara tradisional didorong oleh institusi agama. Institusi tradisional kini tidak hanya bersaing dengan sekularisme, tetapi dengan sistem distribusi makna yang jauh lebih adaptif di ruang virtual.

Analisis Komparatif: Dualitas Keyakinan Barat dan Asia

Untuk memahami implikasi makro-sosiologis dari kebangkitan Nones, penting untuk membandingkan secara eksplisit bagaimana keyakinan dan konsekuensi sosial-politik mereka berbeda di Barat dan Asia.

Struktur Keyakinan Non-Afiliasi yang Kontras

Struktur keyakinan Nones di kedua kawasan mencerminkan asal-usul disafiliasi yang berbeda: penolakan institusional di Barat dan tantangan kategorisasi di Asia.

Barat (Nones yang Kecewa – Disenchanted Nones)

Nones di Barat, terutama di negara-negara yang secara historis didominasi Kekristenan, sering kali adalah Nonverts yang meninggalkan dogma dan hierarki yang mereka yakini telah gagal secara moral. Keyakinan mereka bergeser ke Universalism, Deism, atau SBNR non-teistik, yang berfokus pada konsep energi, alam semesta, atau kesadaran, serta penolakan terhadap mukjizat dan dogma tradisional.

Asia (Nones yang Tersemat Budaya – Culturally Embedded Nones)

Sebaliknya, Nones di Asia, meskipun secara formal tidak berafiliasi, menunjukkan retensi keyakinan rakyat (folk beliefs) yang kuat. Keyakinan pada roh leluhur, praktik mencari keberuntungan, dan ritual seperti membakar dupa tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.

Di Tiongkok, di mana disafiliasi sangat tinggi, praktik-praktik ini melestarikan keyakinan spiritual melalui jalur kultural non-organisasional. Hal ini menegaskan bahwa spiritualitas Asia sering kali terintegrasi begitu dalam dalam struktur sosial dan budaya sehingga dapat bertahan tanpa memerlukan keanggotaan institusi keagamaan formal.

Tabel 2: Perbandingan Fenomena ‘Nones’: Barat vs. Asia

Aspek Analisis Konteks Barat (AS/Eropa) Konteks Asia (Tiongkok/Korsel/Jepang)
Faktor Pendorong Utama Kritik terhadap Institusi (politik, skandal, uang). Modernisasi Cepat, dan Kategorisasi yang mengabaikan Folk Religion.
Manifestasi Spiritual SBNR (Spiritual but Not Religious), DIY Spirituality, fokus pada wellness (Meditasi, Astrologi). Retensi kuat kepercayaan rakyat (roh leluhur, praktik mencari keberuntungan).
Sifat Kritis Penolakan terhadap dogma, hierarki, dan keterlibatan politik. Ketidakpedulian atau ketidakmampuan untuk mengidentifikasi dengan organisasi agama formal.
Distribusi Global Mayoritas Nones berasal dari Nonverts (mantan penganut agama formal). Konsentrasi Demografi Tinggi: 62% Nones Global tinggal di Tiongkok.

Konsekuensi Sosiologis: Modal Sosial dan Keterlibatan Sipil

Peningkatan Nones di Barat telah memicu kekhawatiran mengenai erosi modal sosial (social capital). Secara tradisional, institusi agama berperan penting dalam memobilisasi kerelawanan, mendorong partisipasi masyarakat, dan memperkuat ikatan komunitas.Ada spekulasi bahwa penurunan agama terorganisir dapat mengurangi partisipasi Amerika dalam kehidupan sipil dan masyarakat.

Analisis Heterogenitas Dampak

Namun, analisis yang lebih rinci menunjukkan bahwa dampak terhadap modal sosial tidak seragam di antara kelompok Nones. Data survei menunjukkan bahwa Nones secara keseluruhan memang kurang terlibat secara sipil dan politik dibandingkan mereka yang berafiliasi agama, namun perbedaan ini terkonsentrasi secara signifikan pada subkelompok Nothing in Particular (NIP).

Atheist dan Agnostic di AS, berdasarkan beberapa ukuran, memiliki tingkat keterlibatan sipil dan politik yang sebanding dengan orang dewasa yang terafiliasi agama (misalnya, dalam hal pemilu dan kerelawanan). Ini menunjukkan bahwa penolakan terhadap agama formal oleh Atheist/Agnostic tidak secara otomatis berarti penolakan terhadap kewajiban sipil atau etika sosial.

Sebaliknya, kelompok NIP—yang tidak berafiliasi tetapi sering spiritual—adalah kelompok yang menonjol karena memiliki tingkat perilaku sipil yang relatif rendah. Fenomena ini menyiratkan bahwa masalahnya bukanlah kekurangan agama yang menyebabkan hilangnya modal sosial, tetapi kurangnya kelekatan institusional secara umum. Disafiliasi agama di kalangan NIP mungkin merupakan gejala dari disafeksi yang lebih luas terhadap semua institusi dan organisasi, bukan hanya agama. Oleh karena itu, penurunan agama bisa jadi adalah manifestasi dari hilangnya kepercayaan yang lebih besar terhadap sesama warga negara dan institusi secara keseluruhan.

