Mendefinisikan Pernikahan Anak dalam Konteks Sejarah

Pernikahan anak, yang didefinisikan sebagai ikatan formal atau informal di mana salah satu atau kedua belah pihak berusia di bawah 18 tahun, telah menjadi praktik yang meluas di berbagai budaya dan periode sejarah. Fenomena ini bukanlah hal baru, melainkan berakar dalam konteks historis, sosial-ekonomi, dan budaya yang mendalam. Sepanjang sejarah, masyarakat seringkali memandang pernikahan secara berbeda dari pandangan modern, di mana ikatan perkawinan sering berfungsi sebagai alat strategis bagi keluarga daripada semata-mata pilihan individu.

Konsep “kedewasaan” untuk pernikahan di masyarakat pra-modern seringkali berkorelasi dengan pubertas biologis, bukan usia kronologis yang tetap, dan bervariasi secara signifikan di berbagai wilayah dan strata sosial. Laporan ini bertujuan untuk menyajikan analisis historis komparatif mengenai praktik pernikahan anak di Romawi Kuno, India, dan Tiongkok. Fokusnya adalah mengeksplorasi dimensi hukum, sosial, dan budaya yang membentuk ikatan-ikatan ini, serta menggali motivasi, prevalensi, dan evolusi pernikahan anak di setiap peradaban, berdasarkan sumber-sumber historis dan akademik yang tersedia.

Perlu dicatat bahwa beberapa materi penelitian yang diberikan, seperti statistik kriminalitas dan data kepolisian dari Indonesia, berada di luar cakupan geografis dan tematik laporan ini (Romawi Kuno, India, dan Tiongkok, serta topik pernikahan anak). Demikian pula, meskipun beberapa materi membahas pernikahan anak di periode awal Islam/Semenanjung Arab dan kontroversi seputar usia Aisyah , detail spesifik dari perdebatan Aisyah tidak akan menjadi bagian khusus dalam laporan ini. Namun, pemahaman umum tentang norma-norma masyarakat, pubertas, dan interpretasi hukum dari sumber-sumber ini dapat digunakan untuk memperkaya analisis komparatif yang lebih luas atau bagian pendahuluan, sepanjang relevan dengan pola historis universal.

Pernikahan Anak di Romawi Kuno

Legalitas dan Usia Adat untuk Anak Perempuan dan Laki-laki

Di Romawi Kuno, usia yang sah secara hukum untuk pernikahan bagi anak perempuan adalah dua belas tahun, dan untuk anak laki-laki empat belas tahun. Batas usia minimum ini kemudian diadopsi ke dalam hukum kanon oleh Gereja Katolik Roma dan bertahan selama berabad-abad. Meskipun ada batas usia minimum yang ditetapkan secara hukum, usia rata-rata pernikahan pertama bagi anak perempuan di masyarakat kelas menengah Romawi seringkali berada di pertengahan hingga akhir usia belasan tahun.

Dinamika Sosial dan Motivasi

Pernikahan di Romawi Kuno seringkali merupakan kesepakatan antar keluarga. Laki-laki umumnya menikah di usia pertengahan dua puluhan, sementara perempuan menikah di awal usia belasan tahun. Orang tua akan mencari pasangan yang cocok untuk meningkatkan kekayaan atau status sosial keluarga. Di kalangan elit masyarakat Romawi, menikahkan anak perempuan pada usia dua belas tahun atau bahkan lebih muda bukanlah hal yang aneh. Pernikahan-pernikahan ini sering diatur untuk membentuk aliansi antara keluarga-keluarga terkemuka, memperkuat dan memperluas basis kekuasaan ayah atau keluarga.

Pertunangan dapat dilakukan pada usia yang sangat muda, bahkan sejak usia tujuh tahun, terutama di kalangan elit. Pertunangan ini sering mendahului pernikahan yang sebenarnya selama dua tahun atau lebih, bertujuan untuk menjaga keperawanan gadis tersebut untuk calon suaminya. Persetujuan untuk pernikahan secara teoritis diperlukan, namun dalam praktiknya seringkali dianggap sudah ada. Transisi menuju kedewasaan bagi seorang gadis muda sebagian besar ditandai dengan hari pernikahannya.

Perbedaan antara Pertunangan dan Konsumasi

Praktik pertunangan dini yang diikuti dengan konsumasi di kemudian hari merupakan ciri utama pernikahan di Romawi Kuno. Meskipun anak perempuan dapat bertunangan pada usia 7 tahun, pernikahan (dan implikasinya, hidup bersama sebagai suami istri) secara hukum diizinkan mulai usia 12 tahun. Ini memungkinkan keluarga untuk mengamankan aliansi lebih awal sambil menunda aspek fisik pernikahan sampai gadis itu lebih tua, meskipun masih sangat muda menurut standar modern.

