Evolusi peradaban manusia sering kali dipandang sebagai sebuah gerak maju menuju integrasi yang lebih besar, di mana batas-batas negara bangsa yang fragmentaris diharapkan akan melebur ke dalam sebuah tatanan global yang tunggal. Ambisi ini, yang secara historis didorong oleh keinginan untuk mengakhiri siklus kekerasan perang, membawa pertanyaan fundamental mengenai harga yang harus dibayar oleh kemanusiaan: apakah persatuan global melalui otoritas tunggal merupakan satu-satunya jalan menuju perdamaian abadi, dan jika demikian, apakah tirani merupakan konsekuensi yang tidak terelakkan? Analisis ini mengeksplorasi paradoks antara keamanan mutlak dan kebebasan individu, meninjau landasan filosofis dari kontrak sosial, kegagalan sejarah dari berbagai periode hegemoni, hingga ancaman kontemporer berupa represi algoritmik dan homogenisasi budaya yang dapat melumpuhkan vitalitas manusia.
Fondasi Filosofis Kontrak Sosial: Pertukaran Hak demi Keamanan
Akar dari gagasan pemerintahan dunia terletak pada teori kontrak sosial yang dikembangkan pada masa Pencerahan. Inti dari argumen ini adalah bahwa manusia, dalam keadaan alamiahnya, berada dalam kondisi kompetisi dan kecurigaan yang permanen. Thomas Hobbes, dalam bukunya Leviathan, memberikan deskripsi yang paling berpengaruh mengenai kondisi ini sebagai “perang semua melawan semua” (bellum omnium contra omnes), di mana kehidupan manusia bersifat “menyendiri, miskin, kotor, kasar, dan pendek”. Dalam pandangan Hobbesian, perdamaian bukanlah kondisi alami manusia, melainkan sebuah konstruksi buatan yang hanya dapat dicapai melalui penyerahan hak-hak alamiah kepada penguasa absolut yang memiliki kekuatan koersif untuk menegakkan hukum.
Logika ini, jika diterapkan pada skala internasional, mengasumsikan bahwa negara-negara saat ini berada dalam “keadaan alamiah” antarnegara yang anarkis. Tanpa adanya otoritas superior di atas negara-negara berdaulat, konflik bersenjata dianggap tidak dapat dihindari karena setiap negara bertindak berdasarkan kepentingan pribadi dan ketakutan akan agresi pihak lain. Oleh karena itu, pembentukan sebuah “Leviathan Global” atau satu otoritas tunggal dunia muncul sebagai solusi logis untuk mengakhiri anarki internasional tersebut. Namun, harga yang dituntut oleh sistem ini adalah penyerahan kedaulatan nasional secara total, yang pada gilirannya berarti hilangnya hak warga negara untuk menentukan nasib mereka sendiri secara independen.
Teori kontrak sosial lainnya memberikan perspektif yang berbeda namun tetap menyoroti ketegangan antara otoritas dan kebebasan. John Locke berpendapat bahwa individu tidak menyerahkan hak-hak mereka secara absolut, melainkan memberikan mandat kepada pemerintah untuk melindungi hak milik, hidup, dan kebebasan. Jika pemerintah gagal atau melanggar hak-hak inalienabel ini, rakyat memiliki hak untuk memberontak. Namun, dalam skenario pemerintahan dunia yang tunggal, mekanisme hak untuk memberontak ini menjadi sangat bermasalah karena tidak ada otoritas luar yang dapat memberikan perlindungan atau tempat perlindungan bagi mereka yang melarikan diri dari penindasan. Jean-Jacques Rousseau memperkenalkan konsep “kehendak umum” (volonté générale) yang mengandaikan bahwa kebebasan sejati ditemukan dalam kepatuhan terhadap hukum yang dibuat secara kolektif untuk kepentingan bersama. Meskipun demikian, konsep “dipaksa untuk bebas” dalam pemikiran Rousseau membawa risiko besar jika disalahgunakan oleh otoritas terpusat untuk menindas perbedaan pendapat demi stabilitas.
