Merumuskan Kesejahteraan Sosial di Era Digital

Digitalisasi telah menjadi kekuatan transformatif yang tak terhindarkan dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam profesi pekerjaan sosial. Pekerjaan sosial memiliki misi sentral untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan membantu memenuhi kebutuhan dasar, dengan fokus ganda pada kesejahteraan individu dalam konteks sosial dan kesejahteraan masyarakat secara luas. Profesi ini dituntut untuk meningkatkan atau memulihkan kemampuan individu, kelompok, atau masyarakat untuk berfungsi secara sosial. Secara historis, profesi ini telah mengintegrasikan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk psikologi, sosiologi, ekonomi, dan kebijakan publik, untuk memahami kebutuhan dan perilaku masyarakat.

Urgensi adopsi teknologi dipercepat secara signifikan oleh krisis global seperti pandemi COVID-19, yang memaksa pekerja sosial untuk beralih ke layanan daring atau e-social work dalam semalam. Pergeseran ini menciptakan realitas campuran (mixed online-offline reality) yang mendefinisikan praktik kontemporer. Konsep E-Social Work didefinisikan secara luas sebagai penggunaan teknologi digital dalam pemberian layanan profesional, memindahkan sebagian besar interaksi ke platform daring, seperti konsultasi video atau aplikasi seluler.

Merumuskan E-Social Work vs. Digital Social Work Kritis

Meskipun digitalisasi menawarkan manfaat efisiensi, penting untuk membedakan antara adopsi teknologi pasif (E-Social Work) dan pendekatan yang lebih sadar dan kritis (Critical Digital Social Work). Pendekatan kritis ini menganalisis tidak hanya bagaimana teknologi diadopsi, tetapi juga implikasi kekuasaan, bias, dan etika yang melekat pada alat digital.

Studi telah menyelidiki proses dan hambatan dalam meningkatkan kapabilitas digital pekerja sosial, sering kali menggunakan model adopsi seperti Technology Acceptance Model dan SAMR theory. Penting juga bagi pekerjaan sosial untuk mengintegrasikan teori inti, seperti model intervensi berbasis sains yang dapat digunakan untuk klien yang mengalami krisis akut (misalnya, pemikiran bunuh diri atau kekerasan) , ke dalam lingkungan digital, memastikan teknologi mendukung prinsip layanan berbasis relasi.

Ketegangan antara Mandat Sosial dan Optimalisasi Teknologi

Dalam pekerjaan sosial, masalah klien harus dilihat tidak semata-mata sebagai kesalahan individu, tetapi juga sebagai akibat dari masalah sistemik seperti kemiskinan, diskriminasi, tekanan sosial, dan efek dari kebijakan kesejahteraan sosial. Pekerja sosial memiliki mandat etika untuk mempromosikan perubahan sosial dan keadilan, dengan perhatian khusus pada kebutuhan dan pemberdayaan orang yang rentan dan tertindas.

Teknologi, terutama kecerdasan buatan (AI) dan Big Data, unggul dalam mengukur, menganalisis, dan mengoptimalkan variabel individu dengan cepat dan akurat. Kemampuan teknologi untuk menganalisis dan mengekstraksi pola dari data besar lebih cepat daripada manusia memungkinkan prediksi yang lebih akurat dan pengambilan keputusan berdasarkan informasi yang lebih baik. Namun, penekanan yang berlebihan pada personalisasi dan prediksi risiko individu yang terukur ini berisiko mendorong reduksionisme teknologi. Hal ini berarti fokus dialihkan dari akar masalah sistemik yang sulit diukur, seperti diskriminasi struktural atau kemiskinan—yang merupakan inti dari mandat pekerjaan sosial —menuju solusi yang hanya mengobati gejala individual yang dapat diukur oleh data. Jika E-Social Work terlalu fokus pada personalisasi dan prediksi risiko individu, sumber daya dapat dialihkan dari upaya reformasi kebijakan dan keadilan sosial, sehingga secara tidak sengaja melanggengkan status quo yang tidak adil.

