Fenomena mobilitas manusia yang dipicu oleh krisis iklim telah berkembang menjadi salah satu tantangan geopolitik dan kemanusiaan yang paling mendesak di abad ke-21. Jutaan individu di seluruh dunia saat ini berada dalam posisi terjepit antara kehancuran ekologis di tanah air mereka dan kekosongan perlindungan hukum di kancah internasional. Meskipun istilah pengungsi iklim semakin lazim digunakan dalam wacana publik untuk menggambarkan penderitaan mereka yang kehilangan tempat tinggal akibat kenaikan permukaan air laut, kekeringan ekstrem, dan badai katastropik, sistem hukum internasional yang ada—yang sebagian besar merupakan warisan pasca-Perang Dunia II—masih gagal memberikan status formal yang setara dengan pengungsi politik. Analisis ini mengevaluasi dinamika mobilitas iklim global pada periode 2024-2025, mengidentifikasi celah normatif dalam hukum pengungsi, serta meninjau perkembangan yurisprudensi dan kebijakan nasional, dengan fokus mendalam pada kasus Indonesia sebagai negara kepulauan yang sangat rentan.
Anatomi Perpindahan: Eskalasi Data dan Realitas Sosio-Ekonomi 2024-2025
Skala perpindahan manusia akibat faktor lingkungan telah mencapai titik kritis yang belum pernah terjadi sebelumnya. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Internal Displacement Monitoring Centre (IDMC) dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) hingga akhir tahun 2024, bahaya terkait cuaca telah mendorong sekitar 218 juta kasus perpindahan internal selama dekade terakhir. Angka ini mencerminkan wajah manusia dari perubahan iklim yang sering kali tersembunyi di balik statistik emisi. Pada tahun 2024 saja, jumlah total orang yang hidup dalam pengungsian paksa di seluruh dunia diperkirakan mencapai 123,2 juta jiwa, sebuah rekor yang mencakup pengungsi tradisional, pencari suaka, dan orang yang terlantar di dalam negeri atau Internally Displaced Persons (IDP).
Penting untuk dicatat bahwa perubahan iklim bertindak sebagai pengganda risiko (risk multiplier) yang memperburuk kerentanan yang sudah ada. Konflik, ketidakstabilan politik, dan degradasi lingkungan sering kali saling bertumpang tindih, membuat pemisahan antara migrasi ekonomi dan pengungsian paksa menjadi semakin kabur. Tren data 2024 menunjukkan bahwa bencana alam menyumbang proporsi yang sangat signifikan terhadap angka perpindahan baru, di mana sekitar 45,8 juta perpindahan baru tercatat akibat bencana sepanjang tahun tersebut.
| Kategori Statistik Mobilitas Iklim | Estimasi Data (2024-2025) | |
| Total Perpindahan Internal Akibat Cuaca (2014-2024) | 218 Juta Orang | |
| Jumlah Orang yang Mengungsi Secara Paksa (Akhir 2024) | 123,2 Juta Orang | |
| Perpindahan Baru Akibat Bencana (Tahunan 2024) | 45,8 Juta Kasus | |
| Populasi Anak dalam Situasi Pengungsian Internal (Akhir 2024) | 33,8 Juta Anak | |
| Proyeksi Migran Iklim Internal pada 2050 (World Bank) | 216 Juta Orang |
Distribusi geografis dari fenomena ini menunjukkan ketimpangan yang mendalam. Wilayah Asia dan Afrika tetap menjadi episentrum krisis, di mana 70 persen pengungsi anak dunia berlokasi. Di Afrika, negara-negara seperti Sudan dan Republik Demokratik Kongo mencatat angka tertinggi, sementara di Asia, wilayah selatan tetap menjadi hotspot paparan panas ekstrem dan banjir yang mengancam jutaan nyawa. Misalnya, di wilayah Turkana, Kenya, sekitar 26,4 persen anak-anak menderita malnutrisi akut akibat kegagalan sistem pangan yang dipicu oleh iklim, sementara di Libya, Storm Daniel pada akhir 2023 menyebabkan lebih dari 44.000 orang terlantar, dengan infrastruktur kesehatan di kota-kota pesisir seperti Derna mengalami kehancuran hingga 84 persen.
Kebuntuan Normatif: Mengapa Pengungsi Iklim Belum Diakui?
Terlepas dari besarnya angka perpindahan ini, komunitas internasional belum berhasil meratifikasi instrumen hukum yang secara spesifik melindungi mereka yang berpindah karena alasan iklim. Masalah utamanya terletak pada definisi hukum “pengungsi” yang tertuang dalam Konvensi Jenewa 1951 dan Protokol 1967. Instrumen ini mendefinisikan pengungsi sebagai individu yang melintasi batas negara karena ketakutan yang beralasan akan persekusi berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu, atau opini politik. Perubahan iklim dan bencana alam, betapapun menghancurkannya, tidak secara eksplisit diakui sebagai bentuk persekusi dalam teks hukum tersebut.
