Perkembangan manusia secara global saat ini berada pada titik kritis, menghadapi serangkaian ancaman interkoneksi yang telah menciptakan kebuntuan atau gridlock dalam capaian kesejahteraan. Laporan ini menganalisis empat sumbu tantangan utama: konflik dan perpindahan penduduk, disrupsi pasar kerja oleh otomatisasi dan Kecerdasan Buatan (AI), inefisiensi arsitektur multilateral dalam mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), dan kebutuhan mendesak untuk membangun Ketahanan Sosial.
Analisis menunjukkan bahwa ancaman interkoneksi, seperti konflik multi-dimensi dan pergeseran pekerjaan berbasis AI , tidak hanya menghancurkan infrastruktur fisik tetapi juga secara permanen mengurangi modal manusia. Ancaman ini memperburuk ketidaksetaraan dan mempersulit upaya peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (HDI).
Pada tingkat tata kelola global, arsitektur multilateral saat ini terhambat oleh inersia kelembagaan. Organisasi-organisasi internasional (IOs) sering memprioritaskan mandat yang ada di atas agenda global yang transformatif, suatu fenomena yang dikenal sebagai ‘Organizational Jiu-Jitsu’. Hal ini membatasi potensi SDGs untuk mendorong perubahan struktural yang diperlukan.
Untuk melindungi capaian pembangunan dari guncangan struktural dan episodik, laporan ini menegaskan perlunya implementasi strategi mitigasi yang berpusat pada Perlindungan Sosial Adaptif (ASP). Kerangka ASP, yang berfokus pada tiga kapasitas inti (Prepare, Cope, dan Adapt), adalah kunci untuk melindungi modal manusia, mendukung transisi tenaga kerja dari disrupsi AI, dan memastikan pemulihan yang cepat dari bencana atau krisis.
Pendahuluan: Keterbalikan dan Polarisasi Pembangunan Manusia Global
Konteks Pembangunan Manusia di Tengah Global Gridlock
Indeks Pembangunan Manusia (HDI), yang dikembangkan oleh United Nations Development Programme (UNDP), berfungsi sebagai barometer global untuk mengukur perbandingan capaian dalam harapan hidup, pendidikan (melek huruf dan tahun sekolah), dan standar hidup (dinyatakan melalui GNI per kapita). HDI adalah alat penting untuk mengklasifikasikan status pembangunan suatu negara dan mengukur efektivitas kebijakan ekonomi terhadap kualitas hidup. Meskipun demikian, HDI mengakui keterbatasannya, karena pengukuran ini menyederhanakan realitas dan tidak sepenuhnya merefleksikan dimensi krusial seperti ketidaksetaraan, kemiskinan multidimensi, atau keamanan manusia.
Kondisi global saat ini ditandai oleh periode ketidakstabilan yang digambarkan dalam Laporan Pembangunan Manusia UNDP 2023-24, Breaking the gridlock: Reimagining cooperation in a polarized world. Laporan ini menyoroti bagaimana kemajuan pembangunan menjadi tidak merata, sementara ketidaksetaraan dan polarisasi politik meningkat, menghasilkan kondisi berbahaya yang disebut sebagai “gridlock”. Kebuntuan ini secara kolektif melumpuhkan upaya global, membuat pencapaian Agenda 2030 (SDGs) dan Persetujuan Paris terasa sulit dan terhenti. Lebih lanjut, ancaman non-tradisional turut membebani perkembangan manusia, termasuk peringatan global mengenai kesehatan mental kaum muda dan proyeksi dampak perubahan iklim yang akan menyebabkan penurunan tajam hasil panen di negara-negara termiskin.
Penting untuk dicatat bahwa keterbalikan dalam kemajuan HDI bukan sekadar masalah statistik, tetapi merupakan krisis tata kelola yang mendalam. Polarisasi politik yang diakui oleh UNDP secara fundamental melumpuhkan kapasitas multilateral untuk mengoordinasikan respons terhadap guncangan bersama. Jika sistem global terpolarisasi, kebijakan yang memengaruhi komponen HDI (kesehatan, pendidikan) tidak dapat disepakati atau dilaksanakan secara efektif. Ancaman seperti konflik bersenjata dan kebijakan implementasi AI yang berbeda memperkuat polarisasi ini, menciptakan lingkungan yang tidak stabil di mana capaian HDI mudah dibalik.
