Tulisan ini menyajikan analisis mendalam mengenai strategi pembangunan bangsa yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan struktural pada komoditas tunggal dan bertransisi menuju model Ekonomi Non-Ekstraktif yang berlandaskan pada pengetahuan, kreativitas, dan keberlanjutan. Diagnosis makroekonomi menunjukkan kerentanan yang signifikan akibat tingginya volatilitas harga komoditas global dan risiko kutukan sumber daya (resource curse) jika tata kelola kelembagaan tidak memadai.

Untuk mengatasi kerentanan ini, transformasi struktural harus memprioritaskan pergeseran dari ekonomi yang didominasi oleh konsumsi rumah tangga (>55%) menjadi ekonomi yang didorong oleh investasi, ekspor, dan aktivitas produktif bernilai tambah tinggi. Strategi transisi dibagi menjadi tiga pilar utama:

  1. Hilirisasi Industri Strategis: Bertindak sebagai jembatan untuk menghasilkan modal dan transfer teknologi yang membiayai diversifikasi horizontal.
  2. Pilar Diversifikasi Horizontal I: Pariwisata Berkelanjutan (Green Tourism): Fokus pada ekowisata berbasis komunitas sebagai mekanisme untuk menciptakan lapangan kerja stabil dan memberikan insentif ekonomi bagi pelestarian lingkungan.
  3. Pilar Diversifikasi Horizontal II: Ekonomi Digital dan Kreatif: Mendorong pertumbuhan startup dan inovasi sebagai mesin nilai tambah berbasis ide dan pengetahuan, didukung oleh penguatan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Keberhasilan implementasi strategi ini sangat bergantung pada reformasi kelembagaan—terutama tata kelola yang bersih dan regulasi yang ramah inovasi —serta investasi besar dalam revitalisasi Sumber Daya Manusia (SDM) melalui pendidikan vokasi yang diselaraskan total dengan kebutuhan industri non-ekstraktif masa depan.

Diagnosis Ekonomi dan Urgensi Transformasi Struktural

Perbandingan Model Ekonomi: Ekstraktif vs. Non-Ekstraktif

Model pembangunan yang didominasi oleh kegiatan ekstraktif memiliki peran tradisional yang esensial dalam menyediakan sumber daya alam (SDA) seperti logam, minyak, dan gas yang menjadi bahan baku utama bagi industri konstruksi, manufaktur, dan energi. Usaha ekstraktif berfungsi membuka lapangan pekerjaan baru karena memerlukan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mengolah kekayaan alam, serta seringkali mendatangkan keuntungan yang besar karena produk yang dihasilkan terus dibutuhkan oleh masyarakat.

Namun, fokus yang berlebihan pada sektor ekstraktif membatasi potensi penciptaan nilai tambah jangka panjang. Sebaliknya, ekonomi non-ekstraktif berlandaskan pada ide, pengetahuan, dan kreativitas individu sebagai faktor utama dalam menghasilkan nilai ekonomi. Perbedaan fundamental ini menyoroti bahwa dalam ekonomi ekstraktif, nilai didasarkan pada volume dan kelangkaan material; sementara dalam ekonomi non-ekstraktif, nilai didasarkan pada kecanggihan, diferensiasi, dan inovasi yang tak terbatas.

Urgensi transformasi struktural muncul karena struktur ekonomi nasional seringkali terlalu bergantung pada konsumsi rumah tangga, yang berkontribusi lebih dari 55% terhadap PDB. Strategi pembangunan harus secara tegas mengalihkan fokus ini menjadi struktur yang lebih produktif, didorong oleh peningkatan investasi, ekspor, dan kegiatan hilirisasi bernilai tinggi.

Volatilitas dan Resource Curse: Ancaman bagi Stabilitas Makroekonomi

Ketergantungan pada komoditas tunggal atau sektor ekstraktif rentan terhadap gejolak eksternal. Penelitian makroekonomi menunjukkan bahwa harga komoditas di pasar internasional, seperti lada, mengalami tingkat volatilitas yang tinggi, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor makroekonomi global. Volatilitas harga ini secara langsung menghambat kemampuan negara dalam melakukan perencanaan anggaran dan pembangunan jangka panjang yang stabil, menciptakan ketidakpastian bagi iklim investasi.

