Fenomena kembalinya politik “orang kuat” atau strongman politics dalam dua dekade terakhir merupakan paradoks yang paling mencolok dalam perkembangan politik global kontemporer. Berbeda dengan era Perang Dingin di mana para pemimpin otoriter biasanya naik melalui kudeta militer atau perebutan kekuasaan secara paksa, pemimpin strongman modern justru lahir dari rahim sistem demokrasi itu sendiri. Mereka memenangkan pemilu yang kompetitif, namun segera setelah menjabat, mereka menggunakan mandat populer tersebut untuk membongkar institusi-institusi demokrasi yang membatasi kekuasaan mereka. Laporan V-Dem Institute dan Freedom House secara konsisten menunjukkan bahwa dunia sedang berada dalam “gelombang ketiga autokratisasi,” di mana jumlah negara yang mengalami kemunduran demokrasi jauh melampaui negara yang mengalami kemajuan.

Secara konseptual, seorang strongman adalah tipe pemimpin otoriter yang menjalankan kendali melalui kekuatan militer atau aparat keamanan, namun dalam konteks modern, mereka sering kali mengklaim memiliki dukungan populer yang luas. Mereka menggambarkan diri mereka sebagai satu-satunya sosok yang mampu menyelesaikan masalah negara dan sering kali menunjukkan penghinaan terhadap prinsip-prinsip liberalisme dan demokrasi formal. Rezim yang dipimpin oleh strongman cenderung lebih berisiko melakukan pelanggaran hak asasi manusia, memicu konflik internasional, dan mengalami perang saudara dibandingkan dengan rezim yang bersifat kolektif seperti junta militer atau sistem kepartaian yang mapan. Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh pemimpin jenis ini adalah “dilema orang kuat,” yaitu kesulitan dalam membangun penerus tanpa menciptakan rival politik yang berpotensi memenjarakan mereka setelah turun dari jabatan, yang sering kali berujung pada praktik penunjukan anggota keluarga di posisi-posisi strategis.

Dinamika Global: Gelombang Ketiga Autokratisasi

Data statistik dari V-Dem Institute tahun 2025 memberikan gambaran yang suram mengenai kondisi demokrasi dunia. Untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua dekade, jumlah negara autokrasi telah melampaui jumlah negara demokrasi. Sebanyak 91 negara saat ini diklasifikasikan sebagai autokrasi, yang mencakup 72% dari populasi dunia atau sekitar 5,8 miliar orang. Ini adalah persentase populasi tertinggi yang hidup di bawah rezim otoriter sejak tahun 1978. Sebaliknya, demokrasi liberal, yang merupakan bentuk pemerintahan paling inklusif, kini berada pada level terendah dalam 50 tahun terakhir, dengan hanya 29 negara yang tersisa di kategori ini.

Status Rezim Global (V-Dem 2025) Jumlah Negara Persentase Populasi Dunia
Autokrasi Tertutup 35 28%
Autokrasi Elektoral 56 44%
Demokrasi Elektoral 59 17%
Demokrasi Liberal 29 11%

Kemunduran ini tidak terjadi secara tiba-tiba melainkan melalui proses yang sistematis yang disebut sebagai democratic backsliding atau autokratisasi. Sebanyak 45 negara tercatat sedang berada dalam episode autokratisasi pada tahun 2024, meningkat drastis dibandingkan hanya 12 negara pada dua dekade lalu. Menariknya, 27 dari 45 negara yang sedang mengalami autokratisasi ini awalnya adalah negara demokrasi, namun 67% di antaranya gagal mempertahankan status demokrasi mereka dan jatuh ke dalam kategori autokrasi. Indikator yang paling sering diserang dalam proses ini adalah kebebasan berekspresi, yang mengalami penurunan di 44 negara, diikuti oleh pelemahan integritas pemilihan umum dan kebebasan berserikat.

Anatomi Populisme Otoriter: Mekanisme Narasi Us vs Them

Inti dari daya tarik pemimpin strongman modern adalah ideologi populisme yang sering kali bersifat “tipis” (thin ideology), yang membagi masyarakat secara tajam menjadi dua kelompok yang saling bertentangan secara moral: “rakyat yang murni” dan “elit yang korup”. Populisme bukan sekadar gaya politik, melainkan strategi mobilisasi yang menawarkan representasi simbolis dari rakyat sebagai satu kesatuan yang utuh, tanpa perbedaan internal. Dalam pandangan populis, mereka adalah satu-satunya pihak yang benar-benar memahami keinginan rakyat, sehingga segala hambatan institusional dianggap sebagai penghalang terhadap kehendak populer.

