Penggunaan Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai tolok ukur utama kinerja ekonomi negara telah menjadi dogma yang sulit digoyahkan dalam perumusan kebijakan nasional. Secara teknis, PDB mengukur total nilai pasar dari semua barang dan jasa akhir yang diproduksi di dalam suatu negara dalam jangka waktu tertentu. Namun, terdapat kegagalan konseptual yang mendalam ketika angka pertumbuhan makro ini dijadikan sinonim bagi kesejahteraan sosial. Ketergantungan pemerintah pada kenaikan angka PDB sering kali mengabaikan dinamika distribusi kekayaan di tingkat akar rumput, menciptakan fenomena pertumbuhan yang eksklusif di mana kemakmuran terkonsentrasi pada segelintir elit sementara masyarakat luas menghadapi kerentanan ekonomi yang persisten.

Evolusi dan Keterbatasan Konseptual Produk Domestik Bruto

PDB pertama kali dikembangkan sebagai instrumen untuk memantau kapasitas produksi selama era Depresi Besar dan Perang Dunia II, bukan sebagai ukuran kemakmuran manusia secara menyeluruh. Simon Kuznets, tokoh yang memprakarsai transformasi ekonomi menjadi sains empiris pasca-perang, secara eksplisit memperingatkan agar tidak menyamakan pertumbuhan PDB dengan kesejahteraan suatu bangsa. Meskipun demikian, narasi politik kontemporer cenderung melaporkan pertumbuhan ekonomi seolah-olah merupakan indikator tunggal kemajuan peradaban.

Secara metodologis, PDB dapat dihitung melalui tiga pendekatan utama yang masing-masing memiliki fokus berbeda namun tetap terbatas pada transaksi moneter formal.

Tabel 1: Pendekatan Penghitungan Produk Domestik Bruto

Pendekatan Rumus/Metode Utama Fokus Analisis
Pengeluaran $GDP = C + I + G + (X – M)$ Total permintaan akhir dalam perekonomian.
Pendapatan Upah + Sewa + Bunga + Laba + Pajak Tidak Langsung – Subsidi Distribusi pendapatan berdasarkan faktor produksi.
Produksi $\sum (\text{Output} – \text{Input Antara})$ Nilai tambah yang dihasilkan oleh unit-unit produksi.

Dalam variabel pengeluaran, konsumsi rumah tangga ($C$) sering menjadi kontributor terbesar bagi PDB Indonesia. Namun, PDB tidak membedakan antara konsumsi yang meningkatkan kualitas hidup (seperti pendidikan dan gizi) dengan konsumsi yang disebabkan oleh kegagalan sistem (seperti biaya medis akibat polusi atau biaya hukum akibat kriminalitas). PDB secara ironis mencatat biaya pembersihan tumpahan minyak atau pembangunan kembali setelah bencana alam sebagai “pertumbuhan,” meskipun peristiwa tersebut secara nyata menurunkan kekayaan bersih dan kesejahteraan masyarakat.

Kegagalan Mencatat Ekonomi Informal dan Aktivitas Non-Pasar

Keterbatasan kritis lainnya adalah pengabaian total terhadap ekonomi informal dan aktivitas non-pasar. Di negara berkembang seperti Indonesia, sektor informal—mulai dari pedagang kaki lima hingga pekerja rumah tangga—memainkan peran krusial dalam menyediakan mata pencaharian bagi jutaan penduduk.2 Namun, karena transaksi ini sering kali tidak tercatat secara formal, mereka tidak masuk dalam penghitungan PDB. Hal ini menciptakan distorsi kebijakan di mana pemerintah mungkin menganggap ekonomi sedang “lemah” berdasarkan angka PDB rendah, padahal terdapat ketahanan ekonomi yang kuat di tingkat komunitas yang tidak terpetakan.

Selain itu, PDB mengabaikan pekerjaan perawatan tak berbayar yang sebagian besar dilakukan oleh perempuan, seperti mengasuh anak dan mengelola rumah tangga. Meskipun aktivitas ini merupakan fondasi bagi berfungsinya ekonomi formal, kontribusinya tetap tidak terlihat dalam statistik makro. Akibatnya, kebijakan ekonomi yang hanya berorientasi pada PDB cenderung mendiskriminasi sektor-sektor yang memberikan nilai sosial tinggi namun nilai pasar rendah.

