Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Indonesia merupakan pilar fundamental dalam upaya negara mencapai Universal Health Coverage (UHC). Sejak diluncurkan, JKN telah menunjukkan kemajuan yang signifikan, melampaui tujuannya dengan memperluas cakupan hingga mencapai lebih dari 95 persen populasi pada Desember 2023, melindungi lebih dari 260 juta jiwa. Fungsi JKN melampaui penyediaan layanan kesehatan; program ini bertindak sebagai instrumen strategis pembangunan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan sosial. Secara finansial, JKN berhasil mengurangi beban pengeluaran rumah tangga yang dilakukan secara langsung (out-of-pocket/OOP), menurunkannya dari 47 persen menjadi 27.5 persen dari total pengeluaran kesehatan saat ini, serta meminimalkan tingkat pengeluaran kesehatan katastrofik (Catastrophic Health Expenditure/CHE) dari 4.5 persen pada 2017 menjadi 2 persen pada 2021. Capaian ini secara langsung mengurangi risiko finansial yang dapat menjerumuskan rumah tangga ke dalam kemiskinan dan mendukung investasi dalam modal manusia Indonesia.
Meskipun demikian, sistem JKN tidak imun terhadap tekanan ekonomi makro global. Krisis ekonomi yang ditandai dengan resesi (guncangan pendapatan) dan inflasi (guncangan biaya) menghadirkan tantangan besar terhadap keberlanjutan pendanaan JKN. Tantangan-tantangan ini diperburuk oleh isu-isu struktural yang telah ada, seperti tingginya angka mortalitas maternal, tuberkulosis, dan stunting, serta masalah efisiensi dalam tata kelola dan pembelian layanan. Oleh karena itu, diperlukan analisis mendalam mengenai ketahanan fiskal JKN—kemampuannya untuk mempertahankan kualitas dan akses layanan di tengah guncangan keuangan.
Kerangka Konseptual Ketahanan Fiskal UHC
Ketahanan fiskal dalam konteks UHC didefinisikan sebagai kapasitas sistem pembiayaan kesehatan untuk menyerap dan beradaptasi terhadap guncangan ekonomi tanpa mengurangi tingkat perlindungan finansial yang ditawarkan kepada masyarakat atau menurunkan mutu layanan kesehatan yang esensial. Konsep ini melibatkan tiga komponen utama: ketersediaan sumber daya counter-cyclical (pendanaan yang stabil terlepas dari siklus ekonomi), manajemen risiko biaya yang ketat, dan mekanisme tata kelola yang adaptif serta terintegrasi.
Indonesia, melalui JKN, bergantung pada model asuransi sosial wajib (social health insurance/SHI) yang mengandalkan premi dari pekerja dan subsidi dari pemerintah untuk kelompok miskin (Penerima Bantuan Iuran/PBI). Model ini rentan terhadap “krisis ganda” ketika ekonomi melambat. Ketika resesi menekan pendapatan negara dan individu, sistem JKN menghadapi ancaman simultan di sisi pendapatan dan sisi biaya.
Analisis Guncangan Ekonomi Global terhadap Pembiayaan Kesehatan
Stabilitas pendanaan JKN sangat bergantung pada dinamika ekonomi makro. Analisis menunjukkan bahwa guncangan ekonomi global mentransmisikan dampak negatif ke JKN melalui dua jalur utama: penurunan pendapatan (resesi) dan peningkatan biaya (inflasi medis).
Guncangan Pendapatan (Revenue Shock): Resesi, Pengangguran, dan Iuran JKN
Pendanaan kesehatan nasional seringkali menunjukkan hubungan yang elastis terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) suatu negara. Beberapa studi global menemukan bahwa elastisitas pendapatan pengeluaran kesehatan berada pada atau di atas angka satu, yang mengindikasikan bahwa kesehatan diperlakukan sebagai ‘kemewahan nasional’ meskipun menjadi ‘kebutuhan individu’. Ketika PDB mengalami guncangan negatif (resesi), pendanaan kesehatan cenderung menurun secara signifikan.
