Tulisan ini menyajikan analisis kritis dan komprehensif mengenai Ekofeminisme sebagai ideologi dan gerakan sosial yang secara fundamental menyatukan isu lingkungan, gender, dan keadilan sosial. Fokus utama tulisan ini adalah mengkaji tesis sentral Ekofeminisme: bahwa eksploitasi alam dan penindasan perempuan memiliki akar tunggal dalam sistem patriarki dan kapitalisme. Analisis akan berlanjut pada bagaimana kerangka Ekofeminisme mentransformasi diskursus Keadilan Iklim (Climate Justice) dan relevansinya dalam konteks empiris Global South.
Pendahuluan: Menguraikan Matriks Dominasi (The Matrix of Domination)
Latar Belakang dan Urgensi Krisis Iklim dari Perspektif Gender
Krisis iklim global saat ini harus dipahami sebagai krisis sistemik yang jauh dari netral gender. Data menunjukkan bahwa pergeseran dramatis dalam kondisi iklim memperburuk ketidaksetaraan yang sudah ada, memukul perempuan, terutama di negara-negara berkembang (Global South), secara tidak proporsional. Tinjauan ini membuka dengan premis bahwa solusi terhadap krisis ekologis tidak dapat dicapai tanpa mengatasi struktur dominasi sosial.
Ekofeminisme muncul pada tahun 1970-an sebagai respons teoretis dan gerakan aktivis terhadap kesadaran ini. Istilah ‘ekofeminisme’ sendiri diperkenalkan oleh Françoise d’Eaubonne pada tahun 1974 melalui bukunya Le Féminisme ou la Mort. Gerakan ini secara eksplisit mengaitkan isu-isu lingkungan dengan feminisme, menyoroti bahwa kedua bidang penindasan tersebut saling terkait erat.
Ekofeminisme sebagai Kerangka Kritis Interdisipliner
Secara definitif, Ekofeminisme adalah cabang feminisme yang mengkaji relasi antara perempuan dan alam, menyerukan pembentukan masyarakat yang egaliter dan kolaboratif, di mana tidak ada satu kelompok pun yang dominan. Gerakan ini bertolak dari suatu tesis yang mendasar: penindasan terhadap perempuan dan eksploitasi terhadap alam memiliki akar historis dan struktural yang sama dalam sistem patriarki dan kapitalisme.
Analisis ini harus secara inheren mengadopsi perspektif kritis struktural, yang oleh Karen J. Warren disebut sebagai Matriks Dominasi. Dalam pandangan Warren, Ekofeminisme menyoroti adanya keterkaitan antara perempuan dan kelompok manusia yang terpinggirkan (human Others) dengan eksploitasi terhadap alam (earth Others). Sistem patriarki, yang merupakan akar penindasan, menuntut adanya kesetaraan dan penghormatan terhadap keduanya. Perdebatan internal dalam Ekofeminisme menekankan pentingnya analisis ini; jika analisis hanya berfokus pada kedekatan kultural atau esensialisme (“perempuan lebih dekat ke alam”), hal itu berisiko jatuh ke dalam romantisisme yang justru dapat dimanfaatkan oleh budaya patriarki (“Ibu Bumi”). Oleh karena itu, kerangka kritis yang solid harus memposisikan Ekofeminisme sebagai teori yang menargetkan struktur kekuasaan patriarki-kapitalisme secara sistemik, bukan sekadar fenomena budaya.
Struktur Tulisan dan Fokus Analitis
Tulisan ini akan menganalisis secara mendalam bagaimana logika dominasi ini beroperasi (Bab III), dilanjutkan dengan eksplorasi mengenai bagaimana Ekofeminisme menawarkan kerangka kerja Keadilan Iklim yang holistik melalui penuntutan keadilan distributif dan prosedural (Bab IV), serta menyajikan studi kasus empiris dari perlawanan akar rumput Global South (Bab V).