Lebih dari sekadar volatilitas, kekayaan SDA dapat menjadi bencana ekonomi jika tidak dikelola dengan baik, sebuah fenomena yang dikenal sebagai Resource Curse atau kutukan sumber daya. Meskipun negara-negara seperti Rusia menunjukkan bagaimana kekayaan SDA dapat berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional , keberhasilan ini sangat ditentukan oleh kualitas institusi dan strategi pengelolaan sumber daya masing-masing negara.

Kesalahan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan SDA berpotensi menyebabkan dampak buruk, yang ditandai dengan kerusakan lingkungan dan kegagalan dalam menghasilkan dampak ekonomi yang signifikan bagi masyarakat. Variabel tata kelola, termasuk transparansi perizinan, integritas birokrasi, pencegahan KKN, dan penegakan hukum, merupakan komponen kunci yang menentukan apakah suatu wilayah akan jatuh ke dalam resource curse. Upaya untuk menghindari kutukan ini harus dimulai dari hulu, yaitu dengan memperbaiki sistem tata kelola SDA melalui implementasi Good Governance dan Reformasi Birokrasi secara menyeluruh.

Tabel 1.1 di bawah merangkum perbandingan mendasar antara kedua model ekonomi yang mendasari urgensi transformasi ini.

Tabel 1.1: Perbandingan Model Ekonomi: Ekstraktif vs. Non-Ekstraktif

Dimensi Kinerja Ekonomi Model Ekstraktif (Fokus Komoditas) Model Non-Ekstraktif (Fokus Inovasi/Jasa)
Stabilitas Pendapatan Rentan terhadap volatilitas harga global dan depresiasi sumber daya Jauh lebih stabil, didorong oleh diferensiasi dan rantai nilai global
Kualitas Lapangan Kerja Padat modal/berisiko tinggi; cenderung menciptakan lapangan kerja sektor non-permanen Padat pengetahuan; menciptakan lapangan kerja stabil dan bernilai tambah tinggi
Nilai Tambah Terbatas (volume material); memerlukan hilirisasi untuk produk setengah jadi Sangat Tinggi (ide, teknologi); dihasilkan dari kreativitas dan HKI
Risiko Tata Kelola Tinggi; rentan terhadap resource curse dan KKN dalam perizinan Lebih rendah; sensitif terhadap kepastian hukum dan perlindungan HKI

Strategi Transisi: Hilirisasi Industri dan Penciptaan Nilai Tambah

Hilirisasi sebagai Jembatan Strategis (Vertical Diversification)

Dalam konteks makroekonomi, hilirisasi merupakan strategi taktis yang krusial. Tujuannya adalah meningkatkan nilai ekonomi dari SDA dan mendorong kemandirian industri , yang merupakan langkah awal untuk bertransformasi dari negara berkembang menjadi kekuatan industri maju. Hilirisasi memaksa peningkatan pemanfaatan teknologi dan inovasi, terutama dalam konteks pengembangan industri yang efisien dan ramah lingkungan.

Namun, hilirisasi—yang secara inheren masih memanfaatkan SDA—harus diposisikan sebagai jembatan strategis dan bukan tujuan akhir dari pembangunan non-ekstraktif. Pendapatan dan keuntungan yang dihasilkan dari peningkatan nilai tambah komoditas (misalnya, dari bahan mentah menjadi baterai atau komponen industri) harus dialokasikan secara eksplisit dan masif untuk membiayai percepatan diversifikasi horizontal ke sektor-sektor yang benar-benar tidak terikat oleh SDA. Ini termasuk investasi anggaran yang lebih besar untuk mendorong inovasi disruptif, penguasaan teknologi, dan peningkatan kualitas SDM. Dengan demikian, hilirisasi berfungsi sebagai mekanisme untuk menghasilkan high-margin capital yang kemudian menjadi fondasi finansial bagi ekonomi berbasis pengetahuan.

Implementasi strategi hilirisasi memerlukan kerangka kebijakan pendukung yang komprehensif. Ini meliputi kebijakan pengamanan industri dalam negeri (seperti pemberlakuan bea masuk atas produk impor dan bea keluar atas ekspor bahan mentah), pembangunan infrastruktur (pembangkit listrik dan sarana perhubungan), serta kebijakan fiskal yang memberikan insentif investasi di sektor industri.

Diversifikasi Horizontal Menuju Sektor Manufaktur dan Jasa Global

Setelah modal dan kapabilitas teknis dibangun melalui hilirisasi, langkah selanjutnya adalah melakukan diversifikasi horizontal, yaitu menargetkan sektor-sektor non-tradisional yang memiliki daya saing global. Stabilitas ekonomi jangka panjang memerlukan diversifikasi ekspor. Fokus harus dialihkan ke industri manufaktur yang menciptakan nilai tambah tinggi dan pengembangan sektor jasa yang mampu bersaing di pasar internasional.

Daya saing global suatu industri bergantung pada tiga unsur utama: persyaratan dasar, penopang efisiensi, dan faktor inovasi serta kecanggihan. Kemampuan inovasi adalah kunci, yang dapat ditingkatkan melalui pengoptimalan dan pendayagunaan teknologi, khususnya melalui penciptaan inovasi Litbang industri. Diversifikasi ekspor ini juga harus didukung oleh kebijakan perdagangan yang inklusif, insentif fiskal untuk industri non-tradisional, dan investasi dalam infrastruktur pendukung ekspor. Pengalaman negara-negara yang sukses melakukan diversifikasi memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya adaptasi terhadap perubahan kondisi global dan investasi berkelanjutan dalam sumber daya manusia dan teknologi.

Pilar Strategis 1: Pengembangan Ekowisata dan Pariwisata Berkelanjutan

Ekowisata sebagai Pendorong Ekonomi Hijau (Green Economy)

Pengembangan pariwisata berkelanjutan, khususnya ekowisata dan green tourism, merupakan pilar diversifikasi non-ekstraktif yang strategis. Sektor ini secara inheren mengadopsi prinsip Green Economy karena konsep green tourism memprioritaskan keramahan terhadap alam dan lingkungan.

Industri pariwisata telah terbukti menjadi alat pembangunan ekonomi yang efektif di banyak negara, terutama dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan infrastruktur lokal. Industri ini menyerap jutaan tenaga kerja dari berbagai latar belakang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Lebih penting lagi, strategi ini secara langsung mengatasi potensi kerusakan lingkungan dan ketidakadilan manfaat yang sering menyertai kegiatan ekstraktif. Dengan memberikan insentif ekonomi pada pelestarian, Green Tourism membalikkan logika eksploitasi dan menciptakan nilai ekonomi berbasis konservasi, sehingga bertindak sebagai mekanisme kontra-kutukan sumber daya alam.

Strategi Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas dan Konservasi

Pengembangan pariwisata berkelanjutan harus berakar pada ekonomi lokal dan melibatkan partisipasi masyarakat. Ekowisata berbasis komunitas memastikan bahwa sumber daya alam yang melimpah memberikan manfaat yang merata, terutama bagi masyarakat lokal di sekitarnya. Pengembangan ini perlu mengintegrasikan kawasan dengan potensi ekosistem unik, seperti ekosistem Hutan Pantai atau Danau Tawar/Asin (contohnya kawasan Cagar Alam Pulau Sempu).

Program pemberdayaan masyarakat, melalui pelatihan dan pendidikan (misalnya dalam pertanian berkelanjutan) , sangat penting untuk meningkatkan keterampilan lokal. Hal ini memungkinkan masyarakat merasakan manfaat langsung dari pengelolaan SDA yang berbasis komunitas. Pendekatan ini juga memiliki kontribusi besar terhadap ekonomi komunitas lokal yang sebelumnya mungkin belum diberdayakan secara ekonomi oleh pemerintah.

Mengambil Pelajaran dari Transformasi Global: Kasus UEA

Uni Emirat Arab (UEA) menyajikan contoh yang menonjol tentang keberanian dalam mendiversifikasi ekonomi dari ketergantungan minyak ke pariwisata, perdagangan, dan transportasi global. Dalam dua dekade terakhir, Dubai menjadi pusat perdagangan dan pariwisata, sementara Abu Dhabi memperkuat posisi investasi.

Kasus UEA menunjukkan bahwa transisi menuju ekonomi non-ekstraktif memerlukan investasi besar, modernisasi ekonomi, dan kesediaan untuk menghadapi reformasi sosial yang kompleks. Misalnya, keputusan untuk mengizinkan kasino (meskipun dengan dilema etis dan agama yang signifikan) di Ras Al Khaimah merupakan simbol dari upaya mendatangkan magnet besar wisatawan dan mencari sumber pendapatan baru di sektor hiburan mewah. Pelajaran yang dapat diambil adalah bahwa diversifikasi yang sukses seringkali memerlukan kebijakan yang berani dan integrasi reformasi di luar batas ekonomi tradisional, menuntut adaptasi identitas untuk meraih keunggulan kompetitif global.