Tesis: Interdependensi Empat Krisis Kunci dan Pentingnya Ketahanan
Tantangan utama yang diuraikan—konflik, otomatisasi AI, dan inersia kelembagaan—tidak berdiri sendiri. Konflik secara langsung melemahkan infrastruktur sosial dan ekonomi, sementara disrupsi AI menciptakan perpecahan ekonomi yang membuat pemulihan pasca-konflik semakin sulit bagi populasi yang rentan. Kegagalan multilateralisme untuk memberikan respons transformatif, sebagian karena resistensi internal , menjamin bahwa ancaman-ancaman ini akan terus berulang. Oleh karena itu, strategi pembangunan harus didasarkan pada ketahanan (resilience) sebagai respons fundamental untuk memutus siklus kemunduran pembangunan manusia.
Ancaman Konflik dan Degrasi Modal Manusia
Konflik Kontemporer: Sifat Multi-Vektor dari Kehancuran
Konflik bersenjata dan krisis pengungsi terus menjadi ancaman mendasar terhadap perkembangan manusia, membawa kehancuran yang luas, baik secara fisik, ekonomi, maupun sosial. Konflik modern ditandai oleh sifat multi-vektor:
- Perang Asimetris: Melibatkan aktor non-negara, seperti yang terlihat dalam konflik di Suriah dan Afghanistan, yang memperumit upaya perdamaian dan bantuan kemanusiaan.
- Perang Siber: Bentuk baru konflik yang menargetkan dan merusak infrastruktur vital negara tanpa melibatkan pertempuran fisik langsung.
- Perang Ideologi: Menggunakan propaganda untuk memecah belah masyarakat dan membentuk opini publik dari dalam.
Sifat multi-vektor ini memastikan bahwa konflik melumpuhkan masyarakat dalam berbagai tingkatan, melampaui kerugian material yang kasat mata.
Kerugian Jangka Panjang Akibat Hilangnya Modal Manusia
Dampak paling merusak dari krisis bersenjata adalah degradasi modal manusia. Generasi muda yang tumbuh di zona konflik atau kamp pengungsi menghadapi hilangnya akses ke pendidikan yang sistematis. Pembatasan ini secara langsung menghambat potensi produktif mereka dan kemampuan mereka untuk berkontribusi pada pembangunan masyarakat di masa depan, yang merupakan pukulan telak terhadap dimensi pendidikan dan standar hidup HDI selama beberapa dekade.
Selain kerugian pendidikan, perang meninggalkan luka sosial dan psikologis yang mendalam, atau apa yang dapat disebut sebagai destruksi infrastruktur sosial non-fisik. Banyak pengungsi dan korban mengalami trauma psikologis yang memerlukan waktu pemulihan yang lama dan layanan kesehatan mental yang memadai. Fakta bahwa trauma psikologis jangka panjang dapat mempengaruhi kesehatan dan harapan hidup (komponen kunci HDI) menunjukkan bahwa konflik tidak hanya merusak ekonomi, tetapi juga secara permanen mengikis modal sosial dan potensi kesehatan suatu bangsa, yang menjamin kemiskinan struktural bahkan setelah perdamaian tercapai.
Intervensi harus diubah dari sekadar bantuan darurat menjadi pembangunan kapasitas jangka panjang. Kualitas hidup, tingkat keterampilan, dan pendidikan dari angkatan kerja yang rentan sangat menentukan dampak positif atau negatif krisis dalam jangka panjang. Hal ini menggarisbawahi perlunya dukungan yang berfokus pada pemeliharaan keterampilan dan inklusi ekonomi bagi pengungsi, sejalan dengan prinsip-prinsip ketahanan adaptif.
Disrupsi Teknologi, Pekerjaan, dan Kesenjangan HDI
Perkembangan teknologi, khususnya otomatisasi dan Kecerdasan Buatan (AI), telah memicu pergeseran struktural yang dramatis dalam pasar kerja global, menciptakan ancaman baru terhadap pemerataan dan peningkatan HDI.
