Transformasi tatanan internasional pada pertengahan dekade kedua abad ke-21 tidak lagi didefinisikan oleh batas-batas geografis tradisional seperti pembagian Timur versus Barat yang mewarnai era Perang Dingin. Sebaliknya, dunia saat ini sedang mengalami restrukturisasi mendalam yang berbasis pada sistem pemerintahan dan filosofi ideologis, di mana persaingan antara model demokrasi liberal dan model stabilitas otoriter menjadi determinan utama dalam kebijakan luar negeri, aliansi militer, dan integrasi ekonomi global. Fragmentasi ini menciptakan realitas di mana negara-negara tidak lagi dikelompokkan berdasarkan lokasi mereka di peta, melainkan berdasarkan cara mereka mengelola kekuasaan domestik dan bagaimana mereka memandang aturan internasional yang ada.

Munculnya blok-blok ideologis baru ini terjadi di tengah fenomena “gelombang ketiga otokratisasi” yang sedang meningkat pesat di seluruh dunia. Data menunjukkan bahwa untuk pertama kalinya dalam lebih dari dua dekade, jumlah negara otokrasi kini melampaui jumlah negara demokrasi, dengan 91 negara berada di bawah kendali otoriter dibandingkan dengan 88 negara demokrasi pada tahun 2024. Pergeseran ini bukan sekadar statistik, melainkan mencerminkan perubahan fundamental dalam distribusi kekuasaan ekonomi dan politik global, di mana negara-negara demokrasi kini memegang pangsa kekuatan ekonomi terendah dalam lebih dari 50 tahun terakhir. Keadaan ini memberikan ruang bagi poros baru yang sering disebut sebagai “axis of upheaval” atau poros pergolakan, yang terdiri dari China, Rusia, Iran, dan Korea Utara, untuk secara aktif menantang tatanan internasional yang didominasi Barat dan menawarkan model pembangunan alternatif yang memprioritaskan stabilitas rezim di atas kebebasan individu.

Dinamika Global dan Erosi Demokrasi Liberal

Ketegangan antara dua blok ini diperburuk oleh ketidakstabilan internal di dalam benteng-benteng demokrasi tradisional. Amerika Serikat, yang secara historis menjadi promotor utama demokrasi global, pada tahun 2025 tercatat mengalami penurunan signifikan dalam keterlibatan diplomatik dan dukungan finansial untuk bantuan demokrasi internasional. Lebih mengkhawatirkan lagi, laporan internal menunjukkan adanya erosi norma-norma demokrasi di dalam negeri AS sendiri, termasuk pembatasan kebebasan akademik, kriminalisasi aktivitas protes, dan tantangan terhadap legitimasi hasil pemilu yang sah. Fenomena ini menciptakan persepsi global bahwa model demokrasi liberal sedang mengalami krisis kepercayaan, yang kemudian dimanfaatkan oleh kekuatan otoriter untuk memperkuat narasi mereka tentang keunggulan stabilitas otokratis.

Krisis ini juga tercermin dalam perilaku pemilih secara global. Sepanjang tahun 2024, lebih dari 1,6 miliar orang di seluruh dunia memberikan suara dalam pemilu yang sering kali diwarnai oleh kemarahan, ketidakpuasan, dan ketakutan terhadap ketidakpastian ekonomi. Banyak pemilih yang justru menghukum partai-partai petahana, bahkan di negara-negara demokrasi yang mapan seperti Jepang, India, dan Afrika Selatan, yang mengakibatkan terbentuknya pemerintahan koalisi yang lebih lemah dan rentan terhadap tekanan eksternal. Kondisi ini memperlemah posisi tawar blok demokrasi dalam menghadapi blok otoriter yang cenderung lebih terkonsolidasi dan memiliki visi jangka panjang yang tidak terganggu oleh siklus pemilu yang volatil.

Statistik Transformasi Rezim dan Populasi Global 2004-2024

Parameter Kondisi Global Tahun 2004 Tahun 2024 Implikasi Strategis
Populasi di Negara Otokrasi 49% 72% Dominasi demografis model non-demokratis.
Populasi di Negara Demokrasi 51% 28% Penyusutan basis dukungan demokrasi liberal.
Jumlah Negara Otokrasi 85 91 Penguatan blok otoriter di tingkat negara.
Jumlah Negara Demokrasi 98 88 Penurunan jumlah sekutu potensial blok Barat.
Negara yang Ber-otokratisasi 7% populasi 38% populasi 3,1 miliar orang menuju sistem otoriter.