Kritik Terhadap Dominasi Pertumbuhan Makro di Indonesia

Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil di kisaran 5 persen dalam beberapa tahun terakhir, namun angka ini sering kali memicu perdebatan publik karena tidak selaras dengan pengalaman hidup sehari-hari. Pada triwulan II-2025, PDB Indonesia tumbuh sebesar 5,12 persen, namun masyarakat di media sosial merespons dengan keraguan karena harga kebutuhan pokok yang tetap tinggi dan gaji yang stagnan.

Penyusutan Kelas Menengah dan Kerentanan “Aspiring Middle Class”

Salah satu tren paling mengkhawatirkan yang luput dari sorotan narasi pertumbuhan PDB adalah penyusutan jumlah kelas menengah Indonesia. Kelas menengah, yang merupakan tulang punggung konsumsi domestik, tercatat menurun dari 21 persen pada tahun 2019 menjadi 17,13 persen pada tahun 2024. Sebagian besar dari mereka tidak jatuh langsung ke kemiskinan ekstrem, melainkan bergeser ke kategori “aspiring middle class” (AMC)—kelompok yang tidak miskin tetapi sangat rentan terhadap guncangan ekonomi sekecil apa pun.

Tabel 2: Struktur Sosial-Ekonomi Penduduk Indonesia (2024)

Kategori Pengeluaran Persentase Populasi Karakteristik Utama
Kelas Atas > 6 juta per kapita/bulan Segelintir elit, menikmati surplus kekayaan.
Kelas Menengah 1,2 – 6 juta per kapita/bulan Menyusut secara signifikan sejak pandemi.
Aspiring Middle Class 532.000 – 1,2 juta per kapita/bulan Kelompok terbesar (~48%), sangat rentan.
Rentan Miskin 354.000 – 532.000 per kapita/bulan Dekat dengan garis kemiskinan, minim akses bantuan.
Miskin < 354.000 per kapita/bulan Penerima bantuan sosial utama.

Penurunan kelas menengah ini mencerminkan kegagalan struktur ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja formal yang berkualitas. Meskipun angka pengangguran terbuka turun tipis menjadi 4,76 persen pada Februari 2025, proporsi pekerja informal justru meningkat tajam hingga mencapai 59,4 persen dari total angkatan kerja. Fenomena ini menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB Indonesia saat ini lebih banyak didorong oleh sektor-sektor yang tidak memberikan stabilitas pendapatan bagi rakyat di akar rumput.

Deindustrialisasi Dini dan Dampak Sektoral

Pertumbuhan ekonomi Indonesia juga dibayangi oleh tantangan deindustrialisasi dini. Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB telah menurun dari 27,4 persen pada tahun 2005 menjadi hanya 18,3 persen pada tahun 2022. Padahal, sektor manufaktur secara historis merupakan mesin utama redistribusi kekayaan melalui penciptaan lapangan kerja masal bagi penduduk berpendidikan menengah. Penurunan porsi industri pengolahan ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia semakin bergantung pada sektor jasa dengan produktivitas rendah atau ekspor komoditas mentah yang harganya sangat fluktuatif di pasar global.

Ketimpangan Regional: Paradox PDRB Tinggi dan Kemiskinan Akut

Ketergantungan pada rata-rata nasional sering kali menutupi kesenjangan wilayah yang ekstrem. Di beberapa provinsi Indonesia, terdapat kontradiksi mencolok antara angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang tinggi dengan tingkat kemiskinan yang tetap akut.

Studi Kasus: Papua dan Wilayah Timur Indonesia

Provinsi Papua dan Papua Barat sering kali mencatatkan pertumbuhan PDRB yang sangat tinggi karena aktivitas pertambangan skala besar. Namun, kekayaan alam tersebut tidak secara otomatis meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal. Data menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Papua tetap berada di atas 27 persen, menjadikannya salah satu yang tertinggi di Indonesia. Fenomena ini membuktikan bahwa PDB atau PDRB hanyalah ukuran aktivitas produksi, bukan ukuran distribusi kekayaan. Sektor ekstraktif cenderung menciptakan “kantong ekonomi” yang terisolasi dari masyarakat sekitar, di mana nilai tambah yang dihasilkan mengalir kembali ke pusat atau investor asing, sementara masyarakat akar rumput hanya menanggung dampak kerusakan lingkungan.