Dalam konteks JKN, resesi menyebabkan peningkatan tingkat pengangguran dan penurunan pendapatan riil. Hal ini secara langsung mengikis basis iuran, terutama bagi segmen Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Pekerja Penerima Upah (PPU) di sektor informal. Penurunan kemampuan membayar iuran mengakibatkan lonjakan jumlah peserta non-aktif. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) telah menyoroti potensi iuran yang hilang dari peserta non-aktif yang mencapai puluhan triliun rupiah, yang secara fundamental mengancam keberlanjutan program dan neraca keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-K).
Selanjutnya, resesi akan meningkatkan jumlah penduduk miskin dan rentan yang harus ditanggung oleh APBN melalui skema PBI. Hal ini memaksa pemerintah untuk mengalokasikan subsidi yang lebih besar, menambah beban fiskal pada saat penerimaan pajak umum (General Tax Revenue/GTR) sedang lesu. Ini adalah kelemahan struktural utama: JKN, yang seharusnya berfungsi sebagai jaring pengaman counter-cyclical (menstabilkan rumah tangga saat krisis), justru memiliki sumber pendapatan yang pro-cyclical (jatuh saat PDB jatuh). Kerentanan finansial tertinggi terjadi persis pada saat kebutuhan akan perlindungan kesehatan mencapai puncaknya.
Guncangan Biaya (Cost Shock): Inflasi Medis dan Dominasi Sisi Penawaran
Jalur guncangan kedua adalah inflasi biaya medis (medical inflation), yang seringkali lebih tinggi dan lebih persisten daripada inflasi umum. Inflasi global menaikkan harga obat-obatan, alat kesehatan, dan teknologi medis. Tekanan ini diperburuk oleh struktur pasar layanan kesehatan domestik.
Menteri Kesehatan Indonesia mengakui bahwa harga layanan kesehatan cenderung dikendalikan oleh fasilitas kesehatan atau penyedia layanan (sisi penawaran), bukan oleh pasien atau asuransi. Dalam situasi ini, pasien cenderung menerima rekomendasi medis (obat, perawatan) tanpa memiliki posisi tawar yang kuat. Meskipun JKN menyediakan asuransi yang memperkuat posisi tawar publik, porsi pengeluaran kesehatan di Indonesia yang dibayarkan melalui asuransi masih relatif kecil, sekitar 32 persen. Posisi tawar BPJS-K sebagai pembeli tunggal (single-payer) menjadi tertekan oleh kenaikan biaya, memaksa penyesuaian tarif yang bisa memicu defisit yang lebih besar, terutama untuk penyakit katastrofik dan kronis yang memiliki biaya perawatan tinggi.
Respons terhadap guncangan biaya ini adalah upaya peninjauan dan revisi standar tarif layanan JKN (transisi dari INA-CBG ke INA-DRG). Tujuan penyesuaian ini adalah mencari titik keseimbangan antara kepuasan penyedia layanan dan pengendalian biaya, sebuah langkah krusial untuk mencegah biaya kesehatan tumbuh tak terkendali dalam dekade mendatang.
Vulnerabilitas Spesifik Jkn Indonesia Dan Risiko Keuangan Kritis
Struktur Pendanaan JKN dan Titik Kerentanan
Struktur pendanaan JKN, yang sangat bergantung pada iuran dari pekerja formal dan subsidi PBI dari APBN, menunjukkan kerentanan spesifik terhadap guncangan ekonomi. Ketika resesi terjadi, ketidakstabilan di pasar tenaga kerja secara langsung mengancam basis pendanaan JKN.
Salah satu ancaman terbesar terhadap neraca keuangan JKN adalah masalah Peserta Non-Aktif (PNA), terutama dari segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU). BPJS Kesehatan menghadapi potensi defisit yang dapat diatasi jika iuran dari peserta non-aktif ini dapat dikelola secara optimal. Kegagalan dalam mengelola kepatuhan ini tidak hanya berdampak pada neraca keuangan tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap sistem asuransi sosial nasional. Penanggulangan defisit BPJS-K menuntut perbaikan manajemen yang signifikan, paralel dengan tuntutan pemenuhan hak konstitusional rakyat terhadap kesehatan.
