Tulisan ini menyajikan analisis mendalam mengenai asimetri ekonomi yang berkelanjutan antara Negara-negara Utara Global (Global North/GN) dan Selatan Global (Global South/GS), mengidentifikasi bahwa kesenjangan ini berakar pada warisan sejarah kolonial dan struktur institusional global yang tidak berkeadilan. Kesenjangan GN-GS dimanifestasikan melalui disparitas pembangunan manusia, ketergantungan perdagangan komoditas, monopoli teknologi yang dilegalisasi oleh rezim Hak Kekayaan Intelektual (HKI), dan subordinasi ekonomi. Analisis menunjukkan bahwa dinamika struktural ini membatasi ruang fiskal negara-negara GS, yang berdampak langsung pada terhambatnya pendanaan program kesejahteraan sosial domestik.

Peran Lembaga Keuangan Internasional (LKI), khususnya Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, dikritik karena tata kelola yang tidak demokratis dan kebijakan Penyesuaian Struktural (SAPs) yang cenderung neoliberalistik. Kebijakan penghematan dan liberalisasi yang dipaksakan telah memperparah ketimpangan domestik dan mengikis kedaulatan kebijakan sosial. Untuk mengatasi masalah ini, tulisan merekomendasikan reformasi arsitektur keuangan global yang ambisius, termasuk penerapan Pajak Minimum Global (GMT) untuk merebut kembali basis pajak, realokasi Special Drawing Rights (SDR) untuk pendanaan pembangunan berkelanjutan, dan pembentukan kerangka utang yang berkeadilan.

Pendahuluan: Memetakan Kesenjangan Struktural Global Abad ke-21

Latar Belakang dan Urgensi Analisis Ketidaksetaraan Global

Ketidaksetaraan global telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, menjadi risiko sistemik dan hambatan utama untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Analisis mendalam oleh Oxfam International menyoroti urgensi situasi ini: kekayaan 1% orang terkaya di dunia telah melonjak lebih dari $33,9 triliun dalam nilai riil sejak tahun 2015. Jumlah kekayaan yang terkumpul ini diperkirakan cukup untuk menghilangkan kemiskinan tahunan sebanyak 22 kali lipat berdasarkan garis kemiskinan tertinggi Bank Dunia ($8,30 per hari). Disparitas yang mencolok ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi global saat ini sangat tidak adil.

Dunia abad ke-21 ditandai dengan tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya, mulai dari perubahan iklim, ketidaksetaraan sosial yang mendalam, hingga risiko geopolitik yang cepat. Arsitektur keuangan internasional yang ditetapkan pada tahun 1945, khususnya setelah Perang Dunia II, telah menjadi tegang dan menunjukkan kekurangan mendalam yang membuatnya tidak siap menghadapi tantangan modern ini. Arsitektur yang dirancang untuk negara-negara industri pascaperang ini gagal memobilisasi investasi jangka panjang yang dibutuhkan untuk mengatasi krisis iklim dan mencapai SDGs bagi 8 miliar orang di dunia. Oleh karena itu, tulisan ini fokus untuk mengidentifikasi bagaimana asimetri struktural antara Utara dan Selatan Global (GN-GS) diinternalisasi dalam sistem global, dan bagaimana hal ini secara krusial membatasi kemampuan negara-negara GS untuk menjalankan program kesejahteraan sosial yang efektif.

Definisi Konseptual: Global North, Global South, dan Kesenjangan Struktural

Konsep Utara Global dan Selatan Global (Global North/Global South) adalah terminologi yang digunakan untuk mengelompokkan negara berdasarkan karakteristik sosioekonomi dan politik mereka, menggantikan istilah yang lebih tua seperti “Dunia Pertama” dan “Dunia Ketiga” dengan alternatif yang lebih terbuka dan bebas nilai.

Global North secara luas terdiri dari negara-negara maju (developed countries). Menurut UN Trade and Development (UNCTAD), kelompok ini mencakup Amerika Utara, Eropa, Israel, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru. Negara-negara di GN umumnya dicirikan sebagai berpenghasilan tinggi, memiliki ekonomi yang sangat terdiversifikasi, dan berbasis pada jasa bernilai tinggi atau industri penuh.

