Pondasi Nilai: Mengapa Uang Harus Ada
Uang telah berevolusi dari benda-benda fisik yang memiliki nilai guna (use value) menjadi entitas yang hampir sepenuhnya abstrak, ditopang oleh kepercayaan institusional dan, kini, kode matematika. Dalam ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai alat tukar yang diterima secara umum untuk membeli barang dan jasa, serta untuk melunasi hutang. Evolusi uang harus dilihat sebagai respons historis terhadap inefisiensi dan keterbatasan struktural yang melekat pada sistem pertukaran sebelumnya. Setiap transisi moneter, mulai dari barter hingga aset digital, didorong oleh kebutuhan mendesak untuk meningkatkan efisiensi, standarisasi, dan stabilitas dalam perdagangan yang semakin kompleks.
Barter: Sistem Pertukaran Primitif dan Kelemahan Struktural
Sistem barter, bentuk perdagangan paling sederhana, melibatkan pertukaran langsung barang dengan barang. Meskipun sistem ini memiliki kelebihan sosial, seperti potensi untuk mengenal satu sama lain dan menumbuhkan sikap toleransi , kelemahan fungsionalnya jauh lebih besar, membatasi pertumbuhan ekonomi dan skala perdagangan.
Keterbatasan utama sistem barter adalah kesulitan struktural yang disandangnya. Pertama, kesulitan menemukan kesamaan kebutuhan ganda (double coincidence of wants) menjadi hambatan terbesar. Ini merujuk pada keharusan menemukan dua pihak yang kebutuhannya saling terpenuhi pada waktu yang sama. Kedua, sistem barter kekurangan penentuan nilai tukar yang seragam. Nilai barang cenderung ditentukan secara sewenang-wenang dan tidak terstandardisasi, menyebabkan salah satu pihak mungkin dirugikan karena tidak ada tolok ukur nilai yang disepakati.
Selain itu, masalah portabilitas dan divisibilitas sering muncul. Barang bernilai tinggi atau berukuran besar, seperti ternak atau perabotan, sulit dibawa-bawa untuk ditukarkan. Kesulitan membagi barang menjadi nilai yang sesuai juga menjadi kendala. Sebagai contoh, jika seekor ayam hanya bernilai separuh meja, pemilik meja akan kesulitan memecah atau membagi meja tersebut untuk mendapatkan nilai yang setara dengan ayam. Akhirnya, banyak komoditas rentan rusak, menjadikan barter sistem yang buruk untuk penyimpanan nilai kekayaan untuk masa depan.
Analisis terhadap keterbatasan barter menunjukkan bahwa kegagalan struktural inilah yang membentuk fungsi esensial uang. Ketidakmampuan membagi barang besar (masalah divisibilitas) dan kurangnya standar nilai secara langsung mendorong diciptakannya uang sebagai Satuan Hitung yang pasti, yang memungkinkan perbandingan harga yang mudah dan akurat. Jadi, uang bukanlah sekadar alat ganti, tetapi protokol yang dirancang untuk mengatasi setiap kegagalan logika dalam sistem pertukaran barang ke barang.
Fungsi Esensial Uang: Kriteria Keseimbangan Moneter
Setelah peradaban beralih dari barter, uang modern harus memenuhi empat fungsi krusial untuk memastikan aktivitas ekonomi berjalan lancar :
- Alat Tukar (Medium of Exchange): Fungsi paling fundamental, yang menghilangkan kebutuhan akan kesamaan kebutuhan ganda, memungkinkan transaksi yang lebih cepat dan efisien.
- Satuan Hitung (Unit of Account): Uang memberikan ukuran yang pasti untuk nilai barang dan jasa. Ini memudahkan perbandingan harga dan membantu dalam pengambilan keputusan ekonomi.
- Penyimpan Nilai (Store of Value): Uang memungkinkan individu untuk menyimpan kekayaan dalam bentuk yang mudah diakses dan digunakan kapan saja di masa depan.
- Alat Pembayaran Utang (Standard of Deferred Payment): Uang juga digunakan untuk melunasi utang atau kewajiban finansial lainnya.
Ketiga fungsi (alat tukar, satuan hitung, penyimpan nilai) harus dapat dijalankan dengan sempurna agar suatu medium dianggap sebagai uang yang efektif.
Era Uang Komoditas: Nilai Intrinsik, Utilitas, dan Awal Konsensus
Uang Komoditas Awal: Ketergantungan pada Nilai Guna
Uang komoditas adalah tahap evolusi berikutnya setelah barter, di mana benda yang digunakan sebagai alat tukar memiliki nilai intrinsik karena merupakan komoditas yang berguna. Contohnya termasuk jagung, sapi, atau, dalam kasus yang lebih maju, emas dan perak. Meskipun sistem ini menawarkan perbaikan besar dalam hal portabilitas dan divisibilitas dibandingkan barter, stabilitas nilainya masih bergantung pada ketersediaan atau utilitas fisik komoditas tersebut.
Studi Kasus I: Garam (Salarium)—Nilai yang Didorong oleh Logistik dan Pertahanan
Garam adalah salah satu contoh uang komoditas yang nilainya didorong oleh utilitas strategis. Di zaman Romawi kuno, garam dihargai setara dengan “emas putih”. Nilai yang tinggi ini bukan didasarkan pada kelangkaan mineralnya yang absolut, melainkan pada utilitasnya yang tak tergantikan bagi kelangsungan hidup peradaban dan militer.
Di era tanpa kulkas, garam adalah satu-satunya cara efektif untuk mengawetkan makanan, khususnya daging dan ikan. Oleh karena itu, garam menjadi komponen vital logistik tentara. Memberikan garam kepada tentara sama dengan memastikan kemampuan mereka untuk bertahan lama dan berfungsi di medan perang.
Posisi strategis garam ini tercermin dalam etimologi modern. Para tentara Romawi sering dibayar dengan jatah atau izin garam, yang dikenal sebagai salarium. Kata gaji yang digunakan hari ini merupakan warisan langsung dari istilah Latin tersebut. Peran strategis garam membuktikan bahwa pada fase awal moneter, nilai uang terkait langsung dengan kemampuan komoditas tersebut untuk meningkatkan daya tahan atau kekuatan pertahanan suatu entitas politik.
Studi Kasus II: Cangkang Cowry—Standarisasi dan Kerentanan Inflasi
Cangkang Cypraea moneta, atau money cowry, merupakan salah satu mata uang yang paling luas diterima secara global di masa kuno, digunakan di Asia, Afrika, dan Oseania, dengan bukti penggunaannya di Tiongkok sejak abad ke-13 SM.
Cangkang Cowry berhasil sebagai mata uang karena sifatnya yang hampir selalu memiliki bentuk dan ukuran yang sama, membuatnya mudah dihitung (standarisasi) atau ditimbang untuk menentukan nilai pembayaran. Ini mengatasi masalah non-seragamnya nilai tukar yang menjadi kelemahan utama barter.
Namun, cangkang Cowry menghadapi kelemahan fatal—kerentanan terhadap inflasi yang disebabkan oleh manipulasi penawaran. Cangkang ini melimpah di Samudra Hindia, khususnya Maladewa. Pedagang Eropa memanfaatkan perbedaan nilai ini—di mana nilai cangkang jauh lebih besar di Afrika daripada di sumber pasokannya—dan mengimpor cangkang dalam jumlah besar ke Afrika Barat dengan keuntungan yang dilaporkan mencapai 500%. Peningkatan impor ini menyebabkan inflasi yang parah dan pada akhirnya merusak ekonomi lokal, meskipun penggunaannya sebagai alat pembayaran pajak di beberapa wilayah Afrika Barat masih diterima hingga awal abad ke-20.
Kasus Cowry menunjukkan bahwa sementara keseragaman (standarisasi) dan portabilitas merupakan prasyarat penting bagi mata uang yang berhasil, kontrol terhadap penawaran adalah penentu utama stabilitas nilai jangka panjang. Kegagalan Cowry adalah peringatan historis terhadap mata uang komoditas yang tidak memiliki kelangkaan bawaan (inherent scarcity).
Studi Kasus III: Batu Rai Yap—Manifestasi Nilai Berbasis Konsensus Murni
Salah satu demonstrasi paling murni mengenai penetapan nilai berdasarkan konsensus sosial dapat ditemukan pada Batu Rai (raay atau fei stone) dari Kepulauan Yap di Mikronesia. Batu Rai adalah cakram batu kapur kristalin raksasa, yang terbesar mencapai diameter 3,6 meter dan berat 4.000 kg.
Yang membuat Batu Rai unik adalah bahwa nilainya tidak berasal dari bahan intrinsik, utilitas praktis, atau bahkan portabilitas (karena terlalu sulit dipindahkan). Sebaliknya, nilai ditentukan oleh dua faktor: ukuran fisik dan cerita di balik pengangkutan batu. Jika sebuah batu berhasil diambil dari Palau setelah mengorbankan banyak nyawa, nilainya bisa meroket, bahkan dapat digunakan untuk pembelian tanah atau mahar pernikahan yang penting.
