Sakralisasi Kekuasaan dan Kebutuhan akan Legitimasi

Dalam sejarah peradaban manusia, peralihan dari kekuasaan murni (paksaan) menjadi otoritas (persetujuan sukarela) merupakan fungsi sentral legitimasi politik. Pemerintahan otokratis, yang dicirikan oleh sentralisasi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta larangan oposisi, selalu membutuhkan justifikasi yang melampaui kemampuan militer atau keturunan semata.

Di dunia kuno dan awal modern, sumber legitimasi yang paling kuat adalah yang berasal dari alam supranatural atau teologis—Surga, Dewa, atau tatanan kosmis. Justifikasi ini bertujuan menciptakan kekebalan terhadap kritik manusiawi dan hukum buatan manusia, menempatkan penguasa di atas pertanggungjawaban duniawi. Tiga model utama muncul sebagai arketipe legitimasi otokratis berbasis teologi: Mandat Surga di Tiongkok, inkarnasi ilahi Firaun di Mesir Kuno, dan Hak Ilahi Raja di Eropa.

Model-model ini, meskipun semuanya membenarkan kekuasaan mutlak, berbeda secara fundamental dalam metodologi klaim ilahi mereka. Di Tiongkok, klaimnya bersifat kondisional dan berbasis kinerja (Mandat); di Mesir, klaimnya bersifat identitas (inkarnasi dewa yang hidup); dan di Eropa, klaimnya adalah representasi (wakil Tuhan yang diurapi). Perbedaan metodologis dalam sumber otoritas ini secara mendasar menentukan stabilitas sistem politik yang dihasilkan dan mekanisme ideologis yang memungkinkan legitimasi tersebut dicabut. Ketiga model tersebut berimplikasi pada penggunaan gaya kepemimpinan otoriter dan militeristik, menekan partisipasi rakyat, dan memusatkan kekuasaan dalam satu tangan.

Tinjauan Metodologis dan Ruang Lingkup Komparatif

Studi komparatif ini memilih Tiongkok, Mesir Kuno, dan Eropa karena mereka mewakili jalur peradaban yang independen dalam mencapai sentralisasi kekuasaan dan otokrasi yang dilegitimasi secara ilahi. Masing-masing mengembangkan filosofi politik yang unik untuk mengatasi tantangan universal tata kelola absolut—stabilitas, suksesi, dan akuntabilitas.

Fokus laporan adalah untuk menguraikan dasar teologis dan filosofis setiap doktrin, mengeksplorasi penerapannya dalam praktik politik, dan yang paling penting, menganalisis kondisi di mana legitimasi tersebut dapat hilang. Dalam konteks pemerintahan otokratis, di mana partisipasi rakyat dihilangkan dan penguasa memiliki kontrol sosial yang ketat , legitimasi teologis sering dijadikan alat untuk memonopoli kekuasaan. Oleh karena itu, memahami bagaimana dogma sakral dapat berbalik melawan penguasa—seperti dalam kasus bencana alam di Tiongkok atau munculnya Kontrak Sosial di Eropa—adalah kunci untuk menganalisis kerentanan rezim otokratis yang berjangka panjang.

Mandat Surga (Tianming) – Paradigma Akuntabilitas Berbasis Kinerja (Tiongkok)

Asal-Usul dan Fondasi Dinasti Zhou

Konsep Mandat Surga (Tianming) adalah konsep filosofi politik sentral dalam sejarah kekaisaran Tiongkok. Doktrin ini tidak muncul dari dogma teologis abadi, tetapi sebagai alat revolusioner yang brilian. Ia pertama kali dikembangkan oleh Dinasti Zhou pada abad ke-11 SM untuk membenarkan penggulingan Dinasti Shang sebelumnya.

Sebelum Zhou, kekuasaan Shang dilegitimasi oleh Shang Di, dewa leluhur mereka. Zhou, sebagai penakluk, perlu mendirikan sumber otoritas baru. Mereka memperkenalkan Tian (Surga) sebagai sumber otoritas tertinggi. Tian dipandang sebagai kekuatan kosmis yang impersonal namun bermoral, yang menganugerahkan hak untuk memerintah kepada seseorang atau keluarga yang paling layak. Kekaisaran Tiongkok adalah institusi yang didukung oleh Mandat Surga ini.