Hubungan Kausalitas antara Guncangan Pendapatan dan Peluang Defisit JKN
Siklus pro-siklus JKN, di mana penerimaan program jatuh bersamaan dengan PDB saat resesi, menciptakan dilema fiskal yang parah. Saat resesi, peningkatan PHK dan penurunan pendapatan riil menyebabkan penurunan kepatuhan pembayaran iuran mandiri. Secara bersamaan, penurunan PDB mengurangi penerimaan pajak umum negara, yang seharusnya menjadi sumber utama subsidi PBI. Dengan lonjakan kebutuhan PBI karena peningkatan kemiskinan dan penurunan pendapatan iuran, beban fiskal APBN meningkat secara eksponensial.
Ketergantungan pada pembiayaan berbasis iuran yang rentan terhadap siklus ekonomi mengharuskan pemerintah untuk mencari upaya struktural guna mendiversifikasi sumber pendapatan di luar premi yang volatil. Jika hal ini tidak dilakukan, risiko defisit BPJS-K dan potensi penundaan pembayaran klaim akan terus menghantui, terutama ketika sistem JKN berupaya mengejar target UHC 98% pada 2024.
Tantangan Non-Fiskal: Kualitas dan Akses Layanan di Tengah Pengetatan
Di samping masalah finansial, JKN juga menghadapi tantangan dalam mempertahankan kualitas layanan. Meskipun Indonesia telah membuat kemajuan substansial dalam cakupan, kekurangan dalam kualitas perawatan masih terlihat, diindikasikan oleh tingginya angka kematian ibu, tuberkulosis, dan stunting.
Jika pemerintah merespons tekanan fiskal akibat krisis dengan melakukan pengetatan anggaran secara ekstrem—misalnya, menekan tarif layanan secara tidak wajar atau memotong manfaat—hal ini akan merusak mutu layanan. Penurunan mutu ini pada akhirnya dapat mengurangi kepuasan peserta dan melemahkan dukungan publik terhadap JKN, meskipun cakupan kepesertaan tetap tinggi. Implementasi kebijakan UHC di tingkat lokal, seperti yang terlihat di Kabupaten Gresik, menunjukkan bahwa tantangan sumber daya manusia dan pemahaman masyarakat harus diatasi agar akuntabilitas dan konsistensi mutu layanan tetap terjaga, meskipun ada pengetatan fiskal. Akuntabilitas harus dijalankan melalui monitoring, evaluasi, dan transparansi di setiap fasilitas kesehatan.
Strategi Penguatan Sisi Biaya: Reformasi Efisiensi Dan Kontrol Inflasi Medis
Mengingat bahwa diversifikasi pendapatan adalah proses jangka panjang dan sulit, strategi paling vital untuk ketahanan jangka pendek dan menengah JKN adalah melalui penguatan efisiensi dan pengendalian biaya. Hal ini sejalan dengan dukungan Pinjaman Bank Dunia sebesar US$400 juta yang disetujui pada tahun 2021, yang ditujukan untuk memperkuat kualitas dan efisiensi pengeluaran JKN, serta mendukung reformasi kebijakan.
Penguatan Tata Kelola Keuangan dan Kelembagaan
Reformasi JKN menuntut sinergi dan koordinasi yang erat di antara pemangku kepentingan utama: Kementerian Kesehatan (MoH), BPJS-K, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dan Kementerian Keuangan (MoF). Koordinasi ini sangat penting untuk memastikan urutan reformasi yang tepat waktu dan terpadu. Pemerintah berkomitmen untuk melanjutkan reformasi melalui skema Program for Result (PforR) selama 5 tahun, yang mencakup upaya meningkatkan efisiensi manajemen klaim dan memperkuat koordinasi antarpihak. Penguatan sistem informasi kesehatan yang terintegrasi juga menjadi target penting untuk menghasilkan kebijakan JKN yang lebih terarah dan berdasarkan informasi yang akurat.
