Transformasi lanskap ritel di Indonesia telah mencapai titik kritis di mana pasar tradisional—yang selama berabad-abad menjadi pilar ekonomi dan ruang sosial komunitas—kini terjepit di antara perubahan perilaku konsumen dan ekspansi ritel modern yang agresif. Meskipun regulasi seperti Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 telah dirancang untuk menjaga keseimbangan, realitas di lapangan menunjukkan adanya pelemahan sistemik terhadap pedagang kecil. Dominasi ritel modern, yang kini menguasai lebih dari 40% pangsa pasar nasional, telah memicu penurunan omzet pasar tradisional sebesar 30-40% dan pengurangan jumlah pengunjung hingga 50% dalam satu dekade terakhir. Laporan ini membedah bagaimana kebijakan zonasi, mekanisme perizinan digital (OSS), dan praktik bisnis predatorik perlahan-lahan mengikis eksistensi ekonomi rakyat demi pertumbuhan korporasi waralaba.

Arsitektur Regulasi dan Paradoks Perlindungan Zonasi

Kerangka hukum utama yang mengatur hubungan ini adalah Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Secara normatif, peraturan ini menetapkan batasan ketat untuk melindungi pasar rakyat:

  1. Klasifikasi Luas Lantai: Minimarket dibatasi memiliki luas lantai penjualan kurang dari 400 .
  2. Sistem Zonasi: Pendirian toko modern wajib mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten/Kota.
  3. Analisis Sosial Ekonomi: Izin pendirian harus mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat serta keberadaan pasar rakyat dan UMKM di zona tersebut.

Namun, dalam praktiknya, efektivitas zonasi ini sering kali dikalahkan oleh kebutuhan daerah untuk meningkatkan investasi dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Di berbagai daerah, muncul polemik di mana minimarket modern tetap beroperasi meskipun melanggar radius yang ditetapkan—misalnya radius 2 kilometer dari pasar tradisional yang sering kali tidak dipatuhi.

Konflik Sistem OSS dan Celah “Fiktif Positif”

Munculnya Undang-Undang Cipta Kerja dan sistem Online Single Submission (OSS) membawa tantangan baru bagi penegakan zonasi lokal. Pergeseran ke arah perizinan berbasis risiko (Risk-Based Approach) cenderung mempermudah pemberian izin bagi pelaku usaha besar melalui mekanisme otomatis.

Salah satu risiko terbesar adalah mekanisme “Fiktif Positif” dalam PP Nomor 28 Tahun 2025. Jika pemerintah daerah terlambat memberikan penilaian atau verifikasi terhadap permohonan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) dalam waktu 20 hari, sistem OSS akan menerbitkan persetujuan secara otomatis. Celah administratif ini sering kali dimanfaatkan oleh jaringan minimarket untuk mendapatkan legalitas di lokasi yang sebenarnya dilarang oleh Perda zonasi setempat. Audit menunjukkan bahwa banyak izin yang terbit secara otomatis ditemukan tidak patuh terhadap peta tata ruang yang seharusnya melindungi zona pasar tradisional.

Dampak Ekonomi: Dari Penurunan Omzet hingga Penutupan Warung

Ekspansi minimarket waralaba (seperti Alfamart dan Indomaret) ke wilayah pemukiman telah menciptakan persaingan yang tidak seimbang dengan toko tradisional dan perkiosan. Berbeda dengan pasar tradisional yang mengandalkan hubungan personal dan tawar-menawar, ritel modern menawarkan kenyamanan (AC), kebersihan, sistem pembayaran digital (QRIS), dan kepastian harga.

Komponen Dampak Statistik dan Temuan Lapangan
Penurunan Pendapatan Rata-rata pendapatan warung turun Rp64.200 – Rp280.000 per hari
Pengurangan Modal Kerja Penurunan modal kerja rata-rata Rp232.400 per hari karena perputaran barang lambat
Perubahan Jam Kerja 20% pedagang terpaksa mengubah jam operasional karena pasar sepi
Tingkat Penutupan Usaha Munculnya kasus bangkrutnya toko eceran kecil di sekitar gerai ritel baru

Tekanan ekonomi ini diperparah dengan dugaan praktik Predatory Pricing, di mana ritel besar menetapkan harga di bawah biaya produksi atau harga pasar yang wajar untuk menyingkirkan pesaing kecil di zona yang sama. Perusahaan besar mampu menanggung kerugian jangka pendek demi mencapai dominasi pasar, sementara UMKM tidak memiliki cadangan modal untuk bertahan dalam perang harga tersebut.

Dimensi Sosiologis: Penghapusan Ruang Interaksi Komunitas

Kejahatan terhadap eksistensi pasar tradisional bukan hanya soal kerugian finansial, melainkan juga soal penghapusan memori kolektif dan fungsi sosial ruang publik. Pasar tradisional berfungsi sebagai titik temu berbagai strata sosial, tempat di mana jaringan sosial yang kuat terbentuk melalui interaksi langsung.

Matinya pasar tradisional akibat kebijakan modernisasi yang dipaksakan sering kali memicu konflik sosial. Contohnya, penolakan pembebasan lahan Pasar Batuah di Banjarmasin mencerminkan kekhawatiran warga akan hilangnya sumber penghidupan dan identitas budaya mereka. Pejabat pemerintah sering kali melihat pasar sebagai kawasan kumuh yang harus diubah menjadi mal atau ritel modern yang “rapi”, namun sering kali mengabaikan bahwa keteraturan fisik tersebut justru menghancurkan ekosistem ekonomi mikro yang inklusif.

Strategi Revitalisasi: Melawan Balik di Era Digital 2025

Menghadapi tahun 2025, pemerintah mulai mengadopsi strategi revitalisasi yang tidak hanya bersifat fisik (pembangunan gedung), tetapi juga manajerial dan digital untuk memperkuat daya saing pasar rakyat.

  1. Transformasi Digital: Mendorong integrasi sistem pembayaran digital dan pelatihan pemasaran daring bagi pedagang pasar agar mampu bersaing dengan ekosistem ritel modern.
  2. Kemitraan Wajib: Berdasarkan Perda terbaru di beberapa daerah (seperti Lubuk Linggau dan Seruyan), minimarket waralaba wajib menyediakan ruang untuk produk UMKM lokal tanpa biaya administrasi yang memberatkan (listing fee).
  3. Relaksasi Retribusi: Beberapa daerah mulai memberikan relaksasi retribusi pasar hingga 58% guna meringankan beban operasional pedagang kecil di tengah kelesuan daya beli.
  4. Penguatan RDTR: Mempercepat penyusunan RDTR yang berkualitas untuk memastikan sistem OSS tidak menerbitkan izin minimarket di zona-zona yang dilindungi secara otomatis.

Kesimpulan

Persaingan antara pasar tradisional dan ritel modern di Indonesia saat ini mencerminkan ketegangan antara ambisi modernisasi dan kewajiban melindungi ekonomi kerakyatan. Kebijakan zonasi yang seharusnya menjadi benteng perlindungan bagi pedagang kecil sering kali menjadi labirin yang penuh celah akibat sentralisasi perizinan digital dan tekanan investasi. Tanpa penegakan aturan jarak yang tegas dan audit terhadap izin-izin otomatis yang terbit melalui OSS, ekspansi ritel modern berisiko menjadi bentuk penguasaan pasar yang predatorik. Melindungi pasar tradisional bukan berarti menolak kemajuan, melainkan memastikan bahwa identitas bangsa dan kedaulatan ekonomi rakyat tidak dikorbankan demi efisiensi korporasi semata.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

85 + = 91
Powered by MathCaptcha