Global South secara luas terdiri dari negara-negara berkembang (developing countries dan least developed countries). Kelompok ini mencakup Afrika, Amerika Latin dan Karibia, sebagian besar Asia (tidak termasuk Israel, Jepang, dan Korea Selatan), dan Oseania (tidak termasuk Australia dan Selandia Baru). Karakteristik umum GS adalah standar hidup yang rendah, termasuk pendapatan yang lebih rendah, tingkat kemiskinan yang tinggi, tingkat pertumbuhan populasi yang tinggi, peluang pendidikan yang terbatas, sistem kesehatan yang kurang memadai, dan infrastruktur perkotaan yang buruk. Ekonomi GS seringkali masih dalam proses industrialisasi yang terhambat atau bergantung pada sektor primer.

Kesenjangan antara kedua blok ini bersifat multidimensional :

  1. Disparitas Ekonomi:Ketidaksetaraan ekonomi adalah fitur paling menonjol dari kesenjangan GN/GS.
  2. Kesenjangan Teknologi dan Pengetahuan:GN menikmati akses dan penguasaan yang lebih besar terhadap inovasi, penelitian ilmiah, dan pendidikan.
  3. Ketidaksetaraan Kesehatan dan Lingkungan:GS menghadapi tingkat penyakit, kekurangan gizi, dan akses layanan kesehatan yang tidak memadai.
  4. Pengaruh Politik:Terdapat asimetri dalam pengaruh dan representasi politik di forum-forum global.

Tujuan dan Struktur Tulisan

Tujuan utama tulisan ini adalah untuk memberikan kerangka kerja analitis yang mengidentifikasi mekanisme struktural yang mengabadikan kesenjangan GN-GS, menganalisis bagaimana mekanisme ini mengikis kemampuan fiskal negara-negara GS untuk menyediakan kesejahteraan sosial, dan mengajukan rekomendasi reformasi kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan.

Dimensi dan Akar Struktural Kesenjangan Utara-Selatan

Profil Kesenjangan Sosio-Ekonomi dan Pembangunan Manusia

Kesenjangan GN-GS tidak hanya tercermin dalam produk domestik bruto per kapita, tetapi secara mendalam terlihat dalam Indikator Pembangunan Manusia (HDI). Negara-negara di GN secara konsisten mencapai tingkat HDI Sangat Tinggi, didukung oleh sistem sosial yang kuat. Sebaliknya, sebagian besar negara di GS menunjukkan HDI Rendah hingga Sedang, yang berhubungan langsung dengan tingginya kemiskinan dan infrastruktur yang kurang memadai. Meskipun tulisan pembangunan manusia global terbaru mencatat peluang untuk membangun kembali yang lebih baik, kemajuan pembangunan manusia global mengalami penurunan, diperburuk oleh konflik dan krisis iklim.

Manifestasi ketidaksetaraan ini terlihat jelas di lingkungan perkotaan. Dengan proyeksi bahwa hampir 70% populasi global akan tinggal di kota pada tahun 2050, infrastruktur kritis, perumahan terjangkau, transportasi yang efisien, dan layanan sosial penting menjadi krusial. Namun, pada tahun 2022, sebanyak 24,8% populasi perkotaan global hidup di daerah kumuh atau kondisi serupa—sedikit menurun dari 25% pada tahun 2015, tetapi secara absolut mencapai 1,12 miliar jiwa, meningkat 130 juta dari waktu ke waktu. Lebih dari setengah penghuni permukiman informal ini (589 juta) berada di Asia Timur, Tenggara, Tengah, dan Selatan. Selain itu, akses yang nyaman ke transportasi publik (didefinisikan sebagai jarak berjalan kaki 500m dari halte bus atau 1.000m dari terminal kereta/feri) tetap rendah, terutama di negara-negara berkembang. Disparitas ini menegaskan kegagalan pembangunan untuk menyediakan layanan esensial bagi miliaran penduduk GS.

Asimetri Ekonomi Fundamental: Ketergantungan Komoditas dan Struktur Perdagangan yang Tidak Setara

Struktur ekonomi GN dan GS menunjukkan asimetri yang mendalam. Ekonomi di GN sangat terdiversifikasi, sementara sektor pertanian seringkali menjadi kontributor utama kegiatan ekonomi di GS. Dalam hal struktur perdagangan, GN berfungsi sebagai eksportir barang manufaktur dan jasa bernilai tinggi, sementara GS masih terperangkap sebagai eksportir komoditas primer dan sumber daya alam.

Ketergantungan ekonomi pada GN memperkuat kesenjangan ini. Negara-negara GS mengandalkan ekspor bahan mentah tetapi harus mengimpor barang manufaktur. Pola ini menciptakan siklus ketergantungan yang, sebagaimana dijelaskan dalam teori ketergantungan, membatasi industrialisasi dan swasembada ekonomi di GS, sehingga memperkuat kemiskinan dan stagnasi ekonomi.

