Fenomena yang dikenal sebagai retret otoritarian telah menjadi narasi dominan dalam geopolitik global selama dua dekade terakhir, menandai berakhirnya optimisme demokratisasi yang menyusul berakhirnya Perang Dingin. Berdasarkan data dari berbagai lembaga pemantau demokrasi, kebebasan global telah mengalami penurunan selama sembilan belas tahun berturut-turut hingga tahun 2024. Kemunduran ini bukan sekadar fluktuasi politik biasa, melainkan sebuah transformasi struktural dalam cara negara-negara mengelola kekuasaan dan menekan perbedaan pendapat. Analisis mendalam menunjukkan bahwa tingkat demokrasi yang dinikmati oleh rata-rata penduduk dunia pada tahun 2023 telah merosot kembali ke tingkat yang setara dengan tahun 1985. Penurunan ini mencerminkan apa yang disebut sebagai otoritarianisme negara atau ekstremisme negara (state extremism), di mana pemerintah secara sistematis melampaui batas-batas hak asasi manusia melalui penggunaan teknologi canggih, kekerasan brutal, dan manipulasi hukum yang terintegrasi.

Ekstremisme negara muncul sebagai respon terhadap krisis legitimasi yang dihadapi oleh rezim otoritarian maupun pemimpin populis dalam sistem demokrasi yang mengalami degradasi. Dalam konteks ini, negara tidak lagi hanya bertindak sebagai penjaga ketertiban, tetapi sebagai aktor radikal yang mendefinisikan keberlangsungan rezimnya melalui penghancuran lawan-lawan politik dan masyarakat sipil.7 Strategi yang digunakan melibatkan spektrum tindakan yang luas, mulai dari pengawasan massal berbasis kecerdasan buatan hingga taktik “kematian sipil” (civil death) yang melumpuhkan individu tanpa harus menempatkan mereka secara fisik di balik jeruji besi.

Landasan Teoretis Otoritarianisme Negara dan Ekstremisme

Otoritarianisme secara fundamental dicirikan oleh pemusatan kekuasaan yang tinggi, pengabaian terhadap pluralitas politik, dan penggunaan represi untuk mempertahankan status quo. Namun, konsep ekstremisme negara memberikan dimensi baru dalam analisis ini. Ekstremisme sering kali didefinisikan sebagai perilaku yang melampaui batas-batas konvensional dan menyerang aturan yang ada. Ketika ekstremisme diadopsi oleh negara, hal ini memanifestasikan dirinya sebagai penggunaan instrumen kekuasaan secara berlebihan yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang memaksa warga sipil untuk tunduk sepenuhnya atau menghadapi isolasi total.

Rezim otoritarian ekstrem sering kali menggunakan institusi demokrasi secara nominal—seperti pemilu, parlemen, dan partai politik—tetapi mengelolanya sedemikian rupa sehingga institusi tersebut justru memperkuat kekuasaan otoriter melalui manipulasi dan kecurangan. Legitimasi politik dalam sistem semacam ini sering kali didasarkan pada imbauan emosional, di mana rezim memposisikan dirinya sebagai “kejahatan yang diperlukan” (necessary evil) untuk memerangi ancaman yang dibuat-buat, seperti terorisme, ketidakstabilan ekonomi, atau pengaruh asing.

Tipologi Rezim dan Populasi Global

Data dari V-Dem Institute memberikan gambaran yang suram mengenai distribusi kekuasaan global saat ini. Sebagian besar penduduk dunia kini hidup di bawah sistem yang tidak lagi memberikan jaminan hak asasi manusia yang memadai.

Tipe Rezim Definisi Operasional Proporsi Populasi Dunia (2023/2024)
Autokrasi Tertutup Tidak mengadakan pemilu multipartai untuk eksekutif; tidak ada komponen demokrasi fundamental. Sekitar 27% (meningkat tajam).
Autokrasi Elektoral Mengadakan pemilu multipartai tetapi tidak memenuhi standar bebas dan adil; kurangnya kebebasan berekspresi. 44% (3,5 miliar orang).
Demokrasi Elektoral Pemilu bebas dan adil, tetapi kekurangan kendali yudisial dan legislatif yang kuat terhadap eksekutif. Bagian dari 29% populasi demokrasi.
Demokrasi Liberal Melampaui pemilu; memberikan perlindungan civil liberties, kesetaraan di depan hukum, dan kendali kelembagaan. Minoritas kecil dari populasi global.