Kekosongan hukum ini menciptakan situasi di mana jutaan orang berada dalam “limbo hukum” (legal limbo). Tanpa status hukum yang jelas, mereka yang melintasi batas negara karena tanah mereka tenggelam atau kekeringan permanen sering kali diperlakukan sebagai migran ekonomi ilegal, yang berarti mereka tidak memiliki akses terhadap bantuan kemanusiaan formal, hak tinggal yang stabil, atau perlindungan dari deportasi. Terdapat perdebatan sengit di antara agensi internasional mengenai terminologi yang tepat. Badan Pengungsi PBB (UNHCR) dan IOM cenderung menghindari istilah “pengungsi iklim” karena dianggap tidak memiliki dasar hukum dalam Konvensi 1951 dan berisiko merusak perlindungan bagi pengungsi politik yang sudah ada. Sebaliknya, istilah “migran lingkungan” atau “orang yang terlantar dalam konteks bencana” lebih disukai untuk menggambarkan spektrum mobilitas yang lebih luas, meskipun istilah “migran” sering dikritik karena mengasumsikan adanya elemen pilihan yang sebenarnya tidak dimiliki oleh banyak korban iklim.
| Perbedaan Karakteristik | Pengungsi (Konvensi 1951) | Migran/Pengungsi Iklim | |
| Dasar Perpindahan | Persekusi oleh aktor manusia (negara/grup) | Kerusakan ekologis/bencana alam | |
| Status Hukum | Diakui secara internasional (Mengikat) | Belum diakui secara formal (Non-binding) | |
| Cakupan Wilayah | Lintas batas internasional | Mayoritas bersifat internal (dalam negeri) | |
| Mekanisme Perlindungan | Hak suaka dan non-refoulement | Bergantung pada diskresi negara tuan rumah |
Ketidakinginan negara-negara untuk memperluas cakupan Konvensi 1951 berakar pada kekhawatiran kedaulatan dan beban ekonomi. Membuka kembali negosiasi konvensi tersebut dianggap sebagai “kotak pandora” yang bisa melemahkan standar perlindungan internasional bagi kelompok yang saat ini sudah terlindungi. Akibatnya, strategi perlindungan bergeser ke arah instrumen non-mengikat seperti Global Compact for Migration (GCM) 2018, yang mengakui iklim sebagai pendorong migrasi namun tetap menyerahkan implementasinya pada kebijakan domestik masing-masing negara.
Yurisprudensi Global: Pergeseran Menuju Perlindungan Berbasis Hak Asasi
Meskipun diplomasi multilateral berjalan lambat, lembaga peradilan internasional dan regional mulai mengisi kekosongan hukum melalui interpretasi progresif terhadap instrumen Hak Asasi Manusia (HAM). Kasus Ioane Teitiota vs. Selandia Baru di Komite HAM PBB pada tahun 2020 menetapkan preseden penting, di mana diputuskan bahwa negara dilarang mendeportasi individu ke tempat di mana perubahan iklim menimbulkan risiko nyata terhadap hak untuk hidup mereka. Meskipun Teitiota sendiri tidak diberikan suaka karena ancaman di Kiribati dianggap belum bersifat segera (imminent), pengakuan bahwa degradasi lingkungan dapat memicu kewajiban non-refoulement adalah langkah besar dalam hukum internasional.
Pada Juli 2025, Mahkamah Internasional (ICJ) mengeluarkan Pendapat Penasihat yang bersejarah mengenai kewajiban negara dalam menanggapi perubahan iklim. Mahkamah menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban hukum untuk melakukan mitigasi emisi dan beradaptasi dengan dampak iklim sesuai dengan sains terbaik yang tersedia. Terkait mobilitas, ICJ menekankan bahwa hilangnya wilayah daratan akibat kenaikan permukaan air laut tidak secara otomatis menghapus status kenegaraan (statehood continuity), sehingga memberikan legitimasi bagi negara-negara pulau kecil untuk tetap mempertahankan hak-hak kedaulatan dan kewarganegaraan penduduknya meskipun wilayah fisik mereka terancam.
Selanjutnya, Pengadilan Hak Asasi Manusia Antar-Amerika (IACtHR) dalam pendapatnya pada Mei 2025 memberikan panduan yang lebih teknis mengenai perlindungan pengungsi iklim. IACtHR menyatakan bahwa mobilitas manusia terkait iklim harus dikelola melalui kerangka hak asasi, yang mencakup kewajiban negara untuk menyediakan visa kemanusiaan, perlindungan sementara, dan menjamin hak atas unit keluarga serta akses ke layanan dasar bagi mereka yang terpaksa pindah. Pendekatan ini mengalihkan fokus dari “status pengungsi” ke “kewajiban perlindungan negara,” yang lebih sulit diabaikan dalam kerangka hukum HAM regional.