Pergeseran Pekerjaan dan Prediksi Bifurkasi Pasar Kerja (2025–2030)
Proyeksi global menunjukkan adanya perubahan besar dalam struktur pekerjaan. Hingga tahun 2030, diperkirakan akan terjadi pengurangan 92 juta pekerjaan, namun pada saat yang sama, akan ada penciptaan sekitar 170 juta pekerjaan baru. Perubahan ini menandakan bifurkasi pasar kerja yang signifikan.
Otomatisasi menargetkan pekerjaan rutin dan berulang. Daftar profesi yang diproyeksikan mengalami penurunan terbesar permintaannya antara 2025 hingga 2030 mencakup: Kasir dan petugas tiket (sekitar $–13$ juta pekerjaan), Asisten administrasi dan sekretaris eksekutif (sekitar $–8$ juta), Staf akuntansi, pembukuan, dan penggajian (sekitar $–4$ juta). Pekerjaan-pekerjaan ini sering kali diisi oleh tenaga kerja dengan keterampilan rendah atau menengah. Pengurangan ini secara langsung mengancam standar hidup (GNI per kapita) mereka, yang merupakan dimensi penting dari HDI. Bahkan lulusan perguruan tinggi menghadapi risiko, dengan perkiraan bahwa hingga 25% dapat terancam menganggur oleh AI.
Tabel 2 merangkum dampak signifikan dari pergeseran pekerjaan ini:
Tabel 2: Proyeksi Perubahan Pasar Kerja Global Akibat Otomatisasi (2025–2030)
| Kategori Pekerjaan (Contoh) | Proyeksi Pengurangan (Juta) | Dampak Terhadap HDI Tenaga Kerja Rendah | Implikasi Kebijakan Utama |
| Kasir dan Petugas Tiket | -13 | Risiko Penurunan Standar Hidup (GNI) | Investasi dalam Inklusi Ekonomi Digital & Pelatihan Frontline Baru |
| Asisten Administrasi/Sekretaris | -8 | Transisi ke Peran Keterampilan Lunak | Program Reskilling untuk Manajer Proyek/Analisis Data Dasar |
| Pekerja Percetakan dan Akuntansi | -8.5 | Kesenjangan Pendapatan yang Meluas | Jaring Pengaman Sosial Adaptif untuk Mendukung Transisi |
| Pekerjaan Baru (Total) | +170 | Peluang Peningkatan Pendidikan dan Mobilitas | Prioritas Pendidikan STEM dan Keterampilan Hijau (Green Skills) |
Ancaman Otomatisasi terhadap Tenaga Kerja Rendah dan Menengah
Disrupsi AI berfungsi sebagai pengganda ketidaksetaraan HDI. Penerapan AI memperlebar kesenjangan antara perusahaan besar yang mampu berinvestasi dalam teknologi canggih dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang kesulitan beradaptasi. Mengingat peran vital UKM sebagai penyerap tenaga kerja rendah. kegagalan mereka untuk beradaptasi dapat mengisolasi sebagian besar populasi pekerja yang rentan.
Selain itu, disrupsi AI menyerang dua dimensi HDI sekaligus. Kerugian pekerjaan menyebabkan penurunan GNI Pada saat yang sama, kemudahan akses data di era digital berpotensi menimbulkan “rasa malas secara intelektual”. Hal ini mengimplikasikan bahwa kualitas modal manusia yang baru lulus dapat tergerus karena ketergantungan pada kemudahan akses, merusak kemampuan kognitif yang diperlukan untuk pekerjaan baru yang lebih kompleks. Jika pekerja yang menganggur berpendidikan rendah dan sulit mendapatkan pelatihan ulang karena hambatan struktural, kesenjangan pendapatan akan membesar, menyebabkan ketidakstabilan sosial yang menghambat pembangunan berkelanjutan secara keseluruhan.
Oleh karena itu, intervensi kebijakan yang inklusif, termasuk investasi dalam pendidikan dan program pelatihan ulang, sangat penting untuk memastikan bahwa manfaat kemajuan teknologi dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, mencegah terciptanya hambatan permanen bagi pekerja berketerampilan rendah.
Evaluasi Kritis terhadap Arsitektur Multilateral dan SDGs
Meskipun Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) menyediakan cetak biru global untuk kesejahteraan 2030, efektivitas intervensi multilateral dipertanyakan di tengah gridlock global.