Tren ini menunjukkan bahwa autokratisasi adalah tren dominan di dunia saat ini. Sejak tahun 2009, bagian populasi dunia yang hidup di negara-negara yang mengalami autokratisasi secara konsisten melampaui mereka yang hidup di negara-negara yang mengalami demokratisasi. Hal ini menandakan adanya “gelombang autokratisasi” yang terus berlanjut tanpa tanda-tanda melambat secara signifikan, dengan 42 negara saat ini berada dalam episode autokratisasi yang sedang berlangsung.

Arsitektur Penindasan Fisik: Kekerasan Brutal dan Penahanan Massal

Meskipun otoritarianisme modern banyak menggunakan alat digital, penggunaan kekerasan fisik tetap menjadi instrumen utama dalam ekstremisme negara. Pola perilaku ini mencakup pembunuhan ekstra-yudisial, penyiksaan, dan penahanan tanpa proses hukum yang adil, terutama selama periode protes massa atau pemilihan umum.

Penahanan Politik dan Penyiksaan Sistemik

Di negara-negara seperti Venezuela dan Nikaragua, penahanan politik telah menjadi alat rutin untuk membungkam oposisi. Pasca pemilihan presiden Venezuela tahun 2024, dilaporkan bahwa lebih dari 2.000 orang ditahan, dengan banyak di antaranya didakwa dengan pasal-pasal luas seperti “hasutan kebencian” atau “terorisme”. Tahanan sering kali diisolasi (incommunicado), dilarang bertemu pengacara pilihan mereka, dan dalam beberapa kasus, dipaksa untuk merekam video yang menyatakan bahwa hak-hak mereka dihormati selama penahanan.

Praktik serupa terjadi di Ethiopia, di mana negara menggunakan keadaan darurat untuk melakukan penangkapan massal tanpa perintah pengadilan. Laporan menunjukkan adanya penggunaan sekolah-sekolah untuk tujuan militer sebagai tempat penahanan tidak resmi, di mana tahanan menjadi sasaran penyiksaan, termasuk pemukulan dengan kabel listrik dan perlakuan tidak manusiawi lainnya. Di Ethiopia, drone bahkan telah digunakan dalam serangan ilegal yang menewaskan puluhan warga sipil antara Januari hingga Februari 2024, menunjukkan eskalasi ekstrem dalam penggunaan teknologi militer terhadap penduduk domestik.

Kekerasan dalam Konteks Pemilu

Tahun 2024 dicatat sebagai tahun dengan tingkat kekerasan pemilihan yang sangat tinggi secara global. Di 27 dari 66 negara yang mengadakan pemilu nasional, terjadi kekerasan terkait pemungutan suara. Di Bangladesh, protes mahasiswa yang menentang sistem kuota pekerjaan ditanggapi oleh pasukan keamanan dengan kekuatan mematikan, menewaskan ratusan orang sebelum akhirnya rezim tersebut runtuh. Kekerasan ini sering kali sengaja dilakukan untuk mengintimidasi pemilih dan menghancurkan moral kelompok oposisi.

Indikator Kekerasan Pemilu 2024 Jumlah Negara/Teritori Terdampak Dampak pada Integritas Demokrasi
Serangan terhadap Kandidat 20 negara. Menghilangkan pilihan alternatif bagi pemilih dan menciptakan ketakutan di kalangan politisi oposisi.
Serangan terhadap TPS 14 negara. Menghalangi hak konstitusional warga untuk memberikan suara secara aman.
Penindasan Protes Pasca-Pemilu Berbagai negara (termasuk Venezuela & Bangladesh). Mendelegitimasi proses demokrasi dan memperpanjang masa jabatan rezim melalui paksaan.

Otoritarianisme Digital: Transformasi Pengawasan dan Kontrol Informasi

Salah satu aspek paling signifikan dari ekstremisme negara modern adalah penggunaan teknologi digital untuk memperluas jangkauan represi. Teknologi tidak hanya digunakan untuk memantau perilaku warga secara real-time, tetapi juga untuk memanipulasi persepsi publik dan menciptakan lingkungan informasi yang terdistorsi.

Pengawasan Massal dan Teknologi AI

Kecerdasan buatan (AI) telah merevolusi kemampuan negara dalam melakukan surveilans. Di China, penggunaan sistem pengenalan wajah massal melalui program “Skynet” telah menciptakan lingkungan di mana anonimitas di ruang publik menjadi hampir mustahil. Teknologi ini memungkinkan negara untuk mendokumentasikan individu yang berpartisipasi dalam aksi protes secara otomatis, mempermudah penangkapan di kemudian hari.

