Resistensi Antimikroba: Dari Fenomena Biologis Menjadi Krisis Sosial-Ekonomi Global

Resistensi Antimikroba (AMR) merupakan salah satu tantangan kesehatan masyarakat dan pembangunan global yang paling serius, melampaui sekadar fenomena biologis dan menjelma menjadi ancaman eksistensial bagi stabilitas sosial-ekonomi global. AMR didefinisikan sebagai situasi di mana mikroorganisme—termasuk bakteri, virus, jamur, dan parasit—berubah seiring waktu sehingga obat antimikroba yang dirancang untuk membunuh atau menghentikan pertumbuhannya tidak lagi efektif.

Implikasi medis dari AMR sangat serius. Resistensi menyebabkan kegagalan pengobatan lini pertama, yang memaksa pasien menjalani rawat inap yang lebih lama dan memerlukan penggunaan antibiotik lini terakhir yang seringkali jauh lebih mahal dan lebih toksik. Konsekuensi langsungnya adalah peningkatan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.

Narasi “Pandemi Senyap”: Hambatan Komunikasi Risiko dan Prioritas Politik

Meskipun ancaman AMR terkuantifikasi dalam angka kematian tahunan yang mengerikan, krisis ini sering disebut sebagai silent pandemic atau “pandemi senyap”. Istilah ini muncul karena angka kematian akibat AMR cukup tinggi, tetapi krisis ini bergerak lambat dan tersebar, tidak memicu respons politik yang mendesak layaknya pandemi virus akut. Secara global, jumlah infeksi bakteri yang resisten berhubungan dengan hampir 5 juta kematian setiap tahunnya, dan lebih dari 1,2 juta kematian ini berhubungan langsung akibat AMR.

Wacana silent pandemic ini berakar pada tantangan komunikasi risiko yang dihadapi oleh otoritas kesehatan di era post-truth. Menghadapi rendahnya literasi informasi, kurangnya transparansi, dan penyebaran misinformasi, sulit untuk memobilisasi kesadaran publik yang mendesak dan dukungan politik yang diperlukan. Dampak kesehatan dan ekonomi dari AMR bersifat terdistribusi—hilangnya produktivitas dan kenaikan biaya kesehatan dialami secara bertahap oleh individu dan sektor, sementara solusi penanggulangan membutuhkan investasi yang terpusat dan segera. Policy makers perlu menyadari bahwa untuk mengamankan investasi kolektif, media independen harus berperan penting dalam membangun kesadaran publik dan menyuarakan kebenaran serta objektivitas, sehingga informasi risiko yang benar dapat diterima oleh masyarakat. 

Beban Global AMR: Kuantifikasi Mortalitas, Morbiditas, dan Konsekuensi Ekonomi

Untuk mengatasi AMR, penting untuk mengkuantifikasi ancaman ini. Data epidemiologis terbaru memberikan gambaran yang mengkhawatirkan tentang beban krisis, baik dalam hal nyawa manusia maupun stabilitas ekonomi.

Mortalitas dan Morbiditas: Analisis Proyeksi GRAM Project (Lancet)

Analisis mendalam pertama mengenai dampak kesehatan global dari AMR dari Global Research on Antimicrobial Resistance (GRAM) Project, yang datanya dipublikasikan di The Lancet, mengungkapkan tren yang mengkhawatirkan. Studi ini, yang didasarkan pada 520 juta catatan individu, memperkirakan bahwa lebih dari satu juta orang meninggal setiap tahun akibat AMR secara global antara tahun 1990 dan 2021.

Proyeksi ke depan menunjukkan bahwa jika tren historis terus berlanjut, lebih dari 39 juta orang di seluruh dunia dapat meninggal akibat infeksi resisten dalam 25 tahun ke depan, yaitu antara 2022 hingga 2050. Kenaikan kematian tahunan diperkirakan akan stabil, meningkat hampir 70% pada tahun 2050 dibandingkan dengan tahun 2022, dengan potensi mencapai 1.91 juta kematian per tahun sebagai akibat langsung dari AMR.

