Evolusi Paradigma Teori Penggabungan Migran dan Kritik Terhadap Nasionalisme Metodologis

Wacana mengenai perpindahan manusia lintas batas negara telah mengalami transformasi fundamental dalam beberapa dekade terakhir. Secara historis, studi migrasi didominasi oleh teori asimilasi dan integrasi yang berakar pada apa yang disebut sebagai nasionalisme metodologis. Pandangan ini mengasumsikan bahwa negara-bangsa adalah unit analisis alami dan “wadah” bagi semua fenomena sosial, di mana para pendatang baru diharapkan untuk memutuskan ikatan dengan negara asal mereka demi penggabungan penuh ke dalam masyarakat tuan rumah. Dalam kerangka asimilasi klasik, identitas migran dipandang secara biner dan linear; keberhasilan integrasi diukur dari sejauh mana individu mengadopsi norma, nilai, dan budaya dominan negara tujuan hingga identitas asli mereka memudar atau hilang sepenuhnya.

Namun, realitas kontemporer menunjukkan bahwa migrasi bukanlah proses satu arah yang mengarah pada pemutusan hubungan total. Transnasionalisme muncul sebagai lensa alternatif yang menantang asumsi asimilasionis dengan menekankan pada hubungan berkelanjutan yang dipertahankan migran dengan negara asal mereka. Fenomena ini menggambarkan proses di mana migran membangun dan mempertahankan hubungan sosial multidimensi yang melintasi batas-batas geografis, budaya, dan politik. Transnasionalisme melihat migran sebagai aktor yang menavigasi “ruang sosial transnasional”—sebuah lapangan sosial dinamis di mana kehidupan sehari-hari mereka ditembus oleh lebih dari satu lokalitas secara simultan.

Perdebatan antara pendukung asimilasi dan transnasionalisme seringkali diposisikan sebagai pertentangan palsu. Beberapa pakar, seperti Ewa Morawska, mengusulkan posisi moderat yang melihat bahwa proses migrasi sebenarnya merupakan kombinasi antara struktur transnasional dan asimilatif. Dalam pandangan ini, keterlibatan di negara asal tidak selalu menghambat integrasi di negara tujuan; sebaliknya, keduanya dapat berjalan beriringan dalam dinamika yang kompleks dan saling memperkuat. Perbandingan antara paradigma tradisional dan transnasionalisme dapat diringkas dalam tabel berikut:

Karakteristik Paradigma Asimilasi/Integrasi Tradisional Paradigma Transnasionalisme
Unit Analisis Utama Negara-bangsa sebagai “wadah” tertutup. Ruang sosial transnasional lintas batas.
Hubungan dengan Tanah Air Dianggap sebagai hambatan bagi integrasi; harus diputus. Dianggap sebagai sumber daya dan bagian integral dari kehidupan migran.
Konsep Identitas Tunggal, statis, dan berbasis wilayah nasional. Ganda, hibrida, cair, dan deterritorialized.
Arah Mobilitas Migrasi permanen satu arah. Mobilitas sirkular, berkelanjutan, dan simultan.
Peran Teknologi Sekunder atau hanya sebagai alat komunikasi dasar. Infrastruktur utama yang memungkinkan konektivitas massal.

Kritik terhadap nasionalisme metodologis menyoroti bahwa teori asimilasi klasik cenderung mengabaikan bagaimana kategori rasial dan identitas budaya seringkali dibawa dari wilayah global lain sebelum kedatangan migran di negara tujuan. Transnasionalisme memperluas pemahaman ini dengan memfokuskan pada bagaimana migran menegosiasikan rasa memiliki terhadap berbagai ruang sosial transnasional, terutama bagi perempuan dan ibu yang seringkali menjadi pengambil keputusan utama dalam keluarga transnasional mereka.

Infrastruktur Digital dan Fenomena Connected Migrant

Munculnya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sejak era 1990-an telah merevolusi pengalaman migrasi. Jika di masa lalu pindah ke luar negeri berarti isolasi fisik dan emosional dari akar budaya, era digital telah melahirkan konsep connected migrant. Melalui penggunaan telepon pintar, aplikasi pesan instan seperti WhatsApp, serta platform media sosial seperti Facebook, Instagram, dan TikTok, migran kini dapat membawa “rumah” mereka di dalam saku mereka. Teknologi ini tidak hanya memfasilitasi komunikasi jarak jauh, tetapi juga menciptakan bentuk kehadiran virtual yang berkelanjutan.