Iran juga muncul sebagai pionir dalam otoritarianisme digital, menggunakan sistem pengawasan untuk menegakkan aturan sosial yang ketat, seperti undang-undang hijab. Penggunaan kamera CCTV yang terhubung dengan basis data biometrik memungkinkan otoritas untuk mengirimkan peringatan atau denda secara otomatis kepada warga, menciptakan tekanan psikologis yang konstan tanpa perlu interaksi fisik langsung dengan petugas keamanan.

Spyware dan Peretasan Negara

Penggunaan perangkat lunak mata-mata (spyware) kelas komersial, seperti Pegasus yang dikembangkan oleh perusahaan Israel NSO Group, telah didokumentasikan di banyak negara untuk menargetkan jurnalis, aktivis hak asasi manusia, dan lawan politik. Perangkat lunak ini memungkinkan akses total ke ponsel target, termasuk pesan terenkripsi, lokasi GPS, dan mikrofon, sering kali tanpa memerlukan interaksi pengguna sama sekali (zero-click). Di India, penggunaan Pegasus telah dilaporkan secara luas, bahkan merambah ke target di luar negeri, menunjukkan dimensi transnasional dari surveilans digital ini.

Sensor Internet dan Pemutusan Konektivitas

Tahun 2024 menandai tahun ke-14 penurunan kebebasan internet secara berturut-turut. Metode yang paling ekstrem adalah pemutusan total layanan internet atau jaringan mobile (internet shutdowns). Di Kenya, selama protes pajak Juni 2024, internet diputus selama tujuh jam sebagai upaya pemerintah untuk menghambat koordinasi pengunjuk rasa. Secara global, sekitar 48% penduduk internet dunia hidup di negara-negara di mana otoritas pernah memutus akses internet karena alasan politik.

Negara Taktik Digital Utama Tujuan Strategis
Myanmar Pemblokiran VPN & sistem sensor baru. Memutus jalur komunikasi aktivis dengan dunia luar setelah kudeta militer.
Rusia Blokade platform sosial Barat & promosi alternatif lokal. Menciptakan kedaulatan informasi dan menyebarkan propaganda perang tanpa tandingan.
Pakistan Hukuman mati untuk ekspresi di WhatsApp. Menetapkan standar ketakutan ekstrem terhadap kritik agama dan politik online.
Indonesia Rebranding kandidat via Avatar AI & serangan troller. Mengaburkan catatan masa lalu dan memanipulasi pemilih muda melalui citra digital yang ramah.

Paradigma “Kematian Sipil”: Penindasan Administratif dan Sosial

Fenomena ekstremisme negara tidak selalu bermanifestasi dalam bentuk penjara fisik. Banyak rezim otoritarian kini beralih ke taktik “kematian sipil” (civil death), di mana individu yang dianggap musuh negara secara sistematis dilumpuhkan kemampuannya untuk berfungsi dalam masyarakat. Kondisi ini menciptakan “penjara tak terlihat” yang sering kali lebih efektif karena kurang menarik perhatian internasional dibandingkan dengan penahanan massal.

Taktik Utama Kematian Sipil

Berdasarkan laporan “Visible and Invisible Bars” dari Freedom House, taktik ini melibatkan empat pilar utama:

  1. Pengendalian Mobilitas: Termasuk larangan perjalanan ke luar negeri, penyitaan paspor, dan pencabutan kewarganegaraan secara sepihak.
  2. Pemantauan Fisik Konstan: Penempatan petugas keamanan di luar rumah target agar terlihat oleh tetangga, menciptakan stigma sosial dan intimidasi psikologis.
  3. Blacklisting dan Pemecatan: Penargetan sumber pendapatan individu melalui pemecatan dari pekerjaan sektor publik, pelarangan bekerja di sektor swasta, atau pengusiran dari universitas.
  4. Penyitaan Aset: Pembekuan rekening bank, penyitaan properti pribadi, dan penghentian pembayaran dana pensiun.

Di Turki, pasca upaya kudeta tahun 2016, pemerintah menyita lebih dari 100.000 paspor dan menggunakan pengawasan sistematis terhadap individu yang dituduh terkait dengan gerakan oposisi. Di Nikaragua, rezim Ortega mencabut kewarganegaraan 222 tahanan politik, yang berarti mereka secara hukum tidak lagi eksis di negara mereka sendiri, kehilangan akses ke identitas nasional, dan semua properti mereka disita oleh negara.