Implementasi Strategic Purchasing (Pembelian Strategis)
Penerapan Strategic Purchasing adalah salah satu instrumen utama untuk meningkatkan efisiensi pembiayaan sekaligus memastikan mutu layanan, sebuah langkah yang krusial untuk mencegah pengeluaran medis yang stagnan atau inefisien. Strategi ini melibatkan peran aktif BPJS-K dalam menentukan jenis, volume, dan harga layanan yang dibayarkan, berbeda dari peran pasif dalam sistem asuransi tradisional.
Namun, implementasi Strategic Purchasing masih menghadapi kendala substansial. Tinjauan literatur menunjukkan adanya masalah seperti sisa dana kapitasi yang tidak terserap secara optimal, tumpang tindih regulasi, dan keterbatasan efisiensi keuangan internal BPJS Kesehatan. Untuk memaksimalkan potensi strategi ini, diperlukan penyempurnaan sistem pembayaran, penguatan tata kelola, dan integrasi sistem teknologi informasi. Integrasi yang lebih baik antara teori dan praktik dalam model pembayaran kapitasi (untuk layanan primer) sangat penting untuk menciptakan sistem kesehatan yang tangguh dan responsif terhadap dinamika ekonomi.
Pengendalian Inflasi Medis Melalui Reformasi Pembayaran
Pengendalian inflasi medis memerlukan tindakan langsung terhadap sisi penawaran layanan. Pemerintah sedang berupaya merevisi pengelompokan tarif JKN dari model INA-CBG menjadi INA-DRG. Perubahan ini bertujuan untuk mencapai titik keseimbangan harga yang adil, di mana penyedia layanan (dokter dan rumah sakit) merasa dihargai, sementara BPJS Kesehatan dapat menekan biaya secara efektif, mewakili kepentingan masyarakat.
Peningkatan kontribusi finansial pemerintah melalui JKN secara inheren memperkuat posisi tawar BPJS-K, memungkinkannya untuk menegosiasikan harga layanan secara lebih efektif dengan fasilitas kesehatan. Jika pengeluaran kesehatan tidak dikendalikan, Menteri Kesehatan memperingatkan bahwa hal ini dapat menjadi masalah fiskal besar dalam 10 tahun ke depan.
Health Technology Assessment (HTA) sebagai Filter Fiskal
Health Technology Assessment (HTA) merupakan pendekatan ilmiah yang esensial dalam konteks pengetatan fiskal. HTA digunakan untuk menilai efektivitas dan efisiensi biaya suatu teknologi, metode, obat, atau alat kesehatan sebelum diadopsi dan dibayarkan melalui program JKN.
Dalam masa krisis, HTA berfungsi sebagai filter fiskal yang kritis. Dengan memprioritaskan teknologi yang memberikan value-for-money terbaik dan menolak teknologi yang mahal namun efektivitas biayanya rendah, HTA memastikan bahwa anggaran JKN yang terbatas dialokasikan secara optimal. Penerapan HTA telah menjadi bagian integral dari Transformasi Kesehatan Indonesia, yang didorong oleh kebutuhan untuk membuat keputusan yang lebih tepat dan cepat mengenai pemilihan teknologi medis, terutama dalam prioritasi penanganan penyakit kronik atau katastrofik yang membebani anggaran JKN secara signifikan. HTA mengubah fokus reformasi dari sekadar mencari tambahan pendapatan, menjadi memastikan value-for-money yang optimal, yang mana ini adalah strategi fundamental melawan inflasi kronis dalam sektor kesehatan.
Strategi Penguatan Sisi Pendapatan: Diversifikasi Sumber Dan Kajian Komparatif Global
Meskipun efisiensi biaya sangat penting, ketahanan jangka panjang JKN tidak dapat dicapai tanpa diversifikasi sumber pendapatan. Mengingat kerentanan iuran terhadap siklus ekonomi, sistem JKN perlu mengidentifikasi sumber pendanaan counter-cyclical baru.
