Definisi dan Ketergantungan Timbal Balik HAM dan Keadilan Sosial
Hak Asasi Manusia (HAM) dan Keadilan Sosial (KS) merupakan dua pilar utama dalam tata kelola global, yang meskipun berbeda fokus, memiliki ketergantungan timbal balik yang erat. HAM menyediakan kerangka hukum minimum yang bersifat universal, menjamin hak-hak fundamental setiap individu, seperti hak atas penghidupan, kebebasan, dan keselamatan individu, sebagaimana diabadikan dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Negara-negara memiliki komitmen internasional untuk mematuhi standar HAM yang diakui secara universal ini.
Di sisi lain, Keadilan Sosial (KS) melangkah lebih jauh dari kepatuhan hukum formal. KS berfokus pada distribusi sumber daya, peluang, dan kekuasaan yang adil di masyarakat. Tujuannya adalah mengatasi disparitas kronis dan struktural yang menghambat pembangunan inklusif. HAM menetapkan apa yang wajib dimiliki setiap orang; KS menetapkan bagaimana sumber daya yang diperlukan untuk merealisasikan hak-hak tersebut didistribusikan secara merata.
Untuk merealisasikan kedua prinsip ini, hukum internasional menegaskan adanya kewajiban tripartit negara. Kewajiban paling mendasar adalah Menghormati (To Respect), yang mensyaratkan negara tidak melakukan intervensi terhadap sumber daya milik individu. Kedua, kewajiban Melindungi (To Protect) adalah menjamin HAM terhadap pelanggaran yang dilakukan bukan hanya oleh negara, tetapi juga oleh entitas atau pihak non-negara, seperti korporasi. Ketiga, kewajiban Memenuhi (To Fulfill) menuntut negara mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, dan anggaran yang proaktif untuk merealisasikan hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ESB) warga negaranya.
Gap Normatif dan Substantif dalam Pelaksanaan Kewajiban Negara
Meskipun Indonesia, sebagai salah satu negara anggota PBB, telah memperkuat komitmen ini dengan meratifikasi delapan perjanjian internasional utama mengenai HAM dan memuat perlindungan HAM secara konstitusional dalam Pasal 28A-J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , sering kali terdapat jurang pemisah yang lebar antara kerangka normatif dan implementasi substantif.
Analisis mendalam terhadap proses tinjauan periodik universal (UPR) di Dewan HAM PBB menunjukkan bahwa pelaporan oleh delegasi negara seringkali bersifat normatif dan instrumentalistik, berfokus pada ratifikasi konvensi dan pembentukan undang-undang. Namun, laporan tersebut cenderung mengabaikan (atau tidak melaporkan) apakah implementasi undang-undang tersebut telah dinikmati oleh masyarakat secara inklusif. Pelaksanaan kebijakan yang represif dan anti-demokrasi, serta produk kebijakan yang diskriminatif oleh negara itu sendiri, justru menjadi hambatan utama dalam implementasi HAM, menunjukkan kegagalan substantif negara dalam menjalankan kewajiban Melindungi dan Memenuhi. Kegagalan ini mengindikasikan bahwa masalah utama bukan terletak pada kurangnya hukum, tetapi pada kegagalan struktural untuk mentransformasikan komitmen hukum menjadi keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat.
Krisis Multidimensi dan Kerangka HDP Nexus
Dunia kontemporer menghadapi krisis yang kompleks, mencakup konflik, pandemi, kemiskinan kronis, dan bencana alam, yang saling tumpang tindih dan menghancurkan seluruh komunitas. Krisis ini menuntut pendekatan yang lebih terintegrasi daripada respons kemanusiaan tradisional.
Kerangka kerja Humanitarian-Development-Peace Nexus (HDP Nexus) telah muncul sebagai pendekatan strategis untuk mengatasi tantangan multidimensi ini, berupaya menyinergikan upaya kemanusiaan, pembangunan jangka panjang, dan pembangunan perdamaian. Kerangka ini mendukung respons yang berpusat pada manusia dan mempromosikan pendekatan proaktif, inklusif, dan transformatif.