Pilar Strategis 2: Mendorong Ekonomi Digital, Kreatif, dan Startup

Akselerasi Ekonomi Kreatif dan Kontribusi PDB Baru

Ekonomi kreatif merupakan salah satu sektor yang berkembang paling pesat dan menjadi mesin pertumbuhan berbasis ide. Sektor ini tidak hanya menciptakan lapangan kerja baru, tetapi juga meningkatkan nilai tambah produk melalui inovasi dan kreativitas. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sektor ini menyumbang lebih dari 7,8% terhadap PDB nasional, dengan subsektor dominan berasal dari kuliner, fesyen, dan kriya.

Perkembangan teknologi digital memperkuat posisi ekonomi kreatif sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi baru. Pemanfaatan platform daring dan media sosial memungkinkan pelaku usaha memasarkan produk lokal ke pasar internasional tanpa batas geografis, membuka peluang baru yang sebelumnya terbatas oleh akses fisik. Selain kontribusi PDB, sektor ini berhasil menyerap lebih dari 20 juta tenaga kerja.

Peran Startup sebagai Agent of Innovation

Ekosistem startup memiliki peran penting dalam menopang perekonomian digital. Bisnis startup memiliki beberapa keunggulan kompetitif dibandingkan model bisnis tradisional. Mereka tidak memerlukan lokasi fisik strategis karena dapat beroperasi secara daring, memiliki pasar yang luas, dan modal awal yang relatif rendah berkat pemanfaatan teknologi digital. Keunggulan ini membuat startup menjadi kekuatan baru dalam menciptakan inovasi dan mendukung kemandirian ekonomi bangsa.

Sektor berbasis ide seperti startup sangat sensitif terhadap lingkungan regulasi dan dukungan kelembagaan. Keberhasilan mereka ditentukan oleh potensi pasar, adopsi teknologi, dan yang paling krusial, dukungan pemerintah dan investor. Dukungan ini harus terwujud dalam pembiayaan, promosi penggunaan produk dalam negeri, dan yang terpenting, regulasi yang ramah inovasi. Transformasi ini menuntut adaptasi kebijakan untuk memfasilitasi pendanaan dan mengatasi tantangan baru seperti risiko keamanan siber.

Strategi Pengembangan Ekonomi Digital Inklusif: Desa Digital

Untuk memastikan diversifikasi ekonomi non-ekstraktif bersifat inklusif dan merata, strategi pengembangan harus menyentuh hingga tingkat akar rumput. Program Desa Digital adalah inisiatif penting yang dirancang untuk membuka peluang diversifikasi ekonomi di sektor non-pertanian bagi masyarakat desa, termasuk industri kreatif, pariwisata, dan jasa.

Melalui akses ke teknologi modern dan pasar digital, produk lokal dapat meningkatkan daya saingnya dan lebih dikenal oleh konsumen di luar wilayah desa. Selain itu, inisiatif ini juga memungkinkan peningkatan produktivitas pertanian melalui informasi yang tepat, serta membuka peluang pendidikan dan pelatihan online yang penting untuk meningkatkan keterampilan masyarakat agar dapat bersaing di pasar kerja yang kompetitif. Pengembangan desa digital memerlukan kolaborasi erat antara pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat untuk menciptakan solusi yang inovatif dan berkelanjutan.

Kerangka Kebijakan Pendukung dan Reformasi Kelembagaan

Transformasi menuju ekonomi non-ekstraktif tidak dapat dicapai hanya dengan investasi sektoral; ia memerlukan fondasi kelembagaan yang kuat, yang berfungsi sebagai infrastruktur non-fisik bagi inovasi.

Reformasi Fiskal: Insentif untuk Sektor Non-Ekstraktif

Kebijakan fiskal harus digunakan secara strategis untuk mengarahkan modal investasi menuju sektor non-ekstraktif bernilai tinggi. Pemerintah menyediakan berbagai insentif, seperti pemberian Tax Holiday selama 10 hingga 20 tahun dan Tax Allowance bagi investor yang menanamkan modal di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Insentif ini juga dapat berupa pembebasan PPN dan PPnBM untuk barang modal impor yang digunakan dalam pembangunan KEK.

Selain insentif kawasan, kebijakan fiskal harus digunakan untuk menciptakan insentif yang mendukung investasi di sektor industri yang mendorong pengembangan mutu Sumber Daya Manusia dan kegiatan Litbang (R&D). Insentif harus fokus pada sektor yang menjanjikan penciptaan lapangan kerja stabil dan menghasilkan ekspor non-tradisional yang tinggi.