Dampak dan Mekanisme Yudisial

Keberhasilan strategi kematian sipil sangat bergantung pada yudisial yang patuh. Di banyak negara yang mengalami kemunduran demokrasi, hakim yang independen digantikan oleh loyalis rezim yang bersedia mengeluarkan perintah administratif untuk membekukan aset atau membatasi pergerakan tanpa dasar hukum yang jelas. Hal ini menyebabkan korban kehilangan mekanisme untuk menuntut keadilan, karena sistem pengadilan itu sendiri telah menjadi alat represi.

Represi Transnasional: Jangkauan Luar Negeri Sang Autokrat

Ekstremisme negara kini tidak lagi berhenti di perbatasan nasional. Melalui represi transnasional, setidaknya 23 pemerintahan pada tahun 2024 mencapai ke luar negeri untuk membungkam para disiden, jurnalis, dan aktivis yang berada di pengasingan. Tindakan ini merupakan ancaman langsung terhadap kedaulatan negara-negara demokrasi yang menjadi tuan rumah bagi para pengungsi politik.

Mekanisme Represi Lintas Batas

Pemerintah otoritarian menggunakan kombinasi taktik fisik dan digital:

  • Pembunuhan dan Upaya Pembunuhan: Contohnya termasuk keterlibatan agen Iran dalam plot pembunuhan jurnalis di luar negeri dan plot pembunuhan warga negara AS oleh pegawai pemerintah India.
  • Penculikan dan Rendisi Luar Hukum: Kasus massal terjadi di Kenya, di mana 36 aktivis Uganda diculik dan dipulangkan secara paksa untuk menghadapi tuduhan terorisme di negara asalnya.
  • Penyalahgunaan Interpol: Menggunakan “Red Notices” untuk membatasi ruang gerak aktivis di bandara internasional dengan tuduhan kriminal palsu.
  • Intimidasi Keluarga: Mengancam atau menahan anggota keluarga yang masih tinggal di negara asal untuk memaksa aktivis di luar negeri agar berhenti berbicara.

China tetap menjadi pelaku represi transnasional yang paling produktif, menyumbang 22% dari semua insiden fisik yang tercatat sejak 2014. Melalui jaringan “kantor polisi rahasia” di luar negeri dan pemantauan mahasiswa di kampus-kampus internasional, Beijing menciptakan atmosfer ketakutan yang merasuki aktivitas sehari-hari komunitas diaspora.

Justifikasi Ideologis: Konstruksi Narasi “Keamanan Nasional” dan “Stabilitas”

Penindasan yang ekstrem jarang dilakukan tanpa narasi pembenaran yang kuat. Rezim otoritarian modern sangat mahir dalam “decontesting” konsep-konsep politik, yaitu memberikan makna tunggal pada istilah-istilah seperti keamanan, stabilitas, dan tradisi untuk melegitimasi represi.

Pilar Keamanan Nasional dan Kontraterorisme

Hampir setengah (46%) dari kasus represi transnasional melibatkan tuduhan terorisme atau ekstremisme terhadap targetnya. Dengan melabeli oposisi sebagai “teroris,” negara dapat membenarkan penggunaan kekuatan militer, penahanan tanpa batas waktu, dan penyampingan hak-hak prosedural. Di Inggris, definisi baru tentang ekstremisme pada tahun 2024 menyoroti bagaimana istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok yang dianggap merusak demokrasi, meskipun banyak yang khawatir definisi tersebut dapat disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berbicara.

Stabilitas Ekonomi sebagai Dalih Represi

Narasi stabilitas ekonomi sering kali digunakan untuk meredam protes terkait ketidaksetaraan atau korupsi. Pemerintah memposisikan integrasi ekonomi dan pertumbuhan sebagai tujuan yang lebih tinggi daripada hak asasi manusia. Namun, kenyataannya menunjukkan bahwa kontrol negara yang berlebihan sering kali menyebabkan alokasi sumber daya yang tidak efisien, korupsi yang merajalela, dan kurangnya akuntabilitas yang justru merusak stabilitas jangka panjang.

Tradisi dan Nilai-Nilai sebagai Alat Eksklusi

Banyak rezim otoritarian, seperti di Rusia dan Turki, menggunakan narasi “nilai-nilai tradisional” untuk menindas kelompok minoritas, terutama komunitas LGBTQ+ dan aktivis gender. Dengan memposisikan diri sebagai pembela moralitas bangsa melawan “pengaruh asing” yang liberal, rezim dapat memobilisasi dukungan dari kelompok konservatif dan mendelegitimasi pembela hak asasi manusia sebagai agen yang merusak budaya nasional.