Komitmen Multilateralisme dan Kesenjangan Pendanaan
Komitmen multilateralisme dipandang penting untuk mencapai SDGs 2030. Namun, besarnya kebutuhan investasi untuk mencapai SDGs memerlukan daya tarik yang lebih besar terhadap investasi swasta.Kenyataan yang dihadapi adalah negara-negara paling kurang berkembang masih kesulitan untuk menarik investasi swasta dalam skala besar, terutama di sektor-sektor non-ekstraktif. Indonesia, sebagai contoh, telah mendorong negara-negara G20 untuk memobilisasi pendanaan pembangunan secara inovatif, termasuk dukungan bagi UMKM yang krusial bagi penciptaan lapangan kerja di negara berkembang.Meskipun demikian, tantangan kelembagaan yang lebih dalam menghambat kemajuan.
Fenomena ‘Organizational Jiu-Jitsu’ dan Resistensi Kelembagaan
Organisasi internasional (IOs), yang berfungsi sebagai building blocks of global governance, telah menunjukkan pola keterlibatan dengan SDGs yang disebut ‘Organizational Jiu-Jitsu’. Strategi ini memungkinkan IOs untuk berpartisipasi dalam proses negosiasi dan peninjauan SDGs tanpa harus melakukan perubahan mendasar pada struktur kelembagaan atau kebijakan internal mereka.
Studi kasus mengenai Bank Dunia dan SDG 10 (Pengurangan Ketidaksetaraan) sangat instruktif. Bank Dunia mampu memengaruhi definisi ketidaksetaraan dalam SDG 10 agar selaras dengan ambisi internalnya, yaitu ‘Shared Prosperity’. Hal ini memungkinkannya berfokus pada bagian-bagian SDG 10 yang sesuai dengan mandatnya yang sudah ada, sehingga menghindari keharusan untuk melakukan penyesuaian struktural yang lebih radikal atau mengubah cara mereka berinteraksi dengan klien.
Fenomena ‘Jiu-Jitsu’ ini adalah manifestasi mendasar dari gridlock pembangunan yang diidentifikasi UNDP. Kegagalan multilateralisme sebagian besar disebabkan oleh resistensi kelembagaan terhadap reformasi. IOs cenderung memprioritaskan kelangsungan hidup internal dan mandat mereka yang sudah ada di atas agenda global yang transformatif. Kecenderungan untuk mencegah kebutuhan penyesuaian (preempt the need to adjust) mempertanyakan potensi transformatif SDGs, karena dampaknya pada kebijakan dan struktur kelembagaan IOs sebagian besar tetap tidak terjadi. Jika IOs hanya berfokus pada aspek SDGs yang sesuai dengan kerangka mereka, maka sistem multilateral secara keseluruhan bergerak di jalur yang paling tidak resisten, membiarkan akar masalah global tidak tertangani.
Tantangan Koordinasi dan Fragmentasi Tata Kelola Global
Di samping resistensi internal, fragmentasi tata kelola global secara negatif memengaruhi koordinasi antar institusi internasional. Hal ini terlihat jelas dalam pengaturan custodianship ad hoc di mana berbagai IO ditugaskan untuk mengoordinasikan pengumpulan dan pelaporan data untuk 231 indikator SDGs. Pengaturan kelembagaan yang muncul secara bottom-up ini menghasilkan berbagai tingkat fragmentasi. Semakin terfragmentasi pengaturan custodianship tersebut, semakin besar tantangan koordinasi yang dihadapi. Solusi kebijakan yang diperlukan mencakup upaya sistem-lebar untuk mendorong berbagi pengetahuan, mengurangi duplikasi upaya, dan memulihkan sinergi dalam pemerintahan global keberlanjutan.
Strategi Membangun Ketahanan Sosial di Tengah Guncangan Global
Membangun ketahanan sosial yang efektif berfungsi sebagai garis pertahanan krusial untuk mencegah keterbalikan capaian HDI akibat guncangan global. Ketahanan ini harus mencakup dimensi ekonomi, kelembagaan, dan sosial.