Organisasi-organisasi multilateral seperti UN Women memanfaatkan mandat Triple Nexus mereka—normatif, koordinasi sistem PBB, dan hasil operasional—untuk memajukan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dan anak perempuan (GEEWG) dalam situasi krisis. Hal ini krusial karena perempuan dan anak perempuan secara tidak proporsional dipengaruhi oleh krisis. Mereka menghadapi tingkat kekerasan berbasis gender yang lebih tinggi, kemerosotan hak, penyempitan ruang sipil, dan peningkatan tugas pengasuhan yang membatasi akses mereka terhadap mata pencaharian dan pendidikan formal. Dengan menerapkan Nexus HDP, upaya perlindungan dan pembangunan dapat dipastikan menjadi lebih adaptif dan sensitif gender di tengah ketidakstabilan.
Pembangunan Manusia dan Dampak Penghancuran Konflik: Analisis Kegagalan Keadilan Transisional
Konsekuensi Konflik Bersenjata terhadap Pembangunan Manusia
Konflik bersenjata, atau perang, merupakan manifestasi kekerasan yang ekstrem dan memiliki dampak destruktif jangka panjang terhadap kemajuan pembangunan manusia. Dalam kasus-kasus seperti konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia , terlihat jelas bahwa masyarakat sipil menanggung beban utama kehancuran ini, yang secara langsung memukul mundur capaian Indeks Pembangunan Manusia (HDI).
Pelanggaran hukum humaniter dan Hak Asasi Manusia internasional yang serius merupakan hal yang umum dalam banyak konflik bersenjata. Pelanggaran ini dapat mencakup kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, atau bahkan genosida, yang menghancurkan struktur sosial dan mengikis kepercayaan sipil yang dibutuhkan untuk pembangunan.
Selain dampak langsung terhadap kehidupan dan keselamatan, analisis juga menunjukkan adanya korelasi mendalam antara konflik bersenjata dan krisis lingkungan. Aktivitas konflik menghasilkan gas rumah kaca, yang secara tidak langsung berkontribusi pada perubahan iklim dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Dengan demikian, konflik tidak hanya merusak secara langsung, tetapi juga secara struktural memperburuk kerentanan lingkungan yang mengancam kehidupan pasca-konflik.
Tantangan Rekonstruksi Pascakonflik dan Keadilan Transisional
Rekonstruksi pascakonflik harus didasarkan pada prinsip Keadilan Transisional (KT) dan pemenuhan tanggung jawab negara terhadap para korban. Tanggung jawab ini menuntut negara untuk tidak hanya menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak warganya, tetapi juga menyediakan kompensasi, restitusi, rehabilitasi (termasuk layanan medis), dan tindakan preventif untuk memastikan pelanggaran HAM di masa depan tidak terulang.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) diakui sebagai salah satu mekanisme penting dalam KT. KKR memberikan kerangka keadilan restoratif yang seringkali lebih efektif daripada individual trial, terutama ketika penuntutan pidana tidak memungkinkan karena kondisi darurat politik (political exigencies). KKR bertujuan untuk mencari kebenaran, menciptakan rekonsiliasi sosial yang sejati, dan memastikan bahwa masyarakat dapat mengakui keseriusan pelanggaran HAM masa lampau.
Impunitas sebagai Hasil Kompromi Politik Struktural
Namun, implementasi KT seringkali terabaikan, terutama ketika politik melumpuhkan keadilan. Kegagalan struktural ini dapat ditelusuri dari sifat transisi politik itu sendiri.