Inovasi Pendanaan: Menuju Sumber Pendapatan Counter-Cyclical
Inovasi pendanaan yang menjanjikan adalah implementasi atau peningkatan cukai produk tidak sehat (Health Excise Taxes), seperti cukai rokok dan minuman bergula. Cukai ini menawarkan keuntungan ganda: pertama, sebagai instrumen kesehatan masyarakat untuk mengurangi konsumsi produk berbahaya, dan kedua, sebagai sumber pendapatan yang relatif stabil atau bahkan berpotensi meningkat selama periode inflasi.
Mengalokasikan pendapatan cukai ini secara khusus (earmarking) untuk pendanaan JKN dapat memberikan aliran dana counter-cyclical yang sangat dibutuhkan, mengurangi tekanan subsidi pada APBN saat terjadi resesi. Meskipun praktik earmarking sering ditentang oleh Kementerian Keuangan karena mengurangi fleksibilitas anggaran, alokasi khusus ini dapat meningkatkan transparansi mengenai manfaat peningkatan pajak dan membantu membenarkan kenaikan tarif cukai di mata publik. Selain cukai, kolaborasi lintas sektor, termasuk pemanfaatan dana Corporate Social Responsibility (CSR), juga diidentifikasi sebagai potensi untuk memperluas basis pembiayaan dan menjamin pemerataan pelayanan.
Studi Kasus Komparatif Ketahanan UHC di Tengah Krisis
Untuk memahami bagaimana negara-negara lain mempertahankan keberlanjutan pendanaan JKN di tengah krisis, analisis komparatif atas mekanisme pembiayaan global menjadi relevan.
Thailand: Stabilitas Model Berbasis Pajak
Thailand dianggap berhasil dalam mempertahankan kebijakan UHC-nya sejak tahun 2002, meskipun menghadapi periode ketidakstabilan politik dan kinerja ekonomi yang biasa-biasa saja. Keberhasilan ini terutama disebabkan oleh mekanisme pendanaan utamanya yang berbasis pada Pajak Umum (General Tax Revenue/GTR).
Faktor-faktor kunci keberhasilan Thailand meliputi:
- Komitmen Fiskal: Dukungan fiskal yang berkelanjutan dari GTR, didukung oleh komitmen politik yang kuat, memberikan stabilitas pendanaan yang lebih besar dibandingkan sistem yang bergantung pada premi.
- Efisiensi Sisi Penawaran: Thailand memiliki struktur layanan yang sistematis, dengan dominasi rumah sakit yang dikelola oleh Kementerian Kesehatan Masyarakat (62%). Dominasi ini memungkinkan kontrol biaya yang lebih ketat dan konsistensi mutu layanan nasional.
- Penguatan Layanan Primer: Thailand menekankan ketahanan sistem kesehatan melalui penguatan layanan primer dan peran signifikan relawan kesehatan desa yang terintegrasi sejak reformasi 2002. Selama krisis, seperti Pandemi COVID-19, relawan ini berperan penting dalam pelacakan kasus dan penjangkauan, memperkuat ketahanan sistem di tingkat komunitas.
Model berbasis GTR Thailand menunjukkan bahwa pembiayaan kesehatan dapat lebih counter-cyclical jika risiko pendapatan ditanggung oleh kas negara yang lebih besar, asalkan komitmen politik tetap kuat.
Turki: Krisis Ekonomi dan Peningkatan Beban Subsidi
Turki, yang mencapai UHC melalui Health Transformation Program (HTP) pada 2003, menggunakan kombinasi pajak, premi asuransi, dan pembayaran OOP. Reformasi ini sangat sukses dalam meningkatkan cakupan asuransi dari 64 persen menjadi 98 persen antara 2002 dan 2012.
Namun, studi menunjukkan bahwa krisis ekonomi baru-baru ini di Turki telah menyebabkan peningkatan signifikan dalam penggunaan skema subsidi pemerintah (Green Card) untuk masyarakat miskin. Hal ini mengilustrasikan bahwa meskipun UHC berbasis asuransi sosial meningkatkan perlindungan, guncangan ekonomi eksternal secara langsung meningkatkan beban anggaran pemerintah untuk menopang skema subsidi. Ini relevan bagi Indonesia, di mana guncangan pendapatan akan meningkatkan populasi PBI, mengalihkan risiko finansial dari individu ke kas negara, persis saat penerimaan pajak sedang menurun.