Landasan Teoretis: Kritik terhadap Dualisme Konseptual dan Matriks Dominasi
Kritik Terhadap Logika Dualisme Barat
Inti dari kritik Ekofeminisme terletak pada penolakan terhadap pemikiran dualistik yang mendominasi peradaban Barat. Ideologi ini mengidentifikasi bahwa melalui sistem phalogosentrisme—suatu logika yang menempatkan yang maskulin dan rasional di tingkat tertinggi—dan bias kekuasaan, masyarakat membentuk bineritas dikotomis (laki-laki/perempuan, rasio/emosi, manusia/alam, dominasi/subordinasi).
Logika dikotomis ini berfungsi sebagai pembenaran konseptual bagi penindasan. Ia mengizinkan pengkategorian yang lebih rendah (perempuan, alam, emosi) sebagai entitas yang harus dikendalikan dan dieksploitasi oleh yang dianggap superior (laki-laki, rasio). Sebaliknya, Ekofeminisme mengusulkan prinsip aksiologis dan epistemis yang menentang segala bentuk bineritas dikotomis ini, menuntut keadilan, perdamaian, dan penghormatan terhadap semua unsur kehidupan.
Karen J. Warren dan Matriks Penindasan
Teoretikus Ekofeminisme, Karen J. Warren, memperkuat analisis struktural dengan konsep Matriks Penindasan. Warren menegaskan adanya hubungan erat antara sistem patriarki yang menindas perempuan dan kelompok manusia tertindas lainnya (human Others) serta eksploitasi manusia terhadap alam, termasuk hewan, hutan, dan sumber daya alam lainnya (earth Others). Istilah Ekofeminisme dalam pandangan Warren mencakup berbagai perspektif yang menyoroti keterkaitan penindasan ini, mencakup perempuan, anak-anak, masyarakat miskin, dan kelompok rasial yang tersubordinasi. Dengan demikian, Ekofeminisme melihat isu alam sebagai isu feminis, menentang dominasi maskulinitas dan patriarki yang menjadi akar penindasan ganda.
Spektrum Teori: Melampaui Esensialisme
Ekofeminisme bukanlah aliran tunggal tetapi spektrum pemikiran yang terbagi menjadi beberapa cabang utama, masing-masing dengan fokus dan kritik yang berbeda.
Ekofeminisme Kultural/Spiritualis dan Etika Kepedulian
Aliran awal, seperti Ekofeminisme Kultural atau Spiritualis, seringkali berfokus pada penemuan kembali nilai-nilai feminin—seperti kasih sayang, perawatan (care), dan kerja sama —yang diyakini dapat diadopsi sebagai etika alternatif terhadap etika patriarkal yang merusak. Mereka mengadvokasi Ethics of Care untuk mewujudkan keadilan sosial dan ekologis, menentang budaya patriarki yang mengutamakan kekuasaan dan perusakan.
Perdebatan Kritis: Menghindari Jebakan Romantisisme
Meskipun Ethics of Care menawarkan alternatif moral, Ekofeminisme Kritis memperingatkan tentang bahaya esensialisme. Penting untuk memastikan bahwa gerakan ini tidak terjebak pada ekofeminin—yaitu idealisasi afinitas alami perempuan dengan alam—yang berisiko dimanfaatkan oleh budaya patriarki. Kritik, termasuk dari tokoh seperti Donna Haraway, menentang pandangan esensialis yang menganggap perempuan secara biologis terikat pada alam.
Para akademisi menekankan bahwa perjuangan melawan dualisme harus berfokus pada dekolonisasi pengetahuan dan menantang klaim otoritas ilmu pengetahuan Barat yang dituding bias gender dan kekuasaan. Epistemologi Ekofeminis berupaya menentang dikotomi yang bernilai bineritas, memberikan peringkat yang lebih tinggi pada tradisi dan nilai-nilai yang diperjuangkan perempuan dalam konteks lokal. Mengingat perempuan adat adalah penjaga kekayaan pengetahuan tradisi , mengakui pengetahuan mereka adalah tindakan transformatif yang setara dengan perubahan struktural ekonomi.