Perbandingan Filosofis Paradoks Kebebasan dan Otoritas
| Dimensi | Thomas Hobbes | John Locke | Jean-Jacques Rousseau |
| Keadaan Alamiah | Anarki total; ketakutan akan kematian yang kejam. | Keadaan damai namun tidak aman karena kurangnya hakim yang adil. | Manusia lahir bebas namun terantai oleh institusi sosial. |
| Tujuan Otoritas | Keamanan fisik dan stabilitas absolut. | Perlindungan hak-hak inalienabel (properti, hidup, kebebasan). | Mewujudkan kehendak umum dan kesetaraan sipil. |
| Sifat Kedaulatan | Absolut dan tidak dapat dibagi (Leviathan). | Terbatas oleh hukum dan persetujuan rakyat. | Kolektif; rakyat adalah pemegang kedaulatan itu sendiri. |
| Harga yang Dibayar | Kebebasan bertindak sepenuhnya diserahkan kepada penguasa. | Kewajiban mematuhi hukum mayoritas selama hak dilindungi. | Kemerdekaan alami digantikan oleh kebebasan sipil yang kolektif. |
| Implikasi Global | Pemerintahan dunia sebagai diktator global untuk mencegah perang. | Federasi internasional yang didasarkan pada hukum dan hak asasi. | Demokrasi langsung global yang berisiko menindas minoritas. |
Analisis terhadap teori-teori ini menunjukkan bahwa transisi menuju perdamaian dunia yang dipaksakan oleh satu otoritas sering kali mengabaikan kompleksitas dari hilangnya otonomi individu. Otoritas tunggal dunia, untuk menjalankan fungsinya secara efektif dalam mencegah perang, harus memiliki monopoli atas kekuatan militer dan senjata pemusnah massal, yang secara otomatis menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan yang ekstrem antara pemerintah dan warga dunia.
Visi Kantian: Perdamaian Abadi vs. Despotisme Tanpa Jiwa
Salah satu perdebatan intelektual paling penting mengenai tatanan dunia berasal dari Immanuel Kant dalam esainya Perpetual Peace: A Philosophic Sketch (1795). Berbeda dengan Hobbes, Kant tidak merekomendasikan pembentukan satu negara dunia tunggal atau “republik universal” yang bersifat administratif tunggal. Kant justru sangat skeptis terhadap gagasan tersebut, dengan alasan bahwa hukum-hukum akan secara bertahap kehilangan dampaknya seiring dengan bertambahnya luas wilayah pemerintahan. Ia memprediksi bahwa sebuah pemerintahan dunia yang terlalu besar pada akhirnya akan merosot menjadi sebuah “despotisme tanpa jiwa” (soulless despotism) sebelum akhirnya jatuh kembali ke dalam anarki karena ketidakmampuannya mengelola keragaman populasi manusia.
Kant mengusulkan jalan alternatif yang ia sebut sebagai “federasi negara-negara bebas” (foedus pacificum). Federasi ini bukanlah sebuah negara super, melainkan liga sukarela yang bertujuan untuk mengakhiri semua perang untuk selamanya, tanpa mengorbankan kedaulatan domestik negara-negara anggotanya. Baginya, perdamaian abadi harus dibangun di atas tiga pilar definitif: konstitusi republik di setiap negara, hukum internasional yang didasarkan pada federasi negara-negara berdaulat, dan hak kosmopolitan berupa hospitalitas universal.
Kekuatan argumen Kant terletak pada penekanannya terhadap “politisi moral” yang mengikuti prinsip-prinsip akal budi, bukan sekadar kepentingan kekuasaan pragmatis. Dalam sistem republik yang diusulkan Kant, pemisahan kekuasaan dan representasi rakyat bertindak sebagai hambatan institusional terhadap perang. Hal ini karena warga negara, yang harus memberikan suara atau persetujuan untuk berperang, adalah orang-orang yang sama yang akan menanggung biaya finansial, kematian di medan perang, dan penderitaan pasca-perang. Sebaliknya, dalam pemerintahan otokratis atau despotik, penguasa tidak secara pribadi menanggung biaya perang, sehingga ia dapat memutuskan untuk berperang dengan alasan yang sepele, seolah-olah perang itu hanyalah sebuah kegiatan hiburan.