Narasi “Us vs Them” (Kita vs Mereka) berfungsi sebagai instrumen utama untuk menciptakan polarisasi yang mendalam. Populisme sayap kanan sering kali menambahkan dimensi eksklusi terhadap minoritas, imigran, atau kelompok yang dianggap tidak selaras dengan nilai-nilai tradisional bangsa. Mereka menggunakan retorika ketakutan, menggambarkan kelompok luar sebagai predator atau ancaman terhadap keamanan nasional dan identitas budaya. Sebaliknya, populisme sayap kiri lebih memfokuskan musuh pada struktur ekonomi seperti korporasi besar, lembaga keuangan internasional, dan sistem kapitalis yang dianggap merugikan kelas pekerja.

Dimensi Perbandingan Populisme Sayap Kanan Populisme Sayap Kiri
Identitas “Kita” Etnis/Nasionalitas/Agama mayoritas. Kelas pekerja/Masyarakat marginal ekonomi.
Musuh “Mereka” Imigran, minoritas, elit globalis, EU/UN. Oligarki, korporasi besar, kapitalisme global.
Isu Utama Imigrasi, kedaulatan budaya, hukum & ketertiban. Redistribusi kekayaan, jaminan sosial, anti-austeritas.
Gaya Kepemimpinan Tradisionalis, maskulin, nasionalistik. Egalitarian, anti-kapitalis, partisipatif.

Secara sosiopsikologis, narasi ini memanfaatkan kecenderungan manusia untuk mencari keamanan di dalam kelompok sendiri (in-group) saat menghadapi ancaman dari luar (out-group). Ketimpangan ekonomi yang ekstrem dan sistem politik yang dianggap rusak meninggalkan banyak orang dalam kecemasan, yang kemudian disalurkan oleh pemimpin strongman menjadi kemarahan terhadap kelompok-kelompok tertentu. Pemimpin populis sering kali menggunakan bahasa yang kasar, merakyat (folksy), dan “asli” untuk memproyeksikan otentisitas dan membangun ikatan karismatik langsung dengan massa, melewati perantara institusional tradisional seperti partai politik atau media arus utama.

Disrupsi Digital dan Evolusi Media Populisme

Era digital telah memberikan senjata baru yang sangat efektif bagi para calon pemimpin strongman. Platform media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Telegram memungkinkan para pemimpin untuk berkomunikasi secara langsung dengan pengikut mereka tanpa penyaringan editorial dari jurnalisme profesional. Fenomena ini disebut sebagai “disintermediasi digital,” di mana institusi yang memiliki otoritas pengetahuan seperti akademi dan pers didelegitimasikan sebagai bagian dari “elit yang berkonspirasi”.

Kepemimpinan strongman di era digital juga ditandai dengan “celebritization of politics,” di mana pemimpin membangun citra publik layaknya selebritas melalui interaksi multi-platform yang konstan. Mereka menggunakan platform digital sebagai “termometer politik” untuk merespons dan menyerang lawan secara real-time, menciptakan narasi yang dramatis dan spektakuler untuk menarik perhatian dalam “ekonomi atensi”. Strategi ini melibatkan pembuatan “gelembung filter” (filter bubbles), di mana algoritma platform menyajikan konten yang hanya memperkuat bias pengguna, sehingga memperdalam polarisasi dan menutup ruang bagi dialog lintas kelompok.

Penggunaan disinformasi dan teori konspirasi menjadi taktik rutin. Misalnya, selama pandemi COVID-19, pemimpin seperti Jair Bolsonaro di Brasil memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan posisi negasionis terhadap protokol kesehatan dan mempromosikan pengobatan yang tidak memiliki dasar ilmiah, yang dikenal sebagai “populisme medis”. Melalui media sosial, pemimpin juga dapat memobilisasi pendukung secara cepat untuk menyerang institusi atau lawan politik, baik secara digital maupun fisik, seperti yang terlihat dalam insiden penyerbuan Capitol di Amerika Serikat pada Januari 2021.