Menjembatani Kesenjangan Fiskal dan Infrastruktur
Pelajaran dari studi kasus global adalah bahwa stabilitas finansial (seperti Thailand) tidak hanya berasal dari sumber pendanaan (pajak), tetapi juga dari infrastruktur layanannya (efisiensi dan kontrol biaya di tingkat layanan primer). JKN Indonesia masih menghadapi tantangan distribusi fasilitas kesehatan dan efektivitas sistem rujukan. Oleh karena itu, reformasi pendanaan tidak boleh berjalan sendiri; harus diiringi dengan investasi yang menargetkan penguatan fasilitas pelayanan primer dan sistem rujukan yang terintegrasi untuk mencapai efisiensi total sistem.
Sintesis Temuan Dan Rekomendasi Kebijakan Strategis
Kesimpulan Analitis: JKN di Persimpangan Guncangan Ganda
Sistem JKN Indonesia telah berhasil mencapai akses UHC yang luas dan menurunkan beban finansial rumah tangga secara signifikan. Namun, program ini berada pada persimpangan kritis karena kerentanan struktural yang diperkuat oleh guncangan ekonomi global. JKN menghadapi risiko ganda: revenue shock (penurunan iuran akibat resesi dan inefisiensi kolektabilitas) dan cost shock (inflasi medis yang didorong oleh dominasi sisi penawaran). Ketahanan JKN harus dibangun melalui pendekatan kebijakan dua sisi yang terintegrasi: diversifikasi sumber pendapatan jangka panjang dan penguatan efisiensi pengeluaran jangka pendek hingga menengah.
Tabel berikut menyajikan perbandingan model pembiayaan UHC untuk mengidentifikasi pelajaran utama bagi Indonesia:
Table: Perbandingan Model Pembiayaan UHC dan Ketahanan Fiskal
| Negara (Model Utama) | Sumber Pendanaan Utama | Tingkat Ketergantungan Siklus Ekonomi | Strategi Mitigasi Krisis Utama | Relevansi/Pelajaran untuk JKN |
| Indonesia (JKN) | Premi Asuransi Sosial Wajib & Subsidi APBN | Tinggi (Pro-Siklus) | Reformasi Efisiensi (HTA, Strategic Purchasing), Pinjaman Eksternal | Perlu Diversifikasi Pendapatan dan Kontrol Biaya Sisi Penawaran. |
| Thailand (UHC) | Pajak Umum (General Tax Revenue) | Rendah (Didukung Komitmen Politik Kuat) | Desentralisasi, Penguatan Layanan Primer Berbasis Komunitas | Pentingnya Stabilitas Fiskal GTR dan Efisiensi Primer. |
| Turki (HTP) | Pajak dan Premi Wajib | Moderat (Meningkatkan Beban Subsidi Saat Krisis) | Peningkatan Transfer Keuangan ke Program Subsidi (Green Card) | Risiko Beban Fiskal Saat Resesi Melalui Skema PBI. |
Rekomendasi Kebijakan Jangka Pendek (Mitigasi Guncangan 1–2 Tahun)
Rekomendasi ini berfokus pada perbaikan cepat di sisi biaya dan manajemen klaim untuk segera mengatasi potensi defisit BPJS Kesehatan.
Peningkatan Efisiensi Operasional
- Optimalisasi Kolektabilitas Iuran Non-Aktif: BPJS-K harus mengintensifkan upaya penagihan dan restrukturisasi pembayaran bagi peserta non-aktif, khususnya PBPU, untuk mengoptimalkan potensi pendapatan yang hilang mencapai puluhan triliun rupiah. Peningkatan manajemen klaim biaya kesehatan dan penguatan koordinasi antar pihak terkait sangat mendesak.