Meskipun visi Kant dianggap idealis, ia menyadari adanya hambatan alami seperti perbedaan bahasa dan agama yang menurutnya adalah “providensi alam” untuk mencegah terciptanya pemerintahan dunia yang monolitik. Namun, para kritikus menunjukkan bahwa perkembangan sejarah, termasuk dua perang dunia, tampaknya menantang asumsi Kant tentang kekuatan akal budi manusia. Meski demikian, institusi seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa sering dipandang sebagai upaya modern untuk mewujudkan sebagian dari kerangka kerja Kantian, meskipun tetap menghadapi dilema antara kedaulatan negara dan penegakan hukum global.
Sejarah Pax: Perdamaian yang Dipaksakan oleh Hegemoni
Dalam realitas sejarah, perdamaian dalam skala luas jarang dicapai melalui kesepakatan hukum yang setara antara negara-negara, melainkan lebih sering merupakan hasil dari dominasi satu kekuatan yang sangat besar. Konsep ini secara generik dikenal sebagai pax imperia atau perdamaian kekaisaran. Etimologi kata pax itu sendiri berasal dari akar kata pak-pag yang berarti “menentukan” atau “mengkonjugasi”, yang dalam bahasa Latin sering kali berkonotasi dengan perjanjian yang dipaksakan setelah kemenangan militer. Perdamaian dalam pengertian Romawi bukanlah ketiadaan perang, melainkan kondisi di mana semua lawan telah ditaklukkan dan tidak lagi memiliki kemampuan untuk melawan.
Analisis Komparatif Era Hegemoni Global
| Era | Kekuatan Hegemon | Mekanisme Utama Perdamaian | Harga Politik dan Sosial | Penyebab Keruntuhan |
| Pax Romana | Kekaisaran Romawi | Penaklukan militer (Legiun); asimilasi budaya dan hukum Romawi. | Penghancuran kemerdekaan suku-suku lokal; perbudakan massal; represi pemberontakan (misal: Perang Yahudi). | Krisis ekonomi; invasi eksternal; fragmentasi kekuasaan internal. |
| Pax Britannica | Britania Raya | Dominasi angkatan laut (Royal Navy); perdagangan bebas; diplomasi “Concert of Powers”. | Kolonialisme di Afrika dan Asia; eksploitasi ekonomi; pengabaian konflik regional demi stabilitas Eropa. | Bangkitnya kekuatan saingan (Jerman, AS); nasionalisme; Perang Dunia I. |
| Pax Americana | Amerika Serikat | Aliansi militer (NATO); institusi finansial global (IMF/World Bank); hegemoni budaya. | Perang proksi selama Perang Dingin; intervensi militer; pengawasan global; ketimpangan ekonomi global. | Tantangan dari kekuatan multipolar; polarisasi domestik; kelelahan kekaisaran. |
Pax Romana (27 SM – 180 M) merupakan contoh klasik di mana stabilitas dicapai melalui sentralisasi kekuasaan yang luar biasa. Selama periode ini, populasi Romawi mencapai puncaknya hingga 70 juta orang, atau sekitar 33% dari populasi dunia saat itu. Namun, stabilitas ini tidak berarti ketiadaan konflik; sebaliknya, sejarah periode ini dipenuhi dengan represi terhadap kelompok minoritas dan ketegangan antara institusi kekaisaran dengan komunitas lokal yang identitasnya terancam dihapus. Raymond Aron mencatat bahwa perdamaian kekaisaran hanya menjadi perdamaian sipil sejauh ingatan tentang unit politik yang merdeka sebelumnya telah hilang dari benak masyarakat yang ditaklukkan.
Pax Britannica (1815–1914) menunjukkan transisi menuju model perdamaian yang lebih bersifat ekonomi namun tetap bergantung pada paksaan militer. Britania Raya memaksakan perjanjian anti-pirasi dan mengendalikan rute perdagangan maritim global, seperti aneksasi Ceylon dan pendudukan Mesir untuk mengamankan rute ke India. Meskipun dunia menikmati stabilitas relatif antara kekuatan-kekuatan besar selama satu abad, periode ini juga ditandai dengan persaingan kolonial yang brutal dan penindasan terhadap gerakan kemerdekaan nasional. Keruntuhan Pax Britannica yang memicu Perang Dunia I membuktikan bahwa tatanan global yang hanya bergantung pada satu hegemon yang kelelahan akan berakhir dengan bencana yang lebih besar ketika keseimbangan kekuatan terganggu.