Analisis demografis menunjukkan adanya pergeseran dalam beban mortalitas. Data historis menunjukkan penurunan kematian AMR sebesar 50% di antara anak-anak berusia di bawah lima tahun, namun terjadi peningkatan tajam lebih dari 80% pada kelompok usia 70 tahun ke atas. Peningkatan cepat mortalitas pada populasi lanjut usia menunjukkan bahwa AMR semakin menjadi masalah nosokomial—infeksi yang didapatkan di lingkungan klinis seperti rumah sakit dan fasilitas perawatan jangka panjang. Lingkungan ini seringkali menjadi tempat terjadinya penyakit kronis, prosedur invasif, dan perawatan intensif, yang menuntut pengawasan Infection Prevention and Control (IPC) dan Antimicrobial Stewardship Program (ASP) yang jauh lebih ketat di seluruh fasilitas kesehatan.

Menariknya, di tengah proyeksi yang gelap, studi ini juga menyoroti paradoks akses: perkiraan menunjukkan bahwa peningkatan akses ke perawatan kesehatan dan antibiotik yang efektif dapat menyelamatkan total 92 juta jiwa antara 2025 dan 2050. Hal ini menunjukkan bahwa strategi global tidak boleh hanya fokus pada pembatasan (stewardship) tetapi juga harus menyeimbangkan dengan memastikan akses yang berkeadilan ke pengobatan yang berfungsi, terutama di wilayah di mana kematian akibat infeksi yang dapat diobati masih tinggi.

Konsekuensi Ekonomi dan Ancaman Ketahanan Pangan

Dampak AMR meluas dari rumah sakit ke makroekonomi. Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) telah memperingatkan bahwa AMR berpotensi menyebabkan kerugian ekonomi global sebesar $100 triliun USD pada tahun 2050 jika tidak ada tindakan mendesak yang diambil. Kerugian sebesar ini menempatkan AMR sebagai risiko stabilitas ekonomi global yang setara dengan krisis iklim atau krisis keuangan sistemik.

Biaya ekonomi di tingkat mikro mencakup biaya pengobatan yang lebih tinggi, rawat inap yang lebih lama, dan peningkatan morbiditas. Di negara-negara berkembang, penggunaan antibiotik yang tidak rasional menambah tingginya biaya kesehatan bagi pasien dan sistem kesehatan secara keseluruhan. Policy makers harus melihat kerugian $100 triliun USD ini sebagai pembenaran ekonomi yang kuat untuk investasi segera dalam pencegahan, surveilans, dan penelitian dan pengembangan (R&D) antibiotik.

Selain itu, AMR secara langsung mengancam ketahanan pangan. WOAH melaporkan bahwa resistensi antimikroba berpotensi mengancam ketahanan pangan dua miliar orang pada tahun 2050. Hal ini terkait erat dengan penggunaan antimikroba secara berlebihan dalam sektor peternakan dan akuakultur, yang menciptakan patogen resisten yang dapat ditularkan melalui rantai makanan, memperburuk masalah kesehatan global.

Tabel Kritis 1: Beban Epidemiologi dan Ekonomi AMR Global (Proyeksi 2050)

Indikator Dampak Data Kuantitatif (Estimasi/Proyeksi) Implikasi Kebijakan Kritis
Kematian Langsung Tahunan (2050) ~1.91 Juta (Peningkatan 70%) Mendesak penguatan R&D dan optimalisasi penggunaan antibiotik yang ada (Stewardship).
Kematian Kumulatif (2022-2050) >39 Juta Jiwa Memperkuat infrastruktur IPC dan surveilans di lingkungan klinis (fokus pada lansia).
Potensi Kerugian Ekonomi Global (2050) $100 Triliun USD Mendorong diplomasi kesehatan G20/PBB untuk investasi AMR sebagai isu stabilitas ekonomi.
Jiwa yang Dapat Diselamatkan (2025-2050) 92 Juta Jiwa (dengan akses dan perawatan yang lebih baik) Menuntut penyeimbangan antara kontrol dan akses yang berkeadilan.

Diagnosis Akar Masalah: Kegagalan Pengawasan Regulasi di Negara Berkembang (Fokus Utama)

Penyebab utama dari percepatan AMR adalah penyalahgunaan dan penggunaan antimikroba yang berlebihan, yang didorong oleh praktik-praktik yang tidak rasional di sektor kesehatan manusia dan hewan, terutama di negara-negara dengan pengawasan yang longgar (LMICs).

Penyalahgunaan Antibiotik dalam Sektor Kesehatan Manusia

Prevalensi Penjualan Over-the-Counter (OTC) dan Penegakan Hukum yang Lemah

Di banyak negara berkembang, regulasi ketat mengenai penjualan antibiotik seringkali gagal diterapkan secara efektif. Secara global, penggunaan antibiotik meningkat 91 persen, dan peningkatannya mencapai 165 persen di negara-negara berkembang pada periode 2000-2015.