Disparitas ini juga terlihat pada akses terhadap layanan dasar. Wilayah dengan PDRB tinggi yang didorong oleh sumber daya alam sering kali tertinggal dalam hal kualitas pendidikan dan kesehatan dibandingkan dengan wilayah yang memiliki PDB lebih rendah namun struktur ekonomi yang lebih beragam. Hal ini memperkuat kritik bahwa mengejar angka pertumbuhan tanpa intervensi kebijakan yang fokus pada pemerataan wilayah hanya akan memperdalam segregasi ekonomi antar-pulau di Indonesia.

Analisis Global: Belindia dan Warisan Apartheid

Kritik terhadap PDB-sentrisme didukung oleh pengalaman negara-negara lain yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat dapat berjalan beriringan dengan ketimpangan yang mengerikan.

Brazil dan Konsep “Belindia”

Brazil sering dijadikan rujukan dalam studi pembangunan karena sejarah ketimpangannya yang kronis. Konsep “Belindia”—akronim dari Belgia dan India—digunakan untuk menggambarkan kondisi di mana suatu negara memiliki segelintir elit dengan gaya hidup setara penduduk Belgia, sementara mayoritas penduduk lainnya hidup dalam kemiskinan seperti di India. Meskipun Brazil mengalami pertumbuhan stabil di bawah kepemimpinan Presiden Lula da Silva pada periode 2003-2012 melalui kebijakan pro-rakyat bawah, ekonomi negara tersebut kembali melemah karena ketergantungan pada komoditas dan kegagalan dalam melakukan reformasi struktural yang inklusif. Kasus Brazil menunjukkan bahwa tanpa institusi yang kuat untuk menjaga distribusi kekayaan, hasil pertumbuhan ekonomi dapat dengan mudah terhapus oleh guncangan eksternal.

South Africa: Pertumbuhan Tanpa Transformasi

Afrika Selatan tetap menjadi negara paling timpang di dunia, dengan Indeks Gini mencapai 67 pada tahun 2018. Meskipun pasca-apartheid tahun 1994 ekonomi negara ini tumbuh dengan rata-rata 3 persen, warisan struktural apartheid masih mendominasi profil ekonomi mereka Ketimpangan di Afrika Selatan bersifat sistemik dan berbasis ras, di mana akses terhadap pendidikan berkualitas, lahan, dan pekerjaan formal tetap terbatas bagi mayoritas penduduk kulit hitam.

Pertumbuhan ekonomi di Afrika Selatan lebih banyak menguntungkan mereka yang sudah memiliki modal manusia dan akses ke pasar kerja perkotaan.  Sementara itu, pengangguran di kalangan berpendidikan rendah tetap tinggi, memperlebar jurang antara “insider” di sektor formal dan “outsider” di pedesaan. Ini adalah peringatan keras bagi Indonesia bahwa pertumbuhan PDB yang tinggi tanpa pembongkaran hambatan struktural terhadap akses ekonomi hanya akan melanggengkan kemiskinan antargenerasi.

Indikator Alternatif: Mencari Ukuran Kesejahteraan Sejati

Menyadari kegagalan PDB, para ekonom dan lembaga internasional mulai mempromosikan indikator alternatif yang lebih komprehensif.

Better Life Index (BLI) dan Kualitas Hidup

Better Life Index (BLI) yang dikembangkan oleh OECD merupakan salah satu upaya paling berani untuk mengukur pembangunan secara multidimensi  Di Indonesia, penelitian menunjukkan bahwa BLI memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan pertumbuhan ekonomi. Artinya, wilayah dengan pertumbuhan PDB tinggi tidak selalu memiliki nilai BLI yang tinggi.

Tabel 3: Perbandingan PDB vs Better Life Index (BLI) di Indonesia

Dimensi Pengukuran Produk Domestik Bruto (PDB) Better Life Index (BLI)
Fokus Utama Output ekonomi dan produksi pasar. Kesejahteraan manusia dan kualitas hidup.
Distribusi Tidak mengukur pembagian pendapatan. Mempertimbangkan inklusivitas sosial.
Lingkungan Mengabaikan degradasi alam. Memasukkan kualitas lingkungan (IKLH).
Sosial Mengabaikan modal sosial/keamanan. Mengukur keamanan, pendidikan, dan kesehatan.
Waktu Luang Mengabaikan keseimbangan hidup Mempertimbangkan waktu kerja vs istirahat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun PDB per kapita Indonesia meningkat, nilai BLI Indonesia secara keseluruhan masih berada dalam kategori menengah bawah. Hal ini menunjukkan adanya “missing link” antara akumulasi modal nasional dengan peningkatan kualitas hidup individu di tingkat akar rumput.