Ekofeminisme Materialis dan Transformatif
Aliran ini—termasuk Ekofeminisme Sosialis/Materialis dan Transformatif—bergeser fokus dari klaim afinitas alami ke analisis struktural sosial, tenaga kerja, dan kolonialitas, untuk menjelaskan keterkaitan penindasan gender dan degradasi lingkungan secara lebih komprehensif.
Vandana Shiva adalah pendiri Ekofeminisme Transformatif dan representasi penting dari aliran ini. Dalam karyanya Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India, Shiva mengkritik Revolusi Hijau dan pertanian industri, berargumen bahwa marjinalisasi perempuan dan perusakan keanekaragaman hayati berjalan beriringan (go hand in hand). Fokusnya adalah pada kedaulatan benih dan pengetahuan tradisional. Shiva menekankan bahwa korporasi multinasional, dengan kerangka kerja mereka, berupaya memiliki tanaman dan benih sebagai properti pribadi melalui paten, yang merupakan “pencurian dua arah” karena mencuri keanekaragaman hayati dari produsen Dunia Ketiga dan menghilangkan hak perempuan adat sebagai penjaga benih.
Tabel berikut merangkum perbedaan fokus aliran-aliran utama Ekofeminisme:
Table Kunci 1: Perbandingan Aliran Utama Ekofeminisme: Dari Esensialisme hingga Strukturalisme
| Aliran | Teoretikus Kunci | Akar Masalah Utama | Fokus Solusi | Risiko Kritik | Relevansi Keadilan Iklim |
| Ekofeminisme Kultural/Spiritualis | Françoise d’Eaubonne, Rosemary Radford Ruether | Dualisme budaya Barat, Penolakan nilai feminin. | Etika Kepedulian (Ethics of Care), Restorasi nilai feminin. | Esensialisme, Romantisisme alam. | Mendorong penghormatan non-antropocentris. |
| Ekofeminisme Sosialis/Materialis | Ariel Salleh, Karen J. Warren, Maria Mies | Struktur kapitalisme, Kerja reproduktif, Kolonialisasi. | Perubahan struktural sosio-ekonomi, Menuntut keadilan distributif (hak tanah). | Mengabaikan dimensi simbolik. | Mengkritik devaluasi kerja perempuan dalam krisis sumber daya. |
| Ekofeminisme Transformatif | Vandana Shiva | Pembangunan dunia ketiga yang maskulin, Kapitalisme monokultur. | Kedaulatan benih, Pengetahuan tradisional, Perlawanan terhadap korporasi global. | Mungkin terlalu bergantung pada idealisasi budaya tertentu. | Memposisikan perempuan sebagai pelindung keanekaragaman hayati dan adaptasi. |
Analisis Akar Penindasan Ganda: Simbiosis Kapitalisme Ekstraktif dan Patriarki
Mekanisme Komodifikasi Ganda
Sistem kapitalisme berfungsi melalui komodifikasi (comodification), yaitu proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi menjadi komoditi. Dalam konteks lingkungan dan gender, mekanisme ini beroperasi ganda. Eksploitasi terjadi ketika tujuan utama adalah keuntungan (profit oriented), suatu kondisi yang secara intrinsik memiliki risiko terhadap krisis lingkungan hidup. Logika ini mengkomodifikasi baik sumber daya alam (hutan, hewan) maupun tenaga kerja, seringkali menargetkan kelompok yang paling rentan, yaitu perempuan.
Kapitalisme, Sumber Daya, dan Tenaga Kerja Perempuan
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, pemerintah seringkali membuka peluang besar bagi investor asing, dengan imbalan penguasaan sumber daya alam. Kerja-kerja investasi ini mengancam keberlanjutan hidup masyarakat lokal, terutama kaum perempuan, dengan memicu invasi raksasa-raksasa kapitalis. Dampak dari proses ini adalah penciptaan kelas pekerja yang dieksploitasi oleh sistem kerja perusahaan asing.