Banyak negara pascakonflik menjalani proses demokratisasi melalui Transisi Paket (Pacted Transition), di mana kompromi dicapai antara para elit rezim lama dengan pihak pro-demokratisasi. Dalam skenario ini, kekuasaan elit rezim lama masih relatif kuat, yang memungkinkan mereka untuk membebaskan pelaku pelanggaran HAM berat dari ancaman hukuman pidana, seringkali melalui pemberian amnesti. Keadilan dengan demikian dikorbankan demi apa yang diklaim sebagai ‘stabilitas’ dan ‘perdamaian’ politik jangka pendek.
Ketika logika geopolitik, seperti yang terlihat pada era Perang Dingin, mengutamakan kepentingan keamanan dan stabilitas politik—bukan penegakan HAM—impunitas menjadi sistematis. Pengabaian keadilan ini, seperti yang dianalisis dalam konteks Indonesia/Timor Leste, justru merusak perdamaian dan membuka ruang bagi terulangnya pelanggaran HAM secara sistematis. Kegagalan akuntabilitas dalam KT menghambat proses pembangunan manusia karena merusak kepercayaan institusional dan sosial yang esensial untuk pembangunan jangka panjang.
Mencapai Kesetaraan Gender Global: Hambatan Struktural dan Kesenjangan Data
Kerangka Internasional dan Hambatan Implementasi CEDAW
Upaya untuk mencapai kesetaraan gender global didukung oleh instrumen hukum internasional yang kuat, terutama Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). CEDAW, yang diinisiasi oleh Majelis Umum PBB pada 1979, secara khusus menyoroti perempuan sebagai kelompok yang secara sistematis dirugikan akibat praktik diskriminasi gender. Tujuannya adalah menghapus diskriminasi dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hak sipil.
Meskipun ratifikasi CEDAW menjadi langkah awal yang penting , implementasi di lapangan masih menghadapi hambatan struktural dan budaya yang signifikan. Di banyak wilayah, latar belakang sosial-ekonomi dan pendidikan yang masih rendah menjadi kendala serius bagi perempuan untuk memahami dan melaksanakan hak politik mereka sepenuhnya. Selain itu, konvensi ini harus bersifat dinamis dan adaptif untuk menghadapi tantangan dan hambatan yang terus muncul.
Analisis Kuantitatif Kesenjangan Global (WEF Global Gender Gap Report 2025)
Laporan Kesenjangan Gender Global (Global Gender Gap Report) yang dipublikasikan oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF) menjadi tolok ukur utama dalam menilai paritas gender. Indeks ini mengukur persentase penutupan kesenjangan (skala 0-1) di 148 ekonomi, mencakup empat dimensi utama: Partisipasi Ekonomi dan Peluang, Pencapaian Pendidikan, Kesehatan dan Kelangsungan Hidup, dan Pemberdayaan Politik.
Secara global, berdasarkan laporan tahun 2025, kesenjangan gender telah tertutup sebesar 68.8%. Meskipun telah ada kemajuan, perkiraan proyeksi menunjukkan bahwa diperlukan 123 tahun untuk mencapai paritas gender penuh di seluruh dunia.
Disparitas Dimensi dan Kesenjangan Kekuasaan
Analisis dimensi kesenjangan menunjukkan disparitas yang mencolok dalam laju penutupan:
- Pencapaian Pendidikan (Educational Attainment): Ini adalah dimensi yang paling maju, dengan skor 95.7% tertutup pada tahun 2025, laju tertinggi sejauh ini. Mayoritas negara sudah mendekati paritas penuh dalam dimensi ini, meskipun perbedaan dalam tingkat literasi dan angka pendaftaran masih ada.
- Partisipasi Ekonomi dan Peluang (Economic Participation and Opportunity): Kesenjangan ini tertutup 60.7% pada 2025, meningkat 5.6% poin sejak 2006. Namun, pada laju saat ini, diperlukan 135 tahun untuk menutup kesenjangan ekonomi secara penuh.