Keberatan “Tanpa Pintu Keluar” dan Risiko Tirani Global
Kritik kontemporer terhadap pemerintahan dunia yang tunggal sering kali berfokus pada masalah pelarian dan kompetisi jurisdiksi. Ilya Somin dan filsuf politik lainnya mengemukakan keberatan “tanpa pintu keluar” (no-exit objection), yang menyatakan bahwa pemerintahan dunia sangat berbahaya karena orang-orang yang dirugikan oleh kebijakannya tidak dapat lagi “memilih dengan kaki” (foot voting) atau beremigrasi ke negara lain. Dalam sistem negara bangsa, keberadaan perbatasan bertindak sebagai katup pengaman; jika satu pemerintah menjadi tiran, individu dapat mencari perlindungan di yurisdiksi lain. Sebuah pemerintahan global akan menghapus kemungkinan ini, menciptakan sebuah sistem di mana penindasan tidak mengenal batas geografis.
Bahaya tirani global bukan sekadar spekulasi teoretis. Hannah Arendt memperingatkan bahwa pemerintahan dunia bisa menjadi tirani yang paling menakutkan karena dari kekuatan polisi globalnya tidak akan ada tempat untuk melarikan diri, hingga akhirnya sistem itu runtuh dengan sendirinya. Jika sebuah otoritas tunggal menguasai seluruh planet, ia akan memiliki monopoli mutlak atas senjata pemusnah massal tanpa adanya ancaman pembalasan dari pihak luar yang dapat bertindak sebagai penyeimbang. Hal ini memberikan pemerintah dunia “tangan yang jauh lebih bebas” untuk menggunakan kekerasan ekstrem terhadap lawan internalnya tanpa takut akan intervensi asing, sebuah kendala yang saat ini masih dihadapi oleh diktator nasional seperti Saddam Hussein atau Bashar al-Assad.
Ketidaktahuan politik (political ignorance) juga diprediksi akan meningkat secara drastis dalam skenario pemerintahan dunia. Saat ini saja, pemilih di negara bangsa sering kali mengalami kesulitan untuk memantau kebijakan pemerintah mereka sendiri secara efektif. Dalam skala global, tugas ini menjadi mustahil secara eksponensial. Pemilih di satu benua tidak akan memiliki pemahaman yang cukup tentang kebutuhan atau konteks budaya penduduk di benua lain, yang akan menyebabkan kebijakan yang seragam (one-size-fits-all) yang justru menyengsarakan minoritas. Tanpa adanya tekanan kompetitif dari negara lain untuk menarik modal dan bakat, pemerintahan dunia tidak memiliki insentif untuk berinovasi dalam kebijakan publik atau membatasi regulasi yang berlebihan.
Senjata Digital: Represi Algoritmik dan Pengawasan Total
Ambisi persatuan global di abad ke-21 kini memiliki alat baru yang sangat efisien untuk memelihara stabilitas: teknologi kecerdasan buatan (AI) dan infrastruktur pengawasan digital. “Represi algoritmik” mengacu pada penggunaan alat berbasis AI untuk memantau, memengaruhi, dan menekan suara-suara yang berbeda pendapat secara otomatis dan luas. Teknologi ini tidak hanya digunakan oleh negara-negara otokratis tetapi juga semakin banyak diadopsi oleh negara-negara lain dengan alasan keamanan nasional dan stabilitas sosial.
Model matematika tentang interaksi antara otoritas dan pembangkang menunjukkan bahwa pengawasan yang sempurna dapat menghilangkan ketergantungan tindakan individu terhadap keinginan asli mereka untuk berbeda pendapat. Jika risiko hukuman bersifat pasti dan segera karena pengawasan total, individu akan secara rasional memilih untuk melakukan sensor diri (self-censorship) guna menghindari konsekuensi. Probabilitas dan waktu yang dibutuhkan otoritas untuk menekan perbedaan pendapat sangat bergantung pada keberanian awal populasi untuk menanggung hukuman, namun teknologi surveillance modern secara dramatis mempercepat proses penundukan ini.