Digital migration studies telah berkembang sebagai bidang interdisipliner untuk memahami bagaimana TIK membentuk praktik migrasi. Migran seringkali menjadi pengadopsi awal dan pengguna berat teknologi digital, seringkali menunjukkan literasi digital yang lebih tinggi dibandingkan populasi asli pada tingkat instruksi yang sama. Penggunaan teknologi ini bersifat multifungsi: dari menavigasi rute perjalanan yang berbahaya hingga mencari informasi tentang hak-hak mereka di negara tujuan. Namun, teknologi ini juga memiliki sifat bermata dua; di satu sisi ia memerangi kesepian, namun di sisi lain ia memungkinkan kontrol jarak jauh oleh keluarga di negara asal, yang terkadang membatasi otonomi migran.

Selain komunikasi interpersonal, infrastruktur digital juga mencakup platform kerja gig yang sering digunakan migran sebagai “infrastruktur kedatangan”. Platform seperti Wolt atau Uber memungkinkan migran untuk masuk ke pasar tenaga kerja secara fleksibel, yang pada gilirannya mendukung gaya hidup transnasional mereka dengan memungkinkan mereka untuk bekerja secara lokal sambil tetap terhubung secara emosional dan finansial dengan keluarga di negara asal secara simultan. Hubungan antara migrasi dan TIK dapat dilihat sebagai berikut:

  1. Fase Pra-Keberangkatan: Pencarian informasi melalui forum online dan media sosial tentang tujuan migrasi, rute, dan peluang kerja.
  2. Fase Perjalanan: Penggunaan GPS dan aplikasi komunikasi untuk koordinasi keamanan dan navigasi lintas batas.
  3. Fase Kedatangan: Akses terhadap platform ekonomi berbagi (gig economy) dan jaringan diaspora untuk bantuan pemukiman.
  4. Fase Pemeliharaan: Konektivitas harian dengan keluarga, pengiriman remitansi digital, dan partisipasi dalam ruang publik transnasional.

Keberadaan TIK telah mengaburkan batasan antara “di sini” dan “di sana”. Melalui media sosial, migran tidak hanya mengonsumsi budaya lokal negara tujuan, tetapi juga secara aktif mempertahankan keterlibatan dalam ritme harian kampung halaman mereka. Hal ini menciptakan sebuah bentuk koeksistensi baru di mana batas geografis tidak lagi menjadi penghalang bagi pembentukan komunitas yang erat.

Budaya Transnasional: Mempertahankan Kampung Halaman di Ruang Digital

Salah satu aspek terpenting dari transnasionalisme sebagai cara hidup adalah bagaimana kelompok diaspora mempertahankan praktik budaya mereka sambil berintegrasi di lingkungan baru. Di era digital, pemeliharaan budaya ini terjadi melalui “digital third spaces”—ruang virtual di mana identitas tradisional dan modern bercampur. Diaspora tidak lagi pasif dalam menerima pengaruh budaya; mereka secara aktif mengkurasi dan menyebarkan warisan budaya mereka melalui berbagai platform digital.

Contoh konkret dari praktik ini adalah penggunaan YouTube oleh generasi muda diaspora untuk mempelajari tarian atau musik tradisional dari negara asal mereka. Di Bologna, Italia, anggota komunitas migran muda ditemukan menonton dan meniru video tarian lokal dari tanah air mereka untuk memperdalam pengetahuan budaya mereka, yang kemudian dipadukan dengan elemen budaya populer global. Selain itu, media sosial seperti WhatsApp dan Facebook menjadi arena bagi praktik digital multibahasa, di mana individu mencampur berbagai bahasa untuk mengekspresikan identitas kelompok yang hibrida.