Genuine Progress Indicator (GPI) dan Dampak Ekologis

Genuine Progress Indicator (GPI) melangkah lebih jauh dengan mengurangkan biaya-biaya negatif dari pertumbuhan ekonomi, seperti polusi, kerusakan sumber daya alam, dan biaya sosial akibat kriminalitas. PDB sering kali meningkat dua kali karena polusi: sekali saat produk dibuat, dan sekali lagi saat polusi dibersihkan. Sebaliknya, GPI mencatat kerusakan awal sebagai kerugian. Data global menunjukkan bahwa sementara PDB per kapita terus meningkat, nilai GPI cenderung melandai atau menurun sejak akhir 1970-an, menandakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi mungkin tidak lagi memberikan tambahan kesejahteraan neto bagi umat manusia.

Kritik Terhadap Kebijakan Infrastruktur dan Investasi

Pemerintah Indonesia saat ini sangat menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur dan daya tarik investasi sebagai motor penggerak PDB. Namun, terdapat kritik tajam mengenai efektivitas kebijakan ini dalam menjangkau akar rumput.

Infrastruktur Fisik vs Infrastruktur Sosial

Pembangunan jalan tol, bandara, dan pelabuhan memang meningkatkan konektivitas dan angka PDB melalui pengeluaran pemerintah ($G$) dan investasi ($I$). Namun, proyek-proyek ini sering kali bersifat padat modal dan kurang melibatkan tenaga kerja lokal di tingkat akar rumput. Jika tidak diimbangi dengan pembangunan “infrastruktur sosial” seperti pendidikan vokasi dan layanan kesehatan dasar, infrastruktur fisik tersebut hanya akan menjadi jalur cepat bagi komoditas untuk diekspor, tanpa memberikan dampak ganda (multiplier effect) yang signifikan bagi ekonomi warga sekitar.

Implementasi UU Cipta Kerja dan Dilema Pekerja

Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) diperkenalkan sebagai katalisator untuk menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja. Namun, di balik narasi kemudahan berbisnis, terdapat kekhawatiran serius mengenai penurunan perlindungan hak-hak pekerja. Fleksibilitas pasar tenaga kerja yang ditawarkan dalam UU ini dikhawatirkan dapat menciptakan “balapan menuju dasar” (race to the bottom), di mana persaingan untuk menarik modal dilakukan dengan menekan upah minimum dan mengurangi jaminan sosial. Jika hal ini terjadi, maka pertumbuhan investasi yang tercatat dalam PDB hanyalah bentuk pemindahan surplus dari pekerja ke pemilik modal, bukan penciptaan kesejahteraan kolektif

Selain itu, penyederhanaan izin lingkungan dalam UU Cipta Kerja juga berisiko menurunkan standar perlindungan ekosistem. Dalam jangka pendek, eksploitasi sumber daya yang lebih mudah akan meningkatkan PDB, namun dalam jangka panjang, masyarakat akar rumput yang bergantung pada alam (seperti nelayan dan petani) akan kehilangan sumber nafkah mereka, menciptakan kemiskinan struktural baru yang tidak tercermin dalam angka pertumbuhan ekonomi makro.

Perspektif Sosiologi Ekonomi: Kohesi Sosial dan Modal Manusia

Sosiologi ekonomi memandang bahwa aktivitas ekonomi tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial. Pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan kohesi sosial akan melahirkan ketegangan yang merusak stabilitas jangka panjang.

Solidaritas dan Kesejahteraan Subjektif

Kohesi sosial atau perasaan “kekitaan” dalam suatu kelompok sangat berpengaruh terhadap produktivitas dan kesejahteraan masyarakat.  Indeks kebahagiaan di tingkat lokal sering kali menunjukkan bahwa faktor non-materi seperti keharmonisan keluarga, hubungan sosial, dan rasa aman memiliki bobot yang lebih besar dalam menentukan kepuasan hidup warga dibandingkan sekadar pendapatan rumah tangga.

