Pemanasan global telah bermutasi dari sekadar diskursus saintifik menjadi tantangan eksistensial bagi stabilitas peradaban manusia. Dalam konstelasi krisis iklim ini, sektor pertanian menempati posisi yang sangat unik dan paradoks; ia merupakan sektor yang paling rentan terhadap perubahan pola cuaca ekstrem, namun di saat yang sama, aktivitas pertanian konvensional merupakan kontributor utama emisi gas rumah kaca global. Transformasi menuju konsep pertanian nol emisi bersih atau Net Zero Farming bukan lagi sekadar pilihan etis, melainkan keharusan strategis untuk memastikan ketahanan pangan nasional di tengah ketidakpastian iklim yang semakin meningkat. Strategi ini melibatkan rekayasa sistemik yang menggabungkan teknologi modern dengan prinsip-prinsip pemulihan ekosistem melalui pertanian regeneratif, sekuestrasi karbon tanah, integrasi energi terbarukan, dan pengelolaan limbah sirkular.

Indonesia, dengan visinya untuk mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060, telah mengidentifikasi sektor pertanian sebagai area prioritas dalam mitigasi dan adaptasi iklim. Target nasional penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 51,51% pada tahun 2045 memerlukan dekarbonisasi radikal dalam cara pangan diproduksi, diolah, dan didistribusikan. Melalui pendekatan Climate-Smart Agriculture (CSA) atau pertanian cerdas iklim, Indonesia berupaya mentransformasi sistem produksi sehingga tidak hanya mampu bertahan menghadapi kenaikan suhu dan perubahan curah hujan, tetapi juga aktif menyerap karbon atmosferik melalui tanah dan biomassa.

Anatomi Emisi Gas Rumah Kaca dan Urgensi Transformasi Pertanian

Sektor pertanian menyumbangkan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam bentuk yang sangat berbeda dibandingkan sektor industri atau transportasi. Jika sektor energi didominasi oleh pelepasan karbon dioksida (CO_2), sektor pertanian adalah sumber utama gas metana ($CH_{4}$) dan dinitrogen oksida (N_2O). Metana memiliki potensi pemanasan global yang berkisar antara 28 hingga 36 kali lebih kuat daripada CO_2 dalam jangka waktu seratus tahun, sementara dinitrogen oksida memiliki daya rusak 265 hingga 298 kali lipat dibandingkan unit karbon dioksida yang setara.

Emisi ini dihasilkan melalui beberapa mekanisme utama. Pertama, metana dilepaskan dari lahan sawah yang terus-menerus tergenang air, di mana kondisi anaerobik memicu aktivitas bakteri metanogenik. Kedua, proses fermentasi enterik pada sistem pencernaan ternak ruminansia serta pengelolaan kotoran ternak yang tidak efisien menyumbang porsi signifikan terhadap beban emisi metana nasional. Ketiga, penggunaan pupuk nitrogen anorganik yang berlebihan tidak hanya merusak struktur tanah tetapi juga melepaskan dinitrogen oksida ke atmosfer sebagai hasil dari proses denitrifikasi.

Komponen Gas Rumah Kaca Sumber Utama di Pertanian Potensi Pemanasan Global (GWP)
Metana (CH_4) Lahan sawah tergenang, fermentasi enterik ternak, manajemen kotoran $28-36 \times CO_2
Dinitrogen Oksida (N_2O) Penggunaan pupuk nitrogen berlebih, limbah kotoran ternak $265-298 \times CO_{2}
Karbon Dioksida (CO_2) Pengolahan tanah mekanis, pembukaan lahan, penggunaan energi fosil 1 (Baseline)

Dampak dari emisi yang tidak terkendali ini kini dirasakan langsung oleh para petani. Ketidakteraturan pola curah hujan, peningkatan frekuensi El Niño dan La Niña, serta pergeseran musim tanam telah meningkatkan risiko gagal panen secara dramatis. Di wilayah seperti Sumatera Utara, perkiraan penurunan curah hujan pada periode tertentu telah mengancam produktivitas komoditas utama, yang pada gilirannya mengganggu kesejahteraan ekonomi masyarakat pedesaan. Tanpa langkah serius menuju Net Zero Emissions, kerusakan ekosistem akan terus berlanjut, mengakibatkan hilangnya habitat asli dan kegagalan adaptasi spesies tumbuhan maupun hewan.