Praktik Budaya Digital Mekanisme Pelaksanaan Dampak Terhadap Identitas
Konsumsi Multimedia Warisan Menonton video tarian, musik, dan ritual tradisional di YouTube. Memperkuat memori kolektif dan transfer pengetahuan antar generasi.
Komunikasi Multibahasa Pencampuran bahasa ibu dan bahasa negara tujuan di WhatsApp/Facebook. Menciptakan identitas hibrida yang cair dan adaptif.
Pengarsipan Digital Diaspora Digitalisasi manuskrip, foto, dan rekaman audio melalui museum online Melindungi warisan budaya dari kepunahan dan klaim sepihak.
Festival Budaya Virtual Penyelenggaraan perayaan hari besar atau festival seni melalui streaming langsung. Memungkinkan partisipasi komunitas diaspora global secara simultan.

Digital archiving juga muncul sebagai alat penting untuk pelestarian budaya. Proyek pengarsipan karya seni kreator Arab di Barat, misalnya, menunjukkan bagaimana platform digital terbuka dapat mendukung pertukaran ide yang memperkuat rasa kewarganegaraan transnasional. Melalui digitalisasi sastra, puisi, dan seni rupa, komunitas diaspora dapat membangun dasar ideologis bagi solidaritas lintas batas. Teknologi AI bahkan mulai dieksplorasi untuk revitalisasi bahasa diaspora yang terancam punah, meskipun harus disertai dengan kepekaan budaya agar tidak menciptakan bentuk “kolonialisme linguistik” baru.

Remitansi Sosial: Sirkulasi Ide, Norma, dan Praktik Lintas Batas

Transnasionalisme tidak hanya melibatkan aliran uang (remitansi finansial), tetapi juga aliran ide, perilaku, identitas, dan modal sosial yang disebut sebagai “remitansi sosial”. Konsep ini, yang dikembangkan oleh Peggy Levitt, menekankan bahwa migran mengirimkan kembali struktur normatif dan sistem praktik ke komunitas asal mereka, yang pada gilirannya dapat mengubah lanskap sosial dan politik di sana. Remitansi sosial ini bergerak melalui jalur yang dapat diidentifikasi, seperti kunjungan fisik, surat, video, email, dan panggilan telepon harian.

Terdapat empat tipe utama remitansi sosial yang bersirkulasi dalam jaringan transnasional:

  1. Norma: Ide-ide tentang akuntabilitas politik, peran gender, dan tanggung jawab keluarga.
  2. Praktik: Cara-cara baru dalam mengelola organisasi, melakukan ritual keagamaan, atau menerapkan sistem bisnis.
  3. Identitas: Pergeseran dalam persepsi diri, seperti perubahan identitas keagamaan atau peningkatan rasa agensi individu.
  4. Modal Sosial: Jaringan dan keterampilan yang diperoleh di luar negeri yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan di tanah air.

Efek dari remitansi sosial ini sangat nyata. Misalnya, migran dari Pakistan yang bekerja di Amerika Serikat mungkin membawa pulang nilai-nilai tentang inovasi dan kemandirian profesional, menantang hierarki tradisional di tempat kerja mereka. Di Brasil, migran yang kembali seringkali membawa ide-ide tentang demokrasi dan hak-hak sipil, mendorong warga lokal untuk menuntut layanan publik yang lebih baik dari pemerintah daerah. Namun, remitansi sosial juga bisa bersifat negatif, seperti penyebaran ideologi fundamentalis atau perilaku konsumtif berlebihan yang merusak ekonomi lokal.

Sirkulasi ini bersifat dua arah. Migran tidak hanya mengubah negara asal mereka, tetapi juga membawa pengaruh budaya yang mengubah masyarakat tuan rumah.20 Belakangan ini, remitansi sosial juga mulai dikaitkan dengan adaptasi perubahan iklim, di mana keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh diaspora dapat membantu membangun ketahanan lingkungan di komunitas asal mereka.

