Kerangka Sosiologis Migrasi Tenaga Kerja

Migrasi, dalam definisi yang paling luas, merujuk pada perubahan tempat tinggal, baik secara permanen maupun semi-permanen. Namun, bagi sosiologi, fenomena ini jauh melampaui statistik demografi. Migrasi tenaga kerja internasional kontemporer harus dipahami sebagai sebuah realitas sosial yang sangat kompleks, yang melibatkan interaksi, keinginan, dan sistem kepercayaan mendalam dari manusia dan komunitas. Fokus laporan ini bergeser dari analisis ekonomi murni menuju kajian mendalam mengenai bagaimana perpindahan manusia melintasi batas negara memicu perubahan fundamental pada struktur keluarga, relasi sosial, dan dinamika politik di dua dunia—negara asal dan negara tujuan.

Secara tradisional, teori migrasi neoklasik berfokus pada keputusan individu yang didorong oleh perbedaan upah antar-negara. Analisis saat ini, khususnya yang mengadopsi lensa New Economic of Migration (NEOM), mengakui bahwa keputusan untuk bermigrasi bukan semata-mata keputusan individu, melainkan keputusan kolektif yang dibuat oleh kelompok atau rumah tangga. Keputusan kolektif ini bertujuan untuk mencapai strategi adaptif, seperti manajemen risiko ekonomi, mendiversifikasi sumber pendapatan, atau meningkatkan peluang mobilitas sosial, yang mencakup motivasi ekonomi dan non-ekonomi.

Pengenalan Konsep Transnasionalisme dan Diaspora

Migrasi menciptakan ruang sosial yang melintasi batas-batas teritorial yang rigid. Ruang ini disebut sebagai transnasionalisme, di mana para migran secara simultan terlibat dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan bahkan politik, baik di negara asal maupun negara tujuan.

Fenomena ini melahirkan konsep diaspora. Diaspora diterjemahkan dari bahasa Yunani sebagai dispersal atau penyebaran. Namun, secara sosiologis, diaspora lebih dari sekadar penyebaran fisik; ia mencakup gerakan kelompok etnis dari negara asal ke berbagai belahan dunia sambil mempertahankan identitas kolektif yang didasarkan pada negara asal. Komunitas diaspora membentuk jaringan yang memelihara ikatan emosional dengan tanah leluhur, merayakan hari libur, upacara, dan ritual tradisional di lingkungan baru mereka.

Perbedaan utama antara diaspora dan migrasi biasa terletak pada kesadaran kolektif untuk mempertahankan identitas asal dan keinginan kuat untuk tetap terhubung dengan tanah air. Hal ini menyebabkan munculnya tantangan sosiologis yang kompleks, termasuk navigasi identitas ganda, di mana individu berupaya mempertahankan identitas budaya dan nasional mereka sambil berintegrasi ke dalam masyarakat baru.

Perubahan Struktur Keluarga dan Relasi Gender di Negara Asal (Dunia yang Ditinggalkan)

Migrasi sebagai Strategi Adaptif Keluarga dan Feminisasi

Keputusan migrasi hampir selalu berakar pada kebutuhan ekonomi yang mendesak, seperti keterbatasan lapangan kerja dan minimnya peluang pendapatan di daerah asal. Migrasi tenaga kerja dianggap sebagai strategi adaptif yang krusial bagi rumah tangga untuk bertahan hidup dan mencapai mobilitas sosial bagi generasi berikutnya, sering kali dengan tujuan menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih tinggi.

Dalam beberapa tahun terakhir, migrasi tenaga kerja semakin ditandai oleh feminisasi migrasi, di mana demografi pekerja migran didominasi oleh perempuan. Data menunjukkan bahwa di Indonesia, misalnya, pekerja migran perempuan menyumbang mayoritas signifikan (61% pada tahun 2023) dibandingkan laki-laki. Mayoritas pekerjaan ini identik dengan peran gender tradisional, seperti pekerja rumah tangga (home maid) dan pengasuh (caregiver).

Transformasi Peran dan Struktur Keluarga

Migrasi jangka panjang, terutama ketika salah satu orang tua pergi, membawa dampak sosiologis yang tidak terhindarkan pada struktur keluarga.