Karena ukurannya yang besar, kepemilikan batu Rai ditetapkan berdasarkan sejarah lisan yang dicatat dalam tradisi komunitas, bukan berdasarkan lokasinya. Perubahan kepemilikan cukup dilakukan dengan mencatat transfer tersebut dalam narasi lisan yang diverifikasi komunitas. Mekanisme ini berfungsi sebagai “buku besar” lisan yang diturunkan dari generasi ke generasi untuk menjaga transparansi dan keamanan kepemilikan.
Batu Rai berfungsi sebagai bukti empiris yang kuat bahwa nilai moneter dapat ditetapkan murni melalui kepercayaan kolektif dan konsensus sosial (shared belief). Mekanisme oral ledger ini secara konseptual setara dengan teknologi Distributed Ledger Technology (DLT) modern, atau Blockchain. Kedua sistem ini menyimpan catatan kepemilikan, mendistribusikan catatan tersebut (ke seluruh komunitas atau jaringan node), dan memerlukan konsensus untuk mengesahkan perubahan kepemilikan. Dengan demikian, Batu Rai dapat dipandang sebagai salah satu contoh tertua mengenai sistem nilai trustless (tanpa memerlukan otoritas pusat terpisah) yang pernah ada.
Tabel 1: Perbandingan Fungsional Sistem Nilai Historis
Untuk memvisualisasikan bagaimana setiap bentuk nilai memenuhi fungsi moneter dasar, anomali Batu Rai ditekankan.
| Bentuk Nilai | Nilai Intrinsik | Alat Tukar (Efisiensi) | Satuan Hitung (Standarisasi) | Penyimpan Nilai (Stabilitas) |
| Barter (Barang) | Tinggi | Sangat Rendah | Rendah (Non-Seragam) | Rendah (Cepat Rusak) |
| Garam (Romawi) | Tinggi | Sedang (Utilitas Khusus) | Rendah | Sedang (Baik untuk Pengawetan) |
| Cangkang Cowry | Rendah | Tinggi | Tinggi (Dapat Dihitung) | Rendah (Rentan Inflasi) |
| Batu Rai (Yap) | Nihil | Rendah (Seremonial) | Rendah | Tinggi (Berdasarkan Konsensus Lisan) |
| Emas/Komoditas | Tinggi | Tinggi | Tinggi | Tinggi (Tahan Inflasi) |
| Fiat (Kertas) | Nihil | Sangat Tinggi | Sangat Tinggi | Variatif (Rentan Inflasi) |
Sentralisasi Nilai: Transisi ke Uang Kertas dan Fiat
Dari Koin Logam ke Standar Emas (Uang Representatif)
Setelah uang komoditas, peradaban mulai menggunakan logam mulia, terutama emas, sebagai standar mata uang. Emas dan perak sangat dihargai karena sifatnya yang langka, tahan lama, dan mudah dibagi. Sistem standar emas mendefinisikan nilai nominal mata uang kertas agar setara dengan nilai intrinsik emas yang mendukungnya.
Pada sistem ini, uang kertas berfungsi sebagai uang representatif (representative money); yaitu, uang yang memiliki nilai karena didukung oleh dan dapat ditukarkan dengan komoditas, seperti emas atau aset lain. Keunggulan utama standar emas adalah stabilitas yang lebih tinggi dan ketahanan terhadap inflasi karena pasokannya dikontrol oleh ketersediaan fisik logam mulia.
Revolusi Fiat: Pelepasan Nilai dari Aset Fisik
Transisi monumental dalam sejarah moneter adalah pergeseran dari uang representatif (berbasis komoditas) ke uang fiat (fiat money). Uang fiat adalah mata uang yang diterbitkan oleh pemerintah dan disahkan oleh regulasi sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender), tetapi, yang terpenting, tidak didukung oleh logam mulia seperti emas atau aset berwujud lainnya. Uang fiat, yang pertama kali digunakan dalam bentuk uang kertas pada abad ke-13 di Tiongkok , secara umum tidak memiliki nilai intrinsik.
Titik balik historis yang mengubah sistem moneter global terjadi pada 15 Agustus 1971, yang dikenal sebagai Nixon Shock. Presiden Richard Nixon mengumumkan Kebijakan Ekonomi Barunya, secara unilateral menangguhkan konvertibilitas Dolar AS ke emas, yang secara efektif mengakhiri sistem moneter internasional Bretton Woods.