- Pemberdayaan Politik (Political Empowerment): Dimensi ini merupakan yang paling lambat. Kesenjangan yang tertutup baru mencapai 23.4% pada 2025, meskipun dimensi ini mencatat peningkatan terbesar kedua dalam paritas (+9.0% poin sejak 2006). Proyeksi waktu yang dibutuhkan untuk mencapai paritas politik penuh adalah 162 tahun. Peningkatan ini terutama didorong oleh peningkatan representasi ministerial dan parlemen di beberapa kawasan.
Data WEF 2025 ini secara tegas menunjukkan adanya Kesenjangan Kekuasaan (The Power Gap) yang mengkhawatirkan. Meskipun akses terhadap pendidikan dasar mencapai paritas (95.7%), konversi pendidikan menjadi kekuasaan politik dan ekonomi menghadapi resistensi struktural yang sangat lambat, dengan proyeksi mencapai paritas penuh yang membutuhkan lebih dari satu abad. Hal ini menggarisbawahi bahwa hambatan utama untuk kesetaraan gender global saat ini bukan terletak pada kemampuan atau akses dasar, melainkan pada keengganan struktural dan kelembagaan untuk mendistribusikan kekuasaan dan peluang ekonomi kepada perempuan, menuntut pergeseran strategi dari fokus pada akses menjadi fokus pada reformasi institusi kekuasaan.
Table III.1: Proyeksi Waktu Menuju Paritas Gender Global Berdasarkan WEF Global Gender Gap Report 2025
| Dimensi Kesenjangan | Paritas Global Tertutup (2025) | Laju Penutupan (Sejak 2006) | Proyeksi Waktu Menuju Paritas Penuh |
| Partisipasi & Peluang Ekonomi | 60.7% | +5.6% Poin | 135 tahun |
| Pencapaian Pendidikan | 95.7% | Tertinggi sejauh ini | Mendekati Paritas |
| Pemberdayaan Politik | 23.4% | +9.0% Poin | 162 tahun |
Perubahan Iklim: Pelanggaran HAM Lintas Batas dan Perpindahan Paksa
Krisis Iklim, Kelangkaan Sumber Daya, dan Ancaman HAM
Dalam beberapa tahun terakhir, perubahan iklim telah bertransformasi dari sekadar isu lingkungan menjadi ancaman multidimensi yang secara langsung memengaruhi keamanan manusia dan stabilitas global. Laporan internasional menempatkan krisis iklim sebagai salah satu ancaman terbesar bagi stabilitas dunia.
Dampak dari krisis iklim—seperti kenaikan permukaan laut, banjir, erosi, dan kelangkaan air—mengakibatkan hilangnya hak-hak dasar manusia, termasuk hak untuk hidup, hak atas lingkungan yang sehat, air bersih, dan pangan. Khususnya di negara kepulauan seperti Indonesia, perubahan iklim memperburuk masalah seperti deforestasi dan ketimpangan ekonomi yang dipicu oleh ekspansi komoditas. Komunitas adat dan masyarakat pedesaan menjadi kelompok paling rentan karena ketergantungan mereka pada lahan dan pertanian yang kini terdegradasi.
Meskipun terdapat pengakuan normatif penting, seperti adopsi resolusi oleh Dewan HAM PBB pada tahun 2021 yang mengakui bahwa lingkungan yang bersih, sehat, dan berkelanjutan adalah hak asasi manusia , mekanisme akuntabilitas internasional masih lemah. Negara-negara maju yang secara historis menjadi penyumbang emisi dan gas rumah kaca terbesar belum sepenuhnya menanggung kewajiban mereka untuk mengurangi dampak iklim dan melindungi hak-hak dasar di negara-negara yang paling rentan.
Status Hukum Environmentally Displaced Persons (EDPs) dan Non-Refoulement
Dampak langsung krisis iklim adalah peningkatan signifikan dalam perpindahan penduduk. Jumlah environmentally displaced persons (EDPs)—individu yang terpaksa meninggalkan tempat tinggal akibat degradasi lingkungan—diperkirakan mencapai 25 juta, melebihi jumlah kelompok pengungsi lainnya.