Pertanian Cerdas Iklim (Climate-Smart Agriculture/CSA) sebagai Kerangka Kerja

Pertanian Cerdas Iklim atau CSA muncul sebagai kerangka kerja integratif untuk mereorientasi sistem pertanian agar mendukung pembangunan berkelanjutan di tengah perubahan iklim. CSA tidak hanya berfokus pada mitigasi emisi, tetapi secara simultan mengejar tiga tujuan utama: peningkatan produktivitas pertanian secara berkelanjutan, pembangunan resiliensi terhadap perubahan iklim, serta pengurangan emisi gas rumah kaca. Pendekatan ini mengakui bahwa ketahanan pangan tidak dapat dipisahkan dari kelestarian lingkungan.

Salah satu inovasi paling efektif dalam kerangka CSA untuk budidaya padi adalah teknologi pengairan berselang atau Alternate Wetting and Drying (AWD). Berbeda dengan metode konvensional yang menggenangi sawah sepanjang musim, AWD melibatkan periode pengeringan tanah secara terkontrol. Proses ini memungkinkan oksigen masuk ke dalam pori-pori tanah, yang secara signifikan menghambat aktivitas mikroba penghasil metana tanpa mengurangi hasil panen. Selain menghemat air, AWD terbukti mampu menurunkan emisi metana dari lahan sawah secara drastis.

Selain manajemen air, penggunaan varietas unggul yang tahan terhadap serangan hama penyakit dan cekaman lingkungan (seperti kekeringan atau salinitas tinggi) merupakan pilar penting lainnya. Teknologi pertanian presisi juga mulai diintegrasikan untuk mengoptimalkan penggunaan pupuk dan pestisida, memastikan bahwa input kimia diberikan dalam dosis yang tepat hanya pada area yang membutuhkan. Dengan menggabungkan pertanian presisi dan prinsip cerdas iklim, petani dapat mencapai sistem produksi yang efisien dengan jejak karbon yang minimal.

Teknologi CSA Mekanisme Kerja Dampak Lingkungan
Alternate Wetting and Drying (AWD) Pengairan berkala dan pengeringan tanah terkontrol Reduksi emisi metana dan efisiensi air
Varietas Unggul Tahan Cekaman Adaptasi genetik terhadap suhu ekstrem dan kekeringan Stabilitas produktivitas di tengah krisis iklim
Pengelolaan Tanah Minimal Mengurangi gangguan struktur tanah mekanis Peningkatan kadar bahan organik tanah
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) Penggunaan pestisida nabati dan agen biologis Pengurangan ketergantungan pada bahan kimia berbahaya

Integrasi praktik ini memerlukan perubahan budaya bertani yang mendalam. Penggunaan pupuk organik seperti kompos dan pupuk hijau menjadi krusial untuk memperbaiki kualitas tanah yang telah lama terdegradasi oleh ketergantungan pada pupuk kimia. Di Sulawesi Tenggara, misalnya, pendekatan ini telah diterapkan melalui pemanfaatan hasil sampingan pertanian sebagai pakan ternak, yang kemudian kotorannya dikembalikan ke tanah sebagai pupuk, menciptakan siklus nutrisi yang tertutup.

Pertanian Regeneratif dan Sekuestrasi Karbon Tanah

Pertanian regeneratif melampaui konsep “berkelanjutan” dengan berfokus pada upaya pemulihan ekosistem yang telah rusak, khususnya melalui peningkatan kesehatan tanah. Inti dari filosofi regeneratif adalah pengakuan bahwa tanah merupakan wadah penyimpanan karbon biologis yang sangat besar. Dengan praktik yang tepat, tanah pertanian dapat berfungsi sebagai penyerap karbon bersih (net carbon sink), di mana jumlah karbon yang diambil dari atmosfer melalui fotosintesis tanaman dan disimpan di tanah melebihi jumlah karbon yang dilepaskan ke udara.

Mekanisme Tanpa Olah Tanah (No-Till Farming)

Salah satu pilar utama pertanian regeneratif adalah pengurangan gangguan tanah atau sistem tanpa olah tanah (no-till). Pembajakan tanah secara konvensional merusak agregat tanah dan mengekspos karbon organik yang tersimpan ke oksigen atmosfer, yang memicu oksidasi cepat menjadi CO_2. Dengan beralih ke sistem tanpa olah tanah, petani membiarkan residu tanaman tetap berada di permukaan tanah sebagai mulsa alami. Praktik ini tidak hanya mengunci karbon di dalam tanah tetapi juga mengurangi erosi hingga 90% dan meningkatkan kemampuan tanah untuk menyimpan air hingga 30%.