Studi Kasus Regional: Eropa Timur dan Model Demokrasi Iliberal

Hungaria di bawah kepemimpinan Viktor Orbán telah menjadi laboratorium bagi apa yang disebut sebagai “demokrasi iliberal”. Orbán kembali berkuasa pada tahun 2010 dengan memanfaatkan ketidakpercayaan publik terhadap politik liberal pasca krisis keuangan 2008. Sejak saat itu, ia secara sistematis melemahkan prinsip-prinsip liberal dalam demokrasi melalui kebijakan pengisian pengadilan (court-packing), penguasaan media oleh loyalis rezim, dan pelemahan sistem checks and balances.Secara ideologis, Orbán mempromosikan pandangan dunia yang berpusat pada kedaulatan nasional, nilai-nilai Kristen, dan penolakan terhadap multikulturalisme serta imigrasi. Ia berargumen bahwa demokrasi liberal gagal melindungi keluarga tradisional dan kedaulatan bangsa, sementara “demokrasi Kristen” versinya adalah konsep yang secara inheren iliberal karena memberikan prioritas pada budaya nasional di atas pluralisme. Model ini sangat menarik bagi masyarakat Hungaria yang merasa kecewa dengan hasil transisi 1989, yang ditandai dengan meningkatnya kesenjangan sosial dan ketidakstabilan ekonomi.

Analisis terhadap perilaku pemilih dalam demokrasi iliberal dapat dijelaskan melalui model utilitas yang menyeimbangkan kebebasan dan keamanan ekonomi. Dalam masa krisis, pemilih cenderung lebih menghargai keamanan daripada kebebasan sipil.

Secara matematis, jika koefisien alpha dan beta meningkat tajam akibat krisis atau persepsi ancaman, pemilih bersedia menoleransi pengurangan kebebasan (gamma \cdot Liberty$) demi mendapatkan janji keamanan dan kemakmuran dari pemimpin strongman.28 Namun, risiko jangka panjangnya adalah pemimpin tersebut akan menggunakan kekuasaannya untuk memanipulasi informasi, sehingga mengurangi akuntabilitas elektoral dan berpotensi berubah menjadi autokrasi penuh.

Slowakia juga menunjukkan pola serupa di bawah Robert Fico. Setelah kembali berkuasa pada tahun 2023, pemerintahan Fico mengambil langkah-langkah cepat untuk melemahkan sistem peradilan dengan membubarkan Kantor Jaksa Khusus yang menangani korupsi tingkat tinggi dan mengganti pimpinan lembaga-lembaga publik secara sepihak. Fico menggunakan narasi “Lex Assassination” dan retorika anti-NGO untuk membatasi ruang gerak masyarakat sipil, sambil mengadopsi narasi Rusia dalam kebijakan luar negerinya untuk menarik simpati pemilih tradisionalis.

Dinamika Politik Strongman di Benua Amerika

Di Amerika Latin, fenomena strongman termanifestasi secara kuat di Brasil dan Meksiko. Jair Bolsonaro di Brasil memenangkan pemilihan presiden 2018 dengan memanfaatkan kemarahan publik terhadap korupsi dan krisis ekonomi. Gaya kepemimpinannya ditandai dengan maskulinitas yang agresif, militerisme, dan serangan konstan terhadap pers serta minoritas. Bolsonaro menggunakan sejarah militer Brasil sebagai alat kekuasaan, merancang narasi nostalgia untuk masa kediktatoran militer guna membangun identitas kelompok yang nasionalistik dan reaksioner.

Meksiko di bawah Andrés Manuel López Obrador (AMLO) menunjukkan bentuk lain dari aggrandizement eksekutif. Menjelang akhir masa jabatannya pada tahun 2024, AMLO meluncurkan “Plan C” yang secara drastis mengubah sistem peradilan Meksiko dengan mengganti ribuan hakim melalui pemilihan populer. Langkah ini dianggap oleh banyak pakar hukum sebagai upaya untuk menghancurkan kemandirian yudisial, karena hakim-hakim tersebut akan lebih rentan terhadap pengaruh politik dan kelompok kepentingan. AMLO secara konsisten memangkas anggaran lembaga pengawas pemilu independen (INE) dan menggunakan platform harian “mañanera” untuk menyerang lawan politik serta jurnalis kritis.