Dinamika Teknologi dalam Struktur Kekuasaan Global
| Teknologi | Fungsi dalam Otoritas Tunggal | Dampak terhadap Kebebasan | Contoh Kontemporer |
| Pengenalan Wajah AI | Identifikasi otomatis pengunjuk rasa dan dissident di ruang publik. | Menghilangkan anonimitas dan menciptakan ketakutan permanen akan deteksi. | Sistem “Sharp Eyes” di kota-kota besar untuk memantau perilaku sosial. |
| Algoritma Media Sosial | Kurasi narasi global dan penindasan informasi “berbahaya”. | “Efek mendinginkan” pada diskusi publik; manipulasi memori kolektif. | Penggunaan bot untuk kampanye kotor terhadap aktivis. |
| Identitas Biometrik Terpusat | Kontrol akses ke layanan dasar (perbankan, kesehatan, perjalanan). | Memungkinkan pengecualian sosial total bagi individu yang dianggap membangkang. | Repurposing sistem ID nasional untuk memantau oposisi politik. |
| Spyware Canggih | Penetrasi perangkat komunikasi pribadi tanpa terdeteksi. | Penghancuran privasi mutlak bagi jurnalis dan pembela hak asasi manusia. | Penggunaan Pegasus untuk menargetkan figur publik secara global. |
Kesenjangan teknologi ini menciptakan tantangan serius bagi keadilan transisional. Jika otoritas global mampu menghapus memori digital dan bukti penindasan secara real-time, maka pilar-pilar keadilan seperti pengungkapan kebenaran, akuntabilitas, dan rekonsiliasi akan menjadi hampa. Sebagaimana yang dicatat oleh Safiya Noble, algoritma tidaklah netral; mereka sering kali memperkuat bias hegemonik dan struktur penindasan yang sudah ada terhadap kelompok marginal, baik berdasarkan ras, gender, maupun etnis. Dalam sebuah tatanan dunia yang tunggal, bias algoritma ini akan menjadi hukum universal yang tidak dapat diganggu gugat.
Homogenisasi Budaya dan Redupnya Vitalitas Manusia
Persatuan global yang didorong oleh integrasi pasar dan teknologi membawa risiko sistemik berupa homogenisasi budaya. Fenomena ini bukan sekadar hilangnya tradisi lokal, tetapi merupakan pengikisan terhadap keragaman cara hidup manusia yang menjadi sumber kreativitas dan adaptasi spesies kita. Ketika satu budaya dominan—sering kali bercorak konsumerisme Barat—menjadi norma universal, terjadi apa yang disebut sebagai “McDonaldization” masyarakat. Ini adalah proses di mana efisiensi, standarisasi, dan kontrol birokratis menggantikan keaslian dan kekayaan pengalaman lokal.
Filsuf Friedrich Nietzsche memberikan diagnosa yang tajam mengenai kondisi ini melalui konsep “Manusia Terakhir” (The Last Man). Dalam karyanya Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche menggambarkan Manusia Terakhir sebagai tipe manusia yang hanya menginginkan kenyamanan, keamanan, dan kesehatan, namun telah kehilangan kemampuan untuk bercita-cita tinggi atau melampaui diri mereka sendiri (self-overcoming). Manusia Terakhir menghindari risiko dan penderitaan dengan cara apa pun, dan dalam dunia yang telah direkayasa untuk perdamaian abadi dan kelimpahan material, mereka menjadi puncak dari stagnasi budaya.
Nietzsche berargumen bahwa vitalitas dan pertumbuhan manusia justru muncul dari ketegangan, bahaya, dan perjuangan melawan hambatan. Sebuah perdamaian dunia yang dirancang secara teknokratis untuk menghilangkan semua sumber konflik mungkin akan berhasil menghentikan peperangan, tetapi ia juga berisiko mengubah umat manusia menjadi sebuah mekanisme jam raksasa yang terdiri dari roda gigi kecil yang beradaptasi secara halus namun tidak lagi memiliki tujuan yang luhur. Dalam konteks ini, perdamaian bukanlah kemenangan moral, melainkan bentuk nihilis pasif di mana kemanusiaan menyerah pada kepuasan tingkat rendah dan kenyamanan yang mematikan jiwa.
Selain itu, penindasan linguistik bertindak sebagai alat kekejaman yang sistematis untuk menghancurkan identitas kelompok nondominan. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan wadah bagi sejarah dan cara memandang dunia yang unik. Ketika bahasa-bahasa minoritas dipinggirkan atau dilarang oleh otoritas pusat demi “persatuan”, komunitas kehilangan kaitan dengan masa lalu mereka, yang sering kali berujung pada krisis identitas dan hilangnya harga diri kolektif.