Penelitian di Iowa menunjukkan bahwa konversi lahan dari pengolahan tanah konvensional ke sistem tanpa olah tanah yang dikombinasikan dengan tanaman penutup (cover crops) mampu mengubah neraca karbon ekosistem dari negatif menjadi positif. Setelah dua tahun penerapan, biomassa mikroba di lapisan atas tanah dapat meningkat hingga dua kali lipat, yang mempercepat siklus nutrisi alami dan meningkatkan kesuburan tanah tanpa perlu input kimia tambahan. Penghematan biaya operasional juga signifikan, dengan pengurangan penggunaan bahan bakar traktor hingga 50% karena berkurangnya frekuensi lintasan mesin di lahan.

Kontribusi Tanaman Penutup (Cover Crops) dan Rotasi Tanaman

Tanaman penutup, seperti legum, rumput, dan brasika, ditanam bukan untuk dipanen secara komersial, melainkan untuk melindungi dan memberi makan tanah di sela-sela musim tanam utama. Akar dari tanaman ini memompa eksudat karbon ke dalam tanah, mendukung populasi jamur mikoriza dan bakteri yang berperan dalam stabilisasi karbon organik tanah. Analisis menunjukkan bahwa penanaman tanaman penutup di lahan seluas 20 juta hektar memiliki potensi untuk menyerap 60 juta metrik ton ekuivalen $CO_{2}$ per tahun, sebuah angka yang setara dengan emisi dari 12,8 juta kendaraan penumpang.

Manfaat Pertanian Tanpa Olah Tanah Deskripsi Dampak Estimasi Statistik
Konservasi Tanah Pengurangan erosi permukaan oleh angin dan air Hingga 90% reduksi erosi
Sekuestrasi Karbon Karbon tersimpan dalam bahan organik tanah Reduksi emisi $CO_{2}$ tanah 25%
Kesehatan Mikroba Peningkatan aktivitas cacing, jamur, dan bakteri 30-40% kenaikan bahan organik
Konservasi Air Peningkatan infiltrasi dan pengurangan evaporasi 30% penghematan penggunaan air
Efisiensi Energi Pengurangan operasional mesin traktor 50% penghematan bahan bakar

Sistem pertanian regeneratif ini sering kali diintegrasikan dengan pemantauan berbasis satelit untuk memverifikasi tingkat sekuestrasi karbon tanah secara akurat. Platform teknologi seperti Farmonaut menggunakan citra satelit resolusi tinggi dan algoritma AI untuk memetakan Soil Organic Carbon (SOC) dengan akurasi 90-95%, memungkinkan petani untuk memantau perubahan karbon dari waktu ke waktu dan bahkan mengakses pasar kredit karbon global sebagai sumber pendapatan tambahan.

Dinamika Karbon pada Perkebunan Tropis: Sawit dan Karet di Sumatera Utara

Wilayah Sumatera Utara menawarkan studi kasus yang kompleks mengenai peran perkebunan besar dalam siklus karbon nasional. Sebagai sentra produksi kelapa sawit dan karet, pengelolaan lahan di wilayah ini memiliki implikasi besar terhadap emisi GRK Indonesia. Secara historis, konversi hutan menjadi perkebunan monokultur telah dikaitkan dengan hilangnya cadangan karbon biomassa yang besar, terutama jika dilakukan di lahan gambut. Konversi hutan dataran rendah menjadi perkebunan kelapa sawit atau karet dapat menyebabkan hilangnya sekitar 166 Mg C per hektar biomassa dalam waktu 15 tahun.

Namun, perkebunan yang sudah mapan memiliki potensi besar sebagai penyerap karbon jika dikelola dengan prinsip berkelanjutan. Pada perkebunan kelapa sawit, akumulasi karbon dalam biomassa mengikuti pola pertumbuhan sigmoid, mencapai puncaknya pada usia 17-18 tahun dengan simpanan karbon sekitar 16,43 ton per hektar. Tantangan utamanya adalah menghindari ekspansi di lahan gambut primer, di mana drainase dapat melepaskan emisi karbon yang jauh melampaui kemampuan serapan pohon sawit itu sendiri. Strategi land-swapping atau pertukaran lahan dari gambut ke tanah mineral yang terdegradasi diperkirakan dapat mengurangi emisi sektor sawit sebesar 60-65% dalam jangka panjang.