Contoh Terkemuka dari Masyarakat Romawi

Beberapa tokoh terkemuka dalam sejarah Romawi juga terlibat dalam pernikahan di usia muda. Quintilian (35 hingga sekitar 96 M), seorang pendidik dan retorika, menikah dengan seorang gadis berusia sekitar 12 tahun. Putri Kaisar Augustus, Julia, menikah dua kali sebelum usianya mencapai 18 tahun. Pliny the Younger (61-112 M), pada usia 40 tahun, menikahi seorang gadis berusia 15 tahun.

Analisis Mendalam: Utilitas Strategis Pernikahan Dini

Usia minimum legal untuk anak perempuan adalah 12 tahun , namun pertunangan dapat terjadi seawal usia 7 tahun. Keluarga elit sering menikahkan anak perempuan pada usia 12 tahun atau bahkan lebih muda. Motivasi yang jelas disebutkan adalah “menciptakan aliansi antara keluarga-keluarga terkemuka, memperkuat dan memperluas basis kekuasaan ayah atau keluarga”  dan “alasan properti dan aliansi keluarga”. Persyaratan teoritis untuk persetujuan seringkali “dianggap sudah ada”. Ini menunjukkan bahwa pernikahan di Romawi Kuno, khususnya pernikahan dini, terutama merupakan instrumen strategis bagi keluarga untuk mengkonsolidasikan kekuasaan, kekayaan, dan status sosial, daripada ikatan yang didasarkan pada kematangan individu, persetujuan, atau kesiapan emosional gadis tersebut. Usia legal berfungsi sebagai batas dasar, namun kebiasaan masyarakat, terutama di kalangan elit, mendorong ikatan yang lebih awal dan bersifat instrumental.

Analisis Mendalam: Masa Remaja yang Singkat dan Berorientasi Dewasa bagi Anak Perempuan

Materi penelitian menunjukkan bahwa “masa remaja bagi gadis Romawi singkat dan, dalam beberapa kasus, tampaknya tidak ada”. Prasasti pemakaman menyoroti harapan masyarakat agar gadis-gadis muda berperilaku “seperti orang dewasa”. Pliny the Younger mencatat seorang gadis berusia 13 tahun yang menggabungkan “kebijaksanaan usia dan martabat kewanitaan”. Hal ini menunjukkan adanya tekanan budaya pada gadis-gadis Romawi untuk dengan cepat beralih dari masa kanak-kanak ke peran dewasa, terutama sebagai istri dan calon ibu, seringkali melewati periode remaja yang berbeda. Harapan budaya ini kemungkinan besar memfasilitasi penerimaan pernikahan dini, karena gadis-gadis dianggap dan diharapkan untuk mengemban tanggung jawab dewasa pada usia muda.

Pernikahan Anak di India Kuno

Evolusi Praktik: Dari Periode Veda hingga Era Selanjutnya

Di India Kuno, praktik pernikahan anak mengalami perubahan signifikan seiring waktu. Pada periode Veda, pernikahan anak umumnya tidak lazim. Himne-himne Rig Veda menunjukkan bahwa pengantin wanita sudah “dewasa dan matang sepenuhnya” serta memiliki kebebasan untuk memilih pasangan mereka. Pendidikan bagi anak perempuan ditekankan, dan pernikahan terjadi pada “usia yang sesuai”. Namun, praktik pernikahan anak menjadi lebih umum sekitar tahun 1000 SM dan seterusnya, yang mempercepat subordinasi perempuan.

Selama zaman Sutra (500 SM hingga 100 M), pembatasan baru diberlakukan pada perempuan, dan usia pernikahan diturunkan. Beberapa teks merekomendasikan pernikahan dalam waktu 3 bulan setelah pubertas atau bahkan sebelumnya.19 Istilah “nagnika” ditafsirkan oleh komentator kemudian sebagai anak perempuan berusia lima atau enam tahun. Pada periode abad pertengahan, semakin umum bagi anak perempuan berusia 6 atau 8 tahun untuk dinikahkan.

