Akuntabilitas Perusahaan Multinasional (MNC) dalam rantai pasokan global kini berada di titik persimpangan kritis antara pertimbangan etika, manajemen risiko, dan persyaratan regulasi yang semakin ketat. Selama beberapa dekade, manajemen rantai pasokan (SCM) utamanya berfokus pada volume, profitabilitas, dan efisiensi biaya, yang didorong oleh kebutuhan untuk memenangi persaingan pasar dengan menyediakan barang atau jasa yang murah, berkualitas, tepat waktu, dan variatif. Namun, fokus tunggal pada efisiensi ini telah menciptakan kerentanan etika yang signifikan, terutama di Negara Berkembang yang menjadi pusat manufaktur global.
Definisi Kontekstual: Rantai Pasokan Global, Negara Berkembang, dan Kewajiban HAM Korporasi
Manajemen Rantai Pasokan modern mencakup serangkaian tahapan yang kompleks, dari proses Make (manufaktur, penyusunan jadwal produksi, uji coba, pengemasan) hingga Deliver (memenuhi pesanan, mengelola gudang, memilih distributor, mengatur sistem pembayaran). Pendekatan SCM tradisional berfokus pada menghilangkan segala bentuk pemborosan, termasuk inventaris berlebih dan proses yang tidak efisien, dengan tujuan utama menciptakan rantai pasokan yang efisien dan hemat biaya.
Namun, tekanan untuk menghasilkan barang yang murah secara inheren meningkatkan risiko eksploitasi tenaga kerja di negara-negara berkembang. Untuk memitigasi risiko sistemik ini, SCM harus bergeser dari sekadar efisiensi menuju integrasi penuh tanggung jawab sosial dan lingkungan. Tren terbaru menunjukkan bahwa manajemen rantai pasokan yang efektif harus mencakup SCM Hijau, yang berfokus pada meminimalkan dampak lingkungan dan menggalakkan tanggung jawab sosial. Pengimbangan antara fokus biaya dan SCM hijau merupakan hasil langsung dari meningkatnya tekanan risiko reputasi dan regulasi global yang menempatkan etika sebagai variabel biaya tetap.
Kewajiban etika korporasi ini berakar kuat pada kerangka hukum internasional. Prinsip-prinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja, sebagaimana diatur oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), termasuk kebebasan berserikat dan penghormatan atas hak-hak dasar. Pemerintah Indonesia, misalnya, sebagai representasi Negara Berkembang, secara aktif mendukung dimasukkannya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) ke dalam kerangka kerja prinsip-prinsip dan hak-hak dasar ILO. Dukungan ini didasarkan pada pengakuan bahwa K3 adalah bagian integral dari Hak Asasi Manusia (HAM), yang harus dilindungi sebagaimana dinyatakan dalam Universal Declaration on Human Rights—bahwa setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kondisi kerja yang baik
Imperatif GCG (Good Corporate Governance) dan Integritas
Kunci untuk memastikan akuntabilitas MNC adalah melalui implementasi tata kelola yang kuat. Etika dan integritas bukan sekadar slogan, melainkan sistem nilai yang harus menjiwai setiap keputusan bisnis. Perusahaan yang gagal mempertahankan integritas berisiko kehilangan kepercayaan publik dan menghadapi risiko reputasi serta hukum di tingkat internasional.
Good Corporate Governance (GCG) menyediakan landasan institusional untuk integritas korporasi, berdasarkan lima prinsip utama: Transparansi, Akuntabilitas, Tanggung Jawab, Independensi, dan Keadilan (TARIF). Dalam konteks rantai pasokan, prinsip Akuntabilitas dan Transparansi sangat krusial. Transparansi menuntut adanya keterbukaan informasi, termasuk laporan keuangan dan laporan keberlanjutan yang jujur mengenai kondisi kerja pemasok. MNC seperti Unilever dan Nestlé yang menjaga keterbukaan dalam laporan tahunan cenderung membangun kepercayaan investor yang tinggi. Sebaliknya, kegagalan dalam pengungkapan ini—misalnya, menyembunyikan keterlibatan dalam kerja paksa atau upah rendah—tidak hanya melanggar GCG tetapi juga secara langsung memicu sanksi yang diatur oleh regulasi Due Diligence yang akan dibahas lebih lanjut.