Sistem ini memperburuk posisi kelas pekerja, seperti yang disoroti oleh kritik terhadap Undang-undang Cipta Kerja di Indonesia, yang semakin menekan posisi kelas pekerja perempuan. Subordinasi terhadap perempuan dan eksploitasi terhadap alam adalah konsekuensi logis dari paradigma dominasi yang menempatkan keuntungan di atas kesejahteraan ekologis dan sosial.
Devaluasi Kerja Reproduktif dan Subordinasi
Ekofeminisme Sosialis menekankan bahwa dominasi tidak hanya terjadi di ranah produksi, tetapi juga melalui devaluasi kerja reproduktif perempuan. Kerja reproduktif (merawat rumah tangga, mengumpulkan air, mencari makanan) memungkinkan kapitalisme untuk beroperasi tanpa menanggung biaya pemeliharaan sosial dan ekologis yang sesungguhnya. Perempuan, yang secara tradisional memikul beban reproduktif, menjadi pihak pertama yang merasakan dampak ketika sumber daya alam terdegradasi, karena tugas domestik mereka menjadi semakin sulit dan memakan waktu.
Logika kapitalis ekstraktif ini secara inheren mencari sumber daya dan lokasi baru untuk dieksploitasi. Ketika proyek energi terbarukan—seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)—diterapkan tanpa partisipasi publik dan mengabaikan dampak sosial , hal itu hanya menggantikan bentuk ekstraktivisme lama dengan yang baru (green extractivism). Ini mengulangi Matriks Dominasi yang dikritik oleh Warren , meskipun berlabel “hijau.”
Pembangunan Berkelanjutan sebagai Wacana Kapitalis
Ekofeminisme secara kritis mengevaluasi wacana ‘pembangunan berkelanjutan’ yang sering digunakan oleh negara dan korporasi. Studi menunjukkan bahwa di Papua, misalnya, eksploitasi kapitalis terhadap sumber daya alam—yang disajikan di bawah konsep ‘pembangunan berkelanjutan’—justru memperburuk tantangan yang dihadapi perempuan akibat nilai-nilai patriarkal yang mengakar.
Analisis kritis Ekofeminisme berpendapat bahwa sistem patriarkal dan kapitalis yang saling terkait ini secara efektif memperpetuasi ketidaksetaraan gender dan degradasi ekologis. Dalam pandangan Ekofeminisme Materialis, solusi harus berupa intervensi energi berbasis pendekatan bottom-up untuk memastikan kontrol dan akses komunitas, menghindari pengulangan sistem produksi energi kolonial.
Ekofeminisme dalam Kerangka Keadilan Iklim: Dampak Diferensial dan Keadilan Struktural
Dampak Diferensial (Differential Impacts) Krisis Iklim
Ekofeminisme menegaskan bahwa krisis iklim berdampak lebih parah terhadap perempuan, terutama di daerah pedesaan, karena peran dan ketergantungan mereka pada sumber daya alam.
Pertama, krisis iklim meningkatkan Beban Domestik. Penurunan kualitas dan kelangkaan air serta sumber daya lain berdampak langsung pada perempuan yang memikul tanggung jawab sebagai penyedia air dan kebutuhan rumah tangga utama. Kedua, Kerentanan Kesehatan dan Ekonomi meningkat. Krisis iklim menyebabkan peningkatan mortalitas perempuan selama bencana, dan kelangkaan air serta polusi berdampak buruk pada kesehatan mereka. Setelah bencana terkait iklim, perempuan miskin di daerah perkotaan maupun pedesaan lebih sulit memulihkan status ekonomi dan kesejahteraan mereka dibandingkan laki-laki, sebagian besar karena akses terbatas terhadap aset seperti tanah dan kredit.
