Fenomena kebangkitan populisme global dalam satu dekade terakhir bukan sekadar tren politik sesaat, melainkan manifestasi dari krisis legitimasi yang mendalam terhadap Tatanan Liberal Internasional (LIO). Secara historis, konsensus global yang dibangun pasca-Perang Dingin mengasumsikan bahwa integrasi ekonomi, multilateralisme, dan pemerintahan teknokratis akan membawa kemakmuran universal. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya jurang yang melebar antara janji globalisasi dan pengalaman hidup masyarakat luas, yang memicu munculnya gerakan-gerakan politik yang menargetkan “elite global” sebagai musuh utama rakyat. Gerakan ini tidak lagi terbatas pada pinggiran politik, melainkan telah mengambil alih kekuasaan di berbagai negara demokrasi mapan dan berkembang, mulai dari Amerika Serikat dan Inggris hingga Hungaria, Brasil, dan India.

Inti dari gerakan ini adalah penolakan terhadap otoritas institusi supra-nasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Para pemimpin populis membingkai institusi-institusi ini sebagai agen dari kelas penguasa kosmo-liberal yang tidak akuntabel, yang dianggap telah merampas kedaulatan negara dan mengabaikan identitas serta kepentingan rakyat nasional. Dalam narasi ini, kedaulatan bukan hanya konsep hukum, tetapi menjadi tameng ideologis untuk melindungi “rakyat yang murni” dari pengaruh asing yang dianggap merusak.

Dialektika Antagonisme: Konstruksi Rakyat Versus Elite dalam Teori Populis

Populisme beroperasi sebagai ideologi pusat-tipis (thin-centered ideology) yang membagi realitas sosial secara Manichean menjadi dua kubu yang saling bertentangan secara moral: rakyat yang berbudi luhur melawan elite yang korup. Analisis diskursif menunjukkan bahwa kelompok “elite” dalam pandangan populis tidak hanya mencakup aktor politik domestik, tetapi juga birokrat internasional, pakar teknokratis, dan pemilik modal global yang dianggap beroperasi melampaui kendali demokratis. Sebaliknya, “rakyat” dikonstruksi sebagai kelompok homogen yang tidak berdaya namun memiliki kebenaran moral, yang kehendaknya harus diutamakan di atas prosedur hukum atau norma internasional.

Pergeseran ini menandai transisi dari politik berbasis kepentingan kelas tradisional ke politik identitas dan kedaulatan. Kegagalan partai-partai arus utama, khususnya sayap kiri-tengah, dalam menangani dampak negatif globalisasi telah membuka ruang bagi kritik populis. Sejak tahun 1990-an, banyak partai kiri-tengah mengadopsi kebijakan “jalan ketiga” (third way) yang memperkuat konsensus neoliberal, sehingga meninggalkan basis massa tradisional mereka yang merasa terpinggirkan secara ekonomi dan budaya. Akibatnya, muncul ketidakpercayaan yang mendalam terhadap mekanisme perwakilan demokrasi liberal, di mana rakyat merasa bahwa pilihan elektoral mereka tidak lagi memiliki pengaruh nyata terhadap kebijakan yang ditentukan oleh pasar global atau institusi internasional.

Karakterisasi Varian Populisme dalam Lanskap Politik Global

Fitur Utama Populisme Anti-Kemapanan Populisme Otoriter
Definisi Musuh Elite politik dan ekonomi domestik yang dianggap “terjual” pada kepentingan global. Kelompok minoritas, imigran, dan institusi internasional yang dianggap mengancam identitas bangsa.
Gaya Kepemimpinan Pemimpin sebagai “suara rakyat” yang menuntut transparansi dan akuntabilitas. Pemimpin kuat (strongman) yang bersedia melangkahi aturan hukum demi “keamanan” mayoritas.
Pandangan terhadap Demokrasi Menuntut demokrasi langsung dan partisipasi lebih luas untuk melawan oligarki. Menolak pluralisme dan mengutamakan kekuasaan mayoritas yang mutlak di atas hak minoritas.
Orientasi Ekonomi Fokus pada redistribusi dan perlindungan terhadap kelompok yang kalah oleh globalisasi. Fokus pada nasionalisme ekonomi, tarif, dan penolakan terhadap regulasi lingkungan global.