Kerangka Konseptual dan Aplikatif Teknologi Transformasional

Pemanfaatan teknologi canggih dalam pekerjaan sosial meliputi tiga domain utama: analisis data strategis, otomatisasi operasional, dan penyediaan layanan jarak jauh, masing-masing membawa janji efisiensi dan tantangan etika yang kompleks.

Big Data dan Kecerdasan Buatan (AI) dalam Pengambilan Keputusan

AI dan Big Data telah menjadi alat penting untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Untuk mengatasi tantangan dalam mengelola, menyimpan, dan menghasilkan wawasan dari data besar, digunakan teknik khusus seperti pemrosesan paralel, basis data NoSQL, dan alat analisis seperti Hadoop dan Spark.

  1. Peningkatan Produktivitas dan Efisiensi:Dengan memanfaatkan AI untuk mengotomatisasi tugas-tugas, organisasi layanan sosial dapat secara signifikan meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Peningkatan ini juga didorong oleh kemampuan AI untuk menganalisis data dan mengekstrak pola dari jumlah data yang besar dengan lebih cepat dan akurat daripada kemampuan manusia.
  2. Manajemen Risiko Prediktif:Pemanfaatan Big Data memungkinkan pemahaman yang lebih baik tentang tren dan pengambilan keputusan yang ditingkatkan. Dalam konteks manajemen kasus dan layanan sosial, ini diterapkan untuk analisis risiko prediktif. Alat canggih yang berasal dari industri keuangan, seperti yang mengintegrasikan AI berbasis Watson (contohnya IBM OpenPages) atau SAS Risk Management, memungkinkan deteksi risiko lebih cepat, integrasi langsung dengan sistem perusahaan, dan pembaruan model risiko secara otomatis berdasarkan tren terbaru.

Perlu dicatat bahwa adopsi model manajemen risiko berbasis AI yang diambil dari sektor keuangan dan bisnis  secara inheren memperkenalkan logika komersial (market logic) ke dalam layanan sosial. Dalam logika ini, presisi tinggi dalam pemodelan risiko dan kemampuan mengolah data dalam volume besar diutamakan. Jika alat ini diadopsi secara luas, metrik keberhasilan mereka (kecepatan, akurasi prediktif) dapat secara implisit menjadi metrik keberhasilan untuk pekerjaan sosial. Pergeseran ini berarti fokus dapat beralih dari penilaian berbasis relasi yang bernuansa dan kontekstual menuju agregasi titik data yang cepat dan terukur, secara fundamental mengubah sifat penilaian dan intervensi profesional.

Aplikasi Seluler, Tele-Layanan, dan Virtual Reality

Aplikasi seluler dan platform digital telah meningkatkan pengalaman pengguna dan memungkinkan intervensi jarak jauh.

  1. Personalisasi Layanan dan Pengalaman Pengguna:Dalam pelayanan, penggunaan sistem rekomendasi berbasis AI dan chatbot cerdas dapat menciptakan interaksi yang lebih responsif dan memuaskan bagi penerima layanan.
  2. Peran dalam Kesehatan dan Kesejahteraan:Dalam kesehatan, AI diharapkan memainkan peran yang lebih besar dalam mendeteksi penyakit lebih awal dan memberikan rekomendasi pengobatan yang dipersonalisasi, yang berpotensi mengubah pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Selain itu, pekerjaan jarak jauh dan berbasis platform digital dapat memberikan fleksibilitas kerja, yang dapat meningkatkan work-life balance dan mendukung keharmonisan keluarga.
  3. Pelatihan dan Simulasi (VR):Teknologi Virtual Reality (VR) dapat digunakan untuk pelatihan dan simulasi yang lebih efisien dari segi tempat dan biaya, misalnya untuk identifikasi bahaya dan risiko di lingkungan kerja atau roleplay tanggap darurat.

Ringkasan mengenai aplikasi teknologi utama, manfaatnya, dan risiko etika yang menyertainya disajikan dalam Tabel 1 berikut.