Krisis Lingkungan dan Kekerasan Berbasis Gender (GBV)
Sebuah dimensi krusial dari analisis Ekofeminisme adalah kaitan antara krisis lingkungan dan peningkatan Kekerasan Berbasis Gender (GBV) serta kekerasan terhadap kelompok rentan lainnya. Krisis iklim dapat berfungsi sebagai pengganda ancaman (threat multiplier). Peningkatan tekanan sosial dan ekonomi akibat kelangkaan sumber daya, bencana, atau pengungsian memperburuk struktur kekuasaan patriarkal yang sudah ada. Hal ini mengakibatkan peningkatan risiko kekerasan berbasis gender. Oleh karena itu, mengatasi krisis iklim harus mencakup integrasi analisis risiko GBV dalam perencanaan adaptasi dan mitigasi.
Prinsip Keadilan Iklim Ekofeminis: Distributif dan Prosedural
Kerangka Ekofeminisme menyediakan prinsip-prinsip Keadilan Iklim yang tidak hanya fokus pada emisi, tetapi juga pada keadilan sosial dan struktural.
Keadilan Distributif
Prinsip ini menuntut distribusi manfaat dan beban yang adil dari aksi iklim. Ekofeminisme secara tegas mengadvokasi reformasi dalam hak dan akses tanah dan sumber daya untuk memberdayakan perempuan yang secara historis didiskriminasi. Pengakuan akan hak kepemilikan perempuan terhadap aset produksi menjadi prasyarat untuk adaptasi iklim yang berhasil.
Keadilan Prosedural
Prinsip ini menekankan perlunya partisipasi penuh dan efektif perempuan dalam pengambilan keputusan lingkungan. Undang-Undang Manajemen Lingkungan Nasional Afrika Selatan (NEMA) dan Rencana Aksi Perubahan Iklim Nasional Kenya, misalnya, menyoroti perlunya mempromosikan partisipasi publik, yang mencakup memastikan perempuan memiliki suara dalam proses ini. Kebijakan Gender Nasional Nigeria mengakui bahwa kebijakan lingkungan harus responsif gender.
Namun, penting untuk ditekankan bahwa keadilan prosedural (memberi kursi di meja perundingan) tidaklah cukup jika perempuan tidak memiliki Kapasitas (hak tanah, kesehatan, pendidikan, dan aset) untuk menggunakan suara tersebut secara efektif. Di banyak negara Afrika, perempuan masih ditolak akses yang sama ke tanah dan sumber daya. Keadilan prosedural tanpa reformasi struktural atas kepemilikan modal dan hak atas tanah hanya melegitimasi ketidaksetaraan yang sudah ada. Oleh karena itu, Ekofeminisme Kritis menuntut transformasi distributif, bukan hanya inklusi simbolis.
Table Kunci 2: Manifestasi Dampak Diferensial Krisis Iklim pada Perempuan Global South
| Aspek Kerentanan | Contoh Dampak Spesifik Gender | Tesis Ekofeminis yang Dikonfirmasi | |
| Beban Domestik | Peningkatan waktu dan jarak untuk mengumpulkan air/kayu bakar akibat kelangkaan dan degradasi sumber daya. | Devaluasi kerja reproduktif dan ketergantungan mata pencaharian pada sumber daya alam. | |
| Mortalitas dan Kesehatan | Tingkat mortalitas perempuan lebih tinggi selama bencana; dampak kesehatan dari polusi dan kelangkaan air. | Perempuan sebagai earth Others dan human Others yang paling rentan terhadap keruntuhan ekologis. | |
| Kekerasan Berbasis Gender (GBV) | Peningkatan risiko kekerasan dalam konteks konflik sumber daya, pengungsian, dan ketidakamanan pangan. | Krisis lingkungan memperburuk Matriks Dominasi yang sudah ada. | |
| Akses Ekonomi | Lebih sulit memulihkan status ekonomi pasca-bencana karena minimnya hak dan akses aset (tanah, kredit). | Kegagalan Keadilan Distributif. |
Manifestasi Empiris: Studi Kasus Global South dan Perlawanan Akar Rumput
Peran Ekofeminisme menjadi sangat menonjol dalam konteks Global South, di mana perempuan berada di garis depan krisis iklim dan eksploitasi ekstraktif.