Analisis terhadap asal-usul Tianming menunjukkan bahwa ia adalah instrumen politik yang menyediakan sistem politik-moral yang terpasang sejak awal. Dengan mengaitkan hak memerintah dengan moralitas universal (Tian) daripada ikatan darah atau dewa leluhur dinasti tertentu, Zhou berhasil melegitimasi transfer kekuasaan dan pada saat yang sama, menciptakan fondasi ideologis untuk akuntabilitas.

Sifat Kondisional Tianming: Kontrak Moral dan Kebajikan (De)

Mandat Surga bersifat kondisional, bukan abadi. Ini adalah perbedaan paling krusial antara otokrasi Tiongkok dan model lainnya. Kaisar adalah Tianzi (Putra Surga), yang bertindak sebagai mediator kosmis antara Surga dan Bumi. Haknya untuk memerintah dikondisikan pada kepemimpinannya yang bajik (De) dan kemampuannya menjaga keharmonisan, baik di dalam masyarakat maupun alam.

Kekuatan otokrasi Tiongkok terletak pada fakta bahwa ia tidak pernah mengklaim kesempurnaan abadi penguasanya. Sebaliknya, dengan mengaitkan legitimasi secara langsung dengan kebajikan dan tata kelola yang efektif, Tianming secara inheren mengakui kemungkinan kegagalan. Ini berarti legitimasi Tiongkok adalah performative; ia harus terus-menerus dibuktikan melalui kinerja administrasi dan moral yang baik. Fokus pada De ini memaksa kaisar untuk mengutamakan tata kelola yang baik agar Mandat tetap utuh.

Mekanisme Pencabutan Mandat: Justifikasi Revolusi

Ketika seorang penguasa menjadi tidak adil (misrule), Surga akan mencabut Mandatnya dan mengalihkannya kepada penguasa atau dinasti baru yang lebih layak. Proses pencabutan ini memiliki indikator yang jelas, baik dari alam maupun sosial.

Indikator Kosmis dan Bencana Alam: Tiongkok kuno percaya bahwa Surga akan mengirimkan tanda-tanda, berupa bencana alam (seperti banjir, kekeringan, atau kelaparan), untuk menegur penguasa yang berperilaku buruk. Tanda-tanda ini bukan hanya kecelakaan meteorologis; mereka adalah konfirmasi teologis bahwa kaisar telah kehilangan dukungan ilahi.

Indikator Sosial dan Korupsi: Kegagalan administrasi dan korupsi yang meluas juga berfungsi sebagai bukti empiris hilangnya Mandat.7 Ketika korupsi dan manajemen pemerintahan yang lemah menggerogoti efektivitas bantuan atau layanan publik, ini dianggap sebagai kegagalan moral sang pemimpin.

Keterkaitan langsung antara bencana/korupsi dan legitimasi menciptakan mekanisme akuntabilitas kuno. Dalam masyarakat di mana informasi dikendalikan, bencana alam dan korupsi yang terlihat publik berfungsi sebagai sinyal transparansi kosmis. Opini publik dapat dipaksa untuk bertindak karena kegagalan pemerintah mengatasi bencana tidak akan ditoleransi. Ini membuat Mandat Surga menjadi model otokrasi yang secara ideologis menyediakan justifikasi bagi rakyat untuk melakukan pemberontakan yang berhasil. Pemberontakan yang menang dan mendirikan dinasti baru secara otomatis membuktikan bahwa Surga telah mencabut Mandat dari dinasti yang digulingkan.

Implikasi Historis: Siklus Dinasti

Konsep Mandat Surga berhasil menjelaskan dan melegitimasi Siklus Dinasti yang panjang dalam sejarah Tiongkok. Meskipun sistemnya otokratis, sifat kondisionalnya memungkinkan terjadinya pembaruan politik tanpa harus menghancurkan institusi kekaisaran itu sendiri. Setiap dinasti baru dibenarkan untuk mengambil alih kekuasaan karena dinasti sebelumnya dianggap telah menjadi korup dan gagal. Dengan demikian, Tianming menjamin kesinambungan institusi kekaisaran, menjadikannya sistem legitimasi otokratis yang paling adaptif dan berjangka panjang di antara peradaban kuno yang setara.