Kolaborasi Otoritarian: Aliansi Global dalam Penindasan

Fenomena yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah meningkatnya kolaborasi teknis dan strategis antar-negara otoritarian. China dan Rusia berada di garis depan dalam mengekspor teknologi surveilans dan kerangka hukum represi ke negara-negara lain.

Transfer Teknologi dan Pelatihan

Melalui inisiatif seperti “Digital Silk Road,” China menyediakan bantuan keamanan, teknologi pengenalan wajah, dan pelatihan kepada rezim-rezim dengan institusi yang lemah. Kerja sama ini tidak hanya mencakup perangkat keras, tetapi juga transfer pengetahuan tentang bagaimana mengontrol ruang informasi digital dan menjalankan operasi informasi strategis untuk membentuk opini publik.

Sinergi Diplomasi Keamanan

Negara-negara ini juga saling mendukung di forum internasional untuk melemahkan standar hak asasi manusia universal. Mereka mempromosikan konsep “kedaulatan siber” yang memberikan kendali mutlak kepada negara atas aliran informasi dalam batas wilayahnya. Aliansi ini menciptakan ekosistem global yang mendukung ketahanan otoritarian, membuat sanksi internasional menjadi kurang efektif karena adanya pasar alternatif untuk teknologi dan dukungan diplomatik.

Resiliensi Masyarakat Sipil: Strategi Ketahanan di Tengah Penindasan

Meskipun menghadapi kekuatan negara yang masif, masyarakat sipil terus mengembangkan cara-cara baru untuk bertahan dan melawan. Resiliensi ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga teknis dan diskursif.

Inovasi Taktis dan Solidaritas Digital

Para aktivis mulai menggunakan alat-alat privasi yang lebih kuat, teknologi enkripsi, dan platform pelaporan pelanggaran hak asasi manusia yang aman. Di Bangladesh dan Indonesia, komunitas pro-demokrasi mulai membangun “bahasa baru” dan pendekatan konsolidasi yang melampaui sekat-sekat organisasi tradisional untuk menghadapi algoritma pemerintah yang semakin lihai.

Peran Komunitas Internasional

Negara-negara demokrasi dan organisasi internasional mulai merespons dengan strategi “solidaritas digital”. Hal ini mencakup pemberian perlindungan siber bagi organisasi masyarakat sipil, penyediaan bantuan darurat bagi pembela hak asasi manusia yang terancam “kematian sipil,” dan peninjauan kebijakan migrasi untuk melindungi mereka yang menghadapi represi transnasional.

Kesimpulan: Masa Depan Kebebasan Sipil di Era Ekstremisme Negara

Retret otoritarian yang terjadi selama hampir dua dekade terakhir merupakan pengingat bahwa demokrasi dan kebebasan sipil bukanlah hasil yang tak terelakkan dari kemajuan teknologi atau ekonomi. Sebaliknya, teknologi sering kali menjadi pedang bermata dua yang, dalam tangan rezim otoritarian, berubah menjadi instrumen ekstremisme negara yang paling efisien dalam sejarah manusia. Pola yang muncul di tahun 2024-2025 menunjukkan bahwa negara-negara otoritarian tidak lagi puas dengan penindasan reaktif; mereka kini beralih ke kontrol preventif, terarah, dan lintas batas yang merusak fondasi otonomi individu.

Transformasi otoritarianisme dari bentuk fisik kasar ke bentuk digital dan administratif (informationalisme) menuntut pemahaman baru mengenai hak-hak sipil di abad ke-21. Perlawanan terhadap ekstremisme negara tidak dapat lagi dilakukan hanya di tingkat nasional, karena represi itu sendiri telah menjadi global dan terintegrasi secara teknologi. Keberhasilan dalam mempertahankan kebebasan sipil akan bergantung pada kemampuan masyarakat sipil global untuk membangun jaringan solidaritas yang sama kuatnya dengan aliansi yang dibangun oleh para autokrat, serta kemampuan untuk terus berinovasi dalam menghadapi arsitektur kontrol yang terus berkembang. Jalan menuju restorasi demokrasi akan sangat berat, namun sejarah menunjukkan bahwa resiliensi manusia terhadap penindasan tetap menjadi variabel yang paling sulit untuk diprediksi oleh algoritma pengawasan manapun.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 12 = 14
Powered by MathCaptcha