Table 1: Aplikasi Teknologi Kunci dalam E-Social Work dan Implikasi Manfaat-Risiko

Teknologi Aplikasi dalam Layanan Sosial Potensi Manfaat Utama Risiko Etika/Operasional Kunci
Big Data Analytics & AI Deteksi Risiko Prediktif (Child Welfare, Kesehatan Mental), Manajemen Kasus Otomatis, Analisis Pola Kebutuhan Peningkatan akurasi keputusan, efisiensi operasional, alokasi sumber daya yang ditargetkan Bias Algoritmik (racial disproportion), Kurangnya Transparansi, Dehumanisasi, Penguatan Bias Historis
Aplikasi Seluler & Tele-Konseling Layanan Kesehatan Jarak Jauh (LMICs), Edukasi Kesehatan, Pemantauan Kondisi Kronis, Distribusi Bantuan Aksesibilitas di daerah terpencil, Intervensi yang dipersonalisasi, Efisiensi layanan kesehatan Keamanan data perangkat, Kesenjangan Akses Keterampilan (Literasi), Tantangan Meaningful Informed Consent
Sistem Basis Data Terintegrasi Pengumpulan dan Penyimpanan Data Klien, E-Government Layanan Publik Pengambilan keputusan berbasis bukti yang komprehensif, Mempercepat pemrosesan data, Potensi mengurangi korupsi Pelanggaran Privasi Data Sensitif (terutama GDPR), Kerentanan Siber, Data Silo (kurangnya integrasi antar instansi)

Tantangan Etika Kritis: Bias, Privasi, dan Dehumanisasi

Adopsi teknologi canggih dalam pekerjaan sosial, terutama yang melibatkan data sensitif, menghadirkan serangkaian tantangan etika dan hukum yang mendalam.

Bias Algoritmik: Kontroversi Alat Penyaringan Kesejahteraan Anak

Penerapan model prediktif telah menjadi praktik yang semakin umum di lembaga kesejahteraan anak untuk menilai potensi risiko penganiayaan dan menentukan alokasi layanan. Alat seperti Allegheny Family Screening Tool (AFST) bertujuan untuk meningkatkan konsistensi keputusan staf dalam menilai risiko. Sebelum menggunakan model tersebut, analisis menemukan variabilitas keputusan yang tinggi, di mana 27% kasus risiko tertinggi disaring keluar dan 48% kasus risiko terendah disaring masuk.

Meskipun bertujuan meningkatkan konsistensi, analisis kritis mengungkapkan bahwa alat seperti AFST menghasilkan skor yang sangat tidak proporsional secara rasial. Studi terbaru menunjukkan bahwa AFST, jika diikuti secara membabi buta (sepenuhnya otomatis tanpa intervensi manusia), akan menyebabkan 20% lebih banyak anak kulit hitam dibandingkan anak kulit putih disaring untuk penyelidikan.

Penggunaan AI dalam pekerjaan sosial menciptakan rantai kausal penguatan ketidakadilan. Bias algoritmik ini muncul karena algoritma dilatih pada data historis yang sudah mencerminkan bias sistemik—misalnya, pekerja sosial di masa lalu cenderung menyelidiki kelompok minoritas lebih sering. Dengan menerapkan model yang belajar dari pola bias ini, algoritma menghilangkan peluang bagi diskresi manusia untuk memitigasi ketidakadilan dalam kasus per kasus, dan justru melembagakan serta memperkuat bias sistemik tersebut. Kurangnya transparansi mengenai cara kerja model ini (why those folks in Dallas made that particular decision)  melanggar prinsip akuntabilitas dan mempersulit pengacara dan pengadilan untuk berinteraksi dengan keputusan algoritmik.

Perlindungan Data dan Kepatuhan Regulasi

Data yang ditangani oleh pekerja sosial adalah data sensitif yang mencakup informasi mengenai kesehatan mental, riwayat medis, dan status sosial-ekonomi klien. Oleh karena itu, kerentanan siber dan perlindungan data merupakan risiko operasional utama.

Organisasi harus menerapkan kontrol akses yang ketat dan memberikan hak akses yang sesuai dengan pekerjaan dan tanggung jawab individu dalam organisasi. Kepatuhan terhadap regulasi privasi global, seperti Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR), adalah wajib bagi organisasi yang memproses data penduduk EEA. GDPR menetapkan bahwa pemrosesan data harus didasarkan pada dasar hukum, seperti persetujuan subjek data, pelaksanaan kontrak, atau kepentingan vital, dan basis ini harus ditetapkan dan dikomunikasikan sebelum pengumpulan data.