Amerika Serikat sendiri tidak imun terhadap tren ini. Donald Trump dipandang sebagai model pola dasar bagi generasi baru pemimpin strongman modern. Trump menggunakan narasi populisme untuk mengeksploitasi keluhan kultural dan rasa kehilangan status di antara kelompok-kelompok tertentu, terutama pemilih kulit putih di pedesaan. Serangannya terhadap norma-norma konstitusional dan upayanya untuk mengesampingkan pembatasan institusional telah meninggalkan jejak yang mendalam pada sejarah politik AS, memberikan jalan bagi gerakan masa depan yang ingin mendiskreditkan kendali pemerintahan.

Mengapa Masyarakat Merindukan Sosok yang Dominan?

Fenomena kerinduan terhadap pemimpin dominan berakar pada rasa frustrasi yang mendalam terhadap kinerja demokrasi perwakilan. Survei global menunjukkan bahwa mayoritas orang merasa sistem politik mereka membutuhkan perubahan besar, namun mereka ragu hal itu bisa terjadi melalui mekanisme normal. Di banyak negara berpendapatan tinggi, kepuasan terhadap demokrasi terus menurun sejak tahun 2021.

Ketidakpastian ekonomi merupakan pendorong utama. Globalisasi telah menciptakan “pemenang” dan “pecundang,” di mana banyak pekerja di sektor industri tradisional merasa ditinggalkan oleh kemajuan teknologi dan perdagangan internasional. Ketika sistem demokrasi gagal memberikan dividen ekonomi yang adil, masyarakat cenderung mencari “penyelamat” yang menjanjikan solusi sederhana untuk masalah yang sangat kompleks.

Faktor Pendorong Dukungan Strongman Penjelasan Mekanisme Sosiopsikologis
Kekecewaan Ekonomi Persepsi bahwa sistem ekonomi “dicurangi” oleh elit mengarah pada keinginan untuk redistribusi paksa.
Kebutuhan akan Ketertiban Di tengah krisis (kesehatan, keamanan, ekonomi), pemimpin tegas dianggap lebih mampu memberikan stabilitas.
Resentimen Status Kelompok dominan yang merasa kehilangan pengaruh budaya mendukung pemimpin yang menjanjikan restorasi nilai lama.
Kelelahan Pandemi Kelelahan akibat pembatasan jangka panjang selama COVID-19 memicu distrust terhadap otoritas teknokratis.

“Democratic fatigue syndrome” (sindrom kelelahan demokrasi) muncul ketika beragam kelompok sosial kehilangan kepercayaan bukan hanya pada institusi tertentu, tetapi pada ide demokrasi liberal itu sendiri. Masyarakat merasa bahwa deliberasi publik terlalu lambat dan tidak membuahkan hasil nyata, sehingga mereka lebih memilih “keputusan cepat” dari seorang pemimpin yang dianggap mampu memulihkan tatanan dunia yang dirasa telah “lepas kendali”. Kelelahan ini juga diperparah oleh krisis-krisis yang tumpang tindih, seperti krisis keuangan 2008, krisis migran 2015, dan pandemi 2020, yang semuanya dianggap sebagai kegagalan sistem liberal dalam memberikan perlindungan bagi warga negara.

Kinerja Pemerintahan dalam Krisis: Demokrasi vs Otoritarianisme

Sering kali terdapat asumsi bahwa pemimpin otoriter atau sistem “satu partai” lebih efektif dalam menangani krisis mendadak karena kemampuannya dalam memobilisasi sumber daya tanpa hambatan oposisi. Namun, riset empiris selama pandemi COVID-19 menunjukkan hasil yang berbeda. Demokrasi liberal secara umum memiliki tingkat kematian yang lebih rendah per 100.000 kasus dibandingkan dengan rezim otoriter atau semi-otoriter.

Keunggulan demokrasi dalam krisis terletak pada transparansi dan aliran informasi yang bebas, yang memungkinkan koreksi kebijakan secara cepat dan partisipasi masyarakat yang lebih sukarela. Sebaliknya, pemimpin strongman cenderung meremehkan fakta ilmiah yang tidak selaras dengan narasi politik mereka, melakukan manajemen krisis yang Disorderly (tidak teratur), dan lebih fokus pada menyalahkan pihak lain (media, ahli, atau pemerintah daerah) untuk menghindari tanggung jawab politik.