Data dari Kota Semarang, misalnya, menunjukkan bahwa indeks kepuasan hidup dari variabel persepsi dan afeksi sering kali lebih tinggi daripada variabel ekonomi. Hal ini menandakan bahwa masyarakat memiliki mekanisme ketahanan sosial sendiri. Namun, pemerintah tidak boleh mengeksploitasi ketahanan ini dengan mengabaikan distribusi pendapatan yang adil. Sebaliknya, kebijakan ekonomi harus dirancang untuk memperkuat modal sosial tersebut, bukan justru merusaknya melalui kebijakan yang individualistik dan kompetitif secara berlebihan.

Manusia Sebagai Kapital Termahal

Visi pembangunan yang berpusat pada manusia (human-centered development) menempatkan kualitas hidup rakyat sebagai aset negara yang paling berharga. Investasi pada manusia melalui pendidikan dan kesehatan bukan sekadar “beban anggaran” dalam komponen pengeluaran pemerintah di PDB, melainkan fondasi utama bagi pertumbuhan ekonomi masa depan. Sebagaimana dikemukakan dalam teori pembangunan inklusif, kemajuan sebuah negara tidak boleh diukur dari berapa banyak gedung pencakar langit yang dibangun, melainkan dari sejauh mana setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi mereka tanpa terhambat oleh latar belakang ekonomi keluarga.

Landasan Filosofis: Keadilan Distribusi dalam Pemikiran Alternatif

Mengkaji kritik terhadap PDB tidak lengkap tanpa melihat landasan filosofis mengenai keadilan distribusi.

Teori Ibnu Khaldun: Ashabiyah dan Pajak yang Adil

Ibnu Khaldun dalam karya monumental Muqaddimah menekankan bahwa kekayaan sejati terletak pada aktivitas produksi dan kerja keras, bukan sekadar akumulasi uang atau logam mulia. mengkritik negara yang menjadikan pengumpulan harta sebagai tujuan akhir sementara mengabaikan kualitas hidup rakyatnya. Selain itu, Ibnu Khaldun mengingatkan bahwa pajak yang terlalu tinggi akan mematikan motivasi bisnis dan pada akhirnya justru menurunkan total penerimaan negara—sebuah konsep yang kini dikenal sebagai Kurva Laffer. Dalam konteks modern, ini berarti kebijakan fiskal pemerintah harus dijaga agar tetap adil dan tidak membebani pelaku usaha kecil di akar rumput demi mengejar target PDB semata.

Muhammad Baqir Al-Sadr: Distribusi Sebagai Solusi Keadilan

Dalam pemikiran ekonomi Islam kontemporer, Muhammad Baqir Al-Sadr berpendapat bahwa masalah ekonomi utama bukanlah kelangkaan sumber daya, melainkan ketidakadilan dalam distribusi. Ia mengusulkan bahwa distribusi kekayaan harus dipandu oleh prinsip moral untuk memastikan tidak ada kelompok masyarakat yang terpinggirkan. Teori Al-Sadr sangat relevan dalam mengkritik kapitalisme finansial modern yang memungkinkan akumulasi kekayaan secara pasif oleh segelintir orang tanpa memberikan manfaat produktif bagi masyarakat luas. Integrasi prinsip-prinsip distribusi yang adil ke dalam kebijakan publik dapat menjadi alat yang ampuh untuk memerangi kemiskinan struktural di Indonesia.

Transisi Paradigma: Menuju Ekonomi Hijau dan Inklusif

Indonesia mulai melirik paradigma baru dalam bentuk Pembangunan Rendah Karbon (PRK) dan ekonomi hijau sebagai upaya untuk keluar dari jebakan “pertumbuhan tanpa pemerataan”.

Skenario Pembangunan Rendah Karbon (PRK)

Studi menunjukkan bahwa jalur pembangunan rendah karbon bukan hanya baik bagi lingkungan, tetapi juga secara ekonomi lebih menguntungkan dalam jangka panjang. Skenario PRK Tinggi diproyeksikan dapat menghasilkan pertumbuhan PDB rata-rata 6 persen per tahun hingga 2045, jauh lebih tinggi dibandingkan skenario bisnis seperti biasa (Business as Usual) yang justru akan melambat karena degradasi sumber daya alam dan dampak perubahan iklim.