Dalam menghadapi ancaman berbasis AI, organisasi juga harus memanfaatkan teknologi AI untuk meningkatkan keamanan, seperti sistem deteksi intrusi yang didukung AI untuk deteksi ancaman real-time. Selain itu, kebijakan privasi yang ketat dan audit keamanan rutin sangat penting untuk mendeteksi dan merespons ancaman keamanan sebelum menyebabkan kerugian signifikan.

Tantangan Informed Consent (Persetujuan yang Diinformasikan) Digital

Prinsip informed consent (IC) sangat menonjol dalam pekerjaan sosial dan berakar pada prinsip penentuan nasib sendiri klien. Pekerja sosial memiliki kewajiban etika untuk memperoleh izin klien sebelum merilis informasi rahasia atau mengizinkan partisipasi dalam program/penelitian.

Dalam lingkungan digital, pekerja sosial yang menggunakan teknologi untuk memberikan layanan harus memperoleh IC dari klien selama skrining awal atau wawancara. Selain itu, ketika terlibat dalam evaluasi atau penelitian menggunakan teknologi digital, persetujuan tertulis harus dipastikan, dan pekerja sosial harus menilai apakah peserta dapat menggunakan teknologi tersebut, serta menyediakan alternatif yang memadai.

Tantangan muncul ketika klien rentan. Memperoleh IC yang valid dan bermakna sangat sulit bagi klien yang mungkin disorientasi, memiliki hambatan bahasa, atau keterbatasan kognitif. Misalnya, seorang klien dengan kondisi kejiwaan atau hambatan bahasa mungkin tidak mampu memahami risiko dan manfaat secara memadai. Persetujuan harus benar-benar diinformasikan dan dipahami, bukan sekadar formalitas.

Ancaman Dehumanisasi

Perkembangan teknologi, terutama AI, meskipun memudahkan kehidupan, berisiko merusak kehidupan manusia itu sendiri atau menyebabkan dehumanisasi. Dalam profesi yang bergantung pada interaksi manusia dan empati, Direktur Jenderal Sains dan Teknologi di Indonesia menekankan pentingnya pengembangan teknologi diiringi dengan pemahaman kehidupan sosial masyarakat. Hal ini diperlukan untuk memastikan kebijakan teknologi dikembangkan ke arah yang jelas dan memperkuat nilai kemanusiaan dan perdamaian.

Kesenjangan Digital (Digital Divide) dan Inklusivitas Layanan

Kesenjangan digital merupakan hambatan struktural terbesar bagi inklusivitas layanan sosial digital, dan ini melampaui masalah akses semata.

Kesenjangan Akses (Tier 1: Infrastruktur dan Ekonomi)

Kesenjangan digital yang disebabkan oleh infrastruktur adalah masalah utama, terutama di wilayah terpencil. Target Pembangunan Berkelanjutan (TPB) akan sulit dicapai jika jaringan internet dan infrastruktur pendukungnya, seperti jalan dan listrik, belum tersedia secara merata. Di daerah pedesaan, infrastruktur digital mungkin kurang berkembang dibandingkan dengan kota-kota besar.

Selain itu, masyarakat miskin mungkin tidak memiliki sumber daya keuangan untuk membeli perangkat digital atau membayar layanan internet yang diperlukan, menyebabkan mereka tertinggal dalam akses ke layanan digital. Pemerintah perlu menjamin penyediaan sarana pembangkit internet (misalnya, base transceiver station/BTS dan satelit) dan mempermudah perizinan bagi swasta. Advokasi untuk paket internet yang terjangkau dan penyediaan perangkat bersubsidi diperlukan untuk mengatasi hambatan ekonomi.

Kesenjangan Literasi dan Keterampilan (Tier 2: Trust and Usability)

Kesenjangan digital yang parah juga terjadi pada tingkat literasi. Masyarakat sebagai pengguna akhir layanan digital masih banyak yang belum memiliki pemahaman dasar tentang penggunaan perangkat atau aplikasi, terutama di kalangan lansia dan masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah. Kurangnya pemahaman ini dapat menyebabkan resistensi terhadap sistem baru dan keraguan atas transparansi layanan digital.

