Dinamika ekonomi global pada pertengahan dekade 2020-an menandai berakhirnya era hiper-globalisasi yang didorong oleh efisiensi tanpa batas, bergeser menuju fenomena yang kini dikenal sebagai glokalisasi atau slowbalization. Setelah puluhan tahun integrasi pasar global dianggap sebagai keniscayaan, dunia kini menyaksikan pembalikan arah di mana kebijakan ekonomi nasional dan keamanan strategis mulai mengungguli prinsip perdagangan bebas tradisional. Fenomena ini bukan sekadar perlambatan aktivitas ekonomi transnasional, melainkan redefinisi fundamental terhadap bagaimana barang, modal, dan teknologi bergerak melintasi batas negara. Arsitektur ekonomi dunia yang dulunya bersifat unipolar dan terpusat pada aturan multilateral kini pecah menjadi blok-blok regional yang saling bersaing, dipicu oleh kebangkitan proteksionisme di Barat dan konsolidasi kekuatan baru di Global South.

Lanskap Ekonomi Makro dan Ketidakpastian Kebijakan 2025

Memasuki tahun 2025, prospek ekonomi global menunjukkan tren pelemahan yang signifikan. Menurut data terbaru, pertumbuhan ekonomi dunia diproyeksikan melambat dari 3,3% pada tahun 2024 menjadi 2,9% pada tahun 2025 dan 2026. Penurunan ini tidak terjadi secara seragam, melainkan terkonsentrasi di negara-negara ekonomi besar yang menjadi penggerak utama perdagangan global. Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, dan Tiongkok diperkirakan akan mengalami penyesuaian pertumbuhan yang paling tajam seiring dengan meningkatnya hambatan perdagangan dan ketidakpastian kebijakan.

Ketidakpastian ini telah menggeser jalur pertumbuhan yang sebelumnya tangguh menjadi jalur yang lebih rapuh. Sekretaris Jenderal OECD, Mathias Cormann, mencatat bahwa ketidakpastian kebijakan saat ini secara langsung melemahkan investasi dan perdagangan, yang pada gilirannya mengikis kepercayaan konsumen dan bisnis. Fragmentasi perdagangan lebih lanjut, termasuk kenaikan tarif baru dan tindakan pembalasan, dikhawatirkan akan memicu gangguan besar pada rantai pasok lintas batas yang selama ini sangat efisien.

Wilayah / Ekonomi Pertumbuhan PDB 2024 (%) Proyeksi PDB 2025 (%) Proyeksi PDB 2026 (%)
Dunia (Global) 3,3 3,2 2,9
Amerika Serikat 2,8 1,8 1,5
Tiongkok 5,0 4,9 4,4
Kawasan Euro 0,8 1,2 1,0
ASEAN 4,6 4,2 4,5

Sumber: Diolah dari OECD Interim Economic Outlook dan IMF World Economic Outlook 2025.

Data di atas menunjukkan bahwa meskipun ekonomi global tetap menunjukkan ketahanan tertentu, dampak penuh dari tarif yang lebih tinggi dan ketidakpastian kebijakan belum sepenuhnya dirasakan oleh pasar. Di Amerika Serikat, pertumbuhan diperkirakan akan melambat drastis menjadi 1,5% pada tahun 2026, sementara Tiongkok terus mengalami moderasi pertumbuhan di bawah level 5%. Kontradiksi ini menciptakan tekanan pada bank sentral untuk tetap waspada terhadap tekanan harga yang mungkin timbul kembali akibat kenaikan biaya perdagangan.

Doktrin America First dan Transformasi Proteksionisme

Salah satu pilar utama yang mendorong fenomena “menciutnya” globalisasi adalah kembalinya kebijakan “America First” di bawah pemerintahan Amerika Serikat pada tahun 2025. Kebijakan ini mewakili pergeseran radikal dari pendekatan liberal yang telah mendominasi kebijakan luar negeri AS selama hampir satu abad. Fokus utamanya adalah pembangunan kembali basis manufaktur domestik melalui apa yang disebut sebagai “Ekonomi Produksi” (Production Economy).