Pilar Ketahanan Ekonomi dan Kelembagaan
Ketahanan ekonomi memerlukan stabilitas makro dan pengelolaan aset yang cermat. Negara-negara yang mengelola sumber daya alam mereka secara berkelanjutan (misalnya, melalui dana kekayaan negara) dapat menciptakan buffer untuk menghadapi gejolak harga dunia. Selain itu, pasar domestik yang besar, sektor pertanian yang kuat, dan ekonomi digital yang berkembang memberikan modal besar bagi suatu negara untuk bertahan menghadapi krisis global.
Pada tingkat kelembagaan, kesiapan nasional terhadap ancaman non-tradisional (termasuk bencana alam dan krisis ekonomi) memerlukan integrasi sistem. Diperlukan sistem komando terpadu dan kelembagaan strategis lintas sektor yang menghubungkan Kementerian Pertahanan, TNI, BNPB, dan kementerian/lembaga teknis lainnya dalam satu rantai koordinasi yang siap tanggap. Mengakui bencana sebagai non-traditional threat memerlukan payung hukum yang kuat untuk mendukung integrasi respons sipil dan pertahanan.
Kerangka Perlindungan Sosial Adaptif (ASP): Konsep P+C+A
Kerangka Perlindungan Sosial Adaptif (ASP) Bank Dunia adalah alat kebijakan utama untuk membangun ketahanan sosial, membantu rumah tangga pulih dan mengurangi kerentanan jangka panjang. Kerangka ini didasarkan pada tiga kapasitas inti (P+C+A):
- Prepare (Mempersiapkan): Membangun ketahanan sebelum guncangan dengan meningkatkan akses ke jaring pengaman, mempromosikan tabungan, dan memberikan informasi untuk mengelola risiko.
- Cope (Mengatasi): Mengembangkan program responsif guncangan yang dapat ditingkatkan dan disesuaikan dengan cepat (misalnya, melalui transfer tunai) untuk memberikan bantuan tepat waktu, melindungi sumber daya manusia, dan meminimalkan dampak langsung.
- Adapt (Beradaptasi): Mengurangi kerentanan jangka panjang dengan mendukung diversifikasi mata pencaharian, membangun keterampilan, dan memfasilitasi transisi tenaga kerja ke sektor dan pekerjaan yang lebih tangguh.
Kapasitas ‘Adapt’ dari ASP sangat relevan untuk mengatasi disrupsi struktural akibat AI. Dengan mendukung transisi tenaga kerja, ASP memastikan bahwa pekerja yang terlantar dari pekerjaan rutin (misalnya, Kasir atau Staf Administrasi) memiliki jalur yang didukung ke pekerjaan baru yang tangguh, mencegah mereka jatuh ke dalam kemiskinan jangka panjang dan menjaga agar kesenjangan pendapatan tidak semakin melebar.
Implementasi ASP didukung oleh empat blok bangunan utama :
- Informasi: Menghubungkan Sistem Peringatan Dini (EWS) dengan program perlindungan sosial untuk memungkinkan respons cepat berdasarkan risiko.
- Sistem Penyaluran: Memperkuat sistem penyaluran program yang fleksibel, dengan prosedur penerimaan yang efisien dan opsi penyaluran yang disesuaikan pascabencana (contoh: Meksiko dan pendaftaran dari pintu ke pintu).
- Cakupan, Kecukupan, Penyaluran, dan Ketahanan (C-A-D-R): Memastikan manfaat pasca-guncangan cukup dan program-program yang ada dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas adaptif penerima manfaat (misalnya, melalui pendidikan kesiapsiagaan bencana seperti di Filipina).
- Lembaga dan Pembiayaan: Memastikan Pembiayaan yang dapat diprediksi tersedia (pendekatan pelapisan risiko) dan membangun hubungan formal yang jelas antara sektor Perlindungan Sosial (SP) dan Manajemen Risiko Bencana (DRM).
Studi Kasus Keberhasilan ASP
Pengalaman global menunjukkan efektivitas ASP dalam memulihkan kesejahteraan rumah tangga setelah guncangan :
- Ethiopia: Program Jaring Pengaman Produktif (PSNP) mengurangi dampak awal guncangan kekeringan dan memulihkan ketahanan pangan.