Dukungan terhadap populisme sering kali didorong oleh apa yang disebut sebagai “populisme otoriter”, terutama di negara-negara seperti Hungaria, Polandia, Brasil, dan Argentina. Di negara-negara tersebut, pemilih cenderung mendukung pemimpin yang bersedia membongkar institusi kontrol (oversight institutions) seperti pengadilan dan media bebas dengan alasan bahwa institusi tersebut menghambat eksekusi kehendak rakyat. Hal ini menunjukkan adanya tren di mana pemilih lebih menghargai efektivitas pemimpin dalam menegakkan identitas mayoritas daripada kepatuhan terhadap prosedur demokrasi liberal.

Delegitimasi Multilateralisme: Penolakan terhadap Konsensus PBB, WHO, dan WTO

Salah satu pilar utama dari ideologi anti-kemapanan global adalah serangan sistematis terhadap kredibilitas organisasi internasional. Institusi-institusi ini dituduh telah melampaui mandatnya dan menjadi instrumen “pemerintahan global” yang merongrong otonomi nasional. Sentimen ini tidak hanya bersifat retoris, tetapi telah memicu aksi nyata yang melemahkan stabilitas sistem ekonomi dan politik dunia.

Kasus PBB dan Global Compact for Migration: Kedaulatan sebagai Instrumen Penolakan

Penolakan terhadap Global Compact for Safe, Orderly and Regular Migration (GCM) merupakan contoh paling instruktif tentang bagaimana narasi kedaulatan digunakan sebagai senjata politik. Meskipun GCM adalah kerangka kerja yang tidak mengikat secara hukum dan secara eksplisit mengakui hak kedaulatan negara untuk mengatur migrasi, para pemimpin populis di Hungaria, Brasil, Austria, dan Amerika Serikat tetap menggunakannya sebagai titik fokus mobilisasi anti-globalis.

Narasi yang dibangun adalah bahwa PBB mencoba menciptakan “hak untuk migrasi” yang akan memaksa negara-negara membuka perbatasan mereka dan mengubah demografi nasional. Di Hungaria, Viktor Orbán membingkai penolakannya sebagai upaya melindungi “peradaban Kristen” dari banjir imigran yang didukung oleh “birokrat globalis”. Di Brasil, Jair Bolsonaro menarik diri dari kesepakatan tersebut segera setelah menjabat sebagai simbol perubahan arah kebijakan luar negeri yang lebih nasionalis. Politisasi isu ini menunjukkan bahwa bagi para populis, isi teks perjanjian sering kali kurang penting dibandingkan peluang untuk mendemonstrasikan sikap keras terhadap “pihak luar” demi konsumsi audiens domestik.

Politisasi Sains dan Krisis Legitimasi WHO dalam Pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19 menjadi medan tempur baru bagi populisme melawan keahlian teknokratis yang diwakili oleh WHO. Pemimpin populis di Brasil, Amerika Serikat, Hungaria, dan Meksiko sering kali mengadopsi sikap skeptis terhadap rekomendasi ilmiah global. Penolakan ini berakar pada ketidakpercayaan terhadap “elite ahli” yang dianggap tidak peka terhadap dampak ekonomi dari kebijakan karantina wilayah (lockdown).

Studi menunjukkan bahwa pemerintahan populis cenderung mengelola krisis kesehatan secara tidak profesional dengan lebih memprioritaskan “performa krisis” daripada penanganan berbasis data. Di Brasil, Presiden Bolsonaro secara terbuka menentang pedoman WHO, meremehkan keparahan virus, dan memecat menteri kesehatan yang mengikuti saran ilmiah. Strategi ini sering kali disertai dengan “politik kekejaman” (politics of cruelty), di mana pemimpin menunjukkan ketidakpedulian terhadap korban jiwa demi mempertahankan narasi ketangguhan nasional dan keberlangsungan ekonomi. Dalam konteks ini, sains tidak lagi dianggap sebagai otoritas netral, melainkan bagian dari agenda kontrol elite global yang harus dilawan demi kebebasan rakyat.