Struktur perdagangan GS yang didominasi komoditas primer membuat mereka sangat rentan terhadap fluktuasi harga global dan, secara historis, tren penurunan nilai tukar komoditas. Kesenjangan harga jual yang melekat pada model ini menyebabkan pendapatan ekspor GS terus berkurang relatif terhadap biaya impor barang-barang manufaktur atau teknologi canggih dari GN. Penurunan pendapatan ini secara struktural membatasi kemampuan GS untuk mengakumulasi modal domestik yang diperlukan untuk diversifikasi ekonomi, mengunci mereka dalam model ekonomi ekstraktif yang menguntungkan GN sebagai importir produk akhir.

Warisan Kolonialisme dan Pembentukan Struktur Ekonomi Ganda

Kesenjangan Utara–Selatan bukanlah fenomena yang terjadi secara alami atau baru, melainkan hasil dari lintasan sejarah yang panjang di mana kolonialisme dan formasi ekonomi global memainkan peran sentral dalam menciptakan asimetri struktural yang berkelanjutan.

Warisan kolonialisme membentuk dasar struktur ekonomi ganda yang masih terlihat jelas di banyak negara GS. Sistem kolonial secara sistematis mengorganisir ulang struktur ekonomi negara jajahan untuk fokus pada ekstraksi sumber daya, perkebunan, dan pertanian. Tenaga kerja diatur untuk melayani kepentingan metropole (negara pusat), yang kemudian menjadi cikal bakal hubungan pusat-pinggiran kontemporer. Wilayah yang menjadi pusat kekuasaan kolonial menunjukkan kompleksitas, sementara wilayah lain direduksi menjadi penunjang aktivitas di pusat kekuasaan.

Aspek krusial dari warisan kolonial ini adalah pembentukan elite domestik. Teori ketergantungan menyatakan bahwa kemajuan industri di negara satelit tetap bergantung pada negara pusat, dan kebijakan industrial seringkali dipegang oleh negara pusat. Lebih jauh lagi, hubungan antara elite di negara pusat dan elite di negara pinggiran (GS) secara efektif mencegah terjadinya pembangunan nasional yang inklusif. Elite di daerah pinggiran, karena kekuatannya didukung oleh kekuatan-kekuatan di negara pusat, memperoleh bagian yang lebih besar dari pendapatan nasional, yang menyebabkan ketimpangan pendapatan domestik. Hal ini menunjukkan bahwa struktur kolonial tidak hanya membentuk ekonomi ganda, tetapi juga menginstitusionalisasikan kelas elit yang perilakunya diarahkan oleh faktor global. Elite ini berfungsi sebagai mediator dan penguat eksploitasi struktural yang dilakukan oleh GN, yang mencegah mobilisasi sumber daya domestik untuk tujuan pembangunan dan kesejahteraan nasional.

Tabel 1: Perbandingan Struktural Negara Global North vs. Global South

Tabel 1 menyajikan ringkasan perbedaan struktural yang mendefinisikan kesenjangan antara Global North dan Global South, yang menunjukkan asimetri mendasar dalam kekuatan ekonomi dan penguasaan sumber daya.

Kriteria Struktural Global North (Negara Maju) Global South (Negara Berkembang)
Status Ekonomi Umum Berpenghasilan Tinggi; Industri Penuh, Berbasis Jasa Bernilai Tinggi Berpenghasilan Rendah/Menengah; Industrialisasi Terhambat/Sedang Berlangsung
Indikator Pembangunan (HDI) HDI Sangat Tinggi; Sistem Sosial yang Kuat HDI Rendah hingga Sedang; Kemiskinan dan Infrastruktur Kurang Memadai
Struktur Perdagangan Eksportir Barang Manufaktur dan Jasa Bernilai Tinggi Eksportir Komoditas Primer dan Sumber Daya Alam
Kontrol Teknologi & HKI Penguasaan, Pengekspor Teknologi, Pemegang Hak Cipta Dominan Pengguna/Penerima Teknologi; Keterbatasan Penguasaan; Ketergantungan Teknologi
Akses Keuangan Global Akses Stabil ke Pasar Modal; Kekuatan Suara Dominan di LKI Rentan terhadap Gejolak Modal Asing; Ketergantungan pada Utang Luar Negeri/Bantuan

Monopoli Pengetahuan, Teknologi, dan Lingkaran Ketergantungan

Kesenjangan Teknologi dan Kekuatan Kapitalisme Monopolistik

Salah satu perbedaan paling signifikan antara GN dan GS adalah kesenjangan teknologi dan pengetahuan. Global North menikmati akses yang jauh lebih besar ke inovasi, penelitian ilmiah, dan sistem pendidikan yang berfungsi sebagai mesin penggerak keunggulan ekonomi berkelanjutan.