Tabel 4: Manfaat Jalur Pertumbuhan Rendah Karbon bagi Indonesia (Proyeksi 2045)

Indikator Skenario Bisnis Biasa (Asumsi Dasar) Skenario PRK Tinggi
Pertumbuhan PDB Menurun progresif hingga 4,3%. Stabil di kisaran 6,0%.
Peluang Kerja Stagnan, didominasi sektor kotor. +15,3 Juta lapangan kerja hijau.
Emisi GRK Meningkat tajam, beban biaya tinggi. Penurunan emisi hingga 43% (2030)
Kemiskinan Sulit diatasi karena kerentanan alam. Mengurangi kemiskinan ekstrem secara nyata.
Kesenjangan Wilayah kaya sumber daya tetap timpang. Teratasinya kesenjangan gender & regional.

Keunggulan dari paradigma ini adalah sifatnya yang win-win-win: menguntungkan ekonomi, rakyat, dan lingkungan secara simultan. Namun, transisi ini memerlukan perubahan transformasional dalam tata kelola pemerintahan, di mana kebijakan tidak lagi didasarkan pada eksploitasi sumber daya yang cepat, melainkan pada inovasi dan efisiensi.33

Pentingnya Institusi Inklusif dan Birokrasi Bersih

Untuk mencapai visi pembangunan inklusif, Indonesia membutuhkan institusi yang kuat dan birokrasi yang berintegritas. Sebagaimana ditegaskan oleh para peneliti, kerja sama antara pemerintah dan sektor bisnis harus bersifat “interdependensi terpimpin” (governed interdependence), di mana pemerintah secara proaktif mengarahkan pengembangan industri yang memberikan manfaat luas bagi masyarakat, bukan sekadar menuruti lobi kepentingan pemilik modal. Tanpa institusi yang inklusif, agenda pembangunan apa pun berisiko terjebak dalam praktik kolusi dan korupsi yang justru akan memperdalam disparitas sosial.

Kesimpulan: Kesejahteraan Bukan Sekadar Angka Statistik

Berdasarkan analisis komprehensif ini, jelas bahwa PDB tidak lagi memadai sebagai kompas tunggal bagi pembangunan nasional Indonesia. Meskipun angka pertumbuhan ekonomi makro sering kali menjadi bahan kebanggaan politik, realitas di akar rumput menunjukkan adanya kerentanan yang mendalam, penyusutan kelas menengah, dan ketimpangan regional yang persisten.

PDB gagal mengukur distribusi kekayaan, mengabaikan dampak lingkungan, menafikan ekonomi informal, dan buta terhadap kualitas hidup subjektif masyarakat. Memaksakan narasi pertumbuhan yang tinggi tanpa memastikan pemerataan adalah strategi yang berisiko menciptakan bom waktu sosial. Indonesia harus berani beralih dari “GDP-centrism” menuju penggunaan dashboard indikator yang lebih manusiawi dan multidimensi, seperti Better Life Index (BLI), Genuine Progress Indicator (GPI), dan Indeks Kebahagiaan.

Untuk mewujudkan kesejahteraan sosial yang sesungguhnya di akar rumput, pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis:

  1. Melakukan Redefinisionalisasi Sukses Pembangunan: Mengintegrasikan indikator ketimpangan (Indeks Gini) dan keberlanjutan lingkungan (IKLH) ke dalam target kinerja tahunan pemerintah dengan bobot yang setara dengan PDB.
  2. Menyelamatkan Kelas Menengah: Memperkuat sektor manufaktur padat karya dan menyediakan jaring pengaman sosial yang fleksibel bagi pekerja di sektor informal dan kelompok “aspiring middle class”.
  3. Melakukan Reformasi Struktural Berbasis Inklusivitas: Memastikan bahwa kebijakan investasi, termasuk implementasi UU Cipta Kerja, tidak mengorbankan hak-hak dasar pekerja dan kelestarian alam demi pertumbuhan jangka pendek.
  4. Menyeimbangkan Infrastruktur Fisik dan Sosial: Mengalokasikan surplus ekonomi hasil pertumbuhan untuk investasi masif pada manusia melalui pendidikan berkualitas yang merata hingga ke pelosok wilayah timur Indonesia.

Pada akhirnya, ekonomi yang sehat adalah ekonomi yang mampu memberikan rasa aman, keadilan, dan kesempatan bagi setiap warga negaranya. Angka PDB mungkin menceritakan seberapa besar “kue” yang kita buat, namun kesejahteraan sosial menceritakan apakah setiap orang di meja makan mendapatkan potongan yang layak. Sudah saatnya kita melihat lebih jauh dari sekadar angka, karena kesejahteraan sejati tidak pernah bisa diwakili oleh satu digit statistik di atas kertas.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 + 6 =
Powered by MathCaptcha