Simultansi dan Tantangan Kewarganegaraan di Era Digital

Konsep “simultansi” merupakan pilar utama dalam teori transnasionalisme kontemporer. Ini merujuk pada kemampuan migran untuk terlibat secara aktif di negara asal dan negara tujuan secara bersamaan. Hal ini mematahkan anggapan bahwa integrasi adalah proses zero-sum; sebaliknya, keterlibatan transnasional seringkali memperkuat partisipasi migran di negara tujuan. Misalnya, migran yang tetap aktif dalam politik tanah air mereka ditemukan lebih cenderung untuk ikut serta dalam pemilu di negara tempat mereka tinggal karena adanya transferabilitas sosialisasi politik.

Simultansi ini dimungkinkan oleh konvergensi teknologi digital yang menjadikan komunikasi jarak jauh terasa instan dan biasa saja (taken-for-grantedness). Keluarga transnasional melakukan “doing family” melintasi jarak dengan mengelola ritme harian melalui panggilan video konstan, menciptakan rasa kehadiran yang melampaui batas fisik. Namun, kondisi ini juga menciptakan tantangan temporal, di mana anggota keluarga harus menegosiasikan zona waktu yang berbeda dan mengelola ekspektasi emosional yang intens dari jauh.

Dalam ranah kebijakan, fenomena simultansi ini telah mendorong tren global menuju penerimaan kewarganegaraan ganda. Pada tahun 2018, sekitar 75% negara di dunia telah mengadopsi kebijakan yang mengizinkan ekspatriat mereka untuk memiliki kewarganegaraan ganda. Hal ini mencerminkan pengakuan negara terhadap loyalitas ganda migran dan nilai ekonomi dari remitansi yang dikirimkan oleh diaspora. Kewarganegaraan ganda dipandang sebagai mekanisme untuk memperkuat ikatan hukum dan politik migran dengan kedua negara, daripada memaksa mereka memilih salah satu.

Dimensi Simultansi Bentuk Keterlibatan di Negara Asal Bentuk Keterlibatan di Negara Tujuan
Politik Pemberian suara jarak jauh (out-of-country voting). Partisipasi dalam pemilu lokal dan advokasi hak migran.
Ekonomi Pengiriman remitansi finansial dan investasi properti. Partisipasi dalam pasar tenaga kerja lokal (termasuk gig economy).
Sosial/Keluarga Pengasuhan jarak jauh dan pemeliharaan ritual keluarga via video call. Pembentukan jaringan sosial baru dengan penduduk lokal dan sesama migran.
Identitas Pemeliharaan identitas etnis dan kebangsaan asal. Pengembangan rasa memiliki terhadap masyarakat tuan rumah.

Meskipun demikian, kebijakan negara seringkali masih tertinggal dalam mengakomodasi realitas transnasional ini. Masalah seperti kurangnya portabilitas manfaat sosial (pensiun, asuransi kesehatan) tetap menjadi hambatan besar bagi migran yang berpindah-pindah antar negara. Negara-negara perlu bergerak menuju standar “berbagi warga negara” dan mengembangkan kebijakan yang bersifat transnasional daripada hanya fokus pada satu wilayah kedaulatan.

Generasi Z dan Negosiasi Identitas Hibrida di Ruang Transnasional

Generasi Z, sebagai kelompok yang lahir di tengah ledakan digital, membawa transnasionalisme ke tingkat yang baru. Mereka tidak hanya mewarisi budaya dari orang tua mereka, tetapi juga secara aktif membangun identitas hibrida melalui platform digital. Bagi mereka, budaya adalah sesuatu yang dapat di-“remix”—mengambil elemen budaya pop global dan menggabungkannya dengan penanda budaya lokal untuk menciptakan ekspresi diri yang unik.

Penelitian menunjukkan bahwa Gen Z sering melakukan “algorithmic code-switching,” yaitu strategi penggunaan tagar, bahasa, dan gaya konten tertentu untuk menavigasi audiens yang beragam secara global dan lokal. Praktik ini memungkinkan mereka untuk mempertahankan subjektivitas transnasional yang transformatif, di mana mereka merasa memiliki berbagai komunitas tanpa harus terikat secara eksklusif pada satu lokasi geografis. Namun, kebebasan ini juga datang dengan tekanan psikologis berupa kewajiban untuk terus-menerus melakukan performa identitas di ruang digital yang terpantau.