Restrukturisasi Perdagangan Melalui Agenda 2025

Agenda kebijakan perdagangan AS tahun 2025 secara eksplisit menempatkan kepentingan nasional di atas komitmen multilateral. Pemerintah AS menargetkan tiga sasaran utama: peningkatan pangsa sektor manufaktur dalam PDB, kenaikan pendapatan rumah tangga median riil, dan penurunan defisit perdagangan barang yang telah melampaui angka satu triliun dolar. Untuk mencapai hal ini, AS menggunakan tarif sebagai alat legitimasi kebijakan publik guna menekan negara-negara yang dianggap mengambil keuntungan dari keterbukaan pasar AS tanpa memberikan perlakuan timbal balik yang adil.

Salah satu mekanisme yang paling kontroversial adalah pengenalan kebijakan “Tarif Timbal Balik” (Reciprocal Tariff). Kebijakan ini menuntut AS untuk mengenakan tarif yang sama pada barang impor dari mitra dagang sebagaimana mitra dagang tersebut mengenakan tarif pada produk AS.7 Strategi ini tidak hanya bertujuan untuk menyesuaikan tarif, tetapi juga untuk menargetkan subsidi industri, pajak pertambahan nilai, dan hambatan non-tarif lainnya yang dianggap merugikan ekspor AS.

Dampak Terhadap Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)

Kebijakan unilateral AS ini telah menempatkan WTO dalam posisi krisis yang mendalam. Sejak tahun 2019, AS telah menghambat penunjukan hakim baru pada Badan Banding WTO, yang secara efektif melumpuhkan mekanisme penyelesaian sengketa organisasi tersebut. Pada tahun 2025, sikap ini semakin mengeras dengan adanya laporan yang mempertanyakan nilai partisipasi berkelanjutan AS dalam WTO. Kritik utama AS terhadap WTO adalah adanya tuduhan “pelampauan batas” (overreach) oleh badan sengketa yang menciptakan kewajiban baru di luar aturan yang telah disepakati, yang dianggap merusak kedaulatan nasional.

Ketegangan ini telah memicu “statis pengambilan keputusan” di tingkat global, di mana negara-negara mulai beralih dari kerangka kerja multilateral menuju perjanjian perdagangan preferensial dan bilateral untuk mendefinisikan kondisi akses pasar. Akibatnya, otoritas dan stabilitas sistem perdagangan multilateral yang selama ini menjadi landasan globalisasi semakin terkikis, menciptakan ketidakpastian makroekonomi dan ketidakstabilan di pasar keuangan.

Kebangkitan BRICS Plus: Kekuatan Penyeimbang Orde Baru

Di saat Barat cenderung menarik diri dari keterbukaan pasar, blok ekonomi yang dipimpin oleh Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan (BRICS) justru memperluas pengaruhnya. Pada Januari 2025, keanggotaan blok ini berkembang secara resmi menjadi BRICS-10 dengan bergabungnya Mesir, Ethiopia, Iran, Uni Emirat Arab, dan Indonesia. Ekspansi ini bukan sekadar simbolis, melainkan representasi dari pergeseran serius dalam keseimbangan kekuatan ekonomi global ke arah Timur dan Selatan.

Perbandingan Kekuatan Ekonomi BRICS dan G7

Dominasi ekonomi BRICS kini telah melampaui kelompok negara maju G7 dalam hal kontribusi terhadap PDB global berdasarkan paritas daya beli (Purchasing Power Parity). Data menunjukkan bahwa BRICS menyumbang sekitar 37,3% terhadap PDB global pada tahun 2024, sementara G7 hanya menyumbang sekitar 30%. Selain itu, pangsa BRICS dalam ekspor barang global telah meningkat dari 10,7% pada tahun 2000 menjadi 23,3% pada tahun 2023.