Peran Perempuan Adat sebagai Pelindung Lingkungan
Perempuan adat dan lokal diakui secara global memiliki peran fundamental dalam melindungi planet dan kehidupan. Mereka adalah pemilik kekayaan pengetahuan tradisi yang dapat menjadi modalitas sosial, ekonomi, dan budaya. Ekofeminisme Kritis mendorong solusi yang mereklamasi pengetahuan adat berbasis komunitas, karena perempuan pedesaan—yang sering menggarap tanah dan menumbuhkan makanan—memahami keseimbangan alam dan manusia, dan karenanya harus dilindungi dan didukung.
Gerakan Ekofeminis Kunci di Afrika
Salah satu contoh paling menonjol dari aksi Ekofeminisme transformatif adalah gerakan akar rumput di Afrika. Wangari Maathai dan Green Belt Movement (Kenya) merupakan gerakan ekofeminis yang berfokus pada penanaman pohon, konservasi lingkungan, dan pemberdayaan perempuan melalui mata pencaharian berkelanjutan. Gerakan ini menghubungkan kelestarian lingkungan dengan keadilan gender. Gerakan akar rumput lain, seperti Rural Women’s Assembly (RWA), juga mengadvokasi kedaulatan pangan, keadilan lingkungan, dan kesetaraan gender dalam tata kelola lingkungan.
Perlawanan Perempuan terhadap Industri Ekstraktif di Asia Tenggara
Di Asia Tenggara, perempuan seringkali menjadi kelompok yang paling terdampak oleh aktivitas ekstraktif seperti pertambangan dan deforestasi. Perlawanan mereka terhadap proyek-proyek ekstraktif mencerminkan prinsip-prinsip Ekofeminisme Transformatif dan Etika Kepedulian.
- Kasus Mama Aleta Lewat di Mollo, NTT:Mama Aleta mengorganisir perempuan di Mollo untuk bergerak bersama menghentikan pertambangan marmer. Perlawanan ini didorong oleh kesadaran bahwa alam adalah sumber utama penghidupan yang terancam. Perjuangan ini mencontohkan aplikasi ethics of care dalam tindakan politik kolektif.
- Perjuangan Wadon Wadas, Purworejo:Penolakan perempuan terhadap pertambangan batuan andesit untuk pembangunan Bendungan Bener adalah studi kasus klasik yang menunjukkan perlawanan berbasis komunitas terhadap pembangunan yang mengabaikan kepentingan lokal.
- Perjuangan Pulau Sangihe:Perempuan di Pulau Sangihe berjuang mempertahankan lingkungan mereka dari ancaman eksploitasi pertambangan, menegaskan relevansi teori Vandana Shiva yang memandang perempuan sebagai pelindung alam yang paling terdampak oleh kerusakan.
Dilema ‘Ekstraktivisme Hijau’ dalam Transisi Energi
Kasus penolakan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Padarincang, Serang, menunjukkan bahwa bahkan komitmen menuju Net Zero Emissions (NZE) dapat mengulangi pola eksploitasi jika tidak berbasis keadilan.
Penolakan lokal muncul terutama karena kurangnya keterlibatan masyarakat dan sosialisasi mengenai proyek tersebut, memicu kekhawatiran akan degradasi lingkungan. Implikasi Ekofeminis dari kasus ini sangat jelas: Ekofeminisme Materialis menuntut agar intervensi energi harus menggunakan pendekatan bottom-up untuk memastikan kontrol dan akses komunitas, menjauhi sistem produksi energi kolonial.
Gerakan akar rumput Ekofeminis yang menentang ekstraktivisme (baik “hijau” maupun konvensional) berfokus pada kedaulatan—kedaulatan pangan, benih, dan tanah—sebagai strategi mitigasi dan adaptasi iklim yang paling efektif. Kedaulatan berarti kontrol masyarakat lokal atas sumber daya, yang merupakan kebalikan dari logika komodifikasi kapitalis. Ketika perempuan memiliki kontrol, mereka secara inheren lebih tangguh (resilient) terhadap krisis iklim, menjadikan solusi berbasis komunitas yang dipimpin perempuan sebagai pilar kedaulatan ekologis.