Tipe Tutupan Lahan Kapasitas Simpanan Karbon (Ton/Ha) Peran dalam Ekosistem
Hutan Tropis Primer > 300 Reservoir karbon utama dan biodiversitas
Perkebunan Karet 30 – 100 Komplementer mitigasi iklim melalui biomassa
Perkebunan Kelapa Sawit 16 – 63 Produktivitas ekonomi tinggi dengan serapan karbon sedang
Padang Alang-Alang 6 – 8 Lahan marginal dengan simpanan karbon rendah

Perkebunan karet juga menunjukkan performa yang signifikan sebagai penyerap karbon, dengan kapasitas penyimpanan yang mampu menyaingi hutan tropis dalam kondisi pengelolaan tertentu, yakni antara 30 hingga lebih dari 100 ton per hektar. Integrasi praktik agroforestri di perkebunan karet dan sawit rakyat—seperti penanaman tanaman sela atau integrasi ternak—dapat meningkatkan kompleksitas struktur ekosistem dan kapasitas penyerapan karbon tanah melalui masukan bahan organik yang lebih beragam. Di Labuhan Batu, transisi petani swadaya ke arah pertanian regeneratif bertujuan untuk memulihkan tanah yang terdegradasi akibat eksploitasi jangka panjang, mengubah paradigma dari sekadar “menjaga” menjadi “memulihkan” ekosistem perkebunan.

Transisi Energi: Dekarbonisasi Input dan Operasional Pertanian

Menuju Net Zero Farming mensyaratkan perubahan radikal dalam sumber energi yang digunakan untuk menjalankan operasional pertanian. Ketergantungan pada bahan bakar fosil untuk mesin traktor, pompa irigasi, dan sistem pengolahan pascapanen harus digantikan dengan energi terbarukan yang bersifat desentralisasi dan tersedia di lokasi pertanian.

Energi Surya untuk Kemandirian Irigasi

Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk pompa air irigasi merupakan salah satu solusi paling transformatif bagi petani di lahan tadah hujan. Di Sumatera Utara dan Sumatera Barat, proyek pompa air tenaga surya telah berhasil memberikan akses air yang stabil sepanjang tahun, memungkinkan petani untuk panen dua hingga tiga kali setahun dari yang sebelumnya hanya sekali. Proyek di Nagari Tanjung Barulak, misalnya, menggunakan panel surya untuk mengangkat air dari sumber sejauh 1,3 kilometer dengan ketinggian 160 meter, sebuah inovasi yang mengakhiri penantian masyarakat selama hampir satu abad akan sistem pengairan yang andal.

Pompa tenaga surya tidak hanya menghilangkan biaya pembelian solar, tetapi juga mengurangi jejak karbon operasional pertanian secara signifikan. Teknologi ini biasanya dilengkapi dengan kontroler pintar yang mengatur laju pemompaan sesuai intensitas sinar matahari, serta baterai untuk penyimpanan energi guna memastikan ketersediaan air bahkan saat cuaca mendung.

Bioenergi: Biofuel dan Biopower dari Biomassa

Lahan pertanian menghasilkan biomassa dalam jumlah masif yang dapat dikonversi menjadi energi. Biofuel (seperti biodiesel dari minyak biji-bijian) dapat digunakan untuk menggerakkan alat mesin pertanian, sementara pembakaran limbah padat tanaman (biopower) dapat menghasilkan panas atau listrik untuk keperluan pengeringan hasil panen atau pemanas gedung. Pemanfaatan sisa tanaman seperti jerami padi, tongkol jagung, atau pelepah sawit sebagai sumber energi membantu menciptakan sistem tanpa limbah (zero waste production).