Selain itu, tantangan bagi Gen Z mencakup komodifikasi estetika hibrida oleh kapitalisme platform, di mana identitas budaya mereka seringkali dieksploitasi untuk kepentingan komersial perusahaan teknologi besar. Meskipun teknologi digital memberikan alat bagi mereka untuk melawan narasi esensialistik tentang budaya, mereka tetap berada dalam struktur kekuasaan dan ketidaksetaraan digital yang nyata.

Aktivisme Digital dan Risiko Represi Transnasional

Era digital juga telah membuka jalan bagi aktivisme transnasional yang kuat. Migran menggunakan media sosial untuk mengorganisir gerakan protes, penggalangan dana darurat, dan advokasi hak asasi manusia di negara asal mereka. Studi kasus migran Kirgistan menunjukkan bahwa peristiwa krisis di tanah air, seperti revolusi atau konflik perbatasan, dapat memicu ledakan aktivitas politik online yang kemudian meluap menjadi aksi nyata di dunia fisik.32 Media digital memungkinkan suara-suara diaspora didengar di panggung internasional, menantang dominasi informasi oleh elit politik tradisional.

Namun, keterbukaan ini juga membawa bahaya baru dalam bentuk “represi transnasional digital”. Negara-negara otoriter semakin sering menggunakan teknologi canggih untuk memantau, mengintimidasi, dan membungkam pembangkang yang berada di luar negeri. Metode yang digunakan meliputi serangan malware (seperti spyware Pegasus), kampanye disinformasi di media sosial, hingga ancaman terhadap anggota keluarga yang masih berada di negara asal. Tindakan ini menciptakan efek yang mengerikan (chilling effect), di mana aktivis diaspora terpaksa melakukan sensor diri atau berhenti dari pekerjaan advokasi mereka karena rasa takut akan keselamatan.

Dampak dari represi transnasional digital ini melampaui sekadar pembungkaman suara; ia merusak kohesi sosial dalam komunitas diaspora itu sendiri. Banyak individu melaporkan bahwa mereka mulai menarik diri dari aktivitas komunitas atau menghindari kontak dengan sesama migran karena takut dicurigai sebagai mata-mata atau menjadi target serangan. Hal ini menunjukkan perlunya perlindungan hak asasi manusia yang lebih kuat di ranah digital, serta regulasi internasional yang dapat membatasi ekspor teknologi pengawasan oleh negara atau perusahaan swasta.

Menuju Paradigma Baru: Transnasionalisme sebagai Realitas Permanen

Sebagai kesimpulan, transnasionalisme bukan lagi sekadar teori akademik, melainkan kenyataan hidup bagi jutaan manusia di era digital. Kemampuan untuk mempertahankan praktik budaya kampung halaman sambil berpartisipasi penuh dalam masyarakat baru adalah bentuk resistensi terhadap batas-batas negara yang kaku. Infrastruktur digital telah mempercepat proses ini dengan menciptakan konektivitas massa yang memungkinkan sirkulasi ide, norma, dan identitas secara instan melintasi batas kedaulatan.

Tantangan di masa depan akan terletak pada bagaimana negara-bangsa menyesuaikan diri dengan realitas warga negara yang transnasional. Kebijakan migrasi harus bergeser dari fokus pada asimilasi paksa menuju pengakuan atas kekuatan identitas ganda.35 Selain itu, perlindungan terhadap ruang digital diaspora dari ancaman represi transnasional harus menjadi prioritas agenda hak asasi manusia global. Dengan memanfaatkan potensi positif dari TIK—seperti revitalisasi bahasa melalui AI dan pengarsipan budaya digital—masyarakat dunia dapat membangun masa depan di mana keberagaman budaya tidak lagi dianggap sebagai ancaman, melainkan sebagai fondasi bagi kewarganegaraan global yang lebih inklusif dan dinamis.

Transnasionalisme sebagai cara hidup mengajarkan kita bahwa rasa memiliki tidak harus terbatas pada satu garis di peta. Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, identitas kita dibentuk oleh jaringan hubungan yang kita bangun, melampaui batas fisik dan menuju pemahaman baru tentang kemanusiaan yang bersifat transnasional.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

86 − = 79
Powered by MathCaptcha