Data di atas menunjukkan bahwa pergeseran menuju otokrasi bukan lagi fenomena pinggiran, melainkan tren arus utama yang mencakup hampir 40% populasi dunia. Hal ini menciptakan tantangan bagi institusi internasional karena mayoritas penduduk dunia kini hidup di bawah sistem yang tidak lagi mengakui standar hak asasi manusia atau transparansi pemerintahan yang selama ini menjadi fondasi tatanan pasca-Perang Dingin.

Kebangkitan Poros Stabilitas Otoriter dan Revisionisme BRICS

Blok otoriter yang dipimpin oleh China dan Rusia tidak hanya berfokus pada pertahanan rezim domestik, tetapi juga secara aktif mengejar agenda revisionis untuk merombak institusi global. China, melalui inisiatif “Digital Silk Road” (DSR), berupaya membentuk infrastruktur digital kritis di seluruh dunia untuk mempromosikan standar teknologi yang mendukung pengawasan negara dan kedaulatan siber. Sementara itu, Rusia tetap menjadi kekuatan revisionis yang agresif di Eropa, bekerja sama dengan Iran dan Korea Utara untuk menciptakan tantangan keamanan yang memaksa negara-negara Barat untuk mengalihkan sumber daya mereka.

Poros ini menemukan platform yang semakin kuat dalam kelompok BRICS (Brazil, Russia, India, China, South Africa) yang baru-baru ini memperluas keanggotaannya. BRICS berfungsi sebagai wadah bagi negara-negara yang ingin mengurangi ketergantungan pada sistem keuangan Barat dan mencari alternatif terhadap dominasi dolar Amerika Serikat. Meskipun di dalamnya terdapat negara-negara demokrasi seperti India dan Brasil, tarikan gravitasi ekonomi China dan stabilitas otoriter yang ditawarkan oleh anggota lainnya menciptakan dinamika di mana nilai-nilai demokrasi sering kali dikesampingkan demi keuntungan ekonomi dan otonomi strategis.

Karakteristik Model Stabilitas Otoriter Baru

Model yang dipromosikan oleh blok ini memiliki beberapa fitur inti yang membedakannya dari pendekatan Barat:

  1. Kedaulatan Digital: Penekanan pada kontrol negara atas data dan infrastruktur internet sebagai alat untuk menjaga stabilitas sosial dan mencegah campur tangan asing.
  2. Keadilan Ekonomi Transaksional: Bantuan pembangunan dan investasi infrastruktur diberikan tanpa prasyarat reformasi politik, transparansi, atau kepatuhan terhadap standar hak asasi manusia.
  3. Reformasi Institusional Multipolar: Upaya untuk menciptakan sistem pembayaran internasional alternatif dan merombak hak suara di lembaga-lembaga seperti IMF dan Bank Dunia agar lebih mencerminkan bobot ekonomi Global South.

Keberhasilan model ini tercermin dalam bagaimana negara-negara seperti Arab Saudi dan Kenya, yang secara historis merupakan sekutu dekat Barat, kini semakin terintegrasi dengan ekosistem teknologi dan infrastruktur China. Arab Saudi, misalnya, melihat teknologi AI dan infrastruktur digital China sebagai pilar penting bagi visi transformasi ekonomi “Vision 2030” mereka, meskipun tetap mempertahankan hubungan keamanan dengan Amerika Serikat.

Manuver Global Swing States: Navigasi Antara Dua Kutub

Di tengah persaingan blok ideologi ini, muncul sekelompok negara yang memiliki pengaruh disproporsional terhadap arah tatanan internasional masa depan, yang dikenal sebagai “Global Swing States.” Negara-negara ini—Brasil, India, Indonesia, Arab Saudi, Afrika Selatan, dan Turki—menolak untuk terjebak dalam keberpihakan kaku pada salah satu blok. Sebaliknya, mereka mengadopsi strategi “multi-alignment” atau multi-penyelarasan, di mana mereka mempertahankan hubungan simultan dengan Amerika Serikat, China, dan Rusia untuk memaksimalkan kepentingan nasional mereka sendiri.