Kekosongan Hukum dan Implikasi HAM
Jutaan EDPs saat ini berada dalam kekosongan hukum. Konvensi Pengungsi 1951, sebagai landasan perlindungan pengungsi internasional, membatasi definisi pengungsi pada mereka yang mengalami penganiayaan. Perubahan iklim dan bencana alam tidak diakui sebagai dasar penganiayaan. Akibatnya, pengungsi iklim tidak mendapatkan jaminan status, perlindungan sementara, atau yang paling krusial, prinsip non-refoulement (larangan pengembalian ke tempat yang membahayakan).
Kekosongan hukum ini merupakan kegagalan hak asasi manusia yang fundamental. Karena hak-hak dasar seperti hak untuk hidup dan hak atas lingkungan yang sehat terancam oleh iklim , penolakan perlindungan hukum secara efektif berarti negara-negara tujuan melanggar kewajiban mereka to protect terhadap individu yang paling rentan. Kerentanan ini sangat terasa di negara-negara kepulauan kecil yang terancam tenggelam.
UNHCR mengakui tantangan yang ditimbulkan oleh perpindahan akibat bencana dan perubahan iklim, sejalan dengan Global Compact on Refugees (GCR). GCR, sebagai kerangka kerja non-mengikat, bertujuan untuk meningkatkan pembagian tanggung jawab yang lebih adil dan mendorong kemandirian pengungsi. Meskipun demikian, implementasinya sangat bergantung pada political will negara-negara, terutama bagi negara-negara yang belum meratifikasi Konvensi 1951, seperti India , yang menghadapi tantangan besar dalam menangani pengungsi iklim. Reformulasi kerangka hukum yang inklusif dan adaptif di tingkat internasional dan nasional sangat mendesak untuk menjamin perlindungan hukum dan mencegah krisis kemanusiaan di masa depan.
Memperkuat Pilar Keadilan Sosial: Strategi Mengatasi Ketidaksetaraan Struktural
Untuk membangun ketahanan HAM yang berkelanjutan, fokus harus dialihkan dari penanganan akibat menjadi mengatasi akar ketidaksetaraan sosial yang memicu konflik dan kerentanan. Hal ini memerlukan intervensi struktural yang berfokus pada keadilan distributif dan akuntabilitas.
Keadilan Distributif Melalui Reformasi Fiskal Progresif
Kesenjangan sosial dan ekonomi merupakan masalah kronis yang menghambat pembangunan inklusif. Pajak adalah instrumen keadilan sosial dan kedaulatan ekonomi yang paling efektif.
Pajak Progresif dan Layanan Universal: Sistem perpajakan progresif—yang menyesuaikan tarif pajak berdasarkan kemampuan ekonomi individu—dirancang secara khusus untuk mengatasi disparitas sosial dan meningkatkan distribusi pendapatan. Untuk mewujudkan keadilan sosial yang substantif, dana pajak harus diarahkan secara optimal untuk membiayai jaminan sosial universal, mencakup jaminan kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial gratis bagi seluruh warga negara. Penting untuk transisi dari model jaminan sosial yang bersifat residual (tebang pilih, hanya menyasar yang diklaim miskin) ke model universal yang memberikan jaminan keamanan ekonomi kepada seluruh kelas masyarakat, sehingga memperkuat kesejahteraan yang merata.
Selain itu, prinsip keadilan distributif dalam Ekonomi Islam, seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF), juga menawarkan kerangka yang komprehensif untuk meredistribusikan kekayaan dan menciptakan peluang yang adil bagi kelompok rentan, asalkan ekosistem ekonomi syariah diperkuat dan diregulasi secara optimal.