- Akselerasi HTA dan Farmakoekonomi: HTA harus diintegrasikan sebagai langkah wajib dalam keputusan adopsi teknologi kesehatan JKN. Langkah ini bersifat fundamental untuk menahan laju inflasi medis dengan memastikan bahwa hanya teknologi yang efektif dan efisien biaya yang dibayarkan. Hal ini sejalan dengan prinsip farmakoekonomik dalam prioritasi penanganan penyakit kronik/katastrofik.
- Reformasi Mekanisme Pembayaran: Menyelesaikan transisi dan penyesuaian tarif layanan (INA-CBG ke INA-DRG) untuk memperkuat posisi tawar BPJS-K sebagai strategic purchaser. Revisi tarif ini harus transparan dan aktuaria yang kuat untuk memastikan keberlanjutan sambil menjaga kualitas layanan.
Rekomendasi Kebijakan Jangka Panjang (Membangun Ketahanan Struktural)
Rekomendasi ini berfokus pada reformasi struktural yang diperlukan untuk mengubah JKN menjadi sistem yang counter-cyclical dan tahan terhadap guncangan makroekonomi di masa depan.
Diversifikasi Pendapatan Fiskal
- Implementasi Cukai Kesehatan dengan Earmarking: Menerapkan cukai progresif pada produk tidak sehat (rokok, minuman bergula) dan secara eksplisit mengalokasikan hasilnya (earmarking) untuk dana JKN. Sumber pendapatan ini lebih stabil dan dapat berfungsi sebagai penyangga fiskal counter-cyclical saat resesi menekan iuran berbasis gaji.
- Kajian Peningkatan Kontribusi Fiskal: Mengkaji opsi peningkatan alokasi anggaran kesehatan dari Pajak Umum (GTR) untuk mengurangi ketergantungan pada iuran, terutama untuk kelompok PBI yang jumlahnya sangat besar dan bertambah saat krisis. Hal ini sejalan dengan model berbasis pajak yang lebih stabil, seperti yang diterapkan Thailand.
Peningkatan Kapasitas Tata Kelola dan Kualitas Layanan
- Penguatan Strategic Purchasing Jangka Panjang: Menyempurnakan model pembayaran kapitasi dan sistem klaim untuk mengatasi inefisiensi yang terus-menerus dan tumpang tindih regulasi. Reformasi ini harus didukung oleh penguatan sistem digital kesehatan terintegrasi.
- Investasi Infrastruktur Layanan Primer: Mengambil pelajaran dari Thailand, Indonesia harus berinvestasi lebih lanjut dalam penguatan fasilitas layanan primer (Puskesmas) dan sistem rujukan. Penguatan ini, termasuk peningkatan SDM dan digitalisasi, tidak hanya meningkatkan kualitas (mengatasi masalah seperti stunting dan TB), tetapi juga meningkatkan efisiensi total sistem dan mengendalikan biaya perawatan di tingkat rujukan yang mahal.
Ketahanan JKN di tengah krisis ekonomi global bukanlah sekadar masalah mengisi defisit keuangan, melainkan masalah desain struktural yang menuntut JKN bertransisi dari sekadar skema pembayaran klaim menjadi sistem yang proaktif mengendalikan biaya, mendiversifikasi pendapatan, dan menjamin value-for-money yang optimal bagi seluruh rakyat Indonesia.
Table: Matriks Reformasi JKN untuk Mengatasi Guncangan Ganda
| Jenis Guncangan | Kebijakan JKN | Mekanisme Kerja dalam Krisis |
| Revenue Shock (Resesi/Defisit) | Diversifikasi ke Cukai Kesehatan | Menciptakan aliran pendapatan counter-cyclical yang stabil. |
| Revenue Shock (Defisit/Inefisiensi) | Penguatan Manajemen Klaim & Peserta Non-Aktif | Mengurangi kebocoran keuangan dan meningkatkan kolektabilitas. |
| Cost Shock (Inflasi Medis) | Health Technology Assessment (HTA) | Mencegah pembelanjaan pada teknologi yang tidak efisien/mahal. |
| Cost Shock (Provider Dominance) | Revisi Tarif (INA-DRG) & Strategic Purchasing | Menguatkan posisi tawar BPJS-K untuk mengendalikan harga layanan. |