Swing states ini bukan sekadar “penonton” yang pasif, melainkan pemain aktif yang berusaha mengubah aturan main internasional agar lebih sesuai dengan kebutuhan mereka. Mereka memiliki karakteristik sebagai pemimpin regional yang tindakannya memiliki dampak global, dan mereka cenderung bersikap reformis terhadap institusi internasional yang ada. Strategi mereka didasarkan pada otonomi strategis, di mana mereka menghindari aliansi militer permanen yang dapat membatasi kebebasan bertindak mereka di masa depan.

Profil Strategis Global Swing States

Negara Peran Regional Strategi Penyelarasan Utama Fokus Utama Kebijakan
Indonesia Pemimpin ASEAN Menyeimbangkan investasi infrastruktur China dengan kemitraan keamanan dan teknologi tinggi AS. Pertumbuhan ekonomi digital dan hilirisasi mineral kritis.
India Kekuatan Asia Selatan Anggota Quad untuk keamanan maritim, namun tetap menjaga hubungan militer dan energi dengan Rusia. Reformasi Dewan Keamanan PBB dan kepemimpinan Global South.
Brasil Pemimpin Amerika Selatan Diplomasi iklim sebagai alat tawar, aktif di BRICS namun tetap menjadi mitra demokrasi Barat. Autonomi teknologi dan reformasi tata kelola keuangan global.
Arab Saudi Kekuatan Timur Tengah Diversifikasi ekonomi melalui DSR China sambil mempertahankan payung keamanan AS. Visi 2030 dan indigenisasi industri teknologi canggih.
Afrika Selatan Suara utama Afrika Mempromosikan multipolaritas melalui BRICS, sambil menjaga hubungan perdagangan yang kuat dengan UE dan AS. Keadilan sosial ekonomi global dan stabilitas regional.
Turki Jembatan Eurasia Anggota NATO yang menjalin kerja sama strategis dengan Rusia di bidang energi dan pertahanan. Otonomi industri pertahanan dan pengaruh di Mediterania.

Kemampuan negara-negara ini untuk bermanuver sangat bergantung pada “bobot” yang mereka miliki dalam isu-isu spesifik. Misalnya, Indonesia dan Brasil memiliki kontrol atas mineral kritis yang sangat dibutuhkan untuk transisi energi hijau dunia, sementara India menawarkan pasar domestik yang sangat besar yang menjadi target utama perusahaan teknologi dari kedua blok. Hal ini memberi mereka daya tawar untuk menolak tuntutan penyelarasan ideologis yang kaku dari Washington maupun Beijing.

Studi Kasus Indonesia: Strategi Otonomi di Tengah Persaingan Digital

Indonesia memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana sebuah negara swing state menavigasi persaingan antara aliansi demokrasi dan otokrasi di sektor paling sensitif: teknologi digital. Sejak peluncuran Digital Silk Road (DSR) oleh China satu dekade lalu, Indonesia telah menjadi salah satu mitra utama dalam pembangunan infrastruktur digital kritis. Perusahaan-perusahaan China seperti Huawei telah mendominasi penyediaan perangkat keras untuk jaringan telekomunikasi nasional dan kabel bawah laut, sementara raksasa teknologi China menjadi investor awal bagi startup unicorn Indonesia seperti Gojek dan Bukalapak.

Keunggulan China di Indonesia didorong oleh beberapa faktor, termasuk biaya yang kompetitif, kecepatan implementasi, dan fleksibilitas dalam menghadapi lingkungan birokrasi yang kompleks tanpa terhambat oleh regulasi seperti Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) yang mengikat perusahaan-perusahaan AS. Selain itu, proyek-proyek fisik besar seperti kereta cepat Jakarta-Bandung menjadi simbol nyata dari kehadiran ekonomi China yang tidak dapat diabaikan oleh para pengambil kebijakan di Jakarta.