WTO dan Kebangkitan Proteksionisme Nasionalis

Sistem hukum ekonomi internasional yang dikelola melalui WTO menghadapi tantangan eksistensial karena semakin banyak negara yang mengadopsi kebijakan “mengutamakan kepentingan nasional” (nation first approach). Populisme sayap kanan, seperti yang terlihat dalam kebijakan perdagangan Donald Trump, secara terbuka menolak multilateralisme dan lebih memilih transaksi bilateral yang dianggap memberikan keuntungan lebih besar bagi negara.

Kritik terhadap WTO berfokus pada hilangnya kendali negara atas kebijakan industri dan redistribusi akibat aturan perdagangan bebas yang ketat. Rodrik (2017) berargumen bahwa penolakan ini merupakan bentuk resistensi terhadap “teknokrat liberal” yang memaksakan hambatan pada kebijakan ekonomi domestik. Meskipun terdapat perbedaan dalam konten kebijakan—di mana Trump memilih proteksionisme sedangkan pendukung Brexit mengklaim menginginkan perdagangan bebas global yang lebih luas—keduanya berbagi logika diskursif yang sama: pemulihan kedaulatan populer dari tangan institusi supra-nasional.

Perbandingan Strategi Populisme dalam Menghadapi Institusi Global

Institusi Target Dasar Kritik Populis Strategi Penarikan Diri/Penolakan Dampak pada Tatanan Global
PBB (Migrasi/HAM) Pelanggaran kedaulatan perbatasan dan ancaman identitas budaya. Penarikan diri dari Global Compact; retorika anti-imigran keras. Fragmentasi norma HAM internasional dan melemahnya kerja sama pengungsian.
WHO (Kesehatan) Intervensi teknokratis yang merusak ekonomi dan kebebasan individu. Pengabaian saran ilmiah; pemotongan dana; promosi obat yang tidak terbukti. Penurunan respons kolektif terhadap pandemi; meningkatnya angka kematian nasional.
WTO (Perdagangan) Aturan global yang merugikan pekerja domestik dan industri nasional. Pengenaan tarif sepihak; renegosiasi perjanjian (NAFTA/USMCA); boikot sistem penyelesaian sengketa. Erosi sistem perdagangan berbasis aturan; kembalinya perang dagang dan nasionalisme ekonomi.

Kedaulatan sebagai Tameng: Upaya Pemulihan Ideologi Negara di Hungaria dan Brasil

Kebangkitan ideologi negara yang kuat sering kali melibatkan reinterpretasi konsep kedaulatan sebagai sesuatu yang absolut dan tidak dapat dibagi. Di Hungaria, di bawah kepemimpinan Viktor Orbán, negara telah ditransformasi menjadi “negara iliberal” yang mengutamakan kepentingan etno-nasional di atas norma-norma liberal Uni Eropa. Orbán menggunakan retorika kedaulatan untuk menolak intervensi Brussel dalam masalah peradilan, media, dan hak-hak sipil, dengan mengklaim bahwa ia sedang mempertahankan “kehendak rakyat” Hungaria dari serangan “elite kosmopolitan”.

Di Brasil, nasionalisme religius menjadi komponen penting dari ideologi negara era Bolsonaro. Dengan menjalin nilai-nilai agama dengan sentimen nasionalis, pemerintah membenarkan penolakannya terhadap kerja sama internasional dalam isu-isu lingkungan dan hak asasi manusia. Isu Amazon, misalnya, dibingkai sebagai masalah kedaulatan murni untuk menolak kritik global terhadap penggundulan hutan, di mana aktor internasional digambarkan sebagai pihak yang ingin “mencuri” kekayaan alam Brasil. Strategi ini menciptakan identitas emosional yang kuat antara pemimpin dan pengikutnya, yang didasarkan pada perasaan dikepung oleh musuh luar yang kuat.