Kapitalisme monopolistik, yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang berbasis di GN, memiliki dampak multi-aspek terhadap ekonomi global. Meskipun perusahaan-perusahaan monopolistik seringkali memiliki kapabilitas Research and Development (R&D) yang superior, kurangnya daya saing yang sehat secara keseluruhan menghambat inovasi yang lebih luas. Monopoli ini juga memperburuk ketidaksetaraan alokasi sumber daya, di mana korporasi dominan mengumpulkan bagian sumber daya yang sangat besar, yang seringkali mengorbankan kesejahteraan konsumen.

Bagi GS, keterbatasan penguasaan teknologi  dipertahankan melalui mekanisme legal dan institusional. Bahkan negara-negara industri baru (NICs) sekalipun, kemajuan industri mereka di negara satelit (GS) masih bergantung pada negara pusat (GN), sebagian karena penguasaan dan penggunaan teknologi mereka dibatasi melalui peraturan mengenai Hak Cipta dan kepemilikan intelektual. Fenomena ini disebut “ketergantungan teknologis-industrial”.

Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai Instrumen Ketergantungan Struktural

Rezim Hak Kekayaan Intelektual (HKI) global, yang sebagian besar dibentuk oleh kepentingan negara-negara maju, berfungsi sebagai mekanisme struktural yang membatasi transfer teknologi esensial ke Global South. Meskipun perlindungan HKI, seperti undang-undang hak cipta dan merek, penting untuk mendorong inovasi dan kreativitas di era digital , secara IPE, HKI bertindak sebagai instrumen untuk menjaga monopoli teknologi GN.

Studi Kasus: Kritik TRIPS WTO dan Akses Obat-obatan/Kesehatan

Perjanjian Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) di bawah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mewajibkan negara-negara anggota untuk memberikan perlindungan hak paten obat dengan standar tinggi selama minimal 20 tahun. Perjanjian ini pada awalnya muncul karena kekhawatiran negara-negara industri maju tentang kurangnya perlindungan HKI di negara-negara berkembang.

Kritik tajam terhadap TRIPS muncul saat krisis global, seperti pandemi COVID-19. Negara-negara GS berjuang untuk mengakses teknologi kesehatan kritis, termasuk vaksin dan alat bantu pernapasan (ventilator), karena adanya monopoli paten. Muncul seruan untuk melaksanakan TRIPS Waiver (penghapusan sementara paten) guna memungkinkan produksi massal yang terjangkau. Meskipun ada keputusan WTO, aktivis berpendapat bahwa putusan tersebut tidak akan berdampak signifikan pada akses kebutuhan COVID-19.

Penerapan HKI yang ketat dan bersifat monopoli ini secara sengaja membatasi kemampuan negara-negara GS untuk memproduksi barang bernilai tinggi atau esensial, seperti obat-obatan. Ini adalah institusionalisasi kekurangan produktif, di mana GS tidak kekurangan kemampuan, tetapi dibatasi oleh kerangka legal global. Hambatan ini mencegah GS mencapai industrialisasi yang mandiri dan secara serius mengancam kedaulatan kesehatan publik mereka, mengabadikan ketergantungan pada GN untuk produk-produk kritis.

Implikasi Kesenjangan Global terhadap Ruang Fiskal Kesejahteraan Sosial

Tekanan Utang Luar Negeri dan Defisit Fiskal di Negara-negara Global South

Dalam konteks ketidaksetaraan struktural global, banyak negara di Global South menghadapi situasi di mana pendapatan negara tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan belanja negara yang terus meningkat. Oleh karena itu, utang luar negeri menjadi solusi pembiayaan defisit anggaran. Utang negara secara teoretis digunakan untuk mendanai proyek infrastruktur, yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi di masa depan, serta untuk mengejar ketertinggalan dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia melalui alokasi anggaran pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Utang yang digunakan untuk belanja investasi/modal yang produktif, yang menghasilkan penambahan aset negara, dianggap aman dan dikelola dengan baik.

Meskipun utang bisa produktif, fakta bahwa negara-negara GS harus bergantung pada pembiayaan eksternal untuk mendanai kebutuhan dasar yang mendesak menunjukkan kelemahan struktural dalam basis pendapatan mereka—sebuah kelemahan yang diperburuk oleh ketidakadilan perdagangan dan penghindaran pajak multinasional.