Namun, Indonesia juga menyadari risiko dari ketergantungan teknologi yang berlebihan pada satu pihak. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, Indonesia mulai mencari diversifikasi dengan menggandeng Amerika Serikat dalam sektor-sektor di mana AS masih memiliki keunggulan, seperti layanan cloud, AI frontier, dan keamanan siber. Indonesia berambisi menjadi hub regional untuk pusat data dan kabel bawah laut, sebuah transisi yang memberikan peluang bagi perusahaan-perusahaan AS seperti Microsoft dan Google untuk masuk kembali ke pasar yang sebelumnya didominasi China.

Dinamika Persaingan Digital di Indonesia

Sektor Teknologi Dominasi Aktor Alasan Strategis Tantangan Masa Depan
Infrastruktur 5G/Hardware China (Huawei/ZTE) Biaya rendah dan dukungan finansial negara yang masif. Risiko pengawasan data dan ketergantungan vendor.
Cloud dan AI Services Amerika Serikat Keunggulan teknologi dalam algoritma dan daya komputasi. Aturan ekspor chip AI yang ketat dari pemerintah AS.
Kabel Bawah Laut Kompetisi Ketat Lokasi strategis Indonesia sebagai titik temu jalur data global. Sanksi AS terhadap perusahaan kabel China menghambat proyek bersama.
Tata Kelola Data Transisi Indonesia sedang mengembangkan kebijakan perlindungan data yang dipengaruhi standar global. Menyeimbangkan transparansi demokratis dengan kebutuhan keamanan negara.

Indonesia secara aktif berinteraksi dengan kebijakan AS, seperti program Validated End-User, untuk mendapatkan akses ke infrastruktur komputasi AI tingkat lanjut tanpa harus sepenuhnya memutus hubungan dengan ekosistem digital China. Strategi ini mencerminkan pendekatan “bebas-aktif” yang dimodernisasi, di mana kemerdekaan politik diukur dari kemampuan untuk memilih penyedia teknologi terbaik yang sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.

Brasil: Kepemimpinan Hijau dan Dilema Multi-Penyelarasan

Brasil di bawah pemerintahan Luiz Inácio Lula da Silva mengejar strategi luar negeri yang didorong oleh citra diri sebagai “raksasa alam” yang layak mendapatkan status kekuatan besar. Kebijakan luar negeri Brasil ditandai dengan upaya untuk tidak terjebak dalam politik blok, melainkan bertindak sebagai penyeimbang yang aktif. Brasil tetap menjadi anggota kunci BRICS dan secara konsisten mendorong reformasi pada sistem keuangan internasional, namun secara bersamaan tetap mempertahankan nilai-nilai demokrasi liberal dalam tata kelola domestiknya.

Salah satu instrumen utama Brasil dalam navigasi geopolitik adalah diplomasi iklim. Dengan cadangan mineral kritis yang besar dan potensi energi terbarukan yang melimpah, Brasil memposisikan dirinya sebagai pemimpin transisi energi global. Kemitraan dengan Washington difokuskan pada pengembangan biofuel dan mineral, sementara kerja sama dengan Beijing diarahkan pada investasi infrastruktur energi terbarukan dan teknologi manufaktur hijau. Hosting COP30 di Brasil menjadi puncak dari upaya mereka untuk menarik perhatian kedua blok terhadap agenda keberlanjutan yang dipimpin oleh Global South.

Namun, Brasil menghadapi tantangan internal dalam mempertahankan kepemimpinan regionalnya. Meskipun menyumbang setengah dari PDB dan populasi Amerika Selatan, Brasil sering kali dianggap sebagai “pemimpin tanpa pengikut” karena keengganannya untuk menanggung biaya integrasi regional atau menyediakan barang publik bagi tetangganya. Selain itu, ketergantungan ekonomi yang sangat besar pada China—sebagai pasar ekspor utama komoditas—menciptakan dilema ketika Brasil harus menanggapi tekanan AS untuk membatasi kehadiran teknologi China di sektor-sektor sensitif seperti telekomunikasi 5G.

Lima Pilar Tatanan Internasional di Bawah Tekanan

Persaingan antara aliansi demokrasi dan otokrasi secara langsung mengancam stabilitas lima pilar yang selama ini menopang tatanan dunia yang dipimpin Amerika Serikat. Blok otoriter melalui “poros pergolakan” mereka berusaha melemahkan pilar-pilar ini untuk menciptakan ruang bagi pengaruh mereka sendiri.