Dinamika Konflik dalam Negara Dunia: Dari Perang Antarnegara ke Perang Sipil Global
Asumsi bahwa pemerintahan dunia akan mengakhiri kekerasan mengabaikan kemungkinan transformasi konflik. Sejarah menunjukkan bahwa kekerasan politik tidak hilang hanya karena batas negara dihapus; ia justru berubah bentuk menjadi pemberontakan internal, insurgensi, dan apa yang disebut Carl Schmitt sebagai “perang sipil global”. Schmitt berpendapat bahwa penghapusan kategori “politik” (yang didasarkan pada perbedaan teman dan musuh) demi kemanusiaan yang universal justru akan menyebabkan konflik yang lebih intens dan tidak manusiawi.
Dalam sistem internasional saat ini, musuh diakui sebagai lawan politik yang setara (relative enmity). Namun, dalam sistem global tunggal, setiap pemberontak atau penentang otoritas akan dikriminalisasi sebagai musuh kemanusiaan yang jahat. Paradoksnya, atas nama perdamaian dan kemanusiaan, otoritas global dapat melakukan tindakan kekerasan yang paling ekstrem untuk membasmi “monster” yang dianggap mengancam stabilitas dunia. Perang semacam ini tidak lagi mengenal batas hukum atau etika tradisional karena tujuannya adalah pemusnahan total terhadap pihak yang dianggap melanggar hukum universal.
Faktor Risiko Instabilitas dan Kegagalan Negara Dunia
| Kategori Risiko | Faktor Pemicu | Mekanisme Kerusakan | Dampak pada Sistem Global |
| Krisis Legitimasi | Kegagalan penyediaan barang publik secara merata (keamanan, kesehatan, pangan). | Masyarakat merasa pemerintah dunia tidak kredibel dan mulai mencari alternatif keamanan privat. | Disintegrasi kepatuhan hukum; munculnya milisi lokal. |
| Ekonomi Konflik | “Kutukan sumber daya” dan kompetisi antar elit untuk menguasai rente ekonomi global. | Munculnya “violence entrepreneurs” yang membiayai pemberontakan melalui pasar gelap. | Perang berkepanjangan yang didorong oleh motif keserakahan (greed), bukan hanya keluhan (grievance). |
| Fragmentasi Institusional | “Multiplisitas institusional” di mana aturan informal lokal lebih kuat dari hukum global. | Warga beralih ke struktur kekuasaan de facto (seperti geng atau kelompok sektarian) untuk bertahan hidup. | Lumpuhnya efektivitas administratif pusat di wilayah-wilayah marjinal. |
| Krisis Autoritarian | Represi yang terlalu berat atau terlalu ringan terhadap perbedaan pendapat. | Represi berat memicu radikalisasi; represi lemah mendorong kudeta atau pembangkangan massa. | Ketidakstabilan kepemimpinan dan ancaman penggulingan oleh faksi internal militer. |
Penelitian mengenai kegagalan negara bangsa saat ini memberikan wawasan tentang bagaimana sebuah negara dunia dapat runtuh. Negara gagal ketika mereka kehilangan monopoli atas kekerasan dan tidak lagi mampu memberikan keamanan manusia kepada warganya. Jika sebuah pemerintahan global yang sentralistik gagal mengelola ketegangan etno-religius atau ketimpangan ekonomi yang ekstrem, planet ini akan terjebak dalam maelstrom konflik anomik yang tidak memiliki penengah dari luar. Dalam skenario ini, perdamaian yang dijanjikan justru berubah menjadi kekacauan global tanpa akhir yang jelas.
Bayang-bayang Sastra Dystopian: Peringatan bagi Persatuan Global
Visi sastra dystopian seperti 1984 karya George Orwell dan Brave New World karya Aldous Huxley tetap menjadi peringatan paling relevan mengenai sisi gelap persatuan global. Kedua novel ini menggambarkan masyarakat yang telah mencapai stabilitas dan “perdamaian” melalui penghancuran esensi kemanusiaan.
Dalam 1984, perdamaian dipertahankan melalui perang yang direkayasa antar tiga negara super (Oceania, Eurasia, Eastasia) untuk membakar surplus produksi dan menjaga populasi dalam keadaan miskin serta ketakutan. Di sini, kebebasan adalah perbudakan, dan ketidaktahuan adalah kekuatan. Partai menggunakan kontrol sejarah yang absolut—seperti yang dilakukan oleh protagonis Winston Smith di Kementerian Kebenaran—untuk memastikan bahwa tidak ada kebenaran objektif yang bisa digunakan sebagai dasar pemberontakan.