Sistem Bretton Woods, yang ditetapkan setelah Perang Dunia II, menetapkan nilai mata uang asing terhadap Dolar AS, dan nilai Dolar AS dipatok pada emas dengan harga $35 per ounce. Sistem ini runtuh karena surplus Dolar AS yang besar di seluruh dunia (disebabkan oleh pengeluaran militer dan bantuan luar negeri AS) membuat Amerika Serikat tidak lagi memiliki cadangan emas yang cukup untuk menutupi volume dolar yang beredar. Setelah Nixon Shock, dunia beralih dari rezim nilai tukar tetap ke sistem nilai tukar mengambang (flexible rates), dan uang fiat menjadi standar global untuk semua mata uang utama.
Transisi dari standar emas ke fiat menandai pergeseran filosofis mendasar. Nilai uang tidak lagi didukung oleh kelangkaan fisik (seperti yang terjadi pada emas), melainkan sepenuhnya didukung oleh kepercayaan institusional dan kebijakan pemerintah. Keputusan pada tahun 1971 bukanlah peningkatan efisiensi yang direncanakan melainkan reaksi terhadap kegagalan sistem representatif dalam mengelola likuiditas global.
Mekanisme Kepercayaan Uang Fiat
Nilai mata uang fiat terutama didasarkan pada kepercayaan dan stabilitas. Nilainya dipertahankan karena masyarakat percaya pada legitimasi dan kekuatan pemerintah penerbit serta Bank Sentralnya.
Kepercayaan ini diperkuat oleh beberapa faktor: Pertama, pemerintah menetapkan mata uang fiat sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) untuk semua utang dan transaksi. Kedua, Bank Sentral memiliki kontrol moneter yang besar terhadap perekonomian, yang memungkinkannya mengatur penawaran dan permintaan uang untuk menjaga nilai dan daya beli. Uang fiat, dalam konteks modern, melambangkan kepercayaan kolektif terhadap stabilitas ekonomi dan kebijakan fiskal suatu negara.
Kritik dan Kerentanan Sistem Fiat
Meskipun uang fiat unggul dalam hal fleksibilitas moneter dan kemudahan fisik (terutama uang kertas yang mudah dibawa) , sistem ini membawa kerentanan signifikan. Kelemahan utama adalah risiko inflasi. Ekonom berpendapat bahwa inflasi selalu merupakan fenomena moneter, di mana sumber semua episode inflasi adalah tingkat pertumbuhan uang beredar yang tinggi.
Karena nilai fiat tidak terikat pada aset yang langka, Bank Sentral dapat meningkatkan pasokan uang, yang dapat mengurangi daya beli dan menyebabkan kegagalan uang fiat sebagai penyimpan nilai yang stabil. Para kritikus bahkan berpendapat bahwa krisis finansial yang terus berulang dan siklus ekonomi disebabkan oleh keberadaan uang fiat.
Dematerialisasi Penuh: Nilai sebagai Angka Digital
Evolusi uang terus berlanjut melampaui uang kertas fisik, bergerak menuju dematerialisasi penuh, di mana nilai sebagian besar diwakili oleh angka dalam buku besar elektronik.
Pra-Digitalisasi: Evolusi Abstraksi Nilai
Abstraksi nilai dimulai dengan tiga bentuk uang utama dalam sistem fiat:
- Uang Kartal (Fisik): Uang fisik dalam bentuk koin dan uang kertas yang merupakan alat pembayaran sah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Uang kartal mempertahankan nilai nominal, yang jauh lebih tinggi daripada nilai intrinsik bahan pembuatnya.
- Uang Giral (Buku Besar Bank): Uang yang disimpan di bank dan diciptakan melalui pencatatan saldo rekening nasabah. Uang giral digunakan melalui cek, giro, atau transfer elektronik. Ini adalah representasi digital atau “angka” awal dari nilai, meskipun tidak wajib digunakan sebagai alat pembayaran umum (masyarakat bisa menolaknya).
- Uang Elektronik (E-Money): Bentuk uang digital yang disimpan di perangkat elektronik seperti kartu prabayar atau dompet digital. Uang elektronik semakin dominan dalam transaksi sehari-hari, menunjukkan percepatan dematerialisasi nilai.
Perkembangan ini menunjukkan bahwa nilai telah lama menjadi entri dalam buku besar terpusat (bank), jauh sebelum munculnya teknologi blockchain.