Kesenjangan ini harus dilihat bukan hanya sebagai masalah edukasi, tetapi masalah kapasitas untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) di ruang digital. Jika klien tidak memiliki literasi atau kepercayaan  untuk menggunakan layanan sosial digital secara aman , maka teknologi tersebut secara efektif mencabut hak mereka untuk berpartisipasi penuh dalam mengakses hak-hak dasar, bertentangan dengan prinsip inti pekerjaan sosial. Sosialisasi intensif melalui forum formal dan informal sangat penting untuk membangun kesadaran kolektif dan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap teknologi.

Hambatan Khusus Kelompok Rentan

Kelompok rentan menghadapi tantangan yang sangat spesifik dalam adopsi teknologi digital untuk layanan sosial:

  1. Lansia:Mereka mungkin tidak terbiasa dengan perangkat digital atau merasa cemas, dan perubahan fisik seiring bertambahnya usia, seperti berkurangnya penglihatan, dapat mempersulit penggunaan teknologi digital.
  2. Penyandang Disabilitas:Teknologi digital sering kali tidak dirancang inklusif. Mereka menghadapi hambatan seperti aksesibilitas web yang buruk, kurangnya perangkat keras dan perangkat lunak khusus, serta kurangnya konten yang disesuaikan.
  3. Keamanan dan Privasi:Kekhawatiran tentang keamanan dan privasi, termasuk ancaman penipuan online dan phishing, dapat menghambat motivasi mereka untuk mengadopsi teknologi digital.

Peran Pekerja Sosial sebagai Jembatan Inklusivitas

Pekerja sosial harus menjadi jembatan untuk mengatasi kesenjangan sosial-teknologi. Peran ini melibatkan intervensi langsung dan advokasi kebijakan:

  • Pelatihan yang Relevan:Program pelatihan literasi digital harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik dan menekankan pengalaman belajar langsung, dengan dukungan berkelanjutan. Melibatkan anggota masyarakat setempat sebagai mentor dapat meningkatkan relevansi budaya.
  • Advokasi Aksesibilitas:Pekerja sosial harus mengadvokasi konektivitas terjangkau dan memastikan bahwa sumber daya serta platform digital dapat diakses oleh penyandang disabilitas, dengan mengikuti pedoman aksesibilitas.
  • Pendekatan Partisipatif:Menggunakan pendekatan inklusif, seperti menyediakan materi dalam berbagai bahasa dan mempertimbangkan kepekaan budaya, serta melibatkan perwakilan komunitas dalam proses perencanaan dan implementasi.

Tabel 2 merangkum hambatan spesifik dan peran mitigasi pekerja sosial.

Table 2: Hambatan Utama Kesenjangan Digital dan Strategi Mitigasi Inklusif

Kelompok Rentan Hambatan Spesifik dalam Adopsi Layanan Digital Strategi Mitigasi dan Peran Pekerja Sosial
Masyarakat Miskin/Pedesaan Hambatan Infrastruktur (Jaringan Internet/Listrik), Biaya perangkat Advokasi infrastruktur merata, Program perangkat/internet bersubsidi, Mendirikan pusat akses komunitas
Lansia & Pendidikan Rendah Literasi digital rendah, Kecemasan terhadap teknologi, Resistensi karena kurangnya transparansi Program pelatihan yang disesuaikan (praktis/langsung), Sosialisasi intensif oleh mentor lokal, Membangun kepercayaan
Penyandang Disabilitas Kurangnya Aksesibilitas Web (Desain non-inklusif), Kurangnya perangkat keras/lunak khusus Kepatuhan Wajib pada Pedoman Aksesibilitas Digital (WCAG), Penyediaan konten yang disesuaikan
Semua Kelompok Rentan Masalah Keamanan dan Privasi Online (Penipuan, Phishing) Pendidikan literasi digital yang berfokus pada keamanan siber, Kebijakan privasi yang jelas dan mudah dipahami

Konteks Global: Implementasi E-Social Work di Negara Berkembang (LMICs)

Tantangan E-Social Work sangat berbeda antara Negara Berpenghasilan Tinggi (HICs) dan Negara Berpenghasilan Rendah dan Menengah (LMICs).