  1. Tatanan Teritorial: Prinsip perlindungan kedaulatan nasional dari penaklukan militer sedang diuji oleh agresi Rusia di Ukraina dan klaim teritorial China di Indo-Pasifik. Kegagalan untuk mempertahankan pilar ini dapat memicu perlombaan senjata global dan destabilisasi regional.
  2. Tatanan Perdagangan Global: Sistem perdagangan terbuka yang bertujuan meningkatkan kemakmuran bersama kini terfragmentasi oleh sanksi ekonomi, perang tarif, dan kebijakan “de-risking”. Negara-negara swing states mengkhawatirkan munculnya blok perdagangan eksklusif yang akan memaksa mereka memilih antara akses pasar Barat atau pasokan industri China.
  3. Tatanan Finansial: Upaya untuk meredam krisis moneter dan memfasilitasi investasi global sedang ditantang oleh dorongan dedolarisasi dari negara-negara BRICS. Munculnya sistem pembayaran alternatif bertujuan untuk menumpulkan efektivitas sanksi finansial Barat sebagai alat kebijakan luar negeri.
  4. Tatanan Nonproliferasi: Pengendalian penyebaran senjata nuklir menjadi lebih sulit karena kerja sama antara Rusia, Iran, dan Korea Utara meningkat, sementara mekanisme pengawasan internasional kehilangan pengaruhnya.
  5. Tatanan Hak Asasi Manusia: Pilar ini mengalami serangan paling langsung secara ideologis. Blok otoriter mempromosikan visi di mana hak-hak kolektif untuk pembangunan dan stabilitas rezim berada di atas hak-hak individu, sebuah narasi yang mulai mendapatkan daya tarik di negara-negara yang merasa kecewa dengan “standar ganda” Barat.

Peran Nasionalisme dalam Ketahanan Demokrasi

Faktor penentu yang sering terabaikan dalam persaingan blok ideologi ini adalah karakter nasionalisme yang berkembang di dalam setiap negara. Ada perbedaan mendasar antara “nasionalisme sipil” (civic nationalism) yang berbasis pada kewarganegaraan dan nilai-nilai konstitusional, dengan “nasionalisme etnis” (ethnic nationalism) yang berbasis pada keturunan dan identitas primordial. Nasionalisme sipil cenderung memperkuat dukungan terhadap demokrasi liberal karena ia menciptakan komunitas politik yang inklusif dan beragam.

Sebaliknya, kebangkitan nasionalisme etnis di banyak negara, termasuk di dalam blok demokrasi, sering kali menjadi pintu masuk bagi otokratisasi. Pemimpin populis menggunakan narasi “kita vs mereka” untuk mendelegitimasi institusi demokrasi seperti pers bebas dan peradilan independen, dengan mengklaim bahwa institusi tersebut menghalangi kehendak “bangsa yang murni”. Di negara-negara swing states yang memiliki masyarakat multi-etnis, seperti Indonesia dan India, pengelolaan ketegangan antara nasionalisme inklusif dan eksklusif ini akan sangat menentukan apakah mereka akan tetap berada di jalur demokrasi atau bergeser ke arah model otoriter yang lebih kaku.

Penelitian menunjukkan bahwa identifikasi yang kuat dengan negara (nasionalisme sipil) sebenarnya dapat meningkatkan dukungan terhadap nilai-nilai demokrasi dan menurunkan daya tarik alternatif otoriter. Oleh karena itu, bagi aliansi demokrasi, tugas utama mereka bukan hanya bersaing secara militer atau ekonomi, tetapi juga memenangkan pertempuran narasi nasional yang mampu menyatukan masyarakat yang terfragmentasi di bawah payung nilai-nilai liberal yang inklusif.

Infrastruktur Digital: Medan Perang Utama Abad ke-21

Jika pada abad ke-20 penguasaan atas jalur laut (SLOC) adalah kunci kekuatan global, maka pada abad ke-21, penguasaan atas jalur data digital adalah penentunya. China telah menyadari hal ini lebih awal melalui Digital Silk Road (DSR), yang kini telah menjangkau hingga ke Afrika Timur dan Timur Tengah. Di Kenya, misalnya, Huawei telah membangun infrastruktur inti yang membuat transisi ke teknologi Barat menjadi sangat mahal dan sulit secara teknis. Namun, AS tetap mendominasi sektor perangkat lunak dan platform media sosial, menciptakan situasi di mana “perangkat keras” dikuasai oleh blok otoriter sementara “konten dan algoritma” dikuasai oleh blok demokrasi.