Reforma Agraria Berbasis HAM: Mengatasi Akar Konflik dan Ketimpangan
Ketimpangan struktural penguasaan tanah merupakan salah satu akar ketidaksetaraan yang paling mengakar kuat di banyak negara berkembang. Data menunjukkan bahwa di beberapa wilayah, lebih dari 56% tanah dikuasai oleh kelompok elite dan korporasi, sementara mayoritas petani kecil mengakses lahan kurang dari 0,5 hektare. Ketimpangan ini menjadi bukti bahwa prinsip keadilan sosial belum terwujud secara substantif, dan seringkali memicu konflik agraria dan ketegangan sosial.
Oleh karena itu, implementasi Reforma Agraria (RA) harus dilaksanakan secara serius dan berlandaskan pada HAM. RA berfungsi sebagai strategi kunci untuk mencapai keadilan distributif sumber daya di tingkat lokal, menyelesaikan sengketa dan konflik agraria, dan mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Kelambanan, ketidakmerataan, dan minimnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan RA menunjukkan bahwa keadilan distributif masih belum menjadi landasan substantif dalam pengambilan keputusan agraria.
Membangun Akuntabilitas Korporasi dan Remediasi Efektif
Kewajiban negara untuk melindungi HAM dari pelanggaran pihak non-negara sangat relevan dalam menghadapi entitas bisnis dan korporasi, yang seringkali terlibat dalam pelanggaran di sektor lingkungan dan lahan.
Untuk memperkuat akuntabilitas ini, Dewan HAM PBB mendorong pengembangan Rencana Aksi Nasional (RAN) Bisnis dan HAM. RAN Bisnis dan HAM berfungsi sebagai instrumen untuk memberikan ekspektasi yang jelas kepada korporasi—terutama perusahaan multinasional—bahwa mereka harus menghormati HAM. Adopsi RAN ini penting untuk melawan persepsi bahwa standar HAM adalah hambatan ekonomi, melainkan fondasi untuk pembangunan berkelanjutan.
Terakhir, harus dijamin adanya Hak atas Pemulihan yang Efektif (Effective Remedy) bagi korban pelanggaran HAM. Pemulihan yang efektif harus mencakup: (1) penyelidikan yang cepat, menyeluruh, dan tidak memihak; (2) penghentian pelanggaran; dan (3) reparasi yang memadai, termasuk restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi. Perlindungan khusus juga harus diberikan kepada Pembela Hak Asasi Manusia, khususnya mereka yang bergerak di bidang lingkungan dan lahan, yang rentan terhadap represi dan kriminalisasi.
Table V.1: Strategi Keadilan Distributif dan Ketahanan HAM Struktural
| Isu Struktural Utama | Hambatan Utama (Indikasi Kegagalan KS) | Rekomendasi Kebijakan Inti | Outcome Keadilan Sosial |
| Kesenjangan Ekonomi & Fiskal | Jaminan sosial residual; sistem pajak kurang progresif. | Penerapan Pajak Progresif agresif; Transisi menuju Jaminan Sosial Universal. | Redistribusi kekayaan yang adil; Perlindungan keamanan ekonomi semua kelas. |
| Ketimpangan Agraria | Penguasaan lahan terkonsentrasi pada elit (>56%); konflik agraria. | Reforma Agraria substantif berbasis HAM; percepatan penyelesaian sengketa. | Keadilan distributif sumber daya; Pengurangan akar konflik di tingkat lokal. |
| Akuntabilitas Korporasi | Pelanggaran HAM oleh entitas non-negara; impunitas bagi korporasi. | Pengembangan dan penegakan RAN Bisnis dan HAM yang kuat dan inklusif. | Penguatan kewajiban negara untuk melindungi; Mengatasi konflik sumber daya alam. |
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan Struktural
Analisis ini menunjukkan bahwa krisis global kontemporer—yang ditandai oleh konflik, kesenjangan gender, dan kerentanan iklim—berakar pada kegagalan struktural untuk menegakkan kewajiban Hak Asasi Manusia dan Keadilan Sosial secara substantif. Tiga wawasan kunci yang saling terkait muncul dari tinjauan ini:
- Hubungan Kausal Keadilan-Perdamaian: Pengabaian keadilan transisional dan berlanjutnya impunitas, yang dilegitimasi oleh struktur Transisi Paket pasca-otoritarianisme, secara struktural memperkuat siklus konflik dan merusak dasar kepercayaan sosial yang dibutuhkan untuk pembangunan. Mengorbankan keadilan demi “perdamaian” jangka pendek terbukti merusak perdamaian itu sendiri.