Kontra-Hegemoni Epistemologis: Alternatif Pembangunan dari Belahan Bumi Selatan

Di tengah arus populisme politik, muncul pula gerakan intelektual dan sosial yang menantang dasar-dasar pemikiran Eurosentris yang mendukung konsensus global. Konsep Buen Vivir (Hidup Baik) atau Sumak Kawsay yang muncul dari kosmologi masyarakat adat Andean (Ekuador, Bolivia, Peru) menawarkan kritik radikal terhadap model pembangunan Barat yang berfokus pada pertumbuhan materi. Buen Vivir menekankan pada harmoni antara manusia dan alam (Pachamama), serta menolak pemisahan antara subjek (manusia) dan objek (alam) yang menjadi dasar ilmu pengetahuan modern.

Gerakan ini merupakan bentuk dekolonisasi pengetahuan yang berupaya memulihkan kedaulatan epistemik masyarakat yang selama ini terpinggirkan oleh kolonialisme. Dekolonisasi bukan hanya pemutusan hubungan politik, tetapi juga perjuangan melawan “kolonialitas pengetahuan” yang masih menganggap sistem berpikir Barat sebagai satu-satunya standar kebenaran universal. Dalam bidang kesehatan dan pertanian, hal ini mewujud dalam pengakuan terhadap sistem pengobatan tradisional dan praktik pertanian adat yang lebih berkelanjutan daripada model monokultur industri.

Perbandingan Paradigma: Pembangunan Berbasis Pertumbuhan vs. Buen Vivir

Dimensi Pembangunan Modern (Barat) Buen Vivir (Andean/Indigenous)
Hubungan Manusia-Alam Dominasi dan eksploitasi alam sebagai sumber daya. Interdependensi; alam memiliki hak hukum sendiri (Rights of Nature).
Ukuran Keberhasilan Produk Domestik Bruto (PDB); akumulasi materi individual. Keseimbangan kolektif; kecukupan spiritual dan sosial dalam komunitas.
Sistem Pengetahuan Positivisme; spesialisasi ilmiah teknokratis. Pengetahuan lokal/adat; holisme; kaitan antara tanah dan cerita.
Struktur Politik Negara bangsa liberal; birokrasi terpusat. Negara plurinasi; otonomi wilayah adat; demokrasi partisipatif.

Upaya memulihkan ideologi negara melalui jalur dekolonial ini berbeda dengan populisme otoriter sayap kanan karena lebih fokus pada inklusivitas masyarakat adat dan perlindungan ekologis daripada supremasi satu kelompok etnis. Namun, keduanya berbagi kesamaan dalam hal menolak resep pembangunan standar yang dipaksakan oleh institusi global seperti Bank Dunia atau IMF.

Dinamika Sosio-Ekonomi: Mengapa Rakyat Memilih Jalan Anti-Kemapanan?

Dukungan terhadap gerakan populis berakar pada akumulasi ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi yang dianggap tidak adil. Neoliberalisme telah menciptakan “pecundang globalisasi”—kelompok pekerja manufaktur dan kelas menengah yang mengalami penurunan status ekonomi dan sosial akibat otomatisasi serta perpindahan industri ke negara dengan upah rendah. Namun, faktor ekonomi saja tidak cukup menjelaskan fenomena ini; kecemasan budaya (cultural anxiety) juga memainkan peran sentral.

Banyak pemilih merasa bahwa nilai-nilai tradisional mereka terancam oleh agenda kosmopolitan yang dipromosikan oleh elite perkotaan, termasuk isu-isu seperti hak LGBTQ+, multikulturalisme, dan kebijakan lingkungan yang dianggap memberatkan. Hal ini menciptakan “Discord Sosial Besar” (The Great Social Discord), di mana politik tidak lagi sekadar tentang distribusi kue ekonomi, tetapi tentang perjuangan untuk mendapatkan pengakuan identitas. Dalam kondisi ini, pemimpin populis berhasil menjanjikan pemulihan harga diri rakyat dengan cara menyerang institusi internasional yang dianggap sebagai arsitek dari tatanan yang meminggirkan mereka.