Implikasi Institusional dan Rekomendasi Strategis

Kebangkitan Nones memaksa institusi agama, sosial, dan politik untuk mengevaluasi kembali peran mereka dalam masyarakat pasca-sekuler. Fenomena ini membawa tantangan struktural dan juga peluang untuk refleksi mendalam.

Tantangan terhadap Otoritas dan Viabilitas Institusi

Kecenderungan disafiliasi, terutama di kalangan pemuda, menimbulkan erosi otoritas agama tradisional yang signifikan. Individu muda menolak otoritas kaku, memaksa agama untuk melakukan refleksi yang mendalam tentang hubungan otentik mereka dengan Yang Ilahi.

Konsekuensi langsung lainnya adalah dampak fiskal dan sosial. Institusi agama, yang secara tradisional bergantung pada partisipasi anggota untuk pendanaan dan tenaga relawan, menghadapi dampak dari basis anggota yang menyusut dan menua. Penurunan kerelawanan dan keanggotaan institusional mengancam kemampuan mereka untuk mempertahankan program sosial dan komunitas.

Respons Institusi Keagamaan dan Kebutuhan Adaptasi

Institusi keagamaan tradisional tidak dapat mengabaikan tren ini; mereka harus beradaptasi. Sekularisme dan disafiliasi harus dilihat sebagai “motivator yang membantu agama membenahi diri”.

  1. Reformasi Struktural dan Otentisitas: Lembaga harus mengurangi fokus yang dikritik oleh Nones—yakni, perhatian berlebihan pada uang, kekuasaan, dan keterlibatan politik yang memecah belah. Sebaliknya, institusi harus menekankan kembali fungsi komunitas, pelayanan sosial, dan penawaran makna eksistensial yang otentik.
  2. Keterlibatan Digital dan Otoritas Adaptif: Institusi harus secara aktif beradaptasi dengan ruang virtual, yang merupakan “kuil baru” bagi Gen Z. Keterlibatan di cyberspace tidak hanya berarti mendeskripsikan ajaran di ruang virtual, tetapi juga menawarkan konseling agama dan bimbingan spiritual yang bersumber dari tradisi mereka dalam format non-otoriter dan adaptif. Institusi perlu bersaing dengan influencer digital dengan menyediakan dukungan spiritual yang kuat di ranah yang sangat mobile ini.
  3. Mendukung Moderasi Sosial: Dalam konteks masyarakat yang beragam, institusi dapat menunjukkan relevansi sosial positif dengan mendidik dan memberdayakan generasi muda, seperti Generasi Z, untuk menjadi garda terdepan dalam moderasi beragama. Dengan menjadi kontrol sosial di media digital untuk menolak provokasi dan ekstremisme, institusi dapat memposisikan diri sebagai penjaga kohesi sosial, menawarkan fungsi yang sangat dibutuhkan yang melampaui doktrin sempit.

Kesimpulan

Kebangkitan spiritualisme tanpa afiliasi menandai era transisi agama global yang ditandai oleh personalisasi radikal. Ini bukan hanya perpindahan dari keyakinan ke non-keyakinan, melainkan perpindahan dari otoritas institusional kolektif ke otoritas diri individu yang didukung oleh platform digital.

Untuk mengatasi konsekuensi sosiologis dari tren ini, rekomendasi berikut diusulkan:

  1. Mengembangkan Dukungan Spiritual Non-Sektarian: Mengingat bahwa Nones dan SBNR masih menghadapi perjuangan eksistensial , sistem layanan sosial dan kesehatan mental harus dikembangkan untuk menyediakan dukungan spiritual yang tidak terikat pada afiliasi agama tertentu. Ini melibatkan pelatihan bagi konselor dan profesional kesehatan untuk menangani isu-isu eksistensial tanpa memaksakan kerangka keagamaan tradisional.
  2. Mengukur Spiritual Capital Baru: Penelitian di masa depan harus melampaui metrik afiliasi keagamaan formal. Diperlukan pengembangan metrik yang canggih untuk mengukur spiritual capital dan modal sosial yang dihasilkan oleh praktik spiritual non-institusional, seperti meditasi, spiritualitas berbasis lingkungan, dan komunitas digital. Ini akan memungkinkan pemahaman yang lebih akurat tentang bagaimana makna dan etika dipertahankan dalam masyarakat pasca-institusional.
  3. Memperkuat Etika Lingkungan sebagai Pendorong Makna: Mengingat afinitas Gen Z terhadap spiritualitas ekologis , organisasi non-agama—seperti lembaga pendidikan tinggi dan organisasi lingkungan—dapat mengisi kekosongan spiritual dengan secara aktif memperkuat narasi etika lingkungan dan keberlanjutan. Ini memberikan kerangka kerja makna eksistensial yang sangat selaras dengan nilai-nilai generasi yang paling tidak berafiliasi ini.

Secara keseluruhan, spiritualisme tanpa afiliasi mewakili tantangan terhadap hegemoni institusional yang telah berlangsung berabad-abad. Pergeseran ini menuntut adaptasi, bukan penolakan, dari aktor-aktor tradisional dan sekuler, mengakui bahwa pencarian makna eksistensial, meskipun dilakukan di luar kuil dan gereja, tetap merupakan dorongan universal manusia yang mendasar.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

75 − = 70
Powered by MathCaptcha