Perbandingan Tantangan Struktural

Di HICs, tantangan utama sering kali berkisar pada bias algoritmik  dan kompleksitas regulasi data (misalnya GDPR). Di sisi lain, LMICs menghadapi keterbatasan infrastruktur, kompetensi SDM, serta sistem kesejahteraan yang minimalis. Selain itu, masalah korupsi dan penggelapan dana dapat merusak sistem kesejahteraan.

Di LMICs, seperti Indonesia, implementasi e-government dipandang sebagai langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi layanan publik, serta berpotensi mengurangi kejahatan kerah biru (seperti korupsi). Keberhasilan inisiatif ini sangat dipengaruhi oleh infrastruktur teknologi, kompetensi sumber daya manusia, dan dukungan kebijakan yang memadai.

Peran E-Social Work sebagai Katalis untuk Good Governance

Di LMICs, fokus utama E-Social Work adalah katalis untuk good governance. Teknologi di sini adalah sarana untuk memastikan keadilan distributif (transparansi dan akuntabilitas) , yang merupakan prasyarat sosial fundamental. Pekerjaan sosial di Afrika telah menunjukkan perlunya pergeseran dari pendekatan kuratif ke paradigma pembangunan sosial, di mana teknologi harus mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat secara luas. Dengan kata lain, fokus utama di LMICs bukan hanya bagaimana teknologi membantu layanan konseling individu (seperti di HICs), tetapi bagaimana teknologi dapat memperkuat integritas institusi negara untuk memberikan layanan secara adil dan efisien.

Pembelajaran dari Digital Health

Sektor digital health di LMICs telah matang secara substansial. Intervensi telah berevolusi dari platform berbasis SMS sederhana (untuk diagnosis dan pengobatan malaria) menjadi aplikasi kesehatan bergerak yang canggih yang memfasilitasi dukungan perawatan diri, edukasi pasien, dan konsultasi jarak jauh dalam dua dekade terakhir. Media sosial juga telah digunakan secara efektif di LMICs untuk diseminasi informasi kesehatan dan edukasi.

Perkembangan ini menunjukkan bahwa teknologi dapat meningkatkan aksesibilitas dan ekuitas kesehatan di daerah berpendapatan rendah, membuktikan bahwa platform digital dapat menjadi alat yang kuat untuk menjangkau komunitas terpencil dan terpinggirkan. Pelajaran dari digital health dapat diadopsi oleh E-Social Work untuk meningkatkan layanan di LMICs, terutama dalam hal pemanfaatan media sosial untuk edukasi dan intervensi skala besar.

Table 3: Dimensi Perbandingan E-Social Work: Negara Maju vs. LMICs

Dimensi Kritis Negara Maju (HICs) Negara Berpenghasilan Rendah/Menengah (LMICs) Implikasi Kebijakan Kunci
Fokus Utama Teknologi Efisiensi, Precision (Prediksi risiko individu), Pengurangan variabilitas keputusan ResilienceIntegrity (Melawan korupsi), Akses layanan dasar (Health/Edukasi), Pembangunan Sosial Teknologi harus diadaptasi untuk memenuhi kebutuhan integritas tata kelola dan pembangunan sosial.
Tantangan Utama Bias Algoritmik, Dehumanisasi, Isu Informed Consent yang kompleks, Regulasi data yang ketat (GDPR) Kesenjangan Infrastruktur (Listrik, Jaringan), Kompetensi SDM, Keterbatasan Anggaran, Korupsi Investasi SDM dan Regulasi Anti-Bias di HICs; Prioritas Infrastruktur dan Transparansi di LMICs.
Evolusi Layanan Digital Sudah mapan (Tele-konseling, Basis Data Terintegrasi) Mulai dari platform sederhana (SMS, Media Sosial untuk Kesehatan) menuju aplikasi canggih Pelajaran dari Digital Health di LMICs dapat diadopsi untuk layanan sosial.