Firaun – Legitimasi Berbasis Kosmos dan Inkarnasi Ilahi (Mesir Kuno)

Ma’at sebagai Tatanan Negara dan Kosmos

Di Mesir Kuno, fondasi kekuasaan Firaun jauh lebih mutlak daripada konsep Mandat Surga. Kekuasaan Firaun didasarkan pada Ma’at, konsep yang melambangkan keseimbangan tatanan alam semesta yang harmonis, teratur, stabil, dan aman, yang merupakan kebalikan dari khaos. Ma’at adalah esensi dari penciptaan dunia dan berfungsinya kosmos.

Firaun dianggap bukan hanya sebagai pemimpin politik atau wakil dewa; ia adalah perwujudan dan representasi hidup dari Ma’at itu sendiri. Artinya, Firaun tidak hanya menjalankan hukum, tetapi ia adalah tatanan hukum dan kosmis. Klaim legitimasi ini bersifat tertinggi, secara total menyatukan otoritas spiritual dan temporal dalam satu figur manusia-dewa.

Otoritas Inkarnatif: Firaun sebagai Dewa yang Hidup

Klaim keilahian Firaun memiliki akar sejarah yang kuat. Pada permulaan peradaban Firaun sekitar tahun 3100 SM, Dewa Horus diyakini sebagai sosok Dewa pemersatu politik. Firaun diidentifikasi sebagai Dewa Horus yang hidup di bumi. Selain itu, ia juga dianggap sebagai Putera Dewa Matahari Ra.9Pada akhirnya, raja menganggap dirinya sebagai dewa berwujud manusia.

Karena Firaun adalah perwujudan ketertiban kosmis, kekuasaannya bersifat absolut dan menggunakan gaya kepemimpinan otoriter. Secara ideologis, sistem ini menghilangkan ruang bagi oposisi internal. Jika Firaun adalah Ma’at, maka menentangnya berarti menentang tatanan alam semesta dan memilih khaos. Kegagalan seorang Firaun dalam menjalankan tugasnya tidak dapat hanya dilihat sebagai kegagalan politik; itu akan dianggap sebagai krisis kosmis. Sistem ini, selama berhasil, secara ideologis adalah yang paling stabil dan tidak tertandingi.

Batas-Batas Kekuasaan dan Tantangan Teologis

Meskipun secara internal kuat, klaim absolut Firaun rentan terhadap tantangan teologis dan krisis politik besar.

Tantangan Teologis Eksternal: Narasi kuno yang melibatkan Firaun, seperti kisah Nabi Musa, menggambarkan bagaimana kekuatan Ilahi yang lebih tinggi (YHWH) menghukum Firaun, menunjukkan keangkuhannya dalam memandang diri sebagai dewa. Hukuman ini, dengan “mengeraskan hatinya,” membuktikan kepada dunia bahwa Firaun tidak memiliki kelayakan untuk dipercayai sebagai representasi agung Ma’at.

Tantangan Internal (Kasus Akhenaten): Dalam periode Kerajaan Baru, Firaun Amenhotep IV (Akhenaten) memperkenalkan kepercayaan monoteistik yang menyembah hanya Dewa Aton (Dewa Matahari), yang bersifat roh dan tidak berbentuk. Lebih lanjut, Akhenaten secara eksplisit menyatakan dirinya sebagai manusia biasa dan bukan dewa. Deviansi drastis ini menunjukkan bahwa klaim keilahian Firaun dapat dinegosiasikan ulang, atau bahkan ditinggalkan, terutama di tengah krisis politik, membuktikan bahwa legitimasi ilahi harus melayani tujuan politik sentralisasi kekuasaan untuk bertahan.

Sistem Firaun adalah yang paling absolut secara ideologis karena identifikasi total antara penguasa dan tatanan ilahi. Namun, ia menjadi sistem yang sangat rapuh ketika dihadapkan pada kegagalan militer (seperti yang dialami Mesir menjelang periode kemunduran) atau ketidakstabilan suksesi, karena kegagalan total tersebut sulit dijelaskan tanpa mengakui kekalahan kosmis.