Penguatan Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

Sektor yang didorong oleh ide dan kreativitas—seperti ekonomi digital dan kreatif—sangat rentan terhadap risiko kegagalan pasar jika tidak ada perlindungan hukum yang memadai. Oleh karena itu, perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) adalah prasyarat utama. Penguatan HKI dan inovasi dapat secara langsung meningkatkan perekonomian. HKI menjamin bahwa nilai yang dihasilkan oleh pengetahuan dan kreativitas individu dapat dikomersialkan dan dilindungi, mengatasi tantangan yang dihadapi pelaku ekonomi kreatif seperti perlindungan HKI.

Pemerintah perlu memperkuat perlindungan HKI hingga ke tingkat daerah, misalnya melalui sosialisasi dan kemitraan antara lembaga terkait (seperti DJKI) dengan lembaga riset daerah (BRIDA) untuk mendorong inovasi daerah.

Tata Kelola yang Baik dan Infrastruktur Digital

Kualitas kelembagaan, yang mencakup reformasi birokrasi, penegakan hukum, dan kepastian regulasi, harus dipandang setara pentingnya dengan pembangunan infrastruktur fisik. Reformasi birokrasi adalah strategi nasional untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas KKN, yang merupakan kunci untuk menghindari resource curse.

Langkah-langkah konkret meliputi penyederhanaan proses perizinan agar semakin mudah dan murah, serta penyempurnaan regulasi untuk mengurangi biaya kepatuhan (cost of compliance) dan meningkatkan konsistensi antara peraturan pusat dan daerah. Sektor berbasis ide (teknologi, kreatif) sangat sensitif terhadap birokrasi yang berbelit dan ketidakpastian hukum, oleh karena itu reformasi kelembagaan merupakan pondasi yang mendukung seluruh pilar diversifikasi.

Seiring dengan reformasi tata kelola, transformasi ekonomi digital memerlukan dukungan infrastruktur yang masif. Investasi dalam pembangunan infrastruktur digital dan konektivitas, serta penguatan ketenagakerjaan, menjadi prioritas utama untuk mencapai visi Indonesia Maju. Pemerintah juga perlu mengembangkan kebijakan dan regulasi yang mendukung pengembangan desa digital, termasuk insentif investasi di sektor teknologi dan regulasi yang memastikan keamanan data dan transaksi digital.

Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk Ekonomi Masa Depan

Pengembangan SDM sebagai Investasi Paling Strategis

Pembangunan SDM berkualitas merupakan prioritas strategis utama menuju Indonesia Maju, di samping pembangunan ekonomi dan infrastruktur. Peningkatan kualitas SDM diterjemahkan melalui investasi anggaran yang lebih besar dan fokus pada upaya menciptakan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan reformasi struktural, memastikan masyarakat dapat memperoleh pekerjaan yang layak.

Transisi dari ekonomi padat modal dan ekstraktif ke ekonomi padat pengetahuan dan jasa menciptakan risiko pengangguran struktural jika tidak ditangani melalui program pembangunan SDM yang tepat. Oleh karena itu, pembangunan SDM harus berfokus pada inovasi disruptif, kualitas SDM unggul, dan penguasaan teknologi.

Revitalisasi Vokasi dan Kemitraan Industri (Link-and-Match)

Revitalisasi pendidikan vokasi dan pelatihan vokasi harus dipercepat. Strategi ini harus dilakukan melalui kemitraan erat (link-and-match) dengan industri untuk mencetak SDM unggul dan mendukung hilirisasi riset. Pendidikan vokasi tidak lagi hanya melatih keterampilan teknis umum, tetapi harus secara proaktif mengubah sistem, pola pikir, dan budaya kerja SDM untuk mendukung sektor non-ekstraktif.

Program pelatihan harus relevan dengan kebutuhan lokal dan didesain agar mudah diakses. Untuk mendukung keberhasilan startup, perguruan tinggi berperan penting dalam mendorong kewirausahaan berbasis teknologi dan memastikan akses mudah ke ilmu dan pengetahuan. Pelatihan harus fokus pada peningkatan literasi digital dan keterampilan yang dibutuhkan oleh sektor green tourism (konservasi, digital marketing destinasi) dan ekonomi digital (pemrograman, analisis data).