Dinamika Keluarga Transnasional dan Paradoks Feminisasi

Perpisahan jangka panjang menciptakan keluarga transnasional—unit sosial yang terfragmentasi secara geografis tetapi terikat secara emosional, finansial, dan spiritual. Dampak paling kentara adalah perubahan struktur keluarga menjadi single parent household sementara, di mana pasangan yang ditinggalkan (suami atau istri) harus menjalankan peran ganda sebagai pencari nafkah dan pengasuh.

Fenomena feminisasi migrasi menimbulkan sebuah paradoks sosiologis. Di satu sisi, migrasi memberikan perempuan otonomi finansial yang signifikan dan menempatkan mereka dalam sektor publik. Di sisi lain, pekerjaan yang mereka jalani di luar negeri seringkali melanggengkan subordinasi terhadap kerja-kerja domestik, hanya memindahkan kerja-kerja yang secara stereotip dilekatkan pada peran perempuan ke skala global.

Namun, absennya salah satu anggota keluarga memaksa restrukturisasi peran gender di rumah. Analisis menunjukkan bahwa pola relasi gender dapat bergerak menuju konsep androgini, di mana pembagian kerja domestik menjadi kurang sexist dan pasangan yang tertinggal mulai terbuka pada sektor publik. Istri yang menjadi pekerja migran cenderung menjadi lebih independen dalam mengambil keputusan, dan suaminya mungkin mulai terjun ke sektor domestik, berbeda dengan nilai-nilai pemingitan tradisional. Perubahan peran ini, meskipun bersifat adaptif, juga dapat memperjelas ketimpangan beban domestik bagi pasangan yang tertinggal.

Kerentanan Struktural Keluarga Jarak Jauh

Keluarga transnasional menghadapi kerentanan struktural yang timbul dari ketidaksesuaian antara realitas kehidupan mereka dengan kerangka kebijakan administrasi negara. Misalnya, upaya pemerintah untuk meningkatkan pencatatan kelahiran sering kali didasarkan pada asumsi model keluarga inti yang stabil dan tinggal di lokasi tetap. Akibatnya, keluarga transnasional yang pola hidupnya berpindah-pindah menghadapi tantangan dalam hal tata kelola hidup yang tidak stabil dan pemenuhan hak-hak dasar, seperti pencatatan kelahiran.

Jarak dan waktu yang memisahkan juga memicu konflik emosional. Pekerja migran perempuan sering mengalami konflik pendekatan-penghindaran (approach-avoidance), bergumul dengan kesulitan menjalin komunikasi emosional yang efektif dan mengatasi rasa kehilangan karena jauh dari anak. Teknologi digital, seperti panggilan video, berperan penting sebagai alat untuk memperkuat ikatan keluarga dan memfasilitasi pelaksanaan nilai-nilai spiritual (seperti berdoa bersama) melintasi jarak, menjadi mekanisme coping kolektif.

Remittances: Dari Transfer Finansial ke Penggerak Status Sosial (Poin Kunci 1)

Remittances sebagai Modal Ekonomi dan Sosial

Remittances (pengiriman uang oleh pekerja migran) berfungsi sebagai pilar ekonomi dan sosial yang menghubungkan negara tujuan dan negara asal. Di tingkat makro, remitansi menyumbang devisa yang signifikan. Di tingkat mikro, penghasilan ini sering menjadi sumber pendapatan utama, memungkinkan keluarga meningkatkan kualitas hidup, memperbaiki kondisi rumah, dan mengatasi kemiskinan.

Namun, peran sosiologis remitansi jauh lebih dalam daripada sekadar transfer finansial. Remitansi beroperasi sebagai penggerak status sosial di komunitas asal. Masyarakat desa memiliki motivasi tinggi untuk menjadi pekerja migran setelah melihat pendahulu mereka berhasil merenovasi rumah, membeli tanah, dan mengumpulkan aset. Keberhasilan materiil ini diakui dan direplikasi sebagai sebuah norma sosial.

Dilema Penggunaan Remittances: Konversi Modal Finansial ke Modal Status

Penggunaan remitansi sering kali terbelah antara kebutuhan konsumtif dan investasi produktif. Sayangnya, fenomena konsumtif masih dominan di kalangan keluarga migran. Remitansi banyak dialokasikan untuk kegiatan yang habis pakai dalam jangka pendek atau untuk pembangunan rumah menjadi bentuk bangunan yang lebih modern, yang secara kasat mata menunjukkan perubahan kondisi perumahan penduduk.