Pada akhirnya, etika bisnis menuntut perusahaan untuk tidak hanya mengejar keuntungan, tetapi juga menjaga kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Mengelola bisnis dengan mempertimbangkan nilai-nilai moral adalah penting untuk menjaga keseimbangan antara profitabilitas dan dampak yang dihasilkan terhadap masyarakat dan lingkungan. Profitabilitas jangka pendek yang dicapai dengan mengorbankan etika (misalnya, melalui penekanan upah yang tidak adil) berisiko mengorbankan kelangsungan bisnis jangka panjang karena meningkatnya risiko hukum dan reputasi. Oleh karena itu, integritas harus dipandang sebagai prasyarat bagi kesuksesan jangka panjang, bukan sebagai hambatan.
Isu Ketenagakerjaan Inti: Kerja Paksa dan Upah Adil
Isu kerja paksa dan upah adil mewakili tantangan HAM korporasi paling mendesak di rantai pasokan global, terutama di negara berkembang. Pengalaman menunjukkan bahwa insiden eksploitasi ini sering kali terkonsentrasi di segmen rantai pasokan yang paling kurang terlihat.
Isu Kerja Paksa: Definisi, Deteksi, dan Penegakan Hukum
Kerja paksa didefinisikan secara fundamental dalam Konvensi ILO No. 29 (1930). Inti dari pelanggaran ini adalah penggunaan tenaga kerja di bawah ancaman hukuman atau tanpa persetujuan bebas dari pekerja.
Data audit rantai pasokan menunjukkan bahwa kerja paksa dan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya bagi pekerja migran, merupakan masalah yang semakin mengkhawatirkan di Asia Tenggara. Wilayah ini, yang menaungi negara-negara produsen tekstil dan elektronik seperti Bangladesh, India, Kamboja, dan Vietnam, menunjukkan risiko tinggi dalam rantai pasokan global. Bahkan negara-negara yang biasanya dianggap berisiko lebih rendah menunjukkan penurunan skor pada metrik seperti pekerja anak, transparansi, dan jam kerja pada tahun 2023.
Kekhawatiran yang intensif ditekankan pada pekerja migran. Di Malaysia, misalnya, laporan menunjukkan masalah serius dalam penahanan dan perlindungan hak-hak mereka. Pemerintah Malaysia telah menolak akses UNHCR (Badan Pengungsi PBB) ke pusat-pusat penahanan imigrasi sejak 2019. Terdapat pula laporan mengenai petugas yang memukul dan membentak tahanan karena meminta bertemu UNHCR, bahkan menghancurkan kartu pengungsi UNHCR. Selain itu, laporan HAM mencatat kematian di sel polisi dan pusat penahanan imigrasi. Kondisi ini menggarisbawahi bagaimana pekerja migran di negara berkembang menjadi kelompok yang sangat rentan terhadap pelanggaran HAM berat yang terhubung ke rantai pasokan.
Implikasi US UFLPA (Uyghur Forced Labor Prevention Act): Pergeseran Paradigma Hukum
Tindakan hukum yang paling signifikan yang mengubah dinamika akuntabilitas adalah Uyghur Forced Labor Prevention Act (UFLPA) di Amerika Serikat. Diberlakukan pada Desember 2021 dan mulai ditegakkan pada Juni 2022, UFLPA menetapkan presumsi tertolak (rebuttable presumption).
Presumsi ini menyatakan bahwa barang yang ditambang, diproduksi, atau dibuat seluruhnya atau sebagian di Wilayah Otonomi Xinjiang Uyghur (XUAR) Tiongkok, atau oleh entitas yang terdaftar dalam Daftar Entitas UFLPA, dianggap dibuat dengan kerja paksa dan dilarang untuk diimpor ke AS.
Dampak regulasi ini mengubah beban pembuktian secara radikal. MNC kini tidak lagi dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah. Sebaliknya, mereka harus secara aktif membuktikan bahwa barang dari wilayah berisiko tinggi tidak dibuat dengan kerja paksa. Kewajiban ini menuntut due diligence dan deep-tier traceability yang ekstrim. Kegagalan dalam membuktikan kepatuhan telah menyebabkan U.S. Customs and Border Protection (CBP) menolak ribuan pengiriman, termasuk dari sektor elektronik, garmen, alas kaki, farmasi, industri, dan otomotif, yang bernilai ratusan juta dolar AS. UFLPA memaksa perusahaan untuk melacak rantai pasokan mereka guna mengidentifikasi potensi koneksi ke kerja paksa.
Upah Adil (Living Wage) sebagai Prioritas Etika Bisnis
Di samping kerja paksa, masalah upah rendah merupakan manifestasi paling umum dari eksploitasi di rantai pasokan. ILO mempromosikan konsep Upah Layak (Living Wage), yang melampaui upah minimum yang sah secara hukum. Upah layak harus mencerminkan kemampuan pekerja untuk mencapai taraf hidup yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan, dan keluarganya.
MNC diwajibkan untuk memahami konsep upah layak dan menyadari potensi adanya upah rendah dalam rantai pasok mereka. Langkah awal yang penting adalah melakukan pengukuran kesenjangan upah, membandingkan upah yang dibayarkan oleh kontraktor atau mitra dengan perkiraan upah layak yang kredibel yang dikembangkan oleh organisasi pekerja lokal.
Kesenjangan upah layak sering kali merupakan konsekuensi langsung dari praktik pembelian yang tidak bertanggung jawab dari MNC. Dalam ekonomi yang didorong oleh SCM yang bertujuan untuk barang dan jasa yang murah, terdapat konflik sistemik dengan pencapaian upah layak. Jika MNC menekan harga secara agresif, hal ini secara langsung mendorong pemasok di negara berkembang untuk mengkompensasi margin yang hilang dengan menekan upah pekerja. Untuk mengatasi hal ini, komitmen MNC terhadap upah layak harus didukung oleh kebijakan yang disahkan oleh pimpinan senior dan mencakup praktik pembelian yang bertanggung jawab. Ini berarti harga yang dibayarkan kepada pemasok harus memungkinkan mereka membayar upah layak kepada pekerja.
Revolusi Regulasi: Mandatory Human Rights Due Diligence (HRDD)
Meningkatnya risiko kerja paksa dan pelanggaran HAM, ditambah dengan inefisiensi tata kelola sukarela, telah mendorong gelombang regulasi yang mewajibkan Human Rights Due Diligence (HRDD). HRDD adalah elemen fundamental dari praktik bisnis yang bertanggung jawab, yang bertujuan untuk melindungi pekerja dan komunitas, memperkuat rantai pasokan, dan mengelola risiko kepatuhan.
Prinsip Dasar HRDD: Identifikasi Risiko, Pencegahan, dan Pemulihan
Prinsip inti HRDD adalah fokus pada identifikasi risiko terhadap pemegang hak (rightsholders), yaitu pekerja dan komunitas, bukan semata-mata risiko material terhadap bisnis itu sendiri. Proses ini mencakup:
- Membangun dan memelihara prosedur pengaduan dan notifikasi.
- Memantau efektivitas langkah-langkah due diligence.
- Berkomunikasi secara publik mengenai due diligence sesuai dengan standar pelaporan keberlanjutan.
Analisis Mendalam EU Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD)
Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD) Uni Eropa (UE) diposisikan sebagai pengubah permainan global yang utama. Directive ini mewajibkan perusahaan yang berada dalam lingkupnya untuk mengidentifikasi dan menangani dampak buruk hak asasi manusia dan lingkungan dari tindakan mereka, baik di dalam maupun di luar Eropa. CSDDD memiliki dampak ekstrateritorial, artinya perusahaan non-UE dengan ambang batas omset tertentu (termasuk yang memiliki anak perusahaan di UE) juga terikat oleh kewajiban kepatuhan ini.
CSDDD menetapkan persyaratan komprehensif untuk due diligence rantai nilai. Ini mencakup tidak hanya rantai nilai hulu (upstream) tetapi juga sebagian rantai nilai hilir (downstream).17 Sebagai upaya terakhir, perusahaan yang mengidentifikasi dampak buruk pada lingkungan atau HAM oleh mitra bisnisnya, dan dampak tersebut tidak dapat dicegah atau diakhiri, diwajibkan untuk mengakhiri hubungan bisnis tersebut. Selain itu, CSDDD mewajibkan perusahaan besar untuk mengadopsi rencana transisi mitigasi perubahan iklim.
Sanksi dan Penegakan Hukum
Aspek CSDDD yang paling transformatif adalah mekanismenya yang mengikat secara hukum dan agresif. Negara-negara anggota UE harus menetapkan aturan denda yang efektif, proporsional, dan dissuasif. Sanksi finansial maksimum yang dikenakan terhadap perusahaan yang melanggar CSDDD adalah setidaknya 5% dari omzet bersih global perusahaan di tahun keuangan sebelumnya.
Sanksi finansial sebesar 5% dari omzet global merupakan risiko material yang sangat signifikan dan memaksa MNC untuk memprioritaskan kepatuhan HRDD di atas biaya operasional jangka pendek. Selain denda ini, CSDDD juga mencakup beberapa langkah perintah dan membuka jalan bagi tanggung jawab perdata (civil liability). CSDDD, bersama dengan regulasi lain seperti Uyghur Forced Labor Prevention Act (UFLPA) di AS dan Canada’s Fighting Against Forced Labor and Child Labor in Supply Chains Act (S-211), menandai pergeseran global yang tegas menuju due diligence wajib.
CSDDD dipandang bukan hanya sebagai undang-undang UE, tetapi sebagai standar global baru mengenai due diligence lingkungan dan hak asasi manusia wajib. Hal ini mendorong perusahaan non-UE, termasuk pemasok di Negara Berkembang, untuk secara sistematis menyesuaikan standar operasional mereka secara global demi mematuhi persyaratan UE.
Perbandingan Kerangka Hukum Utama Akuntabilitas Rantai Pasokan
Ketiga kerangka hukum utama ini menciptakan matriks risiko yang kompleks bagi MNC yang beroperasi secara global.
Perbandingan Kerangka Hukum Utama Akuntabilitas Rantai Pasokan
| Kerangka Hukum | Fokus Utama | Mekanisme Penegakan | Dampak pada MNC |
| EU CSDDD | Hak Asasi Manusia & Dampak Lingkungan | Sanksi Finansial (hingga 5% omzet global), Tanggung Jawab Perdata | Wajib HRDD untuk rantai nilai hulu dan hilir; penalti tinggi, mendorong perubahan sistematis |
| US UFLPA | Kerja Paksa (Forced Labor) di XUAR | Presumsi Tertolak (Rebuttable Presumption), Larangan Impor | Beban pembuktian terbalik; ketertelusuran mendalam di wilayah tertentu wajib |
| ILO Conventions (e.g., C29, C187) | Prinsip Dasar Kerja (K3, Serikat, Diskriminasi, Kerja Paksa) | Pengawasan berbasis ratifikasi Konvensi, Mekanisme Pengaduan | Menyediakan kerangka etika fundamental; panduan untuk Kode Etik Perusahaan |
Tantangan Kepatuhan HRDD di Negara Berkembang
Di Indonesia, meskipun ada instrumen kebijakan yang bersifat promotive dan beririsan dengan HRDD—seperti Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan mengenai Sertifikasi HAM Perikanan atau Peraturan OJK tentang Pelaksanaan Keuangan Berkelanjutan yang mewajibkan Laporan Keberlanjutan —belum ada undang-undang nasional yang secara spesifik dan eksplisit mengatur ketentuan mengenai Mandatory Human Rights Due Diligence.
Namun, MNC lokal dan pemasok di Indonesia tidak terbebas dari persyaratan ini. Perusahaan Indonesia, terutama yang memiliki kerja sama dan kemitraan dagang dengan Uni Eropa, terikat oleh kewajiban untuk melaksanakan human rights due diligence guna memenuhi Directive UE. Ketidaksesuaian antara regulasi internasional yang wajib dan kerangka hukum domestik yang masih bersifat promosi menciptakan ketegangan, menempatkan pemasok negara berkembang pada risiko ketidakpatuhan secara tidak langsung melalui perjanjian komersial dengan MNC pembeli.
Evaluasi Kritik Sistem Sertifikasi dan Manufaktur yang Bertanggung Jawab
Dalam menghadapi tuntutan HRDD wajib, sistem pengawasan etika MNC harus dievaluasi ulang secara kritis. Selama bertahun-tahun, MNC sangat bergantung pada audit sosial pihak ketiga dan standar sertifikasi sukarela untuk mengelola risiko reputasi mereka.
Sertifikasi Pihak Ketiga: Reputasi vs. Realitas Kepatuhan
Standar sertifikasi seperti Social Accountability 8000 (SA8000) dan Fair Trade mewakili bentuk tata kelola swasta (private governance) untuk kondisi kerja, diinisiasi oleh perusahaan, serikat pekerja, dan kelompok aktivis. SA8000, yang disebut oleh beberapa pendukungnya sebagai “standar emas” industri, mengukur kinerja sosial di delapan bidang utama, termasuk kerja paksa/anak, jam kerja, upah, dan hak berorganisasi.
Kritik Kunci: Audit Fatigue dan Kepatuhan Simbolis
Terdapat perdebatan yang intens mengenai apakah kode-kode ini mewakili pendekatan yang substantif atau hanya simbolis terhadap tata kelola kondisi kerja.24 Bukti empiris yang ekstensif selama dua puluh tahun terakhir menunjukkan bahwa audit sosial secara konsisten gagal mendeteksi, melaporkan, dan memberikan pemulihan yang memadai untuk pelanggaran berat. Fenomena ini memperkuat pandangan bahwa skema audit sosial—dan inisiatif Corporate Social Responsibility (CSR) yang lebih luas—terutama peduli untuk melindungi reputasi merek global, bukan melindungi pekerja.
Ketidakpercayaan terhadap sistem ini diperparah oleh fenomena Audit Fatigue (Kelelahan Audit). Kelelahan audit adalah realitas bagi industri manufaktur, yang ditandai dengan peningkatan eksponensial dalam aktivitas audit. Peningkatan frekuensi audit ini dapat mengurangi objektivitas dan transparansi hasil audit. Jika kelelahan audit memengaruhi hasil, hal itu dapat berkontribusi pada misrepresentasi dan klaim keberlanjutan yang menyesatkan (misleading sustainability claims) oleh organisasi. Singkatnya, audit sosial tradisional seringkali terperangkap dalam kepatuhan daftar periksa (tick-box compliance), yang tidak memadai untuk memenuhi persyaratan pencegahan dan pemulihan yang diamanatkan oleh kerangka HRDD wajib seperti CSDDD.
Praktik Manufaktur yang Bertanggung Jawab (Responsible Manufacturing Practices – RMP)
Manufaktur yang bertanggung jawab harus melampaui audit dasar dan berintegrasi dengan prinsip Supply Chain Management Hijau. Ini mencakup upaya untuk menghilangkan segala bentuk pemborosan operasional, termasuk inventaris berlebih atau transportasi yang tidak perlu. Selain itu, praktik ini harus fokus pada meminimalkan dampak lingkungan, seperti mengurangi emisi karbon, terutama di tengah volatilitas harga dan tekanan krisis global.
Sistem MNC harus memastikan bahwa aktivitas make (produksi) dan deliver (distribusi) tidak hanya efisien tetapi juga berkelanjutan. Dengan persyaratan hukum yang sekarang menuntut pendekatan pencegahan, MNC harus memahami bahwa sertifikasi pihak ketiga sukarela yang rentan terhadap audit fatigue tidak lagi dapat dianggap sebagai mitigasi risiko kepatuhan yang memadai terhadap regulasi seperti CSDDD dan UFLPA. Diperlukan model pengawasan yang mengikat dan berpusat pada pekerja.
Model Pengawasan yang Mengikat (Legally Binding): Kasus International Accord
Model yang berhasil mengatasi kelemahan audit sukarela adalah perjanjian yang mengikat secara hukum antara merek dan serikat pekerja. International Accord for Health and Safety in the Textile and Garment Industry (evolusi dari Bangladesh Accord pasca-tragedi Rana Plaza tahun 2013) berfungsi sebagai cetak biru untuk akuntabilitas proaktif.
International Accord adalah perjanjian yang mengikat secara hukum mengenai keselamatan kebakaran dan bangunan antara merek, serikat garmen Asia Selatan, dan federasi perdagangan global.
Kelebihan Model Pengawasan yang Mengikat:
- Komitmen Hukum dan Finansial: Merek yang menandatangani perjanjian ini berkomitmen untuk memastikan pabrik pemasok mereka aman dan membantu mendanai perbaikan yang diperlukan. Di Bangladesh, lebih dari 130.000 perbaikan telah dilakukan di lebih dari 1.600 pabrik, membuat dua juta pekerja lebih aman.
- Tata Kelola Bersama: Model ini diatur oleh komite pengarah yang setara antara perwakilan merek dan serikat pekerja.
- Mekanisme Berpusat pada Pekerja: Perjanjian ini menyediakan akses pekerja ke mekanisme pengaduan rahasia (dengan perlindungan dari pembalasan), pelatihan K3, pembentukan komite K3, dan hak bagi pekerja untuk menolak pekerjaan berbahaya. Serikat pekerja memandang perjanjian yang mengikat secara hukum seperti International Accord sebagai cara terbaik untuk menjaga pekerja dalam rantai pasokan garmen.
MNC harus mengakui bahwa model International Accord, yang kini diperluas ke Pakistan (Pakistan Textile and Apparel Health and Safety Accord), adalah strategi paling efektif untuk mitigasi risiko HAM spesifik. Model ini mengatasi kritik audit fatigue dengan memindahkan fokus dari audit kepatuhan sesaat ke kewajiban hukum jangka panjang dan pengawasan yang diberdayakan pekerja.
Analisis Kritis Model Sertifikasi Pihak Ketiga dan Audit Sosial
Pendekatan strategis MNC harus membandingkan efektivitas berbagai model pengawasan dalam konteks HRDD wajib.
Analisis Kritis Model Sertifikasi Pihak Ketiga dan Audit Sosial
| Model Pengawasan | Keuntungan (Fokus Reputasi) | Kelemahan Kritis (Risiko Etika/Operasional) | Implikasi bagi Akuntabilitas MNC Pasca-CSDDD |
| Audit Pihak Ketiga (SA8000, CSR Code) 24 | Peningkatan citra; Memenuhi persyaratan minimum pembeli (Tingkat 1) | Audit Fatigue; Tick-box compliance; Gagal mendeteksi pelanggaran berat di tingkat dalam | Tidak memadai untuk memenuhi persyaratan HRDD wajib; Risiko tinggi sanksi CSDDD. |
| Keterlibatan NGO/Serikat Lokal 30 | Mekanisme pengaduan yang dipercaya; Advokasi upah dan hak 31 | Memerlukan kolaborasi dan komitmen jangka panjang; Sering diabaikan oleh merek. | Esensial untuk Pemulihan (Remediation) dan kepatuhan yang berpusat pada pekerja. |
| International Accord (Mengikat Hukum) 29 | Hasil perbaikan K3 nyata; Partisipasi serikat kerja; Akuntabilitas merek yang mengikat. | Fokus terbatas pada sektor/geografis tertentu; Memerlukan investasi finansial signifikan. | Model ideal untuk mitigasi risiko HAM spesifik; Harus direplikasi di sektor risiko tinggi lainnya. |
Mengatasi Tantangan Operasional di Negara Berkembang
Penerapan HRDD wajib sangat dipersulit oleh tantangan operasional yang melekat pada rantai pasokan global yang beroperasi di negara berkembang.
Hambatan Ketertelusuran Rantai Pasok Tingkat Dalam (Deep-Tier Visibility)
Rantai pasokan global dicirikan oleh kompleksitas dan ketergantungan yang tinggi pada pemasok.32 Namun, permasalahan kepatuhan yang paling sulit ditemukan pada tingkatan terendah dalam rantai pasokan, atau deep-tier.
Pekerja deep-tier seringkali melibatkan pekerja rumahan (homeworkers), yang memproduksi barang atau jasa di fasilitas di luar lokasi perusahaan, termasuk di rumah mereka sendiri atau bengkel kecil, dan dibayar per satuan.33 Kelompok ini seringkali “tidak terlihat” oleh mata konsumen, merek global, dan bahkan pengawas ketenagakerjaan.33 Kurangnya visibilitas ini membuat mereka sangat rentan terhadap eksploitasi, termasuk upah di bawah standar dan jam kerja yang tidak diatur.
Meskipun UFLPA dan CSDDD menuntut ketertelusuran hingga ke sumber bahan baku (Tier 3 dan Tier 4), fragmentasi pemasok dan kontrak tidak langsung di negara berkembang menciptakan kesenjangan implementasi yang kritis. Pembeli (MNC) menghadapi tantangan besar dalam menangani keluhan di tingkat rantai pasok yang lebih rendah karena tidak adanya perjanjian langsung dengan pemasok tersebut.
Solusi Teknologi: Peran Blockchain dan IoT dalam Meningkatkan Transparansi
Untuk mengatasi tantangan deep-tier visibility, diperlukan adopsi teknologi SCM digital, yang menggunakan kecerdasan buatan (AI), machine learning (ML), Internet of Things (IoT), dan analitik tingkat lanjut.
Integrasi Blockchain dan IoT menawarkan solusi transformatif untuk ketertelusuran. IoT, yang terdiri dari jaringan perangkat fisik seperti sensor, adalah komponen fundamental untuk pelacakan dan komputasi pervasif di rantai pasokan. Blockchain berperan sebagai sistem penyimpanan data yang aman dan tidak dapat diubah untuk mentransfer data IoT.
Fungsi kunci dari kombinasi teknologi ini adalah Transparansi dan Auditabilitas. Blockchain mencatat dan memverifikasi setiap transaksi atau interaksi antar perangkat IoT, sehingga memfasilitasi pelacakan asal-usul data dan produk. Selain itu, smart contracts (kontrak pintar) dalam Blockchain dapat mengotomatisasi proses logistik dan manajemen rantai pasokan, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi biaya operasional. Penerapan teknologi ini sangat penting untuk memberikan bukti kepatuhan yang kuat, terutama dalam memenuhi persyaratan rebuttable presumption UFLPA
Peran Kemitraan Lokal: NGO, Serikat Pekerja, dan Pemerintah
Akuntabilitas yang efektif tidak dapat dicapai hanya melalui audit jarak jauh atau teknologi; ini membutuhkan kolaborasi mendalam dengan pemangku kepentingan di tingkat lokal.
Keterlibatan Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) dan Serikat Pekerja
NGO dan serikat pekerja memainkan peran penting dalam pemantauan kepatuhan. Mereka memberikan dukungan pengawasan, memfasilitasi pembentukan serikat pekerja, dan bertindak sebagai advokat untuk kesetaraan upah dan hak-hak pekerja, termasuk melalui kampanye kesadaran. Mereka juga sering menjadi satu-satunya jaringan tepercaya bagi kelompok rentan, seperti pekerja migran.
MNC perlu menciptakan lingkungan yang transparan dan bertanggung jawab. Hal ini termasuk bekerja sama dengan jaringan lokal dan NGO terpercaya untuk memastikan pekerja migran dan deep-tier memiliki akses terhadap pemulihan yang efektif, karena mereka mungkin tidak mengetahui, tidak mempercayai, atau kesulitan mengakses mekanisme pengaduan pembeli secara langsung.
Peran Pemerintah Negara Berkembang
Pemerintah negara berkembang harus fokus pada penguatan penegakan hukum dan mendukung program pekerjaan layak nasional. Pemerintah Indonesia, misalnya, mengimplementasikan Decent Work Country Programme (DWCP) yang berlaku hingga 2025.36 Tantangan utama seiring pergeseran jenis pekerjaan adalah mempersiapkan pekerja agar sesuai dengan kebutuhan masa depan, baik melalui sistem pendidikan konvensional maupun pelatihan kerja, berfokus pada keterampilan seperti pemikiran analitis, pemecahan masalah kompleks, dan penggunaan teknologi. Akuntabilitas MNC akan jauh lebih mudah diwujudkan jika pemerintah mitra telah membangun kerangka hukum ketenagakerjaan dan K3 yang kuat.
Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis (Lima Pilar Akuntabilitas Proaktif)
Lanskap etika rantai pasokan telah mengalami transformasi mendasar. Akuntabilitas MNC di Negara Berkembang tidak lagi diatur oleh standar sukarela Corporate Social Responsibility (CSR) dan audit tick-box yang terbukti rentan terhadap kegagalan dan audit fatigue. Sebaliknya, akuntabilitas kini diamanatkan secara hukum melalui kerangka kerja seperti EU Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD) dan US Uyghur Forced Labor Prevention Act (UFLPA), yang memberlakukan sanksi finansial yang substansial (hingga 5% dari omzet global) dan menuntut ketertelusuran mendalam.