Di Indonesia, masalah ini terlihat jelas. Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) RI Periode 2014-2021, dr. Harry Parathon, menekankan bahwa banyaknya penjualan antibiotik tanpa resep adalah salah satu faktor pemicu AMR terbesar. Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa 41,0% masyarakat mendapatkan antibiotik oral tanpa resep dokter. Sumber perolehan ini bervariasi, didominasi oleh apotek atau toko obat berizin, tetapi juga termasuk pembelian online, warung, atau dari orang lain.

Secara hukum, peraturan di Indonesia jelas: UU Obat Keras tahun 1949 menyatakan bahwa obat keras (termasuk antibiotik) hanya dapat diresepkan oleh dokter, dokter gigi, atau dokter hewan, dan bungkusnya harus mencantumkan kalimat “Harus dengan resep dokter”. Namun, kegagalan penegakan hukum di lapangan menciptakan loop umpan balik negatif.

Studi kasus di Vietnam, misalnya, menunjukkan bahwa meskipun hukum yang diperbarui pada tahun 2024 mewajibkan resep, penegakan hukum praktis masih lemah. Meskipun ada penurunan proporsi pembelian tanpa resep (dari 91% menjadi 58% pada tahun 2018), non-resep masih mendominasi pembelian. Denda yang dikenakan kepada penjual ilegal sangat rendah (sekitar $25 USD). Denda sekecil ini dianggap sebagai biaya operasional, bukan pencegah. Untuk memecahkan siklus ini, harga ketidakpatuhan harus dinaikkan secara radikal (misalnya, menjadi $50 USD atau disertai ancaman penutupan bisnis) untuk mengubah insentif ekonomi apotek agar mematuhi regulasi.

Tantangan Struktural dan Perilaku

Penyalahgunaan antibiotik bukan hanya disebabkan oleh apotek yang tidak patuh, tetapi juga oleh tekanan sistemik dan perilaku. Masyarakat sering melakukan swa-medikasi (pengobatan sendiri) karena kurangnya kesadaran, misalnya, mengonsumsi antibiotik untuk infeksi yang sebagian besar disebabkan oleh virus, seperti demam, batuk, dan pilek.

Di sisi penyedia layanan, tenaga kefarmasian di apotek menghadapi dilema etika dan ekonomi. Mereka melaporkan bahwa mereka merasa “tidak punya pilihan” selain memberikan antibiotik tanpa resep karena tekanan permintaan dari pelanggan atau dorongan dari pemilik apotek untuk bersaing dengan toko lain. Selain itu, perkembangan teknologi (e-commerce) menyediakan jalur baru yang sulit diawasi untuk penjualan antibiotik tanpa resep. Mengatasi masalah struktural ini memerlukan peningkatan edukasi masyarakat tentang penggunaan antibiotik yang rasional dan pengawasan yang ketat terhadap implementasi regulasi peresepan.1

Penggunaan Antibiotik Tidak Rasional di Sektor Hewan dan Pertanian

Sektor hewan dan pertanian adalah pendorong signifikan AMR melalui penggunaan antimikroba yang tidak hanya terapeutik, tetapi juga digunakan sebagai pemicu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promoter – AGP).

Pelanggaran Standar Global AGP

WOAH telah merekomendasikan pelarangan penggunaan antimikroba sebagai pemicu pertumbuhan hewan, sejalan dengan Global Action Plan on AMR. Namun, laporan WOAH mengungkap bahwa sekitar seperlima dari negara anggotanya masih menggunakan antimikroba sebagai AGP, meskipun organisasi tersebut telah menentang praktik ini.

Motivasi di balik penggunaan AGP adalah ekonomi. Antibiotik jenis ini telah memberikan kontribusi besar pada profitabilitas dalam peternakan intensif melalui peningkatan laju pertumbuhan dan efisiensi pakan. Namun, keuntungan finansial jangka pendek ini secara efektif mensubsidi resistensi antibiotik global, mentransfer biaya kesehatan jangka panjang kepada masyarakat umum. Uni Eropa mengambil keputusan tegas untuk menghapuskan dan melarang semua antibiotik yang umum digunakan sebagai AGP dalam pakan (sejak 1 Januari 2006), berdasarkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Standar ini harus menjadi norma perdagangan internasional.