Model Kerja Sama Bilateral: Falepili Union sebagai Perintis
Di tengah kebuntuan global, Traktat Falepili Union antara Australia dan Tuvalu, yang mulai berlaku penuh pada Agustus 2024, muncul sebagai model eksperimental untuk “mobilitas dengan martabat”. Traktat ini adalah perjanjian bilateral pertama yang secara eksplisit mengakui ancaman eksistensial perubahan iklim terhadap kedaulatan suatu negara dan menyediakan jalur migrasi permanen bagi warganya.
Berdasarkan ketentuan traktat ini, Australia menyediakan kuota awal sebanyak 280 visa per tahun bagi warga Tuvalu untuk tinggal, bekerja, dan belajar di Australia dengan akses penuh terhadap layanan kesehatan dan pendidikan sejak hari pertama. Hal yang paling inovatif adalah pengakuan Australia terhadap kedaulatan abadi Tuvalu, terlepas dari dampak kenaikan air laut pada wilayah fisiknya. Namun, traktat ini juga mengandung kompromi kedaulatan yang signifikan; Tuvalu wajib berkonsultasi dan mencapai kesepakatan bersama dengan Australia sebelum menjalin kemitraan keamanan dengan pihak ketiga mana pun. Dinamika ini menunjukkan bagaimana isu mobilitas iklim kini terintegrasi erat dengan kepentingan keamanan geopolitik di wilayah Pasifik.
Indonesia dalam Pusaran Krisis: Sinking Cities dan Tantangan Internal
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan ribuan pulau rendah, berada di baris terdepan dalam menghadapi risiko pengungsian internal. Fokus utama krisis ini berada di Pantai Utara Jawa (Pantura), di mana fenomena penurunan muka tanah (land subsidence) yang dikombinasikan dengan kenaikan permukaan air laut telah menciptakan situasi darurat di kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Pekalongan.
| Lokasi Studi Kasus (Java) | Laju Penurunan Tanah | Dampak Mobilitas/Adaptasi | |
| Muara Angke, Jakarta | > 10 cm / tahun | Peninggian rumah secara swadaya; dominasi pekerjaan perempuan di sektor pesisir | |
| Tambak Lorok, Semarang | 10 – 12 cm / tahun | Pembangunan tanggul laut; adaptasi in-situ yang bersifat jangka pendek | |
| Panjang Wetan, Pekalongan | 5,37 cm / tahun | Populasi terjebak (trapped) karena kemiskinan; kegagalan industri batik rumahan |
Penelitian di wilayah ini mengungkapkan dinamika imobilitas yang kompleks. Banyak penduduk tetap bertahan di wilayah yang terendam air bukan karena mereka tidak menyadari risikonya, tetapi karena keterbatasan ekonomi atau keterikatan sosial yang mendalam pada tempat asal mereka—sebuah kondisi yang dikenal sebagai imobilitas sukarela maupun paksa. Di Pekalongan, misalnya, kemiskinan bertindak sebagai penghalang utama bagi mobilitas, menciptakan populasi yang terjebak dalam siklus kerentanan yang terus memburuk. Sementara itu, keputusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota ke Nusantara di Kalimantan Timur sering kali dibingkai sebagai strategi adaptasi iklim jangka panjang untuk mengurangi beban Jakarta yang terus tenggelam. Namun, relokasi ini juga memicu kritik mengenai keadilan lingkungan, di mana perhatian politik dan sumber daya finansial dikhawatirkan akan teralihkan dari upaya perlindungan bagi jutaan penduduk miskin yang tetap tinggal di Jakarta.
Progres Kebijakan Nasional Indonesia 2025: RUU Perubahan Iklim
Memasuki periode 2025-2026, Indonesia telah mengambil langkah legislatif yang lebih berani untuk menangani krisis iklim. Pemerintah telah meresmikan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 110 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional. Perpres ini menggantikan regulasi lama (Perpres 98/2021) dan memberikan kerangka kerja yang lebih kuat untuk pendanaan aksi iklim, termasuk aspek adaptasi.
Secara paralel, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Iklim telah masuk ke dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025 dan 2026 di DPR RI. RUU ini dirancang untuk memberikan “payung hukum” yang komprehensif guna mengatasi fragmentasi kebijakan yang selama ini terjadi antar kementerian. Beberapa poin krusial dalam draf RUU ini meliputi:
- Keadilan Iklim: Pengakuan terhadap hak-hak kelompok rentan (petani, nelayan, masyarakat adat, dan penyandang disabilitas) untuk mendapatkan perlindungan dan kompensasi atas kerugian akibat iklim.