Fenomena Ekonomi Status dan Konflik

Alokasi yang dominan untuk konsumsi berlebihan, melampaui kebutuhan ekonomi riil, lebih relevan jika dilihat sebagai upaya sosiologis untuk memperoleh simbol status. Bagi keluarga TKI, menampilkan keberhasilan bekerja di luar negeri adalah hal terpenting untuk mengangkat derajat keluarga dan menunjukkan hasil dari pengorbanan transnasional. Oleh karena itu, pembelian barang mewah dan renovasi rumah adalah cara yang rasional secara sosiologis untuk mengkonversi modal finansial menjadi modal sosial—membeli kembali penghormatan dan posisi dalam komunitas setelah lama absen.

Dampak dari pengalihan ini bersifat dualistik: remitansi mengurangi kemiskinan sambil berpotensi memperdalam ketidaksetaraan sosial antara keluarga migran yang sukses dan keluarga non-migran di desa asal.

Perbedaan pengambilan keputusan dalam penggunaan remitansi juga dapat memicu disharmonisasi dan konflik rumah tangga. Keluarga transnasional dipaksa untuk terus-menerus bernegosiasi ulang mengenai alokasi sumber daya langka (uang, kekuasaan). Konflik ini menyoroti dinamika kekuasaan yang berubah; pekerja migran yang menyediakan modal finansial dan pasangan yang tertinggal yang mengelola modal sosial harus membangun mekanisme tawar-menawar baru untuk mencapai tujuan keluarga yang seringkali bersaing.

Meskipun pola konsumtif menonjol, ada inisiatif positif. Contoh kasus menunjukkan bahwa komunitas keluarga PMI, didukung oleh program pemberdayaan ekonomi, telah berhasil menggunakan remitansi untuk modal usaha produktif berbasis komunitas, seperti mengolah sumber daya alam pesisir, yang menekankan pentingnya aktivitas produktif kolektif.

Tabel 1: Analisis Remitansi: Konversi Modal Finansial ke Modal Sosial

Dimensi Fungsi Ekonomi Murni (Produktif) Fungsi Sosiologis (Simbolik/Konsumtif) Implikasi Sosial dan Struktur Komunitas
Tujuan Utama Meningkatkan kualitas kesejahteraan jangka panjang, menciptakan nilai tambah Memperoleh symbol status, menunjukkan keberhasilan, konsumsi cepat Perubahan gaya hidup, memicu motivasi migrasi baru, dan ketegangan sosial
Bentuk Aplikasi Modal usaha (wirausaha berbasis komunitas), pendidikan tinggi, investasi aset produktif Renovasi rumah modern, pembelian barang mewah, pemenuhan kebutuhan yang melebihi kebutuhan riil Menciptakan hirarki sosial baru (Orang Kaya Baru Migran) dan berpotensi memicu konflik rumah tangga
Dasar Pengambilan Keputusan Rasionalitas ekonomi, dorongan pemberdayaan Dorongan eksternal (lingkungan sosial), persepsi, keinginan mengangkat derajat keluarga Memperkuat norma sosial untuk meniru perilaku sukses, meskipun berisiko finansial

Tantangan Asimilasi vs. Integrasi di Negara Tujuan (Poin Kunci 2)

Pembentukan Komunitas Diaspora dan Transnasionalisme Budaya

Di negara tujuan, para migran tenaga kerja membentuk komunitas diaspora yang berfungsi sebagai wadah untuk pelestarian identitas dan dukungan kolektif. Komunitas-komunitas ini seringkali menciptakan komunitas imajinatif yang diperkuat melalui praktik nyata, seperti perayaan budaya, ritual, dan praktik kuliner khas.

Komunitas diaspora juga memainkan peran penting dalam diplomasi publik (soft power) negara asal. Mereka bertindak sebagai duta budaya informal, menjembatani pemahaman antarbangsa melalui kegiatan seperti restoran, festival makanan, atau pertukaran akademik, yang merupakan manifestasi gastrodiplomasi.

Selain peran budaya, jaringan sosial diaspora menyediakan modal sosial yang vital. Dalam konteks pekerja migran, jaringan ini memfasilitasi dukungan kolektif dalam menghadapi tantangan hidup. Misalnya, pekerja migran di Hong Kong menggunakan teknologi komunikasi untuk berkoordinasi dan mendukung satu sama lain dalam studi jarak jauh. Jaringan transnasional ini krusial bagi kelangsungan hidup dan peningkatan kualitas diri pekerja migran.

Dilema Asimilasi, Integrasi, dan Identitas Ganda

Ketika berhadapan dengan masyarakat dominan, komunitas migran menghadapi dua tuntutan sosiologis utama: asimilasi atau integrasi.

  1. Asimilasi:Mengacu pada proses di mana kelompok minoritas mengadopsi elemen budaya (bahasa, nilai, gaya hidup) dan berpartisipasi (secara struktural) dalam institusi-institusi utama masyarakat dominan (ekonomi, politik, pendidikan).
  2. Integrasi:Merupakan proses yang lebih rumit, di mana setiap kelompok etnik menyadari dan menghormati norma serta nilai kelompok etnik lain, sambil tetap mempertahankan budaya hidup masing-masing.

Bagi diaspora, tantangan terbesar adalah menavigasi identitas ganda. Misalnya, diaspora Suriah di Eropa berjuang untuk mempertahankan identitas budaya dan nasional mereka sambil mencoba membaur dengan masyarakat lokal. Konsep Teori Interkulturalisme menyatakan bahwa dialog antarbudaya adalah fondasi utama untuk membangun hubungan sosial dan mencapai integrasi.

Kegagalan proses asimilasi atau penolakan integrasi struktural membawa risiko serius. Jika migran kehilangan identitas budaya aslinya namun tidak sepenuhnya diterima ke dalam budaya dominan, mereka dapat mengalami marginalisasi sosial.

Hambatan Struktural dan Diskriminasi

Kegagalan integrasi sering kali bukan disebabkan oleh keengganan kultural migran untuk beradaptasi, melainkan oleh hambatan struktural yang dipaksakan oleh negara tujuan.

Regulasi imigrasi dan pasar kerja yang ketat menempatkan pekerja migran pada posisi rentan dan membatasi akses mereka terhadap hak-hak dasar dan peluang integrasi sosial. Aturan imigrasi yang kaku menyebabkan pekerja migran sangat bergantung pada status kerja, yang mudah tereksklusi ketika kontrak berakhir.

Salah satu bentuk eksklusi struktural yang paling jelas adalah segregasi okupasional (pemisahan pekerjaan). Diskriminasi pasar kerja menyebabkan pekerja migran, termasuk mereka yang berpendidikan tinggi, terperangkap dalam sektor pekerjaan tertentu (misalnya, sektor domestik atau blue collar), meskipun ada lowongan di sektor lain yang sesuai dengan kualifikasi mereka. Segregasi pekerjaan ini, bersama dengan hambatan bahasa , berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial yang sengaja membatasi mobilitas sosial migran di negara tujuan. Jika proses adaptasi gagal atau ditolak, ini dapat memicu segregasi spasial di mana migran hanya terkumpul di wilayah tertentu.

Identitas ganda yang sering dialami oleh pekerja migran dan generasi kedua mereka dapat diinterpretasikan sebagai strategi bertahan hidup adaptif, yang memungkinkan mereka untuk mengakses sumber daya di negara tujuan sambil mempertahankan jaringan dukungan emosional dan finansial dari jaringan transnasional mereka. Namun, bagi generasi anak-anak, navigasi identitas ganda ini tetap merupakan tantangan signifikan dalam proses pertumbuhan dan penerimaan sosial.

Migrasi dan Munculnya Nasionalisme Baru di Negara Tujuan (Poin Kunci 3)

Kebangkitan Populisme dan Retorika Anti-Imigran

Fenomena migrasi internasional telah menjadi isu politik yang mempolarisasi, berfungsi sebagai katalisator bagi kebangkitan gerakan populisme di banyak negara maju. Gerakan populisme muncul sebagai reaksi terhadap ketidakpuasan terhadap sistem politik dan ekonomi yang ada, sering kali menargetkan institusi mapan (anti-elitisme).