Proyeksi Geopolitik 2025: Fragmentasi, Multipolaritas, dan Tantangan Baru

Memasuki pertengahan dekade 2020-an, dunia menghadapi lanskap politik yang semakin terfragmentasi. Tahun 2025 diprediksi akan menjadi titik balik di mana multipolaritas bukan lagi sekadar teori, melainkan realitas operasional di mana aktor-aktor seperti Tiongkok, India, dan Brasil memainkan peran yang lebih asertif dan mandiri dari kepemimpinan tradisional Barat. Kebangkitan kekuatan regional ini sering kali disertai dengan penguatan kebijakan nasionalis yang dapat menghambat kerja sama kolektif dalam menghadapi masalah global seperti perubahan iklim.

Fragmentasi ini juga terlihat dalam pembentukan blok-blok ekonomi baru dan penggunaan kebijakan industri sebagai alat kompetisi geopolitik. Sektor-sektor strategis seperti energi bersih, kendaraan listrik, dan semikonduktor menjadi medan pertempuran baru di mana negara-negara lebih memprioritaskan keamanan rantai pasok domestik daripada efisiensi pasar global. Dalam konteks ini, institusi internasional yang lemah akan semakin sulit untuk menegakkan aturan main yang adil, sehingga meningkatkan risiko konflik perdagangan dan ketidakstabilan ekonomi.

Tren Utama dalam Geopolitik Global Menuju 2025

Tren Deskripsi Mekanisme Implikasi bagi Konsensus Global
Nasionalisme Industri Negara menggunakan subsidi dan tarif untuk membangun kapasitas industri domestik. Melemahnya aturan perdagangan bebas WTO dan fragmentasi pasar global.
Persaingan Governance Konflik ideologis antara model demokrasi liberal dan otoriter/illiberal. Kesulitan dalam mencapai kesepakatan di forum PBB karena polarisasi nilai.
Kedaulatan Energi Prioritas pada keamanan energi nasional di atas komitmen iklim internasional. Perlambatan dalam aksi iklim global dan peningkatan emisi jangka pendek.
Diplomasi Personalistik Hubungan internasional yang digerakkan oleh ikatan antara pemimpin kuat daripada institusi formal. Penurunan prediktabilitas kebijakan luar negeri dan erosi norma diplomatik tradisional.

Sintesis: Masa Depan Kedaulatan dalam Dunia yang Saling Terhubung

Kebangkitan populisme global dan ideologi anti-kemapanan merupakan peringatan keras bahwa tatanan internasional tidak dapat bertahan tanpa legitimasi populer yang luas. Penolakan rakyat terhadap konsensus global bukan sekadar hasil dari manipulasi politik, melainkan respons terhadap kegagalan institusi internasional dalam menangani dampak sosial dan ekonomi dari globalisasi yang tidak terkendali.

Pemulihan ideologi negara dan kedaulatan nasional yang kita saksikan saat ini mencerminkan keinginan kolektif untuk “mengambil kembali kendali” atas masa depan bangsa. Namun, tantangan utama bagi abad ke-21 adalah bagaimana mendamaikan aspirasi kedaulatan ini dengan kebutuhan objektif akan kerja sama internasional untuk mengatasi ancaman lintas batas seperti pandemi, perubahan iklim, dan krisis keuangan global. Tanpa adanya reformasi mendalam pada institusi multilateral agar lebih inklusif, akuntabel, dan sensitif terhadap otonomi nasional, dunia berisiko terjerumus ke dalam periode fragmentasi yang berkepanjangan dan konflik yang merugikan semua pihak. Kedaulatan seharusnya tidak menjadi penghalang bagi kerja sama, melainkan dasar bagi bentuk kemitraan baru yang lebih menghormati keberagaman identitas dan cara hidup masyarakat di seluruh dunia.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

8 + 1 =
Powered by MathCaptcha