Table Kunci 3: Perlawanan Ekofeminis terhadap Ekstraktivisme di Global South
| Kasus Perlawanan | Lokasi | Aktivitas Ekstraktif yang Ditentang | Peran Perempuan Kunci | Prinsip Utama Ekofeminis |
| Green Belt Movement | Kenya | Deforestasi, degradasi lahan. | Penanaman pohon skala besar, Pemberdayaan ekonomi dan politik. | Keadilan lingkungan, Pemberdayaan perempuan. |
| Mama Aleta Lewat | Mollo, NTT, Indonesia | Pertambangan marmer. | Aksi kolektif non-kekerasan untuk melindungi sumber penghidupan. | Etika Kepedulian, Keterkaitan Perempuan-Alam. |
| Wadon Wadas | Purworejo, Indonesia | Pertambangan batuan andesit (untuk Bendungan Bener). | Menolak penggusuran dan perusakan lingkungan untuk infrastruktur pembangunan. | Keadilan prosedural, Anti-kapitalisme ekstraktif. |
| PLTP Padarincang (Penolakan) | Serang, Indonesia | Proyek energi panas bumi (melalui kegagalan prosedural). | Mengangkat kekhawatiran dampak lingkungan dan menuntut keterlibatan. | Keadilan Prosedural, Pendekatan bottom-up. |
Implementasi Kebijakan Responsif Gender dalam Tata Kelola Iklim
Gender Mainstreaming dalam Lembaga Multilateral
Dalam menanggapi tuntutan keadilan iklim, institusi global mulai mengadopsi pendekatan sensitif gender. Green Climate Fund (GCF) adalah mekanisme pendanaan iklim pertama yang secara eksplisit mengarusutamakan perspektif gender sejak awal operasinya, menjadikannya elemen pengambilan keputusan yang esensial. GCF mewajibkan proyek adaptasi dan mitigasi mempromosikan manfaat sosial, ekonomi, dan pembangunan bersama sambil mengambil pendekatan sensitif gender. Hal ini menunjukkan pengakuan formal bahwa dampak perubahan iklim memengaruhi perempuan dan laki-laki secara berbeda, dan bahwa perempuan memiliki kontribusi signifikan dalam mengatasi krisis iklim.
Adopsi Prinsip Ekofeminis dalam Kebijakan Nasional
Beberapa negara Global South telah mengintegrasikan sebagian prinsip Ekofeminis dalam kebijakan nasional mereka. Misalnya, Kebijakan Gender Nasional Nigeria mengakui bahwa degradasi lingkungan berdampak lebih parah terhadap perempuan, terutama di daerah pedesaan, dan oleh karena itu, kebijakan lingkungan harus responsif gender. Rencana Aksi Perubahan Iklim Kenya dan Undang-Undang NEMA Afrika Selatan juga secara formal mempromosikan partisipasi publik dan peran perempuan dalam aksi iklim.
Mengatasi Bias Struktural dan Tantangan Implementasi
Meskipun prinsip Ekofeminisme diakui di tingkat kebijakan global dan nasional, implementasinya sering kali menghadapi bias struktural dan keterbatasan yang signifikan.
Bias Pengambilan Keputusan
Banyak perempuan tidak memiliki akses penuh ke posisi strategis di sektor energi dan iklim. Perempuan sering dihadapkan pada stereotip dalam sektor lingkungan dan kebijakan. Untuk mengatasi ini, Ekofeminisme mendorong implementasi kebijakan kuota gender pada posisi pengambilan keputusan dan peningkatan pelatihan serta pengembangan kapasitas di bidang energi dan iklim.