Sebaliknya, Brave New World menawarkan model kontrol yang lebih halus namun tidak kalah mengerikan: kontrol melalui kesenangan dan pengkondisian biologis. Negara Dunia dalam visi Huxley menghapuskan perang, penyakit, dan kelaparan, namun harganya adalah penghapusan keluarga, seni, agama, dan filsafat. Penduduknya dirancang di “hatcheries” untuk mencintai peran kasta mereka masing-masing dan dialihkan perhatiannya dari realitas oleh hiburan sensorik tanpa akhir dan penggunaan obat-obatan penenang bernama soma. Dalam dunia ini, “kebahagiaan” adalah kewajiban yang dipaksakan secara kimiawi, dan penderitaan yang memberi kedalaman pada pengalaman manusia dianggap sebagai penyakit yang harus diberantas.
Dystopia lainnya seperti “Harrison Bergeron” karya Kurt Vonnegut mengeksplorasi bahaya kesetaraan yang dipaksakan oleh otoritas pusat, di mana individu yang memiliki kelebihan fisik atau intelektual diberikan “handicaps” agar tidak lebih unggul dari orang lain. Tema-tema ini menunjukkan bahwa ambisi untuk menciptakan tatanan yang sempurna dan damai secara universal sering kali berujung pada penghancuran individualitas dan pengejaran standar terendah dari kemanusiaan demi stabilitas kolektif.
Sintesis: Mencari Keseimbangan antara Perdamaian dan Kebebasan
Perjalanan menuju perdamaian dunia adalah sebuah navigasi antara dua jurang yang berbahaya: anarki perang antarnegara yang menghancurkan dan tirani pemerintahan dunia yang membekukan jiwa. Analisis ini menunjukkan bahwa meskipun penaklukan global atau otoritas tunggal dunia tampak sebagai solusi pragmatis untuk mengakhiri kekerasan fisik, biaya sistemiknya sangat besar dan berpotensi tidak dapat dipulihkan.
Paradoks keamanan dan kebebasan menginstruksikan bahwa setiap langkah menuju sentralisasi kekuasaan harus diimbangi dengan mekanisme akuntabilitas yang setara dan hak untuk berbeda pendapat. Federasi Kantian, meskipun sulit diwujudkan, menawarkan visi yang lebih manusiawi dibandingkan Leviathan Global Hobbesian. Stabilitas yang autentik tidak dapat dicapai melalui penindasan identitas lokal atau pengawasan algoritma, melainkan melalui pengakuan terhadap hak-hak kosmopolitan dan prinsip-prinsip republik yang melibatkan partisipasi aktif warga dunia.
Risiko “despotisme tanpa jiwa” yang diprediksi oleh Kant, dikombinasikan dengan ancaman Manusia Terakhir Nietzschean dan pengawasan digital modern, menuntut kita untuk mendefinisikan kembali apa yang kita maksud dengan “perdamaian”. Jika perdamaian hanyalah ketiadaan tembakan senjata namun dibayar dengan hilangnya kreativitas, kebebasan berpikir, dan keragaman budaya, maka itu bukanlah kedamaian manusia, melainkan kedamaian kuburan atau kedamaian di dalam kandang yang nyaman.
Sebagai kesimpulan, perdamaian abadi harus dipandang sebagai sebuah proses regulatif yang terus-menerus—sebuah misi untuk membangun hukum internasional yang adil tanpa menghancurkan kedaulatan moral individu. Harga dari perdamaian dunia tidak boleh berupa penyerahan martabat manusia kepada mesin birokrasi global yang dingin. Masa depan tatanan dunia mungkin tidak terletak pada satu pusat otoritas tunggal, melainkan pada jaringan kerjasama multipolar yang cukup kuat untuk mencegah agresi namun cukup terbuka untuk membiarkan cahaya keragaman manusia tetap bersinar. Hanya dengan menjaga ketegangan kreatif antara persatuan dan perbedaan inilah, umat manusia dapat mencapai stabilitas tanpa harus mengorbankan jiwa peradabannya.