- Fiji: Penerima manfaat Skema Manfaat Kemiskinan yang menerima top-up pasca-Siklon Tropis Winston lebih mungkin pulih dari penyakit, memperbaiki tempat tinggal, dan mengisi kembali stok makanan dibandingkan yang tidak menerima bantuan tambahan.
- Indonesia: Pemberian bantuan pasca-Gempa bumi Sulawesi Tengah 2018 meningkatkan kemungkinan pemulihan pekerjaan dan kesejahteraan rumah tangga yang lebih cepat dan jangka panjang.
Kesimpulan
Ketidakstabilan global saat ini didorong oleh interkoneksi ancaman: konflik menghancurkan modal manusia secara permanen , sementara otomatisasi dan AI menciptakan kesenjangan baru yang memperburuk kerentanan pasca-guncangan. Kegagalan arsitektur multilateral untuk memberikan respons transformatif, akibat dari inersia kelembagaan (‘Jiu-Jitsu’) dan fragmentasi, memastikan bahwa kemajuan HDI rentan terhadap keterbalikan. Menghadapi kondisi gridlock ini, pembangunan ketahanan yang adaptif, daripada pembangunan berbasis pertumbuhan semata,
Roadmap Pembangunan Manusia Adaptif: Rekomendasi Kebijakan Lintas Sektor untuk Masa Depan
Rekomendasi 1: Tata Kelola Digital Inklusif dan Investasi Reskilling Masif
Diperlukan intervensi kebijakan yang tegas untuk mengarahkan disrupsi teknologi agar mendukung perkembangan manusia:
- Reformasi Pendidikan Berbasis Ketahanan: Program reskilling masif harus diluncurkan, didanai oleh sumber daya AI, yang berfokus pada pelatihan transisional ke sektor yang tangguh dan pekerjaan baru yang diciptakan (sekitar 170 juta pekerjaan baru).
- Mendukung UKM untuk Adopsi AI: Menciptakan skema insentif yang ditargetkan untuk membantu Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mengadopsi AI secara berkelanjutan, menutup kesenjangan teknologi dan mempertahankan peran mereka sebagai mesin pencipta lapangan kerja inklusif
Rekomendasi 2: Memperkuat Keterikatan Multilateral Melalui Akuntabilitas Transformatif
Untuk mengatasi gridlock kelembagaan, sistem global harus menuntut reformasi struktural:
- Melawan ‘Organizational Jiu-Jitsu’: Menciptakan mekanisme peninjauan kinerja yang mengharuskan organisasi internasional untuk secara eksplisit menunjukkan bagaimana SDGs telah mendorong perubahan struktural internal mereka, bukan hanya alignment retoris, demi tujuan global yang lebih radikal tentang ketidaksetaraan.
- Tata Kelola AI Global: Memperkuat koordinasi di bawah naungan PBB untuk memimpin perumusan kerangka tata kelola AI/digital global, memastikan teknologi bekerja untuk memitigasi risiko iklim 1dan mendukung, bukan melawan, pembangunan manusia.
Rekomendasi 3: Implementasi Penuh Kerangka Perlindungan Sosial Adaptif (ASP)
ASP harus menjadi kebijakan nasional yang terlembaga untuk melindungi capaian HDI:
- Integrasi SP dan DRM: Mengeluarkan payung hukum dan prosedur operasional standar yang secara resmi mengintegrasikan Perlindungan Sosial dan Manajemen Risiko Bencana, termasuk sistem komando terpadu untuk respons guncangan.
- Mobilisasi Pembiayaan Kontingensi: Mengadopsi strategi pembiayaan pelapisan risiko yang memastikan ketersediaan dana yang cepat dan dapat diprediksi. Dana ini harus dialokasikan secara otomatis melalui sistem SP yang sudah ada ketika dipicu oleh Sistem Peringatan Dini (EWS), memastikan penyebaran bantuan tepat waktu sebelum, selama, dan setelah guncangan.
Visi pembangunan manusia 2035 harus berakar pada Ketahanan Sosial. Dengan mengarahkan perubahan global, menuntut akuntabilitas multilateral, dan memprioritaskan Kerangka Perlindungan Sosial Adaptif (P+C+A), komunitas global dapat melindungi capaian HDI dan memastikan bahwa kemajuan pembangunan berkelanjutan tidak mudah dibalik oleh gejolak yang tak terhindarkan.