Raja oleh Hak Ilahi (Divine Right of Kings) – Justifikasi Teokratis Monarki Absolut (Eropa)

Konteks Historis Absolutisme Eropa

Doktrin Hak Ilahi Raja (The Divine Right of Kings) adalah pilar utama absolutisme di Eropa. Doktrin ini muncul pada abad ke-17 dan memuncak antara tahun 1610 hingga 1789, yang bertepatan dengan masa transisi dari sistem feodalisme ke kapitalisme.

Tujuan utama absolutisme adalah untuk mengkonsolidasikan kekuasaan secara mutlak di tangan raja, yang terjadi melalui berakhirnya partisi feodal, sentralisasi kekuasaan, dan penyatuan undang-undang negara. Dengan demikian, pengaruh Gereja dan kaum bangsawan yang sebelumnya kuat dapat dilemahkan. Absolutisme didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan tanpa undang-undang dasar di mana semua kekuasaan terletak di tangan penguasa.

Inti Teologis: Pewakilan Ilahi dan Kekebalan Hukum

The Divine Right of Kings adalah doktrin politik-teokratis yang menyatakan bahwa kekuasaan raja berasal dari Tuhan. Konsep ini menempatkan raja sebagai wakil Allah yang diurapi di muka bumi, seperti yang dianjurkan oleh uskup Prancis Bossuet.

Implikasi dari doktrin ini sangat tegas terhadap kekuasaan monarki. Raja harus berkuasa secara mutlak dan tidak bertanggung jawab kepada rakyatnya. Ia hanya bertanggung jawab kepada Tuhan. Kekuasaan penguasa tidak dapat diganggu gugat, termasuk oleh hukum buatan manusia. Siapa pun yang menentang raja dianggap menentang kehendak Tuhan. Doktrin ini berfungsi sebagai alat yang sangat efektif untuk sentralisasi kekuasaan, di mana penguasa memiliki kontrol sosial yang sangat ketat dan meniadakan oposisi. Kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif semuanya terpusat.1

Manifestasi Politik: Louis XIV sebagai Episentrum Absolutisme

Absolutisme di Prancis mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Raja Louis XIV (Raja Matahari). Hal ini tercermin dalam semboyan terkenalnya, L’etat c’est moi (negara adalah saya).

Louis XIV menjalankan pemerintahan yang sangat otoriter, berlandaskan semboyan One king, one law, one faith (satu raja, satu hukum, satu kesetiaan). Dalam praktik politiknya, ia mencabut Edik Nantes, yang sebelumnya menjamin kebebasan beribadah bagi kaum Protestan (Huguenots). Ia menutup sekolah dan merusak gereja Protestan untuk memastikan kesatuan agama di bawah kekuasaannya. Untuk menindak siapa pun yang kontra terhadap raja, Louis XIV membangun penjara Bastille.

Meskipun kuat, sistem Hak Ilahi Raja di Eropa memiliki kerentanan intelektual dibandingkan dengan Firaun atau Tianming. Raja Hak Ilahi, meskipun mengklaim pewakilan ilahi, masih harus beroperasi di samping institusi spiritual independen, yaitu Gereja Kristen, yang memiliki otoritas teologis tersendiri. Dualisme ini, ditambah dengan munculnya Era Pencerahan, membuat klaim absolut Raja lebih mudah dipertanyakan oleh para filsuf politik.

Kontradiksi dan Transisi ke Kedaulatan Rakyat

Klaim Hak Ilahi akhirnya runtuh karena tantangan praktis dan filosofis yang berkembang di Eropa.

Tantangan Praktis: Di Inggris, Glorious Revolution (Revolusi Gemilang) membalikkan absolutisme. Setelah revolusi, Raja William dipaksa menaati peraturan atau konstitusi, yang secara efektif mentransfer kekuasaan ke tangan rakyat dan Parlemen. Sejak saat itu, Inggris beralih ke monarki konstitusional yang menjamin hak-hak dan kewajiban warga negara.