Arah Masa Depan dan Rekomendasi Kebijakan

Untuk memastikan bahwa teknologi mendukung, bukan merusak, mandat pekerjaan sosial untuk keadilan dan kesejahteraan, diperlukan roadmap strategis yang kritis.

Kerangka Etika dan Profesionalisme Digital

  1. Pengembangan Kerangka Kerja Etika Digital Wajib:Profesi pekerjaan sosial harus mengembangkan dan memberlakukan Kerangka Kerja Etika Digital yang ketat, sejalan dengan standar internasional. Kerangka ini harus menjadi pedoman utama dalam pengadaan, implementasi, dan penggunaan alat digital.
  2. Pendidikan dan Kesadaran Profesional:Edukasi mengenai ancaman berbasis AI dan cara mengenali serangan siber sangat penting untuk mengurangi risiko. Pekerja sosial harus dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk memberikan IC yang bermakna bagi klien di lingkungan digital.

Reformasi Tata Kelola Algoritma (Algorithmic Governance)

  1. Audit Bias Sistemik:Lembaga layanan sosial wajib melakukan audit independen secara berkala terhadap semua model prediktif yang digunakan untuk mendeteksi dan menghilangkan bias sistemik (rasial, kelas, geografis) yang telah dilembagakan oleh data historis.
  2. Transparansi dan Akuntabilitas:Semua model pengambilan keputusan algoritmik harus memiliki mekanisme explainability yang jelas. Pekerja sosial dan pengadilan harus memahami bagaimana rekomendasi dihasilkan.
  3. Memperkuat Human-in-the-Loop:Keputusan layanan sosial yang paling berdampak harus selalu diambil oleh manusia yang terlatih dan kompeten. Algoritma harus berfungsi sebagai alat konsultatif, bukan otoritas. Diskresi profesional harus dipertahankan untuk menantang hasil algoritma yang kaku dan mengintegrasikan konteks sosial yang kaya.

Kebijakan Inklusivitas dan Pembangunan Kapasitas

  1. Menjamin Akses Universal:Negara harus memprioritaskan penyediaan infrastruktur digital dan konektivitas yang terjangkau dan merata sebagai hak sosial dasar, termasuk melalui penyediaan sarana fisik di wilayah terpencil.
  2. Peningkatan Literasi Digital Kritis:Anggaran harus dialokasikan untuk program sosialisasi dan pelatihan literasi digital yang berkelanjutan, praktis, dan disesuaikan secara budaya, terutama bagi lansia dan masyarakat dengan literasi rendah. Program ini harus menekankan keamanan siber dan cara yang bertanggung jawab dalam menggunakan layanan digital.
  3. Regulasi Aksesibilitas Desain:Kebijakan harus mendorong regulasi yang memastikan semua aplikasi layanan publik mematuhi standar aksesibilitas digital yang ketat (seperti panduan aksesibilitas web) untuk menjamin inklusivitas penyandang disabilitas.

Kesimpulan

Peran teknologi dalam kesejahteraan sosial global, atau E-Social Work, bersifat transformasional dan ambivalen. Sementara AI dan Big Data menjanjikan efisiensi dan pengambilan keputusan berbasis bukti, potensi risiko etika—terutama bias algoritmik, pelanggaran privasi data sensitif, dan ancaman dehumanisasi—mengharuskan profesi ini mengadopsi pendekatan yang kritis.

Tantangan inklusivitas digital di LMICs berfokus pada infrastruktur dan good governance, di mana teknologi dapat menjadi alat untuk melawan korupsi dan meningkatkan transparansi. Sebaliknya, di HICs, tantangan utama adalah memastikan bahwa alat prediktif tidak menginstitusionalisasi ketidakadilan sosial historis.

Untuk memitigasi risiko ini, E-Social Work harus beroperasi di bawah kerangka etika yang ketat, mengutamakan transparansi algoritmik, dan berinvestasi dalam inklusivitas digital secara holistik, mencakup akses fisik, literasi fungsional, dan kepercayaan masyarakat. Kegagalan untuk menyeimbangkan inovasi dengan mandat etika pekerjaan sosial untuk keadilan akan mengubah teknologi dari sekutu menjadi instrumen yang memperparah ketidaksetaraan sistemik.

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 59 = 66
Powered by MathCaptcha