Crowding Out Effect dan Kerentanan Fiskal

Pengelolaan utang yang berlebihan atau dalam kondisi pasar yang volatil memiliki implikasi serius terhadap stabilitas keuangan nasional dan ruang fiskal. Arus modal asing yang keluar dari pasar GS, misalnya, dapat menciptakan kerentanan yang signifikan. Lebih lanjut, ketika suatu negara mengeluarkan utang luar negeri dalam jumlah besar, permintaan valuta asing untuk pembayaran utang (termasuk pokok dan bunga) dapat mempengaruhi nilai tukar mata uang domestik.

Beban layanan utang yang tinggi, terutama dalam valuta asing, menciptakan crowding out effect pada anggaran negara. Kewajiban pembayaran utang yang harus dipenuhi secara prioritas, terutama ketika menghadapi gejolak pasar atau penurunan nilai tukar, secara langsung mengurangi ruang fiskal yang tersedia untuk belanja produktif dan program kesejahteraan sosial. Ketidaksetaraan global, yang termanifestasi dalam ketergantungan modal asing dan volatilitas valuta asing, menciptakan siklus utang yang memaksa negara-negara GS mengalihkan sumber daya dari sektor sosial vital seperti pendidikan dan layanan kesehatan.

Konsekuensi mendasar dari siklus ini adalah terkikisnya kedaulatan kebijakan sosial. Kemampuan negara GS untuk mendanai dan melaksanakan program kesejahteraan (misalnya, jaring pengaman sosial, peningkatan gizi) tidak lagi sepenuhnya ditentukan oleh kebutuhan mendesak rakyatnya, tetapi secara efektif diatur oleh kondisi pasar modal global dan kebutuhan yang didikte oleh kreditor internasional. Polarisasi pekerjaan dan akses terbatas terhadap layanan esensial di negara berkembang akibat tekanan fiskal ini menciptakan ketidaksetaraan domestik yang mengancam stabilitas sosial dan keadilan, menghambat kemajuan pembangunan.

Ketidaksetaraan Domestik sebagai Cerminan Ketidaksetaraan Global

Tingkat ketidaksetaraan domestik di negara-negara GS seringkali menjadi cerminan langsung dari posisi mereka yang subordinat dalam hierarki ekonomi global. Tulisan Oxfam tentang ketimpangan kekayaan di Indonesia menunjukkan konsentrasi kekayaan pada kelompok ultrakaya yang memperoleh posisi istimewa dari pemanfaatan sumber daya ekonomi dan proses privatisasi, seringkali seiring dengan dampak dari penyesuaian struktural.

Respon terhadap ketidaksetaraan sosial di negara-negara berkembang memerlukan pendekatan yang komprehensif, melibatkan semua pemangku kepentingan, dan didukung oleh kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan. Untuk mencapai egalitarianisme global, negara-negara berkembang perlu memiliki kesamaan visi dan memperkuat wadah kerjasama dalam bidang politik dan ekonomi. Namun, kondisi perdagangan yang tidak setara dan tekanan utang global terus menghambat peluang untuk mempercepat pembangunan inklusif di negara-negara berkembang.

Peran Lembaga Internasional (IMF dan Bank Dunia): Kritik Struktur dan Dampak Kebijakan

Mandat dan Tata Kelola LKI: Isu Representasi dan Hak Suara

Lembaga Keuangan Internasional (LKI), terutama IMF dan Bank Dunia, memegang peran sentral dalam Arsitektur Keuangan Internasional (AFI). Peran mereka meningkat pada masa krisis, tidak hanya untuk menyediakan likuiditas dan dana pembangunan tetapi juga untuk mendorong reformasi struktural (fiskal dan moneter) di negara-negara yang terkena dampak.

Meskipun peran ini vital, struktur tata kelola LKI dikritik keras karena bersifat sangat tidak demokratis (deeply undemocratic). Kekuatan suara (voting power) di IMF dan Bank Dunia tidak didasarkan pada populasi negara anggota, melainkan terikat pada ukuran ekonomi dan kuota modal yang disetorkan. Akibatnya, negara-negara Global North mempertahankan dominasi yang tidak proporsional. Misalnya, Amerika Serikat secara efektif memegang hak veto atas setiap perubahan kebijakan atau alokasi kuota besar.