Lanskap Keuangan Digital Modern: Dualitas Sistem Nilai
Era digital memperkenalkan dualitas fundamental dalam konsep nilai: model yang sepenuhnya terpusat dan model yang sepenuhnya terdesentralisasi.
Model Terpusat: Central Bank Digital Currency (CBDC)
CBDC adalah mata uang digital yang diterbitkan dan didukung langsung oleh Bank Sentral. CBDC dianggap sebagai kewajiban langsung dari bank sentral, yang berarti ia merupakan iterasi paling murni dari uang fiat dalam format digital. Di Indonesia, Bank Indonesia sedang mengembangkan Rupiah Digital di bawah Proyek Garuda.
CBDC memberikan perlindungan konsumen dan memberikan kontrol moneter yang lebih besar kepada bank sentral. Namun, format digital ini juga memungkinkan kontrol yang belum pernah terjadi sebelumnya. Contoh implementasi seperti e-CNY (Digital Yuan) di Tiongkok menunjukkan potensi kontrol granular, di mana batasan transaksi harian atau tahunan dapat diterapkan berdasarkan jenis dompet yang digunakan.
CBDC harus dipahami sebagai perpanjangan ekstrem dari uang fiat. Nilainya sepenuhnya didasarkan pada otoritas terpusat, dan formatnya memungkinkan pengawasan dan pembatasan yang tidak mungkin dilakukan pada uang kartal fisik, memperkuat dominasi negara dalam menetapkan dan mengelola nilai moneter.
Model Terdesentralisasi: Cryptocurrency (Kripto)
Di sisi yang berlawanan, muncul Cryptocurrency. Ini adalah mata uang digital yang disediakan oleh aktor pasar swasta, diamankan oleh kriptografi, dan beroperasi secara peer-to-peer (P2P)—transaksi terjadi langsung antara dua orang tanpa perantara.
Filsafat inti dari Cryptocurrency (terutama Bitcoin) adalah desentralisasi. Berbeda dengan sistem keuangan tradisional di mana bank memfasilitasi transaksi, kripto tidak melibatkan bank, dan setiap orang bertanggung jawab atas uang mereka sendiri. Kripto bersifat permissionless dan truthless. Pengguna tidak memerlukan izin dari lembaga terpusat manapun untuk menggunakannya, dan kedaulatan finansial kembali ke individu.
Nilai kripto didukung oleh matematika dan konsensus jaringan, mengalihkan kepercayaan dari institusi (trust in authority) ke kode yang transparan (trust in cryptography). Selain itu, karena dananya tidak dikendalikan oleh entitas pusat, aset tersebut tidak dapat dibekukan atau disita.
Analisis Konseptual: Dari Oral Ledger Rai Stones ke Distributed Ledger Blockchain
Evolusi nilai mencapai puncaknya dalam perdebatan antara CBDC dan Cryptocurrency, namun akarnya dapat dilacak kembali ke sistem moneter kuno.
Kasus Batu Rai di Pulau Yap secara filosofis sangat relevan dalam konteks digital modern. Batu Rai mencapai nilai melalui konsensus sosial yang terdistribusi secara lisan (Oral Ledger). Nilainya tidak bergantung pada apakah batu itu bergerak atau tidak, melainkan pada catatan yang diverifikasi oleh seluruh komunitas.
Cryptocurrency, yang beroperasi pada teknologi Blockchain (Distributed Ledger Technology), mencapai nilai melalui konsensus matematis yang terdistribusi secara digital. Kedua sistem ini, Batu Rai dan Kripto, berbagi tujuan inti yang sama: menciptakan sistem nilai yang dapat bertahan tanpa intervensi dan manipulasi dari otoritas terpusat.
Perbedaan ideologis antara CBDC dan Cryptocurrency sangatlah tajam. CBDC adalah personifikasi sentralisasi, memperkuat kekuatan bank sentral, sementara Cryptocurrency adalah perwujudan desentralisasi moneter, yang dibangun di atas fondasi yang sama dengan kepercayaan komunal yang terlihat pada Batu Rai: bahwa nilai yang stabil adalah nilai yang diatur oleh aturan yang transparan dan tidak dapat diubah (baik itu tradisi lisan atau kode sumber terbuka).
Tabel ini merangkum perpecahan ideologis dan struktural dalam representasi nilai digital modern.