Sumber Energi Terbarukan Aplikasi di Pertanian Karakteristik Keberlanjutan
Surya (Photovoltaic) Pompa irigasi, aerasi tambak, pencahayaan kandang Perawatan rendah, tanpa emisi operasional
Angin (Turbin) Pembangkit listrik pedesaan, penggilingan Output energi tinggi, jejak lahan kecil
Biogas (Anaerobic Digestion) Memasak, listrik, pemanas air Pengelolaan limbah + Produksi pupuk
Biomassa (Pellet) Pengeringan hasil panen, pemanas ruangan Pemanfaatan limbah sisa tanaman

Penerapan energi terbarukan ini sering kali menghadapi kendala biaya investasi awal yang tinggi. Namun, dengan masa pakai sistem panel surya yang mencapai 25-30 tahun, nilai ekonomi jangka panjangnya jauh melampaui penggunaan generator diesel. Selain itu, integrasi agrivoltaik—di mana panel surya dipasang di atas lahan tanaman—menawarkan peluang unik untuk menghasilkan listrik sekaligus memberikan naungan yang menguntungkan bagi jenis tanaman tertentu, yang dalam beberapa kasus dapat meningkatkan hasil panen hingga 15%.

Pengelolaan Limbah Ternak melalui Teknologi Biodigester

Peternakan merupakan salah satu kontributor emisi metana terbesar, namun ia juga menyimpan potensi solusi energi terbarukan yang paling konsisten. Pengelolaan kotoran ternak melalui unit biodigester memungkinkan penangkapan gas metana yang dihasilkan selama dekomposisi limbah organik untuk kemudian digunakan sebagai bahan bakar bersih.

Siklus Nutrisi dan Ekonomi Biogas

Proses pencernaan anaerobik dalam biodigester menghasilkan dua produk utama: biogas (campuran metana dan karbon dioksida) dan digestate (ampas sisa yang kaya nutrisi). Biogas menggantikan kebutuhan akan LPG atau kayu bakar untuk memasak, sementara digestate berfungsi sebagai pupuk organik cair berkualitas tinggi yang dapat langsung diaplikasikan ke lahan untuk memperbaiki struktur tanah.

Di Indonesia, Program Biogas Rumah (Biru) telah memfasilitasi pembangunan lebih dari 25.000 unit biodigester dengan total investasi mencapai ratusan miliar rupiah. Analisis kelayakan ekonomi untuk unit biodigester rumah tangga menunjukkan bahwa meskipun investasi awal berkisar antara Rp 5,75 juta hingga Rp 11,5 juta, periode pengembalian modal dicapai dalam kurang dari tiga tahun. Penghematan dari gas LPG dan pengurangan pembelian pupuk kimia memberikan keuntungan finansial langsung bagi petani kecil.

Komponen Biaya/Manfaat Estimasi Nilai (Rupiah) Keterangan
Investasi Konstruksi Digester Rp 4.500.000 – Rp 11.500.000 Tergantung kapasitas dan material
Instalasi Pipa dan Kompor Rp 1.250.000 Peralatan pendukung operasional
Penghematan LPG Tahunan Rp 1.440.000 Penggantian konsumsi gas konvensional
Nilai Pupuk Organik Tahunan Rp 720.000 Substitusi pupuk kimia dari digestate
Payback Period 2,8 Tahun Berdasarkan penghematan biaya rutin

Implementasi biodigester di sektor peternakan unggas juga mulai didorong, meskipun saat ini aplikasinya masih lebih dominan pada ternak ruminansia seperti sapi. Integrasi sensor manajemen pakan dan modernisasi kandang (closed house system) yang ditenagai oleh energi matahari dan biogas menciptakan ekosistem peternakan rendah karbon yang efisien dan higienis. Selain manfaat energi, pengelolaan limbah ini krusial untuk mencegah pencemaran air dan tanah oleh limpasan kotoran ternak yang tidak terkendali.

Kerangka Kebijakan, Pendanaan, dan Pasar Karbon

Transisi menuju Net Zero Farming memerlukan dukungan kebijakan yang komprehensif untuk mengatasi hambatan finansial dan teknis di tingkat lapangan. Pemerintah Indonesia telah meletakkan fondasi melalui Pembangunan Rendah Karbon (LCDI) yang terintegrasi dalam RPJMN 2020-2024. Target utamanya adalah menstabilkan emisi GRK sambil tetap mendorong pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% per tahun hingga 2045.

Nilai Ekonomi Karbon dan Insentif Hijau

Salah satu instrumen paling menjanjikan untuk mendukung petani adalah Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Melalui perdagangan emisi dan offset emission, aktivitas pertanian yang mampu menyerap karbon dapat menghasilkan sertifikat pengurangan emisi yang memiliki nilai jual di bursa karbon. Potensi ekonomi dari perdagangan karbon di sektor lahan Indonesia diperkirakan mencapai Rp 8.000 triliun, yang mencakup hutan tropis, mangrove, dan lahan gambut.

Pemerintah juga menyediakan berbagai insentif fiskal, seperti fasilitas pajak bumi dan bangunan untuk sektor energi terbarukan, serta dukungan pembiayaan melalui Green Bond dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) hijau. Selain itu, program subsidi pupuk kini mulai direorientasi untuk mendorong penggunaan pupuk organik, di mana riset menunjukkan bahwa pengurangan pupuk anorganik sebesar 25% yang dikombinasikan dengan praktik organik dapat meningkatkan hasil tanaman sekaligus menjaga kesehatan lahan.

Kolaborasi Multipihak dan Edukasi

Di tingkat daerah, seperti di Sumatera Utara, strategi pembangunan rendah karbon dilakukan melalui kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta. Forum dialog kebijakan digunakan untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip ketahanan iklim ke dalam dokumen perencanaan daerah (RPJMD). Namun, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kapasitas sumber daya manusia di tingkat tapak. Pelatihan dan pendampingan bagi kelompok tani mengenai teknik pertanian regeneratif, operasional biodigester, dan pemanfaatan teknologi digital menjadi faktor penentu adopsi di lapangan.

Program pemberdayaan seperti yang dilakukan oleh Kelompok Tani Sehat di Sei Bingai, Langkat, menunjukkan bagaimana edukasi mengenai pupuk cair organik dan pertanian ramah lingkungan dapat mengikis keraguan petani untuk beralih dari metode konvensional. Keberhasilan desa percontohan seperti Desa Lubuk Bayas dalam mengembangkan pertanian organik secara konsisten menjadi bukti bahwa transisi hijau dapat memberikan manfaat ekonomi yang nyata bagi komunitas pedesaan.

Tantangan dan Masa Depan Pertanian Nol Emisi

Perjalanan menuju Net Zero Farming masih dihadapkan pada sejumlah tantangan struktural yang memerlukan solusi inovatif. Pertama adalah ketidakpastian regulasi dan birokrasi yang kadang menghambat akselerasi investasi energi terbarukan di pedesaan. Kedua, keterbatasan teknologi lokal dan ketergantungan pada komponen impor untuk sistem energi modern sering kali meningkatkan biaya pemeliharaan. Ketiga, konflik hak atas tanah dan akses lahan bagi petani swadaya tetap menjadi masalah sensitif yang dapat menghambat implementasi proyek konservasi karbon skala besar.

Namun, masa depan pertanian nol emisi terlihat menjanjikan dengan kemajuan pesat dalam teknologi digital. Pertanian presisi berbasis satelit, AI untuk prediksi cuaca, dan blockchain untuk transparansi perdagangan karbon akan semakin memudahkan petani dalam mengelola risiko iklim. Transisi ini tidak hanya akan menyelamatkan sektor pertanian dari kehancuran akibat krisis iklim, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru melalui penciptaan lapangan kerja hijau di sektor energi terbarukan dan manajemen limbah.

Kesimpulan

Strategi Net Zero Farming adalah manifestasi dari evolusi pertanian yang tidak lagi hanya mengejar kuantitas hasil panen, tetapi juga kualitas ekosistem yang menopangnya. Integrasi antara praktik cerdas iklim, pertanian regeneratif, energi terbarukan, dan pengelolaan limbah sirkular membentuk satu kesatuan solusi yang mampu memitigasi emisi gas rumah kaca secara signifikan. Tanah, yang selama ini terdegradasi, harus dikembalikan fungsinya sebagai penyerap karbon melalui teknik tanpa olah tanah dan penggunaan pupuk organik. Sementara itu, limbah peternakan dan energi surya harus dioptimalkan untuk menciptakan kemandirian energi di tingkat petani.

Kesuksesan transformasi ini menuntut sinergi antara kebijakan pemerintah yang pro-lingkungan, dukungan pendanaan yang mudah diakses, serta partisipasi aktif masyarakat tani. Dengan target ambisius Indonesia menuju 2060, sektor pertanian memiliki peran krusial untuk membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi dan kelestarian iklim dapat berjalan beriringan. Pertanian masa depan adalah pertanian yang tidak hanya memberi makan dunia, tetapi juga menyembuhkan bumi.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

27 − 19 =
Powered by MathCaptcha