Struktur tata kelola yang tidak demokratis ini menginstitusionalisasi bias dalam kebijakan LKI, yang secara konsisten mencerminkan dan memprioritaskan kepentingan ekonomi GN, khususnya pemegang saham mayoritas. Hal ini membatasi kemampuan LKI untuk menerapkan reformasi struktural yang benar-benar adil, seperti mekanisme keringanan utang yang komprehensif atau kebijakan transfer teknologi, karena setiap upaya yang berpotensi mengancam kekuasaan ekonomi GN dapat diveto. Dengan demikian, LKI, alih-alih menjadi badan yang mempromosikan keadilan global, seringkali berfungsi sebagai penjaga status quo ekonomi.

Analisis Program Penyesuaian Struktural (SAPs): Dampak Penghematan (Austerity) dan Liberalisasi

Untuk memperoleh bantuan dana dari IMF dan Bank Dunia, negara peminjam diwajibkan menyetujui dan menerapkan serangkaian kebijakan yang dikenal sebagai Program Penyesuaian Struktural (SAPs). Program-program ini disepakati dalam nota kesepakatan bersama, seperti Letter of Intent (LOI) yang diterapkan di Indonesia selama krisis moneter 1997-2000. SAPs menyentuh seluruh sektor kehidupan, mulai dari kebijakan moneter, fiskal, hingga reformasi sektoral (misalnya, kehutanan).

Kritik utama terhadap SAPs adalah orientasi neoliberalnya, yang cenderung menekankan fundamentalisme pasar, deregulasi, privatisasi, dan kebijakan penghematan fiskal (austerity). Syarat-syarat pinjaman ini seringkali memaksa pemerintah untuk menerapkan kebijakan pajak rendah, belanja rendah, dan liberalisasi pasar tenaga kerja.

Dampak sosial dari kebijakan ini sangat signifikan. Di banyak negara GS, termasuk Indonesia, penyesuaian struktural telah menyebabkan konsentrasi kekayaan pada kelompok ultrakaya melalui proses privatisasi aset publik dan pemberian konsesi eksklusif. Sementara itu, kebijakan penghematan (belanja rendah) membatasi intervensi sosial pemerintah dan secara langsung mengurangi anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan layanan publik. Meskipun tujuan pinjaman adalah untuk mengatasi krisis, implementasi SAPs seringkali menimbulkan ketimpangan-ketimpangan yang tidak seimbang.

Dilema Kebijakan Utang: Meredakan atau Memperburuk Kerentanan Ekonomi?

LKI memang berperan sebagai benteng pertahanan terakhir (last buffer) untuk penyelamatan ekonomi dunia saat krisis. Mereka mendorong reformasi dengan tujuan agar krisis tidak terulang di masa depan. Namun, persyaratan bersyarat yang melekat pada pinjaman mereka menimbulkan dilema serius.

Terdapat bukti yang menunjukkan pentingnya intervensi yang relevan secara lokal dalam merancang kebijakan fiskal untuk mengatasi kesenjangan dan kemiskinan di daerah berpendapatan rendah. Namun, persyaratan LKI seringkali bersifat one-size-fits-all dan mengabaikan konteks lokal tersebut.

Dalam konteks kebijakan utang, implementasi persyaratan LKI seringkali memindahkan risiko keuangan dari kreditor Global North (bank dan investor swasta) ke negara peminjam GS dan, pada akhirnya, kepada rakyat miskin melalui pemotongan belanja sosial. Ketika negara GS membutuhkan dana untuk melayani utang atau menstabilkan mata uang (melalui kebijakan suku bunga yang tinggi oleh otoritas moneter ), LKI memastikan bahwa kreditor swasta terlindungi, sementara negara GS menanggung biaya reformasi neoliberal yang merusak program kesejahteraan. Artinya, LKI secara tidak langsung bertindak untuk memastikan stabilitas sistem keuangan global yang didominasi GN, bahkan jika hal itu memperburuk ketidaksetaraan domestik di GS.

Agenda Redistribusi Kekayaan Global dan Reformasi Arsitektur Keuangan Internasional (AFI)

Urgensi Reformasi AFI Pasca-1945

Kritik terhadap arsitektur keuangan global menunjukkan bahwa sistem yang ada saat ini tidak sesuai dengan dunia abad ke-21. Arsitektur yang ditetapkan pada tahun 1945 dinilai tidak siap menghadapi isu-isu sistemik seperti perubahan iklim, ketidaksetaraan yang mendalam, dan lanskap geopolitik yang cepat. Kegagalan mendasar AFI adalah ketidakmampuannya memobilisasi investasi jangka panjang yang dibutuhkan untuk mencapai SDGs.