- Keadilan Sosial sebagai Perlindungan HAM: Keadilan distributif bukan hanya tujuan pembangunan, tetapi merupakan mekanisme pertahanan utama HAM. Mengatasi akar ketidaksetaraan melalui reformasi fiskal progresif (pajak progresif, jaminan sosial universal) dan reforma agraria secara langsung mengatasi ketidakadilan yang memicu konflik sumber daya dan merusak hak ekonomi warga negara.
- Krisis Iklim dan Kewajiban Perlindungan: Kegagalan hukum internasional untuk memperluas definisi pengungsi menciptakan kerentanan hukum yang masif bagi Environmentally Displaced Persons (EDPs). Karena krisis iklim mengancam hak fundamental untuk hidup dan kesehatan , kekosongan hukum ini merupakan kegagalan kolektif negara dalam menjalankan kewajiban to protect.
Berdasarkan temuan-temuan ini, direkomendasikan empat kebijakan struktural prioritas:
Reformasi Tata Kelola Ekonomi Global
Negara-negara anggota PBB harus mendukung dan mempercepat inisiatif untuk mengadopsi metrik kemajuan yang melampaui Produk Domestik Bruto (Beyond GDP). Kerangka kerja baru harus lebih mengakui nilai-nilai yang berkaitan dengan manusia, planet, dan masa depan, guna memastikan bahwa kebijakan ekonomi dan pembangunan didasarkan pada keadilan sosial dan keberlanjutan, bukan semata-mata pertumbuhan yang merusak.
Akselerasi Paritas Kekuasaan melalui Intervensi Kebijakan Kuat
Mengingat proyeksi waktu 135-162 tahun untuk mencapai paritas politik dan ekonomi , negara-negara harus mengadopsi langkah-langkah affirmative action yang mengikat secara hukum, terukur, dan berjangka waktu. Intervensi ini harus secara spesifik menargetkan hambatan struktural dalam institusi kekuasaan (kabinet, parlemen, manajemen korporasi) untuk memastikan bahwa capaian pendidikan yang tinggi bagi perempuan dikonversi menjadi posisi kepemimpinan yang setara.
Mewujudkan Mekanisme Keadilan Transisional yang Otoritatif
Untuk memutus siklus impunitas, negara harus memberikan dukungan politik, pendanaan, dan otoritas penuh kepada mekanisme KKR yang berorientasi pada keadilan restoratif. Mekanisme ini harus diarahkan untuk mencari kebenaran, mencegah pengulangan di masa depan , dan secara tegas menjamin akuntabilitas bagi aktor negara dan non-negara yang terlibat dalam pelanggaran HAM berat masa lalu, terlepas dari political exigencies.
Penguatan Kerangka Hukum Perlindungan Iklim
Mendesak masyarakat internasional untuk mereformasi kerangka hukum pengungsi. Hal ini dapat dilakukan melalui amandemen atau adopsi protokol opsional terhadap Konvensi Pengungsi 1951, atau melalui perjanjian internasional baru yang secara eksplisit memberikan status dan perlindungan hukum, termasuk jaminan prinsip non-refoulement, bagi Environmentally Displaced Persons (EDPs). Hal ini merupakan kewajiban etis dan hukum yang mendesak bagi negara-negara yang paling berkontribusi terhadap krisis iklim.