Tantangan Filosofis: Antitesis langsung terhadap Hak Ilahi Raja adalah Teori Kontrak Sosial, yang dikembangkan oleh pemikir seperti Rousseau dan Locke. Teori ini menegaskan bahwa legitimasi kekuasaan harus berasal dari kesepakatan bersama atau kontrak sosial dengan rakyat. Dalam konteks Islam, otoritarianisme yang menyalahi prinsip musyawarah dan keadilan juga ditolak karena kekuasaan sejati adalah milik Allah, bukan penguasa absolut. Doktrin Hak Ilahi, yang menghilangkan partisipasi rakyat, menjadi doktrin otokratis yang paling cepat dan paling keras ditolak oleh revolusi demokratis di akhir abad ke-18.

Sintesis Komparatif – Kekuatan, Keterbatasan, dan Akuntabilitas

Tiga doktrin legitimasi otokratis ini, meskipun semuanya mengklaim dasar teologis, menunjukkan spektrum yang luas dalam hal akuntabilitas dan mekanisme kegagalan.

Matriks Perbandingan Legitimasi: Ilahi Murni vs. Kondisional

Perbedaan utama terletak pada apakah klaim ilahi bersifat kondisional (terikat pada kinerja) atau absolut (terikat pada identitas atau pengurapan).

Table 1: Kerangka Perbandingan Tiga Doktrin Legitimasi Otokratis

Konsep Sumber Legitimasi Utama Sifat Penguasa Akuntabilitas/Mekanisme Penarikan
Mandat Surga (Tiongkok) Tian (Surga) dan Kinerja Etis Wakil Surga, Bukan Dewa Kondisional; Dicabut melalui misrule, Bencana Alam, Korupsi, Revolusi Rakyat
Firaun (Mesir Kuno) Ma’at (Tatanan Kosmis) dan Dewa Dewa Hidup (Inkarnasi Horus) Absolut Teologis; Kegagalan dianggap krisis kosmis
Hak Ilahi Raja (Eropa) Kehendak Langsung Tuhan Wakil Tuhan yang Diurapi Absolut Politik; Secara teori hanya bertanggung jawab kepada Tuhan ; Dibatalkan oleh Revolusi dan Kontrak Sosial

Perbandingan Batas-Batas Otokrasi dan Potensi Revolusi

Perbandingan ini mengungkapkan bagaimana setiap sistem ideologis memandang dan membenarkan pemberontakan.

Model Tiongkok (Mandat Surga) adalah yang paling stabil dalam jangka panjang karena ia memiliki mekanisme justifikasi revolusioner yang terpasang secara ideologis. Kegagalan diakui, dan revolusi (pergantian dinasti) dipandang sebagai proses pemulihan tatanan yang benar, bukan penghancuran total sistem. Dinasti baru selalu berjanji untuk mengembalikan De (kebajikan) dan tatanan Surga.

Sebaliknya, model Mesir (Firaun) dan Hak Ilahi Raja (Eropa) yang lebih absolut harus menghadapi krisis legitimasi yang jauh lebih parah ketika penguasa mereka gagal. Karena kegagalan dalam sistem ini dianggap menentang tatanan yang dipertahankan—baik itu Ma’at atau kehendak Tuhan—upaya untuk menggulingkan penguasa harus melibatkan pemutusan radikal dari masa lalu. Revolusi di Eropa (melalui Kontrak Sosial) adalah penghancuran tatanan lama (Absolutisme) dan penciptaan fondasi legitimasi baru (Kedaulatan Rakyat).

Implikasi Tata Kelola (Governance): Korupsi, Kinerja, dan Transparansi

Tiga doktrin ini juga memiliki implikasi berbeda terhadap bagaimana kegagalan tata kelola, khususnya korupsi dan bencana, dipersepsikan.

Dalam Mandat Surga, korupsi dan manajemen pemerintahan yang lemah adalah bukti kegagalan moral dan hilangnya De. Bencana alam  dan kelaparan yang gagal diatasi, berfungsi sebagai sinyal publik yang memaksa penguasa bertindak karena mereka dapat menyebabkan opini publik menganggap Mandat telah hilang. Mekanisme teologis ini menciptakan tekanan kinerja yang setara dengan pentingnya informasi dan transparansi dalam tata kelola modern.