Tabel 6.1: Strategi Kemitraan Vokasi untuk Sektor Non-Ekstraktif

Sektor Prioritas Fokus Kurikulum Vokasi Kemitraan Industri yang Disarankan Target Output SDM
Pariwisata Berkelanjutan/Ekowisata Konservasi, Pemandu Ekowisata, Digital Marketing Destinasi Komunitas Lokal, Pengelola Cagar Alam, Startup Perjalanan Tenaga kerja padat karya yang bertanggung jawab lingkungan dan mampu mengelola ekosistem
Ekonomi Digital & Startup Coding, Analisis Data, UI/UX Design, Kewirausahaan Digital Inkubator Startup, Perusahaan Teknologi, Kemenparekraf Digital talent siap kerja/berwirausaha, didukung oleh regulasi yang ramah inovasi
Hilirisasi Lanjutan (Manufaktur Bernilai Tinggi) Otomasi, Teknologi Industri 4.0, Riset Efisiensi Energi Industri Manufaktur Modern, Lembaga Litbang SDM yang mendorong inovasi industri yang efisien dan ramah lingkungan

Implementasi, Monitoring, dan Rekomendasi Jangka Panjang

Matriks Rencana Aksi dan Target Kinerja (KPIs)

Keberhasilan transisi memerlukan Matriks Rencana Aksi yang jelas dengan Indikator Kinerja Utama (KPIs) yang terukur. Implementasi kebijakan harus mengacu pada perumusan kebijakan yang mampu memecahkan masalah multi objektif dan multi kriteria (misalnya, menggunakan Analytical Hierarchy Process/AHP).

KPIs Kunci yang Disarankan:

  1. Pertumbuhan Ekspor Non-Tradisional: Target peningkatan persentase ekspor manufaktur bernilai tinggi dan jasa.
  2. Penciptaan Lapangan Kerja Stabil: Persentase lapangan kerja baru yang diserap oleh sektor pariwisata berkelanjutan dan ekonomi kreatif.
  3. Indeks Kualitas Kelembagaan: Peningkatan peringkat indeks tata kelola, transparansi perizinan, dan efektivitas perlindungan HKI.
  4. Investasi R&D: Persentase PDB yang dialokasikan untuk riset dan pengembangan teknologi non-ekstraktif.

Mekanisme Sinergitas dan Adaptasi

Pembangunan ekonomi non-ekstraktif menuntut sinergitas total dan kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat. Koordinasi lintas kementerian dan lembaga harus ditingkatkan untuk memastikan implementasi transformasi digital dan ekonomi berjalan inklusif.

Pemerintah juga perlu berperan aktif dalam memfasilitasi akses ke pasar ekspor baru melalui perjanjian perdagangan bilateral atau multilateral serta diplomasi perdagangan yang efektif. Selain itu, strategi kebijakan harus bersifat dinamis dan adaptif. Pengalaman selama krisis menunjukkan bahwa manajemen lapangan harus tetap dinamis, di mana pengetatan dan pelonggaran mobilitas masyarakat, misalnya, perlu dilakukan secara berkala dan cepat merujuk pada data terkini untuk menemukan kombinasi terbaik antara kepentingan kesehatan dan perekonomian.

Rekomendasi Jangka Panjang untuk Ketahanan Ekonomi

Untuk mencapai ketahanan ekonomi jangka panjang, rekomendasi strategis meliputi:

  1. Penyaluran Modal Hilirisasi: Mempertahankan momentum hilirisasi sebagai generator modal, namun secara tegas menyalurkan keuntungan dan transfer teknologi yang dihasilkan ke sektor riset dan pengembangan di luar komoditas.
  2. Pertumbuhan Inklusif dan Pemberdayaan Lokal: Memastikan pertumbuhan yang inklusif dengan fokus pada pemberdayaan masyarakat lokal melalui model seperti ekowisata berbasis komunitas, yang secara langsung menekan angka pengangguran dan kemiskinan dengan memberikan manfaat langsung dari SDA.
  3. Pengukuhan Kelembagaan: Mengukuhkan reformasi struktural, menjamin kepastian hukum, dan menciptakan insentif yang berkelanjutan bagi inovasi berbasis HKI. Tanpa tata kelola yang bersih dan penegakan hukum yang kuat, potensi ekonomi digital dan pariwisata berkelanjutan tidak akan dapat dimaksimalkan.
  4. Fokus Manufaktur Hijau: Mengembangkan industri yang tidak hanya bernilai tambah tinggi tetapi juga efisien dan ramah lingkungan, sejalan dengan prinsip Green Economy dan tuntutan pasar global di masa depan.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 75 = 82
Powered by MathCaptcha