Faktor Sosial-Ekonomi, Agama, dan Budaya yang Mendorong Praktik

Motivasi ekonomi dan keinginan untuk mengamankan aliansi merupakan faktor penting dalam praktik pernikahan anak di India Kuno. Keyakinan bahwa pemahaman dan kasih sayang akan meningkat jika dua orang saling mengenal sejak kecil mendorong pernikahan dini yang diatur. Kemiskinan seringkali memaksa keluarga untuk menikahkan anak perempuan lebih awal, karena biayanya “lebih murah” akibat persyaratan mahar yang lebih rendah untuk pengantin yang lebih muda. Tekanan masyarakat dan tradisi lama juga memainkan peran utama; keluarga yang tidak menikahkan anak perempuan mereka lebih awal akan menghadapi kecurigaan dan rumor. Kepercayaan agama juga memengaruhi praktik, dengan beberapa tradisi ortodoks kemudian menganjurkan pernikahan pra-pubertas.

Analisis Mendalam: Penurunan Status Perempuan Berkorelasi dengan Peningkatan Pernikahan Anak

Teks-teks Veda menunjukkan pengantin wanita yang matang dan pendidikan perempuan. Namun, sejak 1000 SM, “kecenderungan yang mempercepat subordinasi perempuan mulai muncul”. Periode ini juga menyaksikan penurunan usia pernikahan dan peningkatan pernikahan pra-pubertas. Ini menunjukkan korelasi kuat antara memburuknya status sosial perempuan dan meningkatnya prevalensi pernikahan anak di India Kuno. Seiring dengan berkurangnya otonomi dan kesempatan pendidikan bagi perempuan, mereka menjadi lebih rentan untuk dinikahkan pada usia yang lebih muda, seringkali sebagai komoditas atau untuk keuntungan strategis keluarga, daripada sebagai individu dengan kebebasan memilih.

Analisis Mendalam: Beban Ekonomi dan Mahar sebagai Pendorong

Kemiskinan disebut sebagai pendorong utama pernikahan anak. Sistem mahar, di mana keluarga gadis membayar kepada keluarga mempelai pria, berarti bahwa “semakin tua gadis itu, semakin banyak yang harus dibayar keluarganya”. Ini menciptakan insentif ekonomi bagi keluarga miskin untuk menikahkan anak perempuan pada usia muda untuk mengurangi biaya. Ini mengungkapkan dimensi ekonomi yang penting dalam pernikahan anak di India, di mana ia berfungsi sebagai mekanisme bagi keluarga miskin untuk mengurangi beban keuangan. Sistem mahar, dikombinasikan dengan kemiskinan, menciptakan insentif yang salah yang mengutamakan bantuan ekonomi di atas kesejahteraan dan perkembangan gadis-gadis muda, melanggengkan siklus kemiskinan dan terbatasnya kesempatan.

Contoh yang Melibatkan Bangsawan dan Rakyat Biasa

Sejarah India mencatat beberapa contoh pernikahan anak di kalangan bangsawan dan rakyat biasa. Kaisar Akbar dilaporkan menentang pernikahan pra-pubertas dan berusaha membatasi praktik tersebut, melarang pernikahan bagi anak perempuan sebelum usia 14 tahun dan anak laki-laki sebelum 16 tahun. Ruqaiya Sultan Begum menikah dengan Akbar pada usia 9 tahun, dan pernikahan tersebut disahkan ketika keduanya berusia 14 tahun. Kasturba Gandhi (14 tahun) menikah dengan Mahatma Gandhi (13 tahun) pada tahun 1883. Anandibai Joshi (9 tahun) menikah dengan Gopalrao Joshi (27/28 tahun) pada tahun 1874. Rukhmabai (11 tahun) menikah dengan Dadaji Bhikaji (19 tahun) sekitar tahun 1875, yang memicu gugatan hukum yang memengaruhi pengesahan Undang-Undang Usia Persetujuan tahun 1891.

Contoh lain adalah Chandragupta Maurya, yang menikahi Helena, putri Seleucus Nicator. Helena digambarkan berusia “remaja” atau sekitar 15-16 tahun, sementara Chandragupta berusia sekitar 39 tahun. Pernikahan ini merupakan aliansi politik untuk memperkuat hubungan antara kedua kekaisaran. Samudragupta, putra Chandragupta I dan Ratu Kumaradevi dari klan Licchavi, mendapatkan keuntungan dari latar belakang ibunya, yang menunjukkan pentingnya aliansi politik melalui pernikahan.

Pernikahan Anak di Tiongkok Kuno

Tinjauan Historis Praktik di Berbagai Dinasti

Tradisi pernikahan anak di Tiongkok telah ada selama ribuan tahun, dipengaruhi oleh nilai-nilai Konfusianisme, motif ekonomi, dan upaya untuk meningkatkan status sosial. Sebelum Dinasti Qin (abad ke-3 SM), usia pernