Fenomena pengorganisasian komunitas akar rumput di Indonesia kontemporer mencerminkan pergeseran paradigma dalam relasi kuasa antara negara dan warga negara. Gerakan ini bukan sekadar artikulasi kepentingan kelompok, melainkan manifestasi dari kebangkitan kesadaran kolektif yang menuntut perubahan institusional, kebijakan, dan struktur pemerintahan yang lebih inklusif. Akar rumput di Indonesia memiliki karakteristik yang unik, di mana nilai-nilai demokrasi sebenarnya telah tertanam secara historis di tingkat desa, menjadikan unit terkecil masyarakat ini sebagai lembaga inti bagi proses demokratisasi nasional. Namun, perjalanan gerakan ini senantiasa berhadapan dengan residu otoritarianisme, di mana kontrol birokrasi dan represi aparat masih sering digunakan untuk menekan aspirasi lokal yang dianggap tidak selaras dengan prioritas pemerintah pusat.
Landasan Teoretis Gerakan Sosial Baru dan Mobilisasi Akar Rumput
Memahami dinamika gerakan akar rumput memerlukan tinjauan mendalam terhadap Teori Gerakan Sosial Baru (New Social Movements/NSM). Berbeda dengan gerakan sosial lama yang berfokus pada konflik kelas dan perjuangan ekonomi materialistik, Gerakan Sosial Baru di Indonesia lebih menonjolkan pluralitas isu seperti ekologi, identitas, kemerdekaan sipil, dan perdamaian. Gerakan ini muncul sebagai wujud reaksi terhadap kegagalan institusi formal dalam merespon kebutuhan rakyat, dengan tujuan menciptakan perubahan signifikan melalui jalur otonom di luar sistem kepartaian konvensional.
| Dimensi Analisis | Gerakan Sosial Lama | Gerakan Sosial Baru (Akar Rumput) |
| Basis Perjuangan | Konflik kelas buruh vs pemodal | Identitas, lingkungan, ruang kota, dan HAM |
| Struktur Organisasi | Sentralistik dan birokratis | Jaringan desentralistik dan otonom |
| Metode Aksi | Revolusi massa dan pemogokan | Advokasi litigasi, kampanye digital, dan aksi disruptif |
| Tujuan Akhir | Perebutan kekuasaan negara | Transformasi kebijakan dan kesadaran sosial |
Eksistensi gerakan ini didorong oleh dua mekanisme utama: Teori Mobilisasi Sumber Daya (Resource Mobilization Theory) dan Teori Orientasi Identitas (Identity Oriented Theory). Mobilisasi sumber daya menekankan pada kemampuan organisasi dalam menghimpun dana, aktivis, dan akses informasi untuk mencapai tujuan politiknya. Sementara itu, orientasi identitas berfokus pada pembangunan solidaritas kolektif yang berakar pada rasa memiliki dan pengalaman bersama atas ketidakadilan. Dalam konteks Indonesia, transisi dari masa Orde Baru yang didominasi oleh “monoloyalitas” dan dwifungsi militer menuju era reformasi telah membuka ruang bagi warga untuk melakukan “pertahanan diri” terhadap ekspansi kontrol sosial negara.
Advokasi Hak Atas Kota: Kontestasi Jalur Sepeda dan Ruang Publik Jakarta
Komunitas pesepeda, yang diwakili secara signifikan oleh Bike to Work (B2W) Indonesia, menjadi studi kasus menarik mengenai bagaimana hobi dan gaya hidup dapat bertransformasi menjadi kekuatan advokasi kebijakan publik yang solid. Selama lebih dari 15 tahun, komunitas ini telah mendorong penggunaan sepeda bukan sekadar sebagai alat rekreasi, melainkan sebagai moda transportasi utama yang mendukung konsep kota berkelanjutan (green city).
Evolusi Kebijakan dan Puncak Konflik Tata Kelola
Pada periode 2012 hingga 2022, Jakarta mencatatkan progres signifikan dengan pembangunan jalur sepeda sepanjang 301,084 kilometer, yang secara faktual melampaui target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sebesar 252,1 kilometer. Keberhasilan ini merupakan hasil dari transmisi aspirasi publik yang terus-menerus dilakukan melalui forum-forum seperti Workshop Percepatan Jakarta Ramah Bersepeda. Namun, stabilitas kebijakan ini terganggu secara dramatis pada periode 2023-2024 akibat perubahan orientasi kepemimpinan daerah.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Penjabat Gubernur melakukan serangkaian tindakan yang oleh komunitas dianggap sebagai “malapraktik tata kelola kota”. Tindakan tersebut mencakup pemangkasan anggaran jalur sepeda dalam RAPBD 2023 yang semula diusulkan Rp 38 miliar menjadi nihil, pembongkaran pedestrian dan jalur sepeda di persimpangan Santa untuk rekayasa lalu lintas, serta penutupan permanen jalur sepeda di 18 ruas jalan dengan dalih pengaspalan ulang menyambut KTT ASEAN.
| Jenis Pelanggaran Kebijakan | Lokasi/Cakupan | Alasan Pemerintah | Respon Komunitas (B2W) |
| Pembongkaran Jalur | Simpang Santa, Jakarta Selatan | Mengurai kemacetan lalu lintas | Laporan ke Ombudsman dan PTUN |
| Penghilangan Marka | 18 ruas jalan utama | Persiapan infrastruktur KTT ASEAN | Pencabutan status “Kota Ramah Sepeda” |
| Pencabutan Stick Cone | 13 ruas jalur sepeda | Dianggap membahayakan pengendara lain | Gugatan malapraktik pelayanan publik |
Strategi Litigasi dan Pengaruh Komunitas Akar Rumput
Menghadapi regresi kebijakan tersebut, komunitas pesepeda tidak lagi hanya mengandalkan aksi massa di jalanan, melainkan beralih ke strategi litigasi yang lebih formal. Pelaporan Penjabat Gubernur ke Ombudsman DKI Jakarta dan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mencerminkan pendewasaan gerakan akar rumput dalam menggunakan instrumen hukum untuk menuntut akuntabilitas publik. Komunitas menekankan bahwa penyediaan jalur sepeda merupakan kewajiban hukum yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 2009 dan PP No. 34 Tahun 2006.
Evaluasi teknis dari lembaga pendamping seperti Institute for Transportation Development Policy (ITDP) memperkuat posisi tawar komunitas. Data menunjukkan bahwa 94% pesepeda akan merasa lebih percaya diri jika terdapat proteksi fisik permanen, namun pemerintah justru memilih membongkar proteksi yang sudah ada. Ketimpangan antara data lapangan dan kebijakan pemerintah inilah yang menjadi bahan bakar bagi gerakan akar rumput untuk menuntut perubahan secara sistemik.
Hak Atas Perumahan: Penataan Kampung Akuarium dan Kedaulatan Warga
Kasus Kampung Akuarium di Jakarta Utara memberikan perspektif berbeda mengenai keberhasilan warga lokal dalam menolak penggusuran dan mengusulkan solusi penataan alternatif. Penggusuran paksa yang terjadi pada tahun 2016 telah mengakibatkan trauma sosial dan ekonomi bagi ribuan keluarga. Namun, alih-alih menyerah pada keadaan, warga membangun organisasi yang solid melalui kolaborasi dengan Urban Poor Consortium (UPC) dan Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK).
Peran Organisasi Pendamping dan Penyadaran Kolektif
UPC memainkan peran krusial sebagai “Community Organizer” (CO) yang melakukan diskusi penyadaran di tingkat akar rumput. Melalui “Sekolah Community Organizing”, warga diajarkan untuk merumuskan “mimpi bersama” dan memahami kekuatan kolektif mereka untuk memperjuangkan hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan identitas. Strategi ini berhasil membangun “kontrak politik” dengan calon pemimpin daerah pada tahun 2014, yang kemudian menjadi dasar hukum bagi pembangunan kembali kampung tersebut setelah periode penggusuran usai.
Proses pembangunan kembali Kampung Susun Akuarium menjadi pionir model “Innovative Self-Sustaining Living Kampong” di Indonesia. Prinsip utama yang digunakan adalah keterlibatan warga secara penuh dalam setiap tahap perencanaan melalui mekanisme Community Action Plan (CAP). Warga bekerja sama dengan arsitek dan akademisi dari Rujak Center for Urban Studies (RCUS) untuk memastikan desain bangunan mengakomodasi kebutuhan sosial dan budaya mereka.
| Komponen Penataan | Implementasi di Kampung Akuarium | Dampak Sosial-Ekonomi |
| Konsep Hunian | Kampung Susun/Rumah Berlapis | Mempertahankan kepadatan tanpa menggusur |
| Fasilitas Sosial | Balai Warga, PAUD, Taman Bacaan | Memperkuat kohesi sosial dan edukasi anak |
| Akses Ekonomi | Dermaga kecil, ruang dagang di lantai dasar | Mendukung produktivitas nelayan dan UMKM |
| Manajemen | Koperasi Perumahan yang dikelola warga | Otonomi pengelolaan dan pemeliharaan |
Keberhasilan Kampung Akuarium menunjukkan bahwa gerakan akar rumput mampu mengubah paradigma pembangunan kota dari yang bersifat “top-down” dan represif menjadi “people-centered development” yang partisipatif. Hal ini sejalan dengan pengalaman gerakan sosial di Kampung Code, Yogyakarta, di mana di bawah bimbingan Romo Mangun, warga mampu bangkit dari kebijakan pemerintah yang diskriminatif melalui penguatan kebersamaan dan penataan lingkungan secara mandiri tanpa kekerasan.
Perlawanan Terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN): Wadas dan Rempang
Di sisi lain, potret perlawanan warga terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) di wilayah pedesaan dan pulau-pulau kecil menunjukkan sisi gelap dari ambisi pembangunan infrastruktur. Di Desa Wadas dan Pulau Rempang, warga berhadapan dengan kekuatan koersif negara yang menggunakan hukum sebagai instrumen legitimasi untuk menguasai sumber daya alam lokal.
Konflik Agraria di Desa Wadas
Perlawanan warga Wadas dipicu oleh rencana pertambangan batuan andesit untuk pembangunan Bendungan Bener. Warga menolak tambang tersebut karena tiga alasan fundamental: wilayah yang akan ditambang adalah lahan produktif yang menjadi tumpuan ekonomi warga; prosedur pengadaan tanah dianggap manipulatif karena pertambangan andesit tidak termasuk dalam kategori proyek untuk kepentingan umum; serta ketiadaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sah.
Gerakan “Wadon Wadas” (Perempuan Wadas) dan “Kawula Wadas” (Pemuda Wadas) menjadi garda terdepan dalam menjaga kelestarian lingkungan mereka. Meskipun menghadapi intimidasi aparat, penangkapan sewenang-wenang, dan kekerasan fisik, warga terus menggunakan jalur hukum melalui gugatan ke PTUN dan laporan ke Komnas HAM guna mendapatkan keadilan atas hak penguasaan lahan leluhur mereka.
Krisis Kemanusiaan di Pulau Rempang
Konflik di Pulau Rempang terkait proyek “Rempang Eco-City” menyoroti dampak traumatis dari pemaksaan PSN tanpa sosialisasi yang memadai. Rencana relokasi terhadap kurang lebih 7.500 penduduk memicu bentrokan yang mengakibatkan jatuhnya korban dari kalangan warga sipil, termasuk anak-anak sekolah yang terdampak penyemprotan gas air mata oleh aparat.
Analisis terhadap peristiwa ini menunjukkan adanya “viktimisasi sekunder” di mana masyarakat yang telah kehilangan ruang hidupnya justru dikriminalisasi karena mencoba mempertahankan hak-hak konstitusional mereka. Komnas HAM mencatat adanya dugaan pelanggaran HAM berat yang melibatkan institusi Polri dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengosongan lahan secara intimidatif.
| Lokasi Konflik | Isu Utama | Bentuk Represi | Status Gerakan Warga |
| Desa Wadas | Tambang Andesit PSN | Pengepungan desa, penangkapan aktivis | Bertahan menolak tambang |
| Pulau Rempang | Rempang Eco-City | Gas air mata, kriminalisasi 42 warga | Menuntut hak atas tanah adat |
| Pegunungan Kendeng | Pabrik Semen | Kriminalisasi, pengabaian putusan MA | Aksi “Cor Kaki” sebagai protes |
Mekanisme Hukum sebagai Alat Tawar: Citizen Lawsuit dan Akuntabilitas Negara
Salah satu kekuatan utama komunitas akar rumput di era demokrasi adalah pemanfaatan mekanisme Citizen Lawsuit (CLS) atau Gugatan Warga Negara. CLS memungkinkan individu atau kelompok masyarakat untuk menggugat penyelenggara negara atas kelalaian dalam menjalankan kewajiban hukum untuk melindungi kepentingan publik, tanpa harus membuktikan adanya kerugian materiil secara langsung.
Kemenangan Gugatan Polusi Udara Jakarta
Gugatan warga terhadap pencemaran udara di Jakarta menjadi tonggak sejarah dalam litigasi lingkungan di Indonesia. Koalisi IBUKOTA, yang terdiri dari 32 warga negara, menggugat Presiden RI hingga Gubernur DKI Jakarta atas buruknya kualitas udara yang melanggar hak atas lingkungan hidup yang sehat. Pada tahun 2021, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan para petinggi negara bersalah karena lalai menjamin hak atas udara bersih.
Meskipun pemerintah melakukan perlawanan hukum hingga tingkat Kasasi di Mahkamah Agung, kemenangan tetap berada di pihak warga. Pada November 2023, MA memerintahkan pemerintah untuk melakukan pengetatan Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) nasional dan melakukan supervisi lintas provinsi guna menanggulangi polusi. Kasus ini membuktikan bahwa gerakan akar rumput yang terorganisir dengan data ilmiah dan strategi hukum yang matang mampu memaksa negara untuk mengakui kegagalannya dalam tata kelola lingkungan.
Digitalisasi dan Repertoar Baru Gerakan Sosial
Era digital telah memberikan amunisi tambahan bagi gerakan akar rumput melalui pemanfaatan platform media sosial dan teknologi informasi. “Aktivisme Digital” memungkinkan warga untuk melewati batas-batas birokrasi konvensional dan menyuarakan isu secara viral guna mendapatkan dukungan publik yang lebih luas.
Aktivisme Netnografi dan Solidaritas Siber
Studi netnografi pada gerakan “Wadas Melawan” menunjukkan bagaimana tagar di media sosial bukan sekadar simbol, melainkan ruang partisipasi baru yang memediasi komunikasi antara komunitas lokal dan jaringan pendukung global. Kampanye “Warga Jaga Warga” menggunakan media sosial untuk menyebarkan pesan perdamaian, solidaritas, dan perlindungan antarwarga di tengah ketegangan sosial.
Generasi Z memainkan peran sentral dalam transformasi ini. Mereka tidak hanya mengonsumsi informasi, tetapi juga memproduksi konten kampanye yang kreatif (seperti video satu menit atau infografis ringkas) untuk mengedukasi masyarakat mengenai isu-isu hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Strategi ini sangat efektif dalam melakukan penggalangan opini publik guna menekan pemerintah agar mengubah kebijakan yang kontroversial.
Tantangan Struktural: Antara Represi dan Resiliensi
Meskipun menunjukkan kekuatan yang luar biasa, gerakan akar rumput di Indonesia masih menghadapi hambatan struktural yang signifikan. Salah satu tantangan terbesar adalah fenomena SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation), di mana individu atau komunitas yang vokal memperjuangkan hak publik justru dilaporkan balik atau digugat secara perdata oleh entitas pemodal atau penguasa guna menghentikan gerakan mereka.
Hambatan Internal dan Eksternal Gerakan
Berdasarkan riset sosiologi, keberlanjutan gerakan akar rumput sering kali terhambat oleh keterbatasan sumber daya finansial dan kecenderungan fokus pada keberhasilan kampanye jangka pendek (short-termism). Selain itu, terdapat risiko “keterputusan” (disconnection) antara organisasi penggerak di tingkat elit dengan basis warga di lapangan jika tidak dikelola dengan prinsip akuntabilitas dan representasi yang kuat.
Di sisi eksternal, negara sering kali masih memposisikan diri sebagai entitas superior melalui praktik hegemoni ruang publik. Pembangunan sering kali dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan (“developmentalism”) yang menganggap kritik dari masyarakat sebagai penghambat kemajuan nasional. Dalam situasi ketidakstabilan politik, gerakan sosial memang bisa berkembang pesat sebagai solusi atas kebuntuan hubungan antara masyarakat sipil dan negara, namun tanpa organisasi yang lembaga dan solid, gerakan tersebut rentan mengalami perpecahan atau kegagalan sebelum mencapai perubahan yang dikehendaki.
Penutup: Masa Depan Kedaulatan Akar Rumput
Kekuatan komunitas akar rumput di Indonesia telah membuktikan diri sebagai pilar penting dalam menjaga keseimbangan demokrasi. Dari perjuangan pesepeda di jalanan Jakarta hingga keteguhan warga Wadas dalam menjaga tanahnya, terlihat sebuah pola di mana warga lokal tidak lagi bersikap pasif terhadap kebijakan yang merugikan mereka. Kunci dari keberhasilan gerakan ini terletak pada sinergi antara tiga elemen: pengorganisasian basis yang solid di tingkat lokal, kolaborasi strategis dengan jaringan profesional dan aktivis, serta keberanian dalam menggunakan instrumen hukum dan digital sebagai alat tawar terhadap kekuasaan.
Transformasi kebijakan publik yang lebih berkeadilan hanya dapat dicapai jika pemerintah bersedia menempatkan masyarakat bukan hanya sebagai objek atau konsumen kebijakan, melainkan sebagai mitra sejajar dalam setiap proses pengambilan keputusan. Kegagalan negara dalam mengakomodasi aspirasi akar rumput bukan hanya akan memicu konflik sosial yang berlarut-larut, tetapi juga mencederai hak-hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Oleh karena itu, penguatan kapasitas komunitas akar rumput dan perlindungan hukum terhadap para pejuang hak publik harus menjadi prioritas dalam agenda demokratisasi Indonesia di masa depan.