Transmisi Resistensi dan Perlunya Biosekuriti

Penggunaan antimikroba yang tidak rasional pada hewan berpotensi mempercepat resistensi yang membahayakan kemampuan kita mengobati infeksi pada manusia. Misalnya, penggunaan antibiotik penting seperti fluoroquinolones dalam jumlah signifikan di akuakultur berpotensi mempercepat AMR.

Data monitoring juga menunjukkan adanya transmisi langsung. Laporan menunjukkan adanya residu antibiotik di pangan segar asal hewan, dan ditemukannya bakteri E. coli yang resistan terhadap kombinasi tetrasiklin, streptomisin, trimethoprim, dan aztreonam pada sampel susu dari peternakan.

Solusi paling efektif adalah pencegahan non-antibiotik. Dokter hewan memiliki peran kunci untuk memastikan bahwa antimikroba hanya diresepkan setelah pemeriksaan klinis dan diagnosis, dan tidak boleh digunakan sebagai pengganti praktik pemeliharaan hewan yang baik, biosekuriti, dan program vaksinasi.

Telah dibuktikan bahwa penerapan biosekuriti 3 zona dan higiene sanitasi secara efektif dapat mengurangi penggunaan antibiotik, terutama pada unggas komersial. Strategi mitigasi juga mencakup penggantian AGP dengan alternatif non-terapeutik seperti enzim, asam organik, prebiotik, dan immunostimulan. 

Pilar Lingkungan: Vektor dan “Evolutionary Pressure Cooker” AMR

Pendekatan One Health mengakui bahwa kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan saling terkait. Meskipun fokus kebijakan seringkali berada pada manusia dan hewan, lingkungan bertindak sebagai reservoir resistensi yang tidak terlihat. Lingkungan industri peternakan merupakan tempat penyebaran potensial AMR.

Pencemaran lingkungan dari limbah farmasi dan pembuangan antibiotik yang tidak tepat oleh masyarakat (membuang antibiotik di sembarang tempat)  menciptakan “dapur evolusioner” di mana mikroba secara terus-menerus terpapar residu antimikroba. Meskipun industri farmasi diatur oleh Good Manufacturing Practice (GMP) untuk menjamin kualitas produk, regulasi yang berkaitan dengan konsentrasi antibiotik aktif dalam efluen pabrik seringkali longgar atau tidak diterapkan, menciptakan tekanan seleksi yang kuat di lingkungan perairan dan tanah.

Kegagalan untuk mengelola pilar lingkungan secara memadai berpotensi meniadakan semua upaya stewardship yang dilakukan di sektor klinis. Oleh karena itu, Quadripartite (yang kini mencakup UNEP) harus memberikan peran pendanaan dan pengawasan yang lebih besar untuk mengatasi kontaminasi lingkungan.

Kerangka Kerja Global dan Implementasi Solusi Kolektif

Menyadari bahwa AMR adalah ancaman global yang tidak mengenal batas negara, komunitas internasional telah membentuk kerangka kerja untuk mengatasi krisis ini, meskipun implementasinya masih menghadapi banyak hambatan.

Konsensus Global: Kemitraan Quadripartite dan Global Action Plan (GAP)

Respons global dikoordinasikan oleh kemitraan Quadripartite, yang terdiri dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH), dan Program Lingkungan PBB (UNEP). Kemitraan ini bertujuan untuk melestarikan efikasi antimikroba, memastikan akses berkelanjutan dan merata ke antimikroba, serta mengoptimalkan penggunaannya melalui pendekatan One Health.

Pada Mei 2015, Majelis Kesehatan Dunia mengadopsi Global Action Plan  on Antimicrobial Resistance (GAP),  yang menetapkan lima tujuan strategis :

  1. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman.
  2. Memperkuat basis pengetahuan dan bukti melalui surveilans dan riset.
  3. Mengurangi insidensi infeksi (melalui sanitasi, higiene, dan pencegahan).
  4. Mengoptimalkan penggunaan obat antimikroba di kesehatan manusia dan hewan.
  5. Mengembangkan kasus ekonomi untuk investasi berkelanjutan, termasuk R&D obat baru, diagnostik, dan intervensi lainnya.

Kesenjangan dalam Kerangka Kebijakan Global

Meskipun GAP menyediakan peta jalan, implementasinya menghadapi tantangan serius, terutama dalam menyeimbangkan antara pembatasan dan akses. Terdapat kritik terhadap pembaruan GAP yang akan dipertimbangkan oleh Majelis Kesehatan Dunia pada Mei 2026. Kritik menunjukkan bahwa draf awal pembaruan tidak cukup fokus pada akses yang berkeadilan ke antibiotik. Hal ini merupakan kesenjangan kritis, mengingat proyeksi menunjukkan bahwa meningkatkan akses yang berkeadilan ke antibiotik yang berfungsi dapat mencegah lebih dari 50 juta kematian pada tahun 2050.