Dalam konteks migrasi, populisme menggunakan retorika yang kuat terkait nasionalisme dan proteksionisme. Pemimpin populis mengklaim mewakili “rakyat” sejati, menyerukan perlindungan negara dari “ancaman luar,” yang seringkali dialamatkan kepada imigran. Kebijakan proteksionis, termasuk pembatasan imigrasi, dipromosikan sebagai cara untuk melindungi kepentingan rakyat dari dampak negatif globalisasi.

Retorika populis sangat berpengaruh dalam membentuk kebijakan publik. Di Amerika Serikat, klaim pemimpin yang mewakili rakyat berpengaruh signifikan terhadap kebijakan anti-imigran, seperti kebijakan Muslim Ban. Hal ini mengindikasikan bahwa migrasi, yang awalnya masalah sosio-ekonomi, telah diubah menjadi isu keamanan dan identitas yang digunakan untuk mendefinisikan kembali batas-batas “siapa yang termasuk rakyat”, yang pada akhirnya memperburuk ketegangan sosial dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.

Xenofobia dan Ketegangan Sosial

Kebangkitan populisme secara langsung memicu dan memperkuat praktik xenofobia (ketakutan atau kebencian terhadap orang asing) di negara tujuan. Sentimen anti-imigran seringkali dimobilisasi melalui retorika yang mengandalkan emosi dan simplifikasi masalah.

Dampak sosial dari populisme sangat bergantung pada konteks politik lokal. Di negara-negara dengan dinamika populis yang kuat, retorika ini dapat memperburuk diskriminasi dan mengancam kohesi sosial. Sebaliknya, negara-negara dengan kebijakan yang lebih inklusif terhadap imigrasi, seperti Denmark dalam beberapa aspek, tampaknya lebih mampu membatasi pengaruh populisme dalam memicu kebijakan diskriminatif.

Partisipasi Politik Transnasional Diaspora

Meskipun migran menghadapi tekanan politik di negara tujuan, komunitas diaspora juga berperan aktif dalam dinamika politik transnasional.

  1. Pengaruh di Negara Asal:Banyak negara memungkinkan warga negara di luar negeri untuk memilih dalam pemilihan nasional. Diaspora yang terorganisir dapat memiliki pengaruh signifikan pada hasil pemilihan dan pembentukan kebijakan di negara asal.
  2. Nasionalisme Jarak Jauh (Long-Distance Nationalism):Beberapa komunitas diaspora terlibat dalam gerakan nasionalis atau separatis yang bertujuan memengaruhi dinamika politik negara asal mereka. Keterlibatan politik transnasional ini menciptakan risiko diplomatik ganda: di satu sisi diaspora adalah agen soft power , tetapi di sisi lain mereka juga dapat menjadi sumber ketegangan politik jika gerakan mereka dianggap mengancam keamanan atau kedaulatan negara inang.

Migrasi tenaga kerja secara keseluruhan, telah menjadi bahan bakar bagi polarisasi politik global. Hal ini mengubah diskusi kebijakan imigrasi dari masalah manajemen tenaga kerja menjadi pertempuran identitas dan ancaman nasional, menuntut perhatian diplomatik dan perlindungan hukum bagi pekerja migran di luar negeri.

Kesimpulan

Analisis sosiologis mengenai migrasi tenaga kerja mengungkapkan bahwa fenomena ini adalah sebuah proses transnasional yang mengubah struktur sosial baik di dunia yang ditinggalkan maupun dunia yang dihuni. Migrasi bukan sekadar perpindahan tenaga kerja, melainkan restrukturisasi kehidupan kolektif.

Sintesis Temuan Kunci

  1. Keluarga Transnasional dan Perubahan Gender:Migrasi menghasilkan keluarga yang terpisah secara geografis, menciptakan paradoks feminisasi migrasi di mana perempuan mencapai otonomi finansial melalui subordinasi kerja domestik global. Struktur keluarga mengalami tekanan besar, memaksa peran gender yang lebih androgini di negara asal, namun juga menimbulkan konflik emosional yang membutuhkan mekanisme coping berbasis teknologi dan spiritualitas.
  2. Remitansi sebagai Penggerak Status:Remitansi jauh melampaui fungsi ekonominya. Ia adalah modal sosial yang dikonversi menjadi simbol status di komunitas asal. Pola konsumtif yang tinggi adalah upaya yang rasional secara sosiologis untuk membeli kembali kehormatan dan status, tetapi ini memperdalam ketidaksetaraan sosial dan memicu konflik internal keluarga.
  3. Hambatan Integrasi Struktural:Kegagalan migran untuk mencapai integrasi penuh di negara tujuan sebagian besar disebabkan oleh hambatan struktural—regulasi imigrasi yang kaku dan diskriminasi yang memicu segregasi okupasional, yang secara efektif membatasi mobilitas sosial ke atas, meskipun secara kultural diaspora berupaya mempertahankan dan mempromosikan identitas ganda mereka.
  4. Katalisator Populisme Baru:Kehadiran migran telah dipolitisasi sebagai isu utama dalam gerakan populisme di negara maju. Retorika nasionalisme dan proteksionisme menggunakan migrasi untuk memperkuat polaritas politik dan memicu xenofobia, menempatkan pekerja migran pada risiko diskriminasi dan eksklusi yang lebih besar.

Rekomendasi Kebijakan Multidimensi

Berdasarkan temuan sosiologis ini, kebijakan migrasi harus mengadopsi pendekatan transnasional yang sensitif terhadap dinamika sosial dan identitas.

Penguatan Ketahanan Keluarga Transnasional

Pemerintah perlu memperluas program intervensi berbasis keluarga, seperti Bina Keluarga , yang berfokus tidak hanya pada pemberdayaan ekonomi tetapi juga pada manajemen konflik emosional jarak jauh  dan dukungan psikososial. Penting untuk mengakomodasi realitas keluarga transnasional dalam kerangka hukum dan administrasi (misalnya, pencatatan sipil dan hak-hak keluarga) yang saat ini masih didesain untuk model keluarga inti tradisional.

Strategi Pengelolaan Remitansi yang Berbasis Modal Sosial

Program pemberdayaan ekonomi harus didesain untuk mengarahkan alokasi remitansi yang bersifat produktif dan berbasis komunitas , bukan hanya individu. Dengan mendorong penggunaan remitansi untuk pembentukan modal sosial (jaringan usaha, kepercayaan kolektif) , ini dapat menanggulangi pola konsumtif simbolik yang berpotensi merusak dan menggantinya dengan pembangunan aset jangka panjang.

Mendorong Integrasi Struktural dan Melawan Eksklusi

Fokus kebijakan diplomatik harus beralih dari sekadar perlindungan administratif menuju upaya mendesak negara tujuan untuk mengatasi hambatan struktural. Ini termasuk reformasi regulasi kerja untuk mengurangi ketergantungan penuh migran pada satu status kerja dan melawan segregasi okupasional yang membatasi pekerja migran ke sektor-sektor tertentu. Diplomasi publik harus memanfaatkan peran diaspora sebagai soft power (duta budaya, gastrodiplomasi) untuk menjembatani jurang kultural dan memitigasi xenofobia.

Mitigasi Dampak Politik Populisme

Pemerintah negara asal harus meningkatkan fungsi perlindungan hukum dan diplomatik untuk mengamankan pekerja migran dari dampak retorika populis dan kebijakan anti-imigran yang diskriminatif. Selain itu, nasionalisme jarak jauh diaspora  harus disalurkan melalui mekanisme diplomatik yang konstruktif untuk pembangunan, alih-alih memicu ketegangan politik.

Kajian sosiologi migrasi harus terus mengadopsi lensa yang nuansatif dan tidak homogen. Perspektif feminis, misalnya, harus terus digunakan untuk menolak konseptualisasi diaspora yang bias gender dan androsentris, yang sering mengistimewakan mobilitas subjek maskulin. Pendekatan ini memastikan bahwa pengalaman perempuan pekerja migran dan perubahan peran mereka diakui secara penuh.

Di masa depan, penelitian lanjutan perlu memproyeksikan dinamika generasi kedua diaspora. Tantangan identitas ganda bagi anak-anak yang lahir atau besar di negara tujuan memerlukan analisis mendalam untuk memahami bagaimana mereka menavigasi ikatan transnasional dan aspirasi lokal, serta bagaimana kebijakan interkulturalisme dapat menjadi fondasi utama dalam membangun hubungan sosial yang inklusif. Fenomena migrasi, oleh karena itu, harus dipandang sebagai sebuah proses sosial yang berkesinambungan, yang secara permanen membentuk kembali identitas, struktur keluarga, dan tatanan politik global.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

− 5 = 3
Powered by MathCaptcha