Dalam lanskap sosiopolitik global kontemporer, identitas kolektif tidak lagi semata-mata merupakan hasil dari transmisi budaya organik atau narasi sejarah yang diwariskan melalui institusi tradisional seperti keluarga, sekolah, atau komunitas fisik. Sebaliknya, identitas saat ini tengah mengalami proses rekonstruksi radikal melalui apa yang diistilahkan sebagai “Digital Ethnicism” atau etnisitas digital. Fenomena ini merujuk pada cara lingkungan digital, khususnya media sosial dan mesin pencari, mengonfigurasi ulang loyalitas kelompok dengan memanfaatkan algoritme yang dirancang untuk mengoptimalkan keterlibatan pengguna melalui eksploitasi bias kognitif dan intensitas emosional. Akibatnya, ruang gema (echo chambers) yang tercipta bukan sekadar isolator informasi, melainkan inkubator radikalisasi yang memperuncing sekat-sekat identitas, mengubah perbedaan budaya menjadi antagonisme eksistensial.

Arsitektur Teknologi dan Mekanisme Polarisasi Algoritmik

Mekanisme utama di balik Digital Ethnicism berakar pada model bisnis platform teknologi besar yang sering disebut sebagai “kapitalisme pengawasan” (surveillance capitalism). Dalam model ini, pengalaman manusia diekstraksi sebagai bahan baku gratis untuk diolah menjadi data perilaku yang kemudian digunakan untuk memprediksi dan memanipulasi tindakan pengguna demi keuntungan iklan. Algoritme keterlibatan (engagement algorithms) menjadi instrumen utama yang secara sistematis memprioritaskan konten yang memicu emosi kuat—seperti kemarahan, ketakutan, dan rasa terancam—karena konten semacam itu terbukti secara statistik lebih mampu mempertahankan perhatian pengguna lebih lama dibandingkan informasi yang faktual namun netral.

Psikologi Kelompok dalam Ruang Digital

Secara sosiopsikologis, Digital Ethnicism mengeksploitasi kebutuhan dasar manusia akan rasa memiliki dan identitas in-group. Algoritme media sosial bekerja dengan cara menyaring informasi yang masuk (filter bubbles) sehingga pengguna hanya terpapar pada narasi yang mengonfirmasi bias mereka sendiri. Proses ini menciptakan polarisasi afektif, di mana jurang emosional antara kelompok yang berbeda semakin lebar, seringkali melampaui perbedaan kebijakan politik yang sebenarnya. Identitas kelompok kemudian menjadi “senjata” dalam sebuah perlombaan senjata digital, di mana keberadaan kelompok lain dipandang sebagai ancaman langsung terhadap keberlangsungan identitas sendiri.

Di Nigeria, misalnya, penguatan identitas melalui media sosial telah menunjukkan dampak yang menghancurkan terhadap kohesi nasional. Negara dengan lebih dari 250 kelompok etnis ini menghadapi kerentanan tinggi terhadap retorika sektarian yang diperkuat oleh platform digital seperti WhatsApp dan X. Penelitian di wilayah Keffi mengungkapkan bahwa 91,8% responden menganggap ujaran kebencian di media sosial membahayakan keamanan nasional, dengan 84,7% menghubungkannya secara langsung dengan bentrokan etnis. Motivasi di balik ujaran kebencian ini seringkali dipicu oleh keluhan nyata—seperti pengangguran kaum muda yang melebihi 30%—namun algoritme mengarahkan frustrasi ekonomi tersebut ke arah kambing hitam etnis atau agama tertentu.

Mekanisme Mikro-targeting dan Personalisasi Kebencian

Kemampuan teknologi untuk melakukan mikro-targeting atau penargetan mikro telah mengubah cara kampanye politik dan aktor jahat beroperasi. Dengan menganalisis kumpulan data besar tentang perilaku online, minat, dan koneksi sosial, aktor-aktor ini dapat mengirimkan pesan yang sangat dipersonalisasi ke segmen masyarakat yang sangat spesifik. Dalam konteks Digital Ethnicism, pesan-pesan ini seringkali dirancang untuk memicu kecemasan identitas. Teknik ini tidak hanya digunakan untuk membujuk pemilih, tetapi juga untuk menekan partisipasi atau menciptakan kebingungan di kalangan kelompok lawan melalui disinformasi yang disesuaikan.

Komponen Arsitektur Digital Fungsi dalam Polarisasi Dampak Terhadap Identitas
Algoritme Optimasi Engagement Memprioritaskan konten dengan intensitas emosional tinggi untuk retensi pengguna. Mendorong radikalisasi dan normalisasi wacana ekstrem.
Mikro-targeting Berbasis AI Mengirimkan pesan yang dipersonalisasi berdasarkan data perilaku dan psikografis. Memungkinkan persenjataan identitas untuk menargetkan komunitas spesifik.
Filter Bubbles / Echo Chambers Membatasi paparan terhadap perspektif yang berbeda atau berlawanan. Memperkuat bias konfirmasi dan menghancurkan pluralisme demokratis.
Deepfakes dan AI Generatif Menciptakan konten palsu yang sangat meyakinkan untuk manipulasi publik. Merusak kepercayaan pada institusi dan kebenaran objektif.

Studi Kasus Regional: Polarisasi dan Intimidasi Digital

Dampak Digital Ethnicism terlihat paling nyata di wilayah di mana ketegangan identitas sejarah bertemu dengan penetrasi internet yang cepat namun kurangnya regulasi yang efektif. Di berbagai negara, dari Asia Selatan hingga Amerika Utara, platform digital telah menjadi medan pertempuran di mana identitas nasional, agama, dan etnis dipersenjatai untuk tujuan politik.

Asia Selatan: Radikalisasi Identitas di Bangladesh dan India

Di Bangladesh, politik identitas digital telah berubah menjadi bentuk “anarki terkoneksi”. Kampanye online yang menargetkan minoritas agama atau kelompok sekuler seringkali direkayasa secara sistematis oleh jaringan influencer dan ideolog yang memanfaatkan ekonomi emosional platform digital untuk menciptakan mobilisasi massa. Gerakan-gerakan ini bukan sekadar ekspresi organik dari akar rumput, melainkan seringkali merupakan disinformasi yang dirancang untuk menciptakan ketidakstabilan atau mengonsolidasi kekuasaan melalui eksklusi sosial.

India memberikan contoh yang lebih luas mengenai bagaimana ideologi mayoritarianisme dapat dikonsolidasikan melalui ekosistem digital. Penyebaran Hindutva melalui WhatsApp dan YouTube seringkali melibatkan narasi “pengepungan” di mana identitas Hindu digambarkan berada dalam ancaman dari pihak luar atau kelompok minoritas. Kampanye disinformasi yang terorganisir telah memicu kekerasan dunia nyata, termasuk kerusuhan di Delhi dan insiden hukuman mati tanpa pengadilan (lynching). Dalam ruang digital India, para penentang narasi ini seringkali dilabeli dengan istilah yang menghina seperti “anti-nasional” atau “urban Naxals”, yang secara efektif mengecualikan mereka dari dialog nasional.

Amerika Serikat: Persenjataan Data dalam Pemilihan Lokal

Meskipun sering dianggap sebagai negara dengan demokrasi digital yang lebih matang, Amerika Serikat tidak luput dari dampak destruktif etnisitas digital. Pemilihan presiden dan lokal baru-baru ini telah menjadi laboratorium bagi taktik intimidasi berbasis data. Di Georgia, misalnya, kampanye teks rasis yang menargetkan pemilih kulit hitam, Latino, dan LGBTQ+ ditemukan menggunakan data pemilih yang tidak diatur untuk menyebarkan ancaman dan kebohongan. Taktik ini seringkali bukan bertujuan untuk mengubah pilihan politik seseorang, melainkan untuk menciptakan apatis, kebingungan, atau ketakutan sehingga kelompok tertentu memilih untuk tidak berpartisipasi dalam proses demokrasi.

Penggunaan AI generatif menandai titik balik penting dalam evolusi taktik ini. Pada tahun 2024, otomatisasi bertemu dengan amplifikasi, memungkinkan propagandis menggabungkan mikro-targeting AI dengan kebencian konvensional untuk menciptakan kampanye yang terasa sangat intim dan lokal. Penyelidik federal menemukan bahwa banyak dari kampanye chaos ini, termasuk ancaman bom palsu di lokasi pemungutan suara yang mayoritas dihuni komunitas kulit berwarna, memiliki jejak operasi asing yang bertujuan melemahkan kohesi sosial Amerika.

Nigeria: Tekanan Sosiopolitik dan Konflik Etnis Digital

Di Nigeria, Digital Ethnicism berinteraksi dengan struktur sosial yang kompleks dan tantangan ekonomi. Masalah seperti marginalisasi politik dan sengketa pemilu seringkali dipersenjatai menjadi ujaran kebencian di platform seperti WhatsApp dan X. Analisis terhadap ketegangan di Keffi menunjukkan bahwa perbedaan etnis yang dipicu oleh pengangguran kaum muda telah menjadi motivator utama bagi penyebaran narasi kebencian online. Pengguna media sosial di sana melaporkan bahwa algoritme seperti “For You Page” di TikTok secara proaktif menyodorkan konten yang mempertajam sentimen kesukuan, seringkali sebelum pengguna itu sendiri mencari konten semacam itu secara aktif.

Wilayah Fokus Konflik Identitas Instrumen Digital Utama Dampak Keamanan Nasional
Bangladesh Minoritas agama vs. Mayoritas / Sekuler Influencer terorganisir, kampanye disinformasi emosional Polarisasi sosial yang dalam, anarki digital.
India Nasionalisme Hindu (Hindutva) vs. Minoritas WhatsApp, bot networks, media sosial terkoordinasi Kekerasan komunal, mob lynchings, pengucilan sosial.
Amerika Serikat Rasialisme, intimidasi pemilih minoritas Mikro-targeting AI, pesan teks massal, deepfakes Penurunan partisipasi pemilih, degradasi kepercayaan publik.
Nigeria Ketegangan etnis dan agama WhatsApp, TikTok, X (Twitter) Ancaman terhadap persatuan nasional, clashes fisik antar-etnis.

Diplomasi Budaya dan Konflik Klaim Warisan

Digital Ethnicism tidak hanya mempengaruhi politik domestik, tetapi juga merambah ke ranah internasional melalui apa yang disebut sebagai “diplomasi budaya”. Dalam beberapa dekade terakhir, persaingan untuk mendapatkan pengakuan internasional atas identitas budaya telah menjadi arena baru bagi konflik identitas yang diperkuat secara digital. UNESCO, sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas Warisan Budaya Takbenda (Intangible Cultural Heritage), seringkali terjebak di tengah-tengah perselisihan klaim kepemilikan budaya antar-negara.

Sengketa Indonesia-Malaysia: Batik, Rendang, dan Reog

Salah satu kasus paling menonjol dalam diplomasi budaya adalah ketegangan yang berulang antara Indonesia dan Malaysia. Kedua negara yang memiliki akar budaya “serumpun” ini seringkali terlibat dalam konflik mengenai asal-usul ikon budaya seperti Batik, Wayang Kulit, Tari Pendet, hingga makanan seperti Rendang. Di Indonesia, ketakutan akan “pencurian budaya” oleh pihak asing, terutama Malaysia, telah memicu reaksi nasionalis yang ekstrem di ruang digital. Penggunaan istilah merendahkan seperti “Maling-sia” (Pencuri-sia) di media sosial dan aksi protes massal menunjukkan bagaimana klaim budaya dapat dengan cepat berubah menjadi sentimen kebencian nasional.

Keputusan Indonesia untuk mendaftarkan Batik ke dalam Daftar Perwakilan UNESCO pada tahun 2009 seringkali disalahpahami sebagai “kemenangan hak cipta” yang melarang negara lain untuk mengklaim atau memproduksi Batik. Namun, secara hukum dan teknis, UNESCO menyatakan bahwa penetapan tersebut adalah alat untuk pelestarian, bukan untuk menetapkan kepemilikan eksklusif atau memutus hubungan budaya antar-bangsa yang memiliki tradisi serupa. Ketidakpahaman ini seringkali dieksploitasi oleh elit politik di kedua negara untuk menggalang dukungan nasionalis dengan memposisikan diri sebagai “pelindung warisan bangsa” melawan tetangga yang dianggap agresif.

Perang Budaya Asia Timur: Kontroversi Kimchi dan Hanbok

Di Asia Timur, Digital Ethnicism bermanifestasi dalam perselisihan antara Korea Selatan dan Tiongkok mengenai identitas budaya. Kontroversi Kimchi pada tahun 2020 menunjukkan bagaimana standar teknis internasional dapat memicu krisis identitas nasional. Ketika Tiongkok memenangkan sertifikasi ISO untuk pao cai (sayuran asin), media negara Tiongkok mengklaim hal itu sebagai standar internasional untuk industri Kimchi. Klaim ini memicu kemarahan luas di Korea Selatan, yang memandang Kimchi bukan sekadar makanan, melainkan simbol identitas etnis Korea yang fundamental.

Perselisihan ini berlanjut ke ranah busana tradisional, di mana representasi Hanbok (pakaian Korea) dalam drama atau video game Tiongkok sebagai bagian dari budaya Tiongkok (Hanfu) memicu perang komentar di media sosial. Di sini, algoritme kembali memainkan peran kunci dengan menyodorkan konten nasionalistik kepada netizen di kedua negara, menciptakan spiral kebencian yang merusak hubungan bilateral, kerjasama ekonomi, dan interaksi warga sipil.

Sengketa Budaya Pihak yang Terlibat Objek Sengketa Peran UNESCO / Lembaga Internasional
Sengketa Serumpun Indonesia vs. Malaysia Batik, Wayang, Pendet, Reog, Rendang Memberikan pengakuan pelestarian, namun sering disalahartikan sebagai adjudikasi kepemilikan.
Krisis Fermentasi Korea Selatan vs. Tiongkok Kimchi (Pao Cai) Standarisasi ISO memicu klaim dominasi pasar dan identitas.
Sengketa Hanfu-Hanbok Korea Selatan vs. Tiongkok Busana tradisional Perang representasi digital di platform hiburan dan game.
Konflik Preah Vihear Kamboja vs. Thailand Candi dan tarian tradisional Pengakuan situs warisan dunia memicu ketegangan perbatasan fisik.

Infrastruktur Fisik: Perang Chip sebagai Fondasi Kedaulatan Digital

Meskipun Digital Ethnicism sering dibahas dalam ranah sosiologi dan komunikasi, akarnya tertanam dalam infrastruktur keras yang memungkinkan algoritme tersebut beroperasi: semikonduktor. Kemampuan suatu negara untuk mengontrol informasi, menjalankan algoritme AI yang canggih, dan menjaga kedaulatan digitalnya sangat bergantung pada aksesnya terhadap microchip yang paling mutakhir. Dalam konteks ini, “perang chip” antara Amerika Serikat dan Tiongkok bukan sekadar persaingan ekonomi, melainkan perjuangan untuk menentukan siapa yang akan mengontrol arsitektur digital masa depan.

Strategi “Silicon Shield” dan Geopolitik Taiwan

Taiwan berada di titik episentrum persaingan ini. Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC) memproduksi sekitar 90% chip paling canggih di dunia. Ketergantungan global pada TSMC menciptakan apa yang disebut sebagai “Silicon Shield” (Perisai Silikon). Logikanya adalah bahwa invasi Tiongkok ke Taiwan akan menghancurkan kapasitas produksi chip dunia, yang akan mengakibatkan keruntuhan ekonomi global, termasuk ekonomi Tiongkok sendiri yang sangat bergantung pada chip Taiwan.

Namun, ketergantungan ini juga merupakan pedang bermata dua bagi Taiwan. Meskipun memberikan perlindungan strategis, dominasi tunggal ini membuat Taiwan menjadi target utama dalam persaingan kekuatan besar. Selain itu, faktor internal seperti keterbatasan sumber daya energi (97% diimpor) dan air (yang sangat intensif untuk produksi chip), serta ancaman serangan siber yang terus meningkat, menantang keberlanjutan supremasi semikonduktor Taiwan menuju tahun 2030.

Ambisi Kemandirian Tiongkok dan “Stuck in the Neck”

Bagi Tiongkok, ketergantungan pada teknologi chip Barat dipandang sebagai kerentanan strategis utama—sebuah titik lemah yang dapat “mencekik” (stuck in the neck) kemajuan nasional mereka. Pada tahun 2020, Tiongkok mengimpor semikonduktor senilai $350 miliar, sebuah angka yang melampaui impor minyak mereka. Sebagai respons terhadap kontrol ekspor yang semakin ketat dari Amerika Serikat, Tiongkok telah meluncurkan strategi “Made in China 2025” dan “Big Fund 3.0” untuk menyuntikkan dana ratusan miliar dolar ke dalam industri domestik mereka.

Tujuan Tiongkok bukan hanya untuk memproduksi chip, tetapi untuk menguasai seluruh rantai nilai, mulai dari desain (fabless) hingga peralatan manufaktur. Meskipun mereka menghadapi hambatan besar dalam memperoleh teknologi lithography paling canggih seperti mesin EUV dari ASML (Belanda), Tiongkok telah menunjukkan kemajuan pesat dalam node manufaktur yang lebih matang (28nm ke atas), yang tetap menjadi tulang punggung bagi industri otomotif dan elektronik konsumen global.

Uni Eropa dan Pencarian Kedaulatan Teknologi

Uni Eropa juga menyadari bahwa ketergantungan pada pemasok chip asing adalah ancaman bagi otonomi strategis mereka. Pandemi COVID-19 mengekspos kerapuhan rantai pasok, yang merugikan ekonomi Eropa hingga €100 miliar karena kekurangan chip. Melalui European Chips Act, Uni Eropa berkomitmen untuk menginvestasikan €43 miliar guna melipatgandakan pangsa pasar produksinya menjadi 20% pada tahun 2030. Fokus Eropa tidak hanya pada manufaktur skala besar, tetapi juga pada memanfaatkan kekuatan unik mereka, seperti monopoli ASML dalam peralatan lithography canggih, sebagai alat diplomasi dan perlindungan terhadap paksaan ekonomi.

Negara/Wilayah Target Strategis 2030 Keunggulan Utama Tantangan Utama
Amerika Serikat Reshoring manufaktur, kepemimpinan desain AI. Dominasi desain chip (Nvidia, Qualcomm), ekosistem inovasi. Biaya operasional tinggi, kekurangan talenta teknis.
Tiongkok Kemandirian penuh, dominasi node matang (foundry). Dukungan negara masif, pasar konsumen terbesar di dunia. Terisolasi dari teknologi EUV, kontrol ekspor AS.
Uni Eropa 20% pangsa pasar global, otonomi strategis. Monopoli peralatan canggih (ASML), keahlian R&D. Fragmentasi kebijakan antar-negara anggota, biaya fabs yang mahal.
Taiwan Mempertahankan kepemimpinan node canggih (<2nm). Efisiensi manufaktur tak tertandingi, ekosistem TSMC. Geopolitik dengan Tiongkok, keterbatasan energi dan air.

Dialektika Agensi: Apakah Kita Memilih Identitas atau Dipilihkan Musuh?

Inti dari perdebatan mengenai Digital Ethnicism adalah pertanyaan tentang agensi manusia: apakah di era algoritme ini kita masih benar-benar memiliki kendali atas pembentukan identitas kita, ataukah identitas tersebut kini “dipilihkan” oleh kode komputer yang mengoptimalkan kemarahan?.

Dari Pluralisme ke Tribalisme Algoritmik

Secara tradisional, identitas adalah proses negosiasi yang kompleks antara individu dan lingkungannya. Namun, dalam sistem digital kontemporer, identitas seringkali direduksi menjadi kategori biner yang kaku demi kemudahan pemrosesan data. Algoritme tidak hanya mencerminkan siapa kita, tetapi secara aktif membentuk siapa kita dengan membatasi apa yang kita lihat dan dengan siapa kita berinteraksi. Proses ini mendorong pergeseran dari pluralisme demokratis—di mana perbedaan pendapat dihargai—menuju tribalisme digital—di mana perbedaan pendapat dianggap sebagai pengkhianatan atau ancaman eksistensial.

Fenomena ini diperparah oleh penggunaan AI dalam perang informasi. Dengan kemampuan untuk menghasilkan konten yang meniru gaya individu tertentu atau menciptakan realitas palsu melalui deepfakes, teknologi telah melampaui sekadar alat komunikasi menjadi alat manipulasi realitas. Hal ini menciptakan kondisi di mana “fakta” menjadi sekunder dibandingkan dengan “perasaan memiliki” kelompok. Dalam kerangka “tribalisme pasca-kebenaran”, kebenaran adalah apa yang mendukung narasi in-group, sementara fakta yang menantang narasi tersebut dicap sebagai propaganda out-group.

Implikasi Bagi Masa Depan Demokrasi

Jika identitas terus radikalisasi melalui mekanisme digital, fondasi demokrasi—yang membutuhkan kompromi, deliberasi, dan pengakuan atas kemanusiaan lawan politik—akan terus terkikis. Ketika algoritme “memilihkan” musuh bagi kita, ruang untuk empati dan pemahaman lintas budaya menyempit. Hal ini tidak hanya mengancam stabilitas domestik melalui polarisasi, tetapi juga meningkatkan risiko konflik internasional karena identitas nasional dipersenjatai untuk menutupi kegagalan kebijakan internal atau untuk memicu sentimen ekspansionis.

Namun, penting untuk dicatat bahwa teknologi bukanlah satu-satunya faktor. Faktor struktural seperti ketimpangan ekonomi, kegagalan institusi politik, dan trauma sejarah yang belum terselesaikan memberikan “bahan bakar” bagi Digital Ethnicism. Algoritme hanyalah “akseleran” yang mempercepat dan memperluas skala konflik identitas yang sudah ada sebelumnya.

Penutup: Menavigasi Sekat di Era Digital

Digital Ethnicism merupakan tantangan mendefinisikan abad ke-21. Ketika algoritme mempertajam sekat-sekat identitas, masyarakat global dihadapkan pada pilihan sulit antara melanjutkan spiral polarisasi atau mencari cara baru untuk membangun kohesi sosial di era digital. Penanganan fenomena ini memerlukan pendekatan komprehensif yang tidak hanya menyentuh aspek teknis, tetapi juga sosiopolitik dan infrastruktur.

Rekomendasi untuk Ketahanan Digital

Pertama, diperlukan regulasi yang lebih ketat terhadap algoritme keterlibatan. Platform teknologi harus bertanggung jawab atas dampak sosial dari desain mereka, termasuk kewajiban untuk melakukan audit bias secara berkala dan transparansi mengenai cara konten diprioritaskan. Mengalihkan fokus dari “optimalisasi durasi penggunaan” menjadi “kualitas informasi” adalah langkah krusial untuk mendinginkan suhu emosional di ruang digital.

Kedua, literasi digital harus melampaui sekadar kemampuan teknis menjadi ketahanan kognitif. Masyarakat perlu dibekali dengan pemahaman tentang bagaimana bias kognitif mereka dieksploitasi oleh algoritme dan bagaimana mengenali taktik manipulasi informasi berbasis identitas. Pendidikan sejarah dan budaya yang menekankan pada keterhubungan dan warisan bersama—seperti dalam kasus diplomasi budaya “serumpun”—dapat menjadi penawar bagi narasi eksklusivitas yang memecah belah.

Ketiga, kedaulatan teknologi harus diimbangi dengan kerjasama internasional. Perang chip menunjukkan bahwa tidak ada negara yang bisa benar-benar mandiri secara teknologi. Membangun jaringan ketergantungan timbal balik yang stabil dan berdasarkan aturan internasional yang jelas dapat mengurangi risiko persenjataan teknologi semikonduktor untuk tujuan koersi atau dominasi digital.

Pada akhirnya, tantangan Digital Ethnicism adalah pengingat bahwa teknologi harus tetap menjadi pelayan kemanusiaan, bukan arsitek kebencian. Memilih identitas kita sendiri di tengah kebisingan algoritme adalah tindakan perlawanan sipil yang paling mendasar di era modern. Jika kita membiarkan algoritme memilihkan musuh bagi kita, kita kehilangan bukan hanya kedamaian sosial, tetapi juga bagian paling esensial dari kemanusiaan kita: kemampuan untuk melihat diri kita dalam diri orang lain, melampaui sekat-sekat digital yang memisahkan kita.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

94 − 92 =
Powered by MathCaptcha