Reformasi AFI yang mendesak dan ambisius diperlukan. Area fokus reformasi mencakup tata kelola ekonomi global, keringanan utang dan biaya pinjaman pemerintah, keuangan publik internasional, jaring pengaman keuangan global, kerangka kerja kebijakan untuk mengatasi short-termism di pasar modal, dan yang paling penting, arsitektur perpajakan global.

Reformasi Pajak Global: Peran Pajak Minimum Global (GMT)

Salah satu mekanisme yang paling menjanjikan untuk mengurangi ketidaksetaraan adalah melalui reformasi arsitektur perpajakan global. Pajak Minimum Global (GMT) sebesar 15% adalah inisiatif kunci yang dirancang untuk mengatasi praktik penghindaran pajak oleh Grup Perusahaan Multinasional (PMN).

Penerapan GMT berlaku untuk Grup PMN yang memiliki peredaran bruto dalam Tulisan Keuangan Konsolidasi paling sedikit EUR 750 juta per tahun. GMT beroperasi melalui dua mekanisme utama:

  1. Domestic Minimum Top Up Tax(DMTT): Pajak minimum yang dikenakan terhadap entitas yang merupakan subjek pajak dalam negeri.
  2. Income Inclusion Rules(IIR): Ketentuan yang mewajibkan Entitas Induk Utama dari Grup PMN untuk membayar pajak tambahan atas Entitas Konstituennya yang dikenakan pajak efektif kurang dari 15%.

Dampak penerapan GMT positif. Selain meningkatkan transparansi tulisan keuangan dan mengurangi praktik penghindaran pajak , GMT menciptakan persaingan global yang lebih sehat dan berkelanjutan. Yang terpenting, secara struktural, penghindaran pajak oleh PMN yang didominasi GN merupakan aliran dana ilegal yang signifikan dari GS. GMT, jika diterapkan secara efektif, adalah instrumen redistributif yang memungkinkan negara-negara GS merebut kembali basis pendapatan fiskal mereka. Ini merupakan prasyarat mutlak untuk pendanaan program kesejahteraan sosial secara mandiri dan berkelanjutan, mengurangi ketergantungan pada utang dan bantuan luar negeri yang bersyarat.

Mekanisme Keuangan Inklusif: Pemanfaatan dan Realokasi Special Drawing Rights (SDR)

Special Drawing Rights (SDR) adalah aset cadangan internasional yang diciptakan oleh IMF. Sejak SDR pertama dialokasikan, total SDR 660.7 miliar (setara dengan sekitar US$943 miliar) telah dialokasikan, termasuk alokasi terbesar pada tahun 2021 untuk mengatasi kebutuhan cadangan jangka panjang dan membantu negara mengatasi dampak pandemi COVID-19. Nilai SDR didasarkan pada sekeranjang lima mata uang: Dolar AS, Euro, Renminbi Tiongkok, Yen Jepang, dan Pound Sterling Inggris.

Namun, alokasi SDR dilakukan berdasarkan kuota IMF, yang berarti negara-negara GN menerima bagian terbesar secara tidak proporsional. Terdapat seruan untuk realokasi SDR dari GN ke GS. Realokasi ini berfungsi sebagai instrumen redistributif yang vital dan fleksibel. Negara-negara GS dapat menggunakan SDR ini untuk memperkuat cadangan internasional, melunasi utang publik, dan mengurangi kesenjangan ruang fiskal yang diperlukan untuk mencapai SDGs dan tujuan adaptasi iklim.

Mekanisme ini mengubah fungsi SDR dari sekadar alat stabilitas moneter menjadi alat pembangunan dan mitigasi krisis iklim. Realokasi SDR secara efektif mengatasi kegagalan AFI dalam memobilisasi investasi jangka panjang  dan memberikan likuiditas yang dibutuhkan tanpa persyaratan ketat dan merusak seperti SAPs.

Keringanan Utang dan Tata Kelola Utang yang Berkeadilan

Tantangan utang di Global South semakin parah, di mana sekitar 60% negara berpenghasilan rendah berada dalam atau berisiko mengalami kesulitan utang (debt distress). Kondisi ini semakin menguatkan perlunya keringanan utang.

Reformasi AFI menyerukan perbaikan arsitektur utang global dengan fokus pada keringanan utang dan penetapan biaya pinjaman pemerintah yang lebih adil. Penting untuk membangun kerangka kerja kebijakan yang dapat mengatasi kecenderungan short-termism di pasar modal , yang sering memicu volatilitas dan membebani negara-negara GS dengan suku bunga yang tidak berkelanjutan.

Dalam konteks multilateralisme, Indonesia dan negara-negara GS harus terus berperan aktif dalam forum global seperti pertemuan Bank Dunia-IMF untuk membangun kerja sama yang adil, ramah lingkungan, dan inklusif.