Aspek Manajemen Krisis Pendekatan Demokrasi Liberal Pendekatan Strongman / Populis
Basis Keputusan Bukti ilmiah dan saran ahli teknokratis. Intuisi pemimpin dan kepentingan politik jangka pendek.
Komunikasi Transparan, jujur, dan empatik untuk membangun kepercayaan. Polarisasi, spectaclularization, dan penyebaran rumor.
Akuntabilitas Mekanisme checks and balances tetap berfungsi. Pengabaian struktur pengawas dan sentralisasi kekuasaan.
Partisipasi Publik Adhesi sukarela melalui pemahaman informasi. Mobilisasi massa berbasis identitas dan ancaman.

Data menunjukkan bahwa negara-negara dengan kapasitas negara yang kuat, tanpa memandang rezim, memang memiliki peluang keberhasilan yang lebih tinggi. Namun, dalam konteks efisiensi jangka panjang, demokrasi yang mengedepankan tata kelola yang forward-looking dan partisipatif terbukti lebih resilien terhadap guncangan eksternal.

Resiliensi dan Strategi Pembalikan Demokratis

Meskipun tren global menunjukkan kemunduran, terdapat fenomena “democratic turnarounds” di mana autokratisasi berhasil dihentikan dan dibalikkan. Sekitar 48% dari semua episode autokratisasi sejak tahun 1900 berakhir dengan pembalikan demokratis, dan angka ini meningkat menjadi 70% dalam tiga dekade terakhir. Kasus Polandia dan Brasil pada tahun 2023-2024 memberikan harapan bahwa demokrasi dapat dipulihkan melalui mobilisasi massa dan kemandirian institusi pemilu.

Di Polandia, Donald Tusk memimpin aliansi pro-demokrasi untuk mengakhiri delapan tahun pemerintahan populisme iliberal partai Law and Justice (PiS). Namun, pemulihan ini tidak mudah. Pemerintahan baru menghadapi tantangan hukum untuk mendemokratisasi kembali lembaga-lembaga yang telah diisi oleh loyalis rezim lama tanpa melanggar prinsip supremasi hukum yang mereka junjung tinggi. Di Brasil, kembalinya Lula da Silva telah memulihkan kebebasan media dan perlindungan lingkungan, meskipun negara tersebut tetap terbelah secara politik antara pendukung sayap kiri dan pengikut setia Bolsonaro.

Untuk memperkuat resiliensi demokrasi di masa depan, beberapa strategi utama diidentifikasi:

  1. Penguatan Guardrails Institusional: Mengkodifikasi norma-norma demokrasi menjadi hukum formal, memperkuat independensi yudisial, dan menjamin integritas lembaga penyelenggara pemilu.
  2. Narasi Inklusif dan Aspirational: Melawan narasi “Us vs Them” dengan diskursus yang menekankan nilai-nilai bersama, kedaulatan warga negara, dan optimisme masa depan daripada sekadar nostalgia masa lalu.
  3. Penyampaian Dividen Ekonomi Nyata: Demokrasi harus membuktikan kemampuannya dalam menciptakan kemakmuran bagi kelas menengah dan kelompok rentan untuk mengurangi daya tarik janji populis.
  4. Literasi Digital dan Audit Algoritma: Memastikan platform digital transparan dalam cara kerja algoritma mereka dan mengedukasi warga agar mampu memilah informasi dari disinformasi.
  5. Desentralisasi Kekuasaan: Menggeser kewenangan pengambilan keputusan ke tingkat lokal untuk membawa pemerintahan lebih dekat dengan warga dan mencegah pemusatan kekuasaan yang ekstrim di tangan eksekutif.

Kembalinya strongman politics adalah pengingat bahwa demokrasi bukanlah tujuan akhir yang statis, melainkan proses yang harus terus diperjuangkan dan dirawat. Masyarakat merindukan pemimpin yang kuat ketika mereka merasa sistem yang ada telah gagal melindungi mereka. Tantangan bagi para pembela demokrasi saat ini bukan hanya menentang sosok pemimpin otoriter, tetapi membuktikan bahwa demokrasi liberal mampu memberikan keamanan, martabat, dan keadilan bagi seluruh rakyat tanpa harus mengorbankan kebebasan yang menjadi pondasi kemanusiaan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

81 − 71 =
Powered by MathCaptcha