- Mekanisme Gugatan: Memberikan peluang bagi masyarakat yang kehilangan mata pencaharian atau tempat tinggal akibat dampak iklim (seperti banjir rob) untuk mengajukan gugatan perdata.
- Lembaga Khusus: Pembentukan atau penguatan struktur kelembagaan yang fokus pada koordinasi kebijakan iklim lintas sektoral.
- Anggaran Karbon: Penetapan batas emisi nasional yang mengikat guna mencapai target
Penyusunan RUU ini juga merespons tuntutan masyarakat sipil akan perlindungan pengungsi internal. Sebagaimana dicatat oleh pakar hukum dari Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), partisipasi publik yang bermakna sangat penting agar undang-undang ini tidak hanya menjadi instrumen teknokratis tetapi juga alat keadilan bagi mereka yang berada di garis depan krisis.
Tata Kelola Global di Persimpangan Jalan: Menuju COP30 dan Seterusnya
Konferensi Iklim PBB (COP) tetap menjadi platform utama bagi negosiasi tentang mobilitas manusia. Pada COP29 di Baku dan menjelang COP30 di Belém, Brasil pada November 2025, isu pendanaan untuk kerugian dan kerusakan (Loss and Damage) menjadi fokus utama. Dana Kehilangan dan Kerusakan, yang telah mulai dioperasionalkan, diharapkan dapat mengalokasikan sumber daya khusus untuk membantu negara-negara berkembang dalam mengelola relokasi penduduk yang terencana dan memberikan bantuan bagi mereka yang terlantar.
Hasil dari COP30 di Belém menghasilkan kesepakatan mengenai 59 indikator adaptasi global yang mencakup sektor-sektor kritis seperti air, pangan, dan kesehatan. Konferensi ini juga meluncurkan inisiatif “Belem Mission to 1.5” untuk mempercepat implementasi Rencana Adaptasi Nasional (NAP) di negara-negara paling rentan. Namun, tantangan utama tetap pada kesenjangan pendanaan; meskipun ada seruan untuk melipatgandakan dana adaptasi, komitmen yang ada masih jauh di bawah kebutuhan nyata untuk melindungi miliaran orang yang terpapar risiko iklim.
Strategi Masa Depan: Integrasi Digital dan Keadilan Mobilitas
Untuk mengatasi tantangan pengungsian iklim yang semakin kompleks, para ahli mengusulkan kerangka kerja “keadilan mobilitas” (mobility justice). Kerangka kerja ini menekankan bahwa mobilitas manusia tidak boleh dipandang hanya sebagai masalah logistik atau keamanan, melainkan sebagai masalah hak asasi manusia yang berakar pada ketidakadilan sejarah emisi global.
Penggunaan teknologi tata kelola digital (digital governance) juga dipandang sebagai solusi kunci di masa depan. Di Indonesia, pengembangan sistem registrasi sipil digital, platform data lingkungan, dan sistem peringatan dini berbasis komunitas (seperti aplikasi radar X-band yang dikembangkan BRIN) dapat membantu pemerintah dalam melakukan “tata kelola hukum antisipatif”. Dengan data yang lebih akurat, relokasi dapat dilakukan secara terencana sebelum krisis mencapai titik tidak kembali, sehingga menjaga martabat dan hak-hak warga negara tetap terlindungi.
| Pilar Keadilan Mobilitas | Fokus Implementasi | Tujuan Utama |
| Pilar Pencegahan | Mitigasi agresif dan solusi berbasis alam di lokasi asal | Meminimalkan perpindahan paksa (right to remain) |
| Pilar Perlindungan | Pengakuan status hukum dan akses layanan dasar | Menjamin martabat pengungsi internal dan lintas batas |
| Pilar Pemulihan | Ganti rugi melalui Dana Kerugian dan Kerusakan | Restorasi mata pencaharian dan identitas budaya |
| Pilar Partisipasi | Keterlibatan komunitas dalam relokasi terencana | Menghindari konflik agraria dan marginalisasi sosial |
Secara keseluruhan, fenomena pengungsi iklim adalah pengingat keras akan keterbatasan arsitektur hukum global kita saat ini. Status hukum yang “tidak jelas” bukan sekadar masalah teknis terminologi, melainkan kegagalan moral untuk mengakui hak dasar manusia untuk hidup di lingkungan yang aman. Perubahan paradigma menuju pengakuan formal, penguatan instrumen regional, dan komitmen pendanaan global adalah satu-satunya jalan untuk memastikan bahwa transisi menuju dunia yang lebih hangat tidak meninggalkan jutaan orang tanpa perlindungan dan harapan. Keberhasilan legislasi seperti RUU Perubahan Iklim di Indonesia dan keberanian pengadilan internasional dalam menetapkan standar baru akan menentukan apakah abad ini akan dikenang sebagai era pengungsian massal atau era solidaritas transnasional yang radikal.