Selain itu, meskipun banyak negara telah mengembangkan Rencana Aksi Nasional (NAP) sejalan dengan GAP, kemajuan implementasi tidak merata. Sebagai contoh, di Kawasan Afrika WHO (WHO AFR), meskipun dua pertiga negara telah mengembangkan NAP dan 30 dari 47 negara telah mendirikan sistem surveilans, adopsi praktis dari panduan global masih lambat. Misalnya, dari 20 negara yang disurvei, hanya lima yang telah memasukkan klasifikasi AWaRe (Access, Watch, Reserve) WHO ke dalam daftar obat esensial nasional mereka. Kegagalan mengadopsi AWaRe menunjukkan bahwa upaya optimalisasi penggunaan antibiotik (Pilar 4 GAP) masih belum efektif dan membutuhkan pengawasan yang lebih ketat terhadap langkah-langkah kebijakan praktis, bukan hanya keberadaan dokumen NAP.

Strategi Pengawasan dan Pencegahan Infeksi (Stewardship)

Pengendalian di Sektor Kesehatan Manusia (ASP)

Di tingkat nasional, inisiatif Antimicrobial Stewardship Programme (ASP) atau Program Pengendalian Antimikroba (PGA) di rumah sakit terbukti penting. Studi nasional di Indonesia menunjukkan kemajuan yang signifikan, di mana 9 dari 10 rumah sakit dalam sampel 575 di 34 provinsi memiliki program ASP formal. Peraturan Menteri Kesehatan No. 8/2015 tentang implementasi PGA di rumah sakit bertujuan untuk meningkatkan kesembuhan pasien, mencegah resistansi, dan menurunkan angka kematian.

Keberhasilan pengendalian sangat bergantung pada perubahan perilaku klinis yang didukung oleh infrastruktur diagnostik. Sebuah studi mengenai sepsis neonatus menunjukkan bahwa penggunaan penanda biokimia cepat (seperti pemeriksaan C-Reactive Protein – CRP pada usia 36 jam) untuk memandu keputusan menghentikan antibiotik empiris dapat secara drastis meningkatkan kepatuhan tenaga medis. Kepatuhan meningkat dari 60% menjadi 97.5% setelah penanda ini diperkenalkan. Hal ini menunjukkan bahwa investasi dalam diagnostik cepat yang terjangkau dan akurat (PoC/Point-of-Care) adalah strategi stewardship yang lebih efektif daripada hanya memberikan pelatihan. 

Inovasi dan R&D Antibiotik Baru

Pilar investasi (Pilar 5 GAP) sangat vital karena AMR disebabkan oleh kegagalan pasar: investasi dalam pengembangan antibiotik baru tidak menguntungkan secara finansial, menyebabkan kekurangan obat baru. Global Antibiotic Research and Development Partnership (GARDP), yang didirikan oleh WHO dan DNDi, berfokus pada R&D dan memastikan akses terhadap pengobatan infeksi resisten.

Pada September 2024, GARDP menerima pendanaan sebesar EUR 60 juta (sekitar USD 66 juta) dari sepuluh pendana publik dan swasta. Pendanaan ini menunjukkan adanya momentum dan pengakuan terhadap model kemitraan publik-swasta yang unik ini. Namun, kebutuhan pendanaan R&D global jauh melampaui angka ini, menuntut komitmen yang lebih besar, terutama dari negara-negara G20.

Rekomendasi Kebijakan: Menuntut Akuntabilitas Global dan Investasi Tegas

Mengatasi AMR sebagai krisis yang terlupakan membutuhkan pergeseran dari komitmen verbal menjadi penegakan hukum yang tegas, investasi berkelanjutan, dan akuntabilitas lintas batas.

Penguatan Regulasi Lintas Batas dan Akuntabilitas Internasional

  1. Reformasi Penegakan Hukum Pasar Farmasi di LMICs
    Pemerintah di LMICs harus memberlakukan sanksi yang jauh lebih substansial untuk penjualan antibiotik over-the-counter (OTC) tanpa resep. Denda harus dinaikkan ke tingkat yang memberikan ancaman nyata terhadap kelangsungan bisnis apotek, dan penutupan paksa harus diterapkan setelah pelanggaran berulang. Selain itu, regulasi penjualan obat daring (e-commerce) harus diperketat untuk menutup jalur baru yang memicu akses non-resep.
  2. Harmonisasi Standar Global One Health
    Diplomasi kesehatan global harus menuntut larangan universal terhadap penggunaan Antibiotic Growth Promoter (AGP) di seluruh rantai pasok pangan. Larangan ini harus sesuai dengan standar WOAH dan diperkuat oleh insentif pasar untuk mengadopsi praktik biosekuriti 3 zona dan alternatif pakan non-antibiotik. Negara-negara harus mengubah insentif pasar agar biaya praktik pemeliharaan hewan yang buruk tidak ditransfer menjadi biaya kesehatan masyarakat.
  3. Mekanisme Akuntabilitas NAP yang Kuat
    Kemitraan Quadripartite harus mengembangkan kerangka akuntabilitas yang mewajibkan semua negara anggota melaporkan tidak hanya adanya NAP, tetapi juga kemajuan implementasi langkah-langkah praktis. Ini termasuk pelaporan rutin mengenai adopsi klasifikasi AWaRe dalam daftar obat esensial dan efektivitas Program Pengendalian Antimikroba (ASP) di fasilitas kesehatan.

 Investasi Berkelanjutan dalam Infrastruktur Pencegahan dan Inovasi

  1. Pendanaan R&D yang Berfokus pada Akses
    Model pendanaan R&D (seperti GARDP 34) harus ditingkatkan secara signifikan melalui skema pull incentives (insentif penarikan pasar) yang berkelanjutan untuk menarik investasi swasta. Pembaruan GAP WHO harus secara eksplisit mengintegrasikan pertimbangan akses ke antibiotik yang berkeadilan ke dalam strategi R&D.
  2. Penguatan Kapasitas Diagnostik
    Investasi harus diprioritaskan untuk pengembangan dan adopsi diagnostik cepat (Point-of-Care diagnostics) yang terjangkau, terutama di fasilitas kesehatan primer dan lingkungan terbatas. Penggunaan alat diagnostik untuk memandu peresepan terbukti secara empiris meningkatkan kepatuhan dan rasionalitas penggunaan antibiotik.
  3. Pengelolaan Limbah Farmasi dan Lingkungan
    Diperlukan alokasi dana khusus untuk surveilans AMR di lingkungan (air, tanah) dan pembangunan infrastruktur pengolahan air limbah, terutama di sekitar kawasan industri peternakan dan pabrik manufaktur farmasi. Pengawasan lingkungan AMR harus menjadi komponen wajib dalam kerangka kerja One Health nasional.

Diplomasi Kesehatan Global

AMR menuntut kesiapsiagaan kolektif, sebagaimana pelajaran yang diambil dari Pandemi COVID-19, untuk mencegah bencana AMR yang lebih besar. Indonesia, sebagai negara yang memimpin pembahasan AMR dalam side event G20, menunjukkan pentingnya diplomasi kesehatan. Ancaman AMR harus tetap menjadi item agenda utama di forum G20 dan PBB untuk memastikan komitmen politik dan pendanaan yang berkelanjutan.

Penutup: Imperatif Tindakan Kolektif

Resistensi Antimikroba adalah ancaman struktural yang dipicu oleh faktor-faktor struktural seperti kemiskinan, akses terbatas pada informasi medis, dan kegagalan implementasi regulasi, terutama di negara-negara berkembang.  AMR bukan sekadar masalah perilaku individu yang minum antibiotik tanpa resep, melainkan masalah kebijakan dan penegakan hukum.

Kegagalan untuk secara kolektif dan tegas membatasi penggunaan antibiotik yang tidak rasional pada manusia dan hewan, khususnya di negara-negara dengan pengawasan yang longgar, secara langsung berkontribusi pada proyeksi 1.91 juta kematian langsung AMR per tahun pada 2050. Mengatasi krisis kesehatan internasional yang terlupakan ini membutuhkan partisipasi multipihak melalui pendekatan One Health yang ketat —digerakkan oleh penegakan hukum yang radikal di sektor regulasi, didukung oleh investasi inovatif dalam R&D dan diagnostik, serta ditopang oleh mekanisme akuntabilitas global yang transparan. Tindakan harus segera dan berkeadilan. Kegagalan di satu sektor atau satu negara adalah ancaman bagi kesehatan dan stabilitas ekonomi global.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

70 + = 80
Powered by MathCaptcha