Kesimpulan

Analisis mendalam ini menegaskan bahwa ketidaksetaraan global antara Global North dan Global South bukan sekadar hasil dari perbedaan kinerja pasar, melainkan produk dari struktur historis dan institusional yang terinternalisasi. Warisan kolonialisme telah membentuk struktur ekonomi ganda yang bergantung pada komoditas. Struktur ini diperkuat oleh arsitektur institusional global yang tidak demokratis—terutama tata kelola LKI yang didominasi GN  dan rezim HKI global (TRIPS) yang membatasi penguasaan teknologi di GS.

Dampak paling merugikan dari asimetri struktural ini pada Global South adalah erosi kedaulatan kebijakan sosial. Beban layanan utang dan persyaratan penghematan (austerity) dari SAPs yang dipaksakan telah memindahkan risiko keuangan ke GS dan mengikis ruang fiskal yang sangat dibutuhkan untuk mendanai pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Singkatnya, negara-negara GS berada dalam lingkaran ketergantungan yang diciptakan dan dipertahankan oleh mekanisme ekonomi dan legal global.

Rekomendasi Aksi untuk Negara Global South (Penguatan Kerjasama Selatan-Selatan)

Untuk memutus lingkaran ketergantungan ini, negara-negara Global South harus meningkatkan otonomi strategis dan kapasitas kolektif mereka:

  1. Memperkuat Aliansi Ekonomi dan Politik:Negara-negara berkembang harus memiliki kesamaan visi dan memperkuat wadah kerjasama dalam bidang politik dan ekonomi, memberdayakan aliansi yang sudah ada untuk membentuk blok negosiasi yang lebih kuat di forum global.
  2. Mendorong Kooperasi Selatan-Selatan dan Triangular:Memanfaatkan Kooperasi Selatan-Selatan dan Triangular sebagai platform untuk memajukan multilateralisme baru yang lebih inklusif, transparan, dan resilient, berfokus pada solusi yang relevan secara lokal dan saling menguntungkan.

Rekomendasi Aksi untuk Komunitas Internasional (Mendorong Multilateralisme yang Adil)

Reformasi arsitektur keuangan internasional harus dilakukan secara komprehensif untuk menciptakan sistem yang adil, ramah lingkungan, dan inklusif :

  1. Reformasi Tata Kelola LKI yang Mendasar:Mereformasi sistem kuota dan hak suara di IMF dan Bank Dunia untuk mencerminkan keadilan global dan realitas kekuatan ekonomi abad ke-21, bukan hanya kekuasaan historis, sehingga pengambilan keputusan LKI berdasarkan pada keadilan dan realitas ekonomi.
  2. Pelembagaan Redistribusi Fiskal Transnasional:Memastikan implementasi yang efektif dan berkelanjutan dari Pajak Minimum Global (GMT)  untuk memulihkan basis pajak negara GS. Selain itu, melembagakan mekanisme realokasi Special Drawing Rights (SDR) secara berkala dari GN ke GS untuk tujuan pendanaan SDGs, adaptasi iklim, dan keringanan utang.
  3. Reformasi Arsitektur Utang yang Komprehensif:Menciptakan kerangka keringanan utang yang berkeadilan, inklusif, dan mengikat, yang melibatkan kreditor swasta secara paksa. Hal ini esensial untuk membebaskan ruang fiskal negara GS agar dapat mengalokasikannya kembali untuk investasi sosial vital.
  4. Revisi Aturan HKI Global:Mengkaji ulang dan merevisi aspek-aspek perjanjian TRIPS WTO untuk memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar bagi negara GS, memprioritaskan kepentingan publik (terutama akses kesehatan, obat-obatan, dan transfer teknologi hijau) di atas hak paten monopoli.

Final Thought: Menuju Keadilan Global melalui Multilateralisme Inklusif

Ketidaksetaraan global yang mendalam dan berkelanjutan mengancam kemajuan pembangunan manusia di seluruh dunia. Selama sistem tata kelola global, perdagangan, dan keuangan didominasi oleh kepentingan sempit Global North, negara-negara Global South akan terus berjuang untuk membiayai program kesejahteraan sosial mereka sendiri. Komitmen terhadap multilateralisme harus diwujudkan melalui reformasi struktural yang berani, yang bertujuan untuk membangun kerja sama yang adil dan inklusif, memastikan bahwa tidak ada negara, dan tidak ada kelompok masyarakat, yang tertinggal dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

66 − 62 =
Powered by MathCaptcha