Kompetisi ini semakin intensif dengan munculnya kecerdasan buatan (AI). Penguasaan atas chip AI canggih dan kapasitas pusat data menjadi tolok ukur baru kekuatan nasional. Amerika Serikat telah menggunakan kontrol ekspor chip untuk menghambat kemajuan AI China, namun langkah ini juga memicu kekhawatiran di kalangan swing states tentang “kolonialisasi teknologi” baru. Negara-negara seperti Arab Saudi merespons dengan mencoba membangun kapasitas desain chip mereka sendiri dan mencari kemitraan yang mencakup transfer teknologi yang nyata, bukan sekadar pembelian produk jadi.

Rekomendasi Kebijakan untuk Aliansi Demokrasi

Untuk menghadapi ekspansi pengaruh blok otoriter, aliansi demokrasi perlu melakukan beberapa langkah strategis:

  • Membentuk Grouping “Minilateral”: Menciptakan kelompok-kelompok kecil yang berfokus pada isu spesifik seperti mineral kritis, teknologi AI, atau keamanan maritim yang melibatkan negara-negara swing states secara bermartabat.
  • Diplomasi Komersial yang Agresif: Memberikan alternatif pembiayaan infrastruktur yang kompetitif melalui lembaga seperti DFC untuk menandingi bank pembangunan China, namun dengan standar transparansi yang tetap terjaga.
  • Kolaborasi Akademik dan Riset: Memperkuat hubungan antar masyarakat melalui kemitraan universitas dan beasiswa teknologi untuk memastikan bahwa talenta masa depan dari negara swing states memiliki pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai keterbukaan dan inovasi demokratis.
  • Adaptasi Aturan Ekspor: Menciptakan mekanisme yang lebih fleksibel, seperti status “Validated End-User” untuk sekutu tepercaya di luar NATO, guna memfasilitasi transfer teknologi tinggi tanpa membahayakan keamanan nasional.

Outlook 2025 dan Masa Depan Tatanan Dunia

Memasuki tahun 2025, dunia berada dalam kondisi “ketidakpastian radikal.” Tren otokratisasi global belum menunjukkan tanda-tanda mereda, dan fragmentasi antara blok demokrasi liberal dan poros stabilitas otoriter semakin nyata. Namun, peran negara-negara swing states memberikan secercah harapan bagi keberlanjutan tatanan internasional yang berbasis aturan, asalkan aturan tersebut dapat direformasi agar lebih inklusif dan adil.

Persaingan ini tidak akan berakhir dengan kemenangan mutlak salah satu pihak dalam waktu dekat. Sebaliknya, kita kemungkinan akan melihat periode panjang kompetisi sistemik di mana setiap blok berusaha membuktikan keunggulan modelnya melalui kinerja ekonomi, stabilitas sosial, dan inovasi teknologi. Bagi negara-negara seperti Indonesia, kuncinya terletak pada kemampuan untuk mempertahankan otonomi strategis tanpa mengorbankan integritas nilai-nilai demokrasi di dalam negeri. Keberhasilan navigasi di antara dua kutub ideologi ini tidak hanya akan menentukan nasib nasional mereka, tetapi juga akan membentuk wajah dunia di paruh kedua abad ke-21.

Ketahanan demokrasi liberal pada akhirnya tidak hanya bergantung pada kekuatan militer atau pakta pertahanan, tetapi pada kemampuannya untuk beradaptasi, melakukan kritik diri, dan memberikan solusi nyata bagi tantangan global seperti ketimpangan ekonomi dan perubahan iklim yang sering kali dimanfaatkan oleh narasi otoriter. Dalam dunia yang tidak lagi terbagi oleh geografi, namun oleh sistem nilai, integritas ideologis yang dipadukan dengan pragmatisme strategis akan menjadi aset paling berharga bagi setiap bangsa yang ingin tetap relevan di panggung global.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

60 − 52 =
Powered by MathCaptcha