Sementara itu, dalam Hak Ilahi Raja, korupsi oleh penguasa secara ideologis adalah penyalahgunaan kekuasaan ilahi yang, secara teori, hanya dapat diadili oleh Tuhan.  Klaim absolut Raja (bahwa ia melampaui hukum buatan manusia) membuat sistem ini kurang rentan terhadap tuntutan akuntabilitas kinerja dari rakyat, setidaknya sampai munculnya pemikiran Pencerahan.

Table 2: Implikasi Tata Kelola Otoritarianisme Berdasarkan Legitimasi Sakral

Kriteria Tata Kelola Mandat Surga (Kondisional) Firaun Mesir Kuno (Absolut Teologis) Hak Ilahi Raja (Absolut Politik)
Batas Kekuasaan Penguasa Terikat pada moralitas dan kebajikan (De) Tidak terbatas; bagian dari tatanan kosmis (Ma’at) Absolut dalam urusan duniawi (l’etat c’est moi)1
Pembenaran Oposisi Dibenarkan jika Mandat Hilang (Revolusi dilegitimasi) Secara ideologis mustahil; menentang khaos Ditentang keras; Hanya dibenarkan secara sekuler (Kontrak Sosial)
Sumber Hukum Utama Prinsip moral Surga (diterapkan oleh Kaisar) Kehendak Firaun (sebagai perwujudan Ma’at) Kehendak Raja (melampaui hukum buatan manusia)

Warisan Historis: Dari Mandat Ilahi ke Kedaulatan Rakyat

Pada akhirnya, klaim-klaim legitimasi sakral ini runtuh karena gagal beradaptasi dengan tuntutan kedaulatan rakyat dan akuntabilitas modern. Munculnya Teori Kontrak Sosial, yang menggeser sumber kedaulatan dari Tuhan/Surga kepada rakyat, menjadi model legitimasi tandingan yang mendominasi pemikiran politik kontemporer. Otoritarianisme modern, meskipun masih ada, harus mencari justifikasi sekuler (seperti nasionalisme, ideologi, atau kebutuhan keamanan) daripada klaim teologis langsung.

Studi komparatif ini menunjukkan bahwa bahkan dalam sistem otokrasi yang paling ketat, selalu ada spektrum akuntabilitas yang tersembunyi dalam kerangka ideologisnya. Model Tiongkok, dengan penekanannya pada kinerja dan De, meletakkan fondasi bagi legitimasi berbasis kinerja yang terus relevan, sementara model Hak Ilahi Raja dan Firaun yang lebih absolut memerlukan pemutusan yang lebih radikal dari masa lalu (revolusi) untuk beralih ke tata kelola yang bertanggung jawab.

Kesimpulan

Laporan ini telah menganalisis tiga doktrin utama yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaan otokratis di dunia kuno dan awal modern. Meskipun Mandat Surga Tiongkok, inkarnasi ilahi Firaun Mesir Kuno, dan Hak Ilahi Raja Eropa semuanya bertujuan untuk membangun kekuasaan mutlak yang tak tertandingi oleh manusia, perbedaan teologis mereka sangat menentukan stabilitas dan mekanisme kegagalannya.

Mandat Surga menonjol karena sifatnya yang kondisional; ia adalah “kontrak” moral yang harus dibayar melalui kinerja yang baik dan pemeliharaan kebajikan, menjadikannya sistem otokrasi yang paling akuntabel secara internal karena adanya justifikasi ideologis untuk revolusi. Sebaliknya, Firaunisme dan Hak Ilahi Raja mengklaim otoritas yang absolut (berbasis identitas ilahi atau pengurapan), sehingga menghilangkan ruang bagi kritik internal dan membuat sistem tersebut secara fundamental lebih rapuh dalam menghadapi kegagalan total atau perubahan filosofis.

Penting untuk dipahami bahwa sakralisasi kekuasaan berfungsi untuk mengubah paksaan menjadi persetujuan publik, tetapi ketika penguasa gagal, mekanisme yang sama yang memberikan legitimasi juga dapat menjadi mekanisme penghancuran, baik melalui tanda-tanda kosmis (Tiongkok) atau melalui penolakan filosofis total (Eropa). Memahami evolusi dari mandat ilahi ke kedaulatan rakyat adalah kunci untuk menganalisis sifat, stabilitas, dan kerentanan rezim otoriter sepanjang sejarah.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

95 − = 86
Powered by MathCaptcha