Indikator Ekonomi Kelompok BRICS+ Kelompok G7
Pangsa PDB Global (PPP) 37,3% 30,0%
Populasi Dunia ~40% ~10%
Pangsa Perdagangan Barang Dunia ~20% Menurun secara bertahap
Fokus Strategis 2025 De-dollarisasi, South-South Trade Keamanan Ekonomi, Reshoring

Sumber: Diolah dari IMF, UNCTAD, dan Laporan Tahunan BRICS 2025.

BRICS kini berfungsi sebagai platform bagi negara-negara berkembang untuk berkolaborasi menghadapi tantangan global dan mempromosikan kepentingan mereka yang sering kali terabaikan dalam sistem yang didominasi Barat. Solidaritas ini bertujuan untuk membentuk tata kelola ekonomi global yang lebih adil dan inklusif, menciptakan lingkungan di mana semua negara dapat tumbuh bersama tanpa ketergantungan absolut pada “Negara Utara”.

Mekanisme De-dollarisasi dan Integrasi Keuangan

Salah satu agenda paling ambisius dari BRICS adalah de-dollarisasi—pengurangan ketergantungan pada dolar AS dalam transaksi internasional. Motivasi de-dollarisasi dipercepat oleh penggunaan sanksi ekonomi sebagai alat kebijakan luar negeri oleh AS, seperti penghapusan Rusia dari sistem SWIFT, yang mendorong negara lain mencari alternatif yang lebih aman bagi kedaulatan finansial mereka.

Langkah nyata de-dollarisasi pada tahun 2025 mencakup:

  1. Penggunaan Mata Uang Lokal: Tiongkok dan Rusia kini melakukan sebagian besar perdagangan mereka menggunakan yuan dan rubel. India telah mulai membeli minyak Rusia menggunakan rupee, sementara Brasil dan Tiongkok menandatangani kesepakatan penyelesaian perdagangan yuan-real.
  2. Sistem Pembayaran Alternatif: Pengembangan “BRICS Pay”, sebuah sistem pembayaran terdesentralisasi berbasis blockchain, dirancang untuk menghubungkan sistem keuangan anggota menggunakan mata uang digital bank sentral (CBDC).11 Selain itu, Cross-Border Interbank Payment System (CIPS) milik Tiongkok terus diperluas sebagai tandingan SWIFT.
  3. Institusi Keuangan Tandingan: New Development Bank (NDB) memberikan pendanaan dalam mata uang lokal untuk proyek-proyek pembangunan, sementara Contingent Reserve Arrangement (CRA) dengan dana sebesar USD 100 miliar menyediakan dukungan bersama untuk tekanan neraca pembayaran.
  4. Akumulasi Emas: Bank sentral di seluruh dunia, dipimpin oleh negara-negara BRICS, mencatat rekor pembelian emas bersejarah. Pada tahun 2024, pembelian emas mencapai 1.045 metrik ton, dan tren ini diprediksi berlanjut pada tahun 2025 sebagai benteng terakhir di tengah ketidakpastian moneter.

Meskipun de-dollarisasi masih menghadapi hambatan struktural—seperti kedalaman pasar modal AS yang tak tertandingi—pergeseran ini dianggap sebagai transformasi lambat namun tak terelakkan yang akan mengubah tatanan moneter global dalam satu dekade mendatang.

Fragmentasi Rantai Pasok dan Geopolitik Regionalisme

Fragmentasi geo-ekonomi telah memaksa perusahaan global untuk mendesain ulang strategi operasional mereka. Ambisi untuk memaksimalkan efisiensi biaya melalui rantai pasok global yang panjang kini digantikan oleh prioritas pada ketahanan (resilience), keamanan, dan otonomi strategis. Fenomena ini telah melahirkan terminologi baru dalam perdagangan internasional: near-shoring, friend-shoring, dan reshoring.

Pergeseran Model Produksi: Dari Global ke Regional

Selama empat dekade terakhir, perdagangan internasional bergerak berdasarkan rute terpendek dan biaya terendah. Namun, pada tahun 2025, sistem ini berorganisasi kembali menjadi “geometri ekonomi” yang berbeda, di mana klaster negara mengintensifkan perdagangan di antara mereka sendiri berdasarkan penyelarasan politik dan komplementaritas industri.

  • Near-shoring: Perusahaan memindahkan operasi ke negara terdekat untuk mengurangi biaya logistik dan waktu pengiriman. Meksiko telah menjadi penerima manfaat utama dari tren ini bagi pasar AS, sementara Vietnam menjadi hub bagi pasar Asia-Pasifik.
  • Friend-shoring: Lokasi bisnis dipilih berdasarkan kekuatan hubungan diplomatik untuk memitigasi risiko geopolitik. Contoh nyata adalah relokasi lebih dari 25% perakitan iPhone milik Apple ke India pada tahun 2025 guna mengurangi ketergantungan pada Tiongkok.
  • Reshoring: Langkah membawa kembali kapasitas manufaktur ke negara asal perusahaan untuk memastikan keamanan pasokan komponen kritis, terutama di sektor semikonduktor, energi bersih, dan pertahanan.

Munculnya “Negara Penghubung” (Connector Countries)

Di tengah persaingan antara AS dan Tiongkok, muncul sekelompok negara yang berperan sebagai jembatan atau “konektor”. Negara-negara seperti Meksiko, Vietnam, dan Indonesia memanfaatkan otonomi strategis mereka untuk memediasi perdagangan antara dua ekonomi besar yang tengah membatasi interdependensi langsung mereka. Hal ini memungkinkan aliran perdagangan tetap berlangsung, meskipun melalui jalur yang lebih berliku dan sering kali lebih mahal, yang pada gilirannya dapat berkontribusi pada tekanan inflasi global.

Tabel berikut menunjukkan pertumbuhan partisipasi negara dalam blok regional yang menunjukkan tren fragmentasi:

Nama Blok Ekonomi Jumlah Anggota 2025 Fokus Strategis Utama Volume Perdagangan (USD)
RCEP 15 Manufaktur & Perdagangan Digital 12,7 Triliun
IPEF 14 Ketahanan Rantai Pasok & Standar 9,1 Triliun
BRICS+ 11 De-dollarisasi & Kerjasama Selatan 6,2 Triliun
USMCA 3 Integrasi Manufaktur Amerika Utara Tinggi

Sumber: Diolah dari World Bank, WTO, dan IMF Direction of Trade Statistics 2025.

Fragmentasi ini juga mendorong meningkatnya nasionalisme sumber daya, di mana negara-negara semakin menegaskan kendali atas sumber daya alam mereka melalui pembatasan ekspor, nasionalisasi, atau peningkatan royalti untuk melindungi industri dalam negeri mereka.

Posisi Strategis Indonesia: Navigasi di Antara Dua Karang

Sebagai negara dengan ekonomi terbuka dan keterlibatan aktif dalam perdagangan internasional, Indonesia menghadapi tekanan serius dari persaingan blok-blok besar ini. Namun, Indonesia juga memiliki peluang besar jika mampu menjalankan strategi diplomasi ekonomi yang cerdas dan adaptif.

Keanggotaan Indonesia dalam BRICS Plus

Keputusan Indonesia untuk bergabung secara resmi dengan BRICS Plus pada Januari 2025 merupakan langkah strategis untuk memperluas pasar ekspor dan memperkuat fondasi ekonomi nasional. Dukungan terhadap keanggotaan ini didorong oleh aspirasi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8% dan memastikan suara “Global-South” terwakili dalam pengambilan keputusan internasional.

Namun, keanggotaan ini juga membawa risiko retaliasi dagang dari Barat. AS di bawah pemerintahan Trump telah mengancam pengenaan tarif hingga 100% pada negara-negara BRICS jika mereka menciptakan mata uang bersama. Oleh karena itu, Indonesia perlu memposisikan diri sebagai “kekuatan moderat” yang menjaga keseimbangan antar anggota dan tetap menjalin hubungan baik dengan blok OECD/Barat. Strategi ini sering digambarkan sebagai “mendayung di antara dua karang”, sebuah tugas berat untuk menjaga kedaulatan ekonomi tanpa mengasingkan mitra dagang utama.

Peran ASEAN Sebagai Pilar Stabilitas

Kawasan ASEAN tetap menjadi pilar stabilitas di tengah gejolak ekonomi dunia, dengan ekonomi yang telah melampaui USD 4 triliun—memposisikannya sebagai kekuatan ekonomi keempat terbesar di dunia. Pada tahun 2025, ASEAN diproyeksikan tumbuh 4,2%, jauh di atas rata-rata global. Indonesia, sebagai pemimpin de facto ASEAN, menekankan pentingnya solidaritas regional dan penguatan sistem perdagangan multilateral di kawasan melalui RCEP.

Kerjasama strategis dengan Jepang melalui pendekatan “co-creation” juga diperkuat untuk membangun ketahanan kawasan dalam menghadapi disrupsi global, mencakup transformasi digital (AI Roadmap), energi hijau (pengembangan ekosistem EV), dan konektivitas rantai pasok yang tangguh. Kepercayaan bisnis terhadap ASEAN tetap tinggi, dengan lebih dari 60% perusahaan di kawasan berencana memperluas investasi mereka, mencerminkan daya saing jangka panjang kawasan ini.

Krisis dan Peluang Hilirisasi Nikel Indonesia

Kebijakan hilirisasi industri nikel merupakan pilar utama diplomasi ekonomi Indonesia untuk memperkuat posisi tawar dalam rantai pasok global baterai kendaraan listrik (EV). Namun, pada tahun 2025, strategi ini menghadapi tantangan ganda: kondisi pasar yang kelebihan pasokan (oversupply) dan pergeseran teknologi baterai global.

Kondisi Pasar dan Tantangan Oversupply

Ekspansi smelter nikel yang agresif di Indonesia telah menyebabkan lonjakan produksi yang melampaui serapan pasar. Pada tahun 2025, kuota produksi bijih nikel mencapai 364 juta ton, sementara kapasitas serapan smelter hanya sekitar 120 juta ton. Kelebihan pasokan domestik ini, ditambah dengan ekspor nikel Indonesia yang mencapai dua juta ton per tahun, telah menekan harga nikel global hingga turun 40% dalam lima hingga tujuh tahun terakhir.

Penurunan harga ini bahkan sempat menyentuh angka USD 14.330 per ton pada akhir 2024, padahal biaya produksi rata-rata di Indonesia diperkirakan sekitar USD 15.000 per ton. Akibatnya, beberapa fasilitas pengolahan harus menghentikan operasinya karena tidak lagi ekonomis.

Ancaman Teknologi Baterai LFP

Tantangan yang lebih sistemik muncul dari pergeseran preferensi teknologi baterai. Baterai Lithium Iron Phosphate (LFP) kini mulai mendominasi pasar kendaraan listrik karena biayanya yang lebih murah dan keamanan yang lebih baik, meskipun memiliki densitas energi yang lebih rendah dibandingkan baterai berbasis nikel (NMC/NCA).

Data akhir 2025 menunjukkan bahwa sekitar 70% kendaraan listrik Tiongkok telah menggunakan kimia LFP. Inovasi seperti Shenxing Pro dari CATL membuktikan bahwa baterai LFP dapat mencapai jarak tempuh hingga 758 km, menyamai performa sel berbasis nikel tanpa menggunakan nikel atau kobalt sama sekali. Kondisi ini menyebabkan stagnasi dalam permintaan nikel untuk EV, di mana pertumbuhan penyebaran nikel per kendaraan hanya sebesar 1% pada September 2025, dibandingkan kenaikan penggunaan lithium sebesar 7%.

Jenis Baterai Komponen Utama Kelebihan Tantangan
NMC / NCA Nikel, Kobalt, Mangan Densitas energi tinggi, jarak tempuh jauh Biaya tinggi, risiko kebakaran
LFP Besi, Fosfat Murah, aman, siklus hidup panjang Densitas energi rendah (berat)
Sodium-Ion Natrium Sangat murah (USD 10/kWh) Teknologi baru (mass production 2025)

Sumber: Diolah dari Ken Research, CATL Strategy 2025, dan TBI Blog.

Respon Kebijakan: Pengetatan Tata Kelola (PP 28/2025)

Untuk menghadapi tantangan ini, pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 (PP 28/2025) yang membatasi izin investasi baru untuk pembangunan smelter nikel yang hanya memproduksi produk antara (intermediate) seperti feronikel atau NPI. Tujuannya adalah untuk mengarahkan investasi menuju produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi, seperti baja tahan karat atau komponen baterai jadi, guna menstabilkan harga global dan memastikan keberlanjutan industri.

Kementerian ESDM juga menyesuaikan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari tiga tahun menjadi satu tahun sekali agar lebih adaptif terhadap dinamika pasar. Strategi ini diharapkan dapat menyeimbangkan suplai dan permintaan sambil terus memajukan ekosistem baterai terintegrasi melalui proyek-proyek besar seperti Indonesia Battery Integration Project senilai USD 6 miliar yang melibatkan CATL.

Kerangka Kerja IPEF dan Kedaulatan Digital

Selain BRICS, Indonesia juga aktif dalam Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) yang dipimpin oleh AS. Berbeda dengan perjanjian perdagangan tradisional, IPEF tidak fokus pada pemotongan tarif, melainkan pada pembentukan standar dan aturan tinggi untuk memperkuat ketahanan ekonomi kawasan.

Perjanjian Rantai Pasok IPEF 2025

Perjanjian Rantai Pasok IPEF yang mulai operasional penuh pada tahun 2025 bertujuan untuk meningkatkan pemahaman kolektif mengenai risiko rantai pasok yang signifikan. Kerjasama ini mencakup pembentukan “Jaringan Respons Krisis” (Crisis Response Network) yang berfungsi sebagai saluran komunikasi darurat jika terjadi gangguan pasokan barang kritis.

Bagi Indonesia, partisipasi dalam IPEF memberikan peluang untuk:

  • Mendiversifikasi sumber pasokan dan mengurangi ketergantungan pada konsentrasi impor tertentu.
  • Meningkatkan investasi pada infrastruktur fisik dan digital serta pengembangan tenaga kerja terampil di sektor-sektor kritis.
  • Memastikan perlindungan hak-hak pekerja dalam rantai pasok global melalui Dewan Penasihat Hak Tenaga Kerja IPEF.

Kedaulatan Digital dan Ekonomi Masa Depan

Fragmentasi juga merambah ke dunia digital. AS dan Indonesia berkomitmen untuk memfinalisasi komitmen pada perdagangan digital, jasa, dan investasi. Indonesia telah berkomitmen untuk menghapuskan tarif HTS pada “produk tak berwujud” (intangible products) dan mendukung moratorium permanen bea cukai pada transmisi elektronik. Namun, kebijakan tarif agresif AS di masa depan dikhawatirkan dapat berdampak buruk pada kedaulatan digital dan ekosistem startup di Indonesia jika akses terhadap teknologi kunci dibatasi oleh perang tarif.

Analisis Mendalam: Akhir dari Impian Dunia Tanpa Batas?

Fenomena glokalisasi yang kita saksikan pada tahun 2025 memberikan jawaban yang kompleks terhadap pertanyaan apakah impian dunia tanpa batas telah berakhir. Secara fisik, dunia memang tampak semakin terbagi oleh tarif, sanksi, dan blok regional. Namun, secara fungsional, keterkaitan ekonomi global tidak menghilang, melainkan mengalami rekonfigurasi rute dan mekanisme.

Pergeseran Epistemik dalam Teori Ekonomi

Globalisasi model lama yang didasarkan pada arbitrase biaya tenaga kerja murah telah mencapai titik jenuh. Kini, kita memasuki era di mana “ketahanan” menjadi variabel yang sama pentingnya dengan “harga” dalam fungsi produksi global. Biaya ekonomi dari fragmentasi ini memang nyata—potensi hilangnya output global hingga 10% di beberapa negara—namun bagi banyak pemerintahan, biaya tersebut dianggap sebagai premi asuransi yang diperlukan untuk menjamin keamanan nasional.

Regionalisasi terbukti menjadi solusi tengah. Dengan berdagang lebih banyak dengan tetangga yang selaras secara politik, negara-negara dapat mempertahankan skala ekonomi sambil meminimalkan eksposur terhadap guncangan geopolitik yang jauh. Ini bukan isolasi, melainkan “globalisasi terbatas” yang lebih terkendali.

Implikasi Bagi Negara Berkembang

Bagi negara berkembang seperti Indonesia, era ini menuntut fleksibilitas ekstrem. Strategi “Netralitas Aktif” tidak lagi cukup hanya dengan tidak memihak; ia harus bertransformasi menjadi “Multi-Konektivitas Aktif”. Indonesia harus mampu mengekstrak keuntungan dari IPEF dalam hal standar dan teknologi, sekaligus memanfaatkan pasar dan pendanaan dari BRICS Plus.

Risiko terbesar adalah terjebak dalam “perangkap fragmentasi”, di mana sebuah negara dipaksa memilih satu standar teknologi atau sistem pembayaran yang tidak kompatibel satu sama lain. Oleh karena itu, investasi pada infrastruktur “konektor”—seperti pelabuhan yang efisien, sistem pembayaran digital yang interoperable, dan industri pengolahan yang memenuhi standar ESG global—menjadi kunci agar Indonesia tidak hanya menjadi penonton dalam persaingan blok-blok besar.

Kesimpulan: Strategi Indonesia dalam Dunia yang Terfragmentasi

Dunia pada tahun 2025 adalah dunia yang sedang mendefinisikan ulang batas-batasnya. Glokalisasi mencerminkan pengakuan bahwa ekonomi tidak dapat dipisahkan dari politik dan keamanan. Meskipun impian akan pasar tunggal global yang mulus mungkin telah memudar, peluang baru muncul dalam bentuk kerjasama regional yang lebih dalam dan kemitraan strategis yang lebih bermakna.

Indonesia berada pada posisi yang unik untuk menjadi pemenang dalam era baru ini. Dengan kekayaan sumber daya alam yang kritis bagi transisi energi, populasi muda yang besar, dan posisi geografis yang strategis, Indonesia memiliki daya tawar yang signifikan. Namun, keberhasilan ini sangat bergantung pada:

  1. Konsistensi Hilirisasi: Menggeser fokus dari sekadar pengolahan tahap awal menuju produk akhir yang dibutuhkan pasar masa depan, sambil tetap waspada terhadap disrupsi teknologi seperti baterai LFP.
  2. Pragmatisme Geopolitik: Menjaga keanggotaan di BRICS Plus tetap produktif tanpa mengorbankan hubungan strategis dengan AS dan Uni Eropa yang tetap menjadi sumber utama teknologi dan investasi berkualitas.
  3. Kepemimpinan Regional di ASEAN: Memastikan ASEAN tetap menjadi kawasan terbuka yang menarik bagi semua blok, bertindak sebagai penyeimbang yang mencegah Asia Tenggara menjadi medan pertempuran sanksi.
  4. Ketahanan Domestik: Memperkuat sektor manufaktur dalam negeri dan kedaulatan digital agar ekonomi nasional tidak terlalu rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global dan ketidakpastian kebijakan perdagangan internasional.

Era dunia tanpa batas mungkin telah berganti dengan era dunia dengan banyak pusat, dan dalam keragaman pusat kekuatan inilah Indonesia harus mampu menancapkan pengaruhnya sebagai salah satu poros utama ekonomi dunia di abad ke-21. Globalisasi tidak hilang; ia hanya sedang “menciut” untuk kemudian tumbuh kembali dalam bentuk yang lebih tangguh dan lebih adil bagi negara-negara berkembang.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

− 4 = 1
Powered by MathCaptcha