Keterbatasan Praktis dan Keadilan Distributif
Keterlibatan perempuan harus didorong dalam semua tahapan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, dimulai dari peningkatan kesadaran dan pendidikan masyarakat. Namun, tantangan terbesar di Global South adalah penolakan hak dan akses tanah yang sama bagi perempuan.
Ekofeminisme Kritis mengamati bahwa kebijakan formal, terutama yang terikat pada mekanisme pendanaan global seperti GCF, cenderung mengadopsi bahasa inklusif gender dan menjamin keadilan prosedural (partisipasi) tetapi gagal menyentuh inti dari kritik Ekofeminisme Materialis: reformasi kepemilikan modal dan hak atas tanah. Kebijakan semacam itu berisiko hanya melegitimasi ketidaksetaraan yang ada tanpa melakukan transformasi distributif yang diperlukan untuk mencapai keadilan ekologis yang holistik.
Kesimpulan
Ekofeminisme adalah kerangka kritis yang sangat penting untuk memahami dan mengatasi krisis iklim saat ini. Dengan menegaskan bahwa dominasi atas alam dan penindasan perempuan berakar pada logika patriarki-kapitalis yang sama, Ekofeminisme berhasil menyatukan isu lingkungan, gender, dan keadilan sosial dalam Matriks Dominasi yang koheren.
Gerakan ini menawarkan lebih dari sekadar kritik; ia menyediakan jalan keluar yang transformatif melalui Ethics of Care, penekanan pada kedaulatan lokal, dan pengakuan terhadap epistemologi adat. Bukti empiris dari Global South—mulai dari Wangari Maathai hingga perlawanan perempuan adat di Mollo dan Wadas—menegaskan bahwa perempuan adalah agen kunci dalam aksi iklim, tidak hanya sebagai pihak yang paling rentan, tetapi juga sebagai pemimpin perubahan. Solusi iklim yang efektif dan berkeadilan harus secara fundamental menantang dan mendekonstruksi logika dualisme dan sistem ekstraktif yang memicu penindasan ganda.
Berdasarkan analisis struktural Ekofeminisme, langkah-langkah kebijakan berikut direkomendasikan untuk mencapai transformasi ekologis yang berkeadilan:
- Prioritas Keadilan Distributif dan Reformasi Hak Tanah:Negara harus memprioritaskan reformasi hak atas tanah dan akses sumber daya, menjamin kepemilikan yang setara bagi perempuan, terutama perempuan adat dan pedesaan. Keadilan distributif adalah prasyarat keberhasilan mitigasi dan adaptasi iklim.
- Mewajibkan Keadilan Prosedural Struktural:Semua proyek pembangunan dan transisi energi, termasuk proyek Net Zero Emissions (NZE), harus diwajibkan untuk mengadopsi pendekatan bottom-up dan mendapatkan persetujuan komunitas yang inklusif gender (Free, Prior, and Informed Consent). Hal ini untuk menghindari pengulangan kegagalan prosedural dan munculnya green extractivism.
- Investasi dalam Epistemologi Adat dan Kedaulatan Pangan:Pendanaan iklim harus secara eksplisit dialokasikan untuk mendukung dan mengakui pengetahuan perempuan adat dalam agroekologi, kedaulatan benih (seperti yang diperjuangkan Shiva), dan pengelolaan sumber daya berbasis komunitas. Strategi-strategi ini terbukti menjadi mekanisme adaptasi dan mitigasi yang paling tangguh.
- Integrasi Analisis Risiko GBV dalam Kebijakan Iklim:Pemerintah dan lembaga multilateral harus mengintegrasikan analisis risiko Kekerasan Berbasis Gender (GBV) dalam perencanaan bencana dan adaptasi iklim, mengakui bahwa krisis iklim meningkatkan kerentanan kekerasan terhadap perempuan.
- Penguatan Kapasitas Perempuan di Sektor Strategis:Menerapkan langkah-langkah afirmatif (seperti kuota) dan pengembangan kapasitas untuk memastikan perempuan memiliki akses penuh ke posisi pengambilan keputusan di sektor energi dan iklim.