Tabel 2: Dualitas Nilai Digital: CBDC versus Cryptocurrency
| Fitur Kunci | Central Bank Digital Currency (CBDC) | Cryptocurrency (Mis. Bitcoin) |
| Penerbit/Otoritas | Bank Sentral (Terpusat) | Komunitas Miner/Protokol (Terdesentralisasi) |
| Dukungan Nilai | Kewajiban langsung Bank Sentral/Pemerintah (Fiat Digital) | Kriptografi dan Konsensus Jaringan (Matematika/Kode) |
| Filsafat Kepercayaan | Kepercayaan pada Institusi (Pemerintah/Bank) | Trustless (Kepercayaan pada Kode) |
| Fungsi Kontrol | Tinggi (Potensi Pengawasan dan Batasan Transaksi) | Rendah (Tahan sensor, Permissionless) |
| Tujuan Utama | Efisiensi pembayaran, memperkuat kebijakan moneter | Kedaulatan finansial, Penyimpan Nilai yang Tahan Inflasi |
Kesimpulan
Trajektori evolusi konsep nilai menunjukkan peningkatan yang konsisten dalam efisiensi dan abstraksi. Setiap fase—dari barter ke komoditas (garam, cangkang), ke uang representatif (emas), hingga uang fiat dan digital—adalah upaya untuk mengatasi keterbatasan portabilitas, divisibilitas, dan standarisasi yang melekat pada sistem sebelumnya.
Perjalanan ini melibatkan pengorbanan nilai intrinsik. Nilai berpindah dari yang sepenuhnya didukung oleh fisik (Garam, Emas) menjadi sepenuhnya didukung oleh konsensus. Uang pada intinya, terlepas dari bentuknya, selalu merupakan produk dari kepercayaan yang dikelola. Di era Batu Rai, kepercayaan dikelola oleh konsensus lisan komunitas. Di era fiat, kepercayaan dikelola oleh otoritas negara. Di era digital, kepercayaan terbagi antara institusi terpusat (CBDC) dan sistem matematis terdesentralisasi (Kripto).
Lanskap moneter masa depan cenderung tidak didominasi oleh satu bentuk uang, melainkan oleh koeksistensi hibrida. Uang fiat fisik akan terus berkurang peranannya, digantikan oleh bentuk digital.
CBDC, seperti Rupiah Digital, diposisikan sebagai tulang punggung transaksi digital terpusat, berinteraksi dengan ritel-CBDC untuk transaksi sehari-hari dan wholesale-CBDC untuk operasi moneter dan pasar keuangan. Di sisi lain, Cryptocurrency akan mempertahankan peran pentingnya sebagai aset investasi (di bawah pengawasan seperti BAPPEBTI) dan sebagai penyimpan nilai yang dicari oleh mereka yang meragukan stabilitas kebijakan moneter terpusat.
Perdebatan moneter kontemporer telah bermetamorfosis menjadi pertempuran ideologis antara otoritas moneter terpusat (diperkuat oleh CBDC) dan kekuatan pasar terdesentralisasi (diperjuangkan oleh Kripto). Integrasi aset digital terdesentralisasi ke dalam sistem ekonomi global yang didominasi fiat memerlukan kerangka hukum yang cermat dan kompleks.
Untuk memastikan stabilitas ekonomi di tengah revolusi digital, otoritas moneter harus mempertimbangkan rekomendasi berikut:
- Transparansi Desain CBDC: Bank Sentral harus secara hati-hati menyeimbangkan antara inovasi yang dibawa oleh CBDC dan risiko yang terkait dengan privasi finansial dan potensi pengawasan yang berlebihan. Nilai CBDC, sebagai iterasi fiat, akan sangat bergantung pada seberapa efektif ia dapat menjalankan fungsi penyimpan nilai dan alat pembayaran utang dalam menghadapi tantangan inflasi.
- Pelajaran dari Konsensus: Prinsip-prinsip yang membuat Batu Rai Yap berfungsi—transparansi catatan kepemilikan dan konsensus komunitas—harus menjadi pelajaran. Dalam konteks digital, keberlanjutan sistem nilai terletak pada transparansi aturan main dan kepastian hukum.
- Regulasi yang Proaktif: Mengingat bahwa uang giral, uang elektronik, dan kini CBDC serta kripto hidup dalam ekosistem yang sama, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Sentral perlu terus memperbarui cetak biru transformasi digital perbankan dan pasar modal untuk mengelola risiko dan memastikan kepastian hukum bagi investor dan konsumen. Kegagalan mengelola pasokan uang yang berlebihan, seperti yang terjadi pada cangkang Cowry yang menyebabkan inflasi, harus dicegah melalui kebijakan moneter digital yang ketat.