Berdasarkan analisis ancaman hukum dan kelemahan operasional di Negara Berkembang, berikut adalah lima pilar strategis untuk mencapai akuntabilitas MNC yang proaktif.
Rekomendasi Strategis (Lima Pilar Akuntabilitas Proaktif)
Integrasi HRDD Wajib ke dalam Tata Kelola Korporasi
MNC harus mengakui HRDD sebagai fungsi manajemen risiko inti, bukan sekadar tugas kepatuhan. Hal ini memerlukan adopsi penuh prinsip GCG—terutama Akuntabilitas, Tanggung Jawab, dan Transparansi. MNC harus memastikan semua entitas, termasuk anak perusahaan non-UE, mematuhi standar HRDD untuk memitigasi risiko denda CSDDD. Due diligence yang efektif harus fokus pada pencegahan dan identifikasi risiko terhadap pemegang hak.
Membangun Mekanisme Kepatuhan yang Berpusat pada Pekerja (Worker-Centric)
Sistem pengawasan harus bergeser dari audit pihak ketiga yang rentan kegagalan, menuju mekanisme yang memberdayakan pekerja. MNC harus berinvestasi dalam mekanisme pengaduan yang rahasia, kredibel, dan dapat diakses oleh pekerja deep-tier, termasuk pekerja migran dan pekerja rumahan. Selain itu, MNC harus mendukung kebebasan berserikat dan tawar-menawar kolektif , serta mereplikasi unsur-unsur International Accord—seperti tata kelola bersama dan hak pekerja untuk menolak pekerjaan berbahaya —dalam kontrak pembelian mereka untuk sektor risiko tinggi.
Memanfaatkan Teknologi untuk Ketertelusuran dan Pengurangan Risiko
Kompleksitas deep-tier di Negara Berkembang menuntut solusi teknologi yang canggih. MNC harus mengadopsi teknologi Blockchain dan IoT untuk menciptakan visibilitas end-to-end yang aman dan tidak dapat diubah. Teknologi ini harus secara khusus ditargetkan pada rantai pasok yang paling berisiko tinggi (misalnya, bahan baku di wilayah yang dicurigai kerja paksa seperti yang diatur oleh UFLPA) untuk menyediakan bukti yang kuat (auditability) guna menolak presumsi kerja paksa.
Advokasi Upah Layak dan Praktik Pembelian yang Etis
Komitmen terhadap upah layak (living wage) harus menjadi prioritas kebijakan. MNC harus melakukan analisis kesenjangan upah yang terukur dan, yang terpenting, menyesuaikan praktik pembelian mereka. Harga kontrak dan volume pesanan harus dirancang sedemikian rupa sehingga pemasok mampu membayar upah layak, mencegah mereka menekan upah pekerja untuk mengkompensasi margin yang sempit, yang merupakan konflik sistemik dalam SCM murah.1 Praktik pembelian yang bertanggung jawab ini harus didukung oleh pimpinan senior.
Kemitraan Strategis dengan Pemangku Kepentingan Lokal
Untuk mengatasi tantangan penegakan hukum di tingkat lokal, MNC harus menjalin kemitraan strategis dengan NGO dan organisasi masyarakat sipil di Negara Berkembang.31 Kemitraan ini membantu mengisi kesenjangan pengawasan ketenagakerjaan dan memastikan akses pekerja terhadap pemulihan. Kolaborasi juga harus dilakukan dengan pemerintah mitra untuk mendukung program pekerjaan layak nasional 36 dan meningkatkan kapasitas penegakan hukum ketenagakerjaan.
Outlook: Masa Depan Etika Rantai Pasokan Global
Masa depan etika rantai pasokan global bersifat mandatory (wajib), worker-centric (berpusat pada pekerja), dan technologically-driven (digerakkan oleh teknologi). Perusahaan yang terus mengandalkan model kepatuhan yang usang menghadapi risiko finansial yang tidak dapat diterima dan kehilangan reputasi global yang cepat. Keputusan untuk mengintegrasikan etika secara proaktif sebagai investasi dalam kelangsungan bisnis, daripada biaya operasional yang harus diminimalkan, adalah faktor penentu utama keberhasilan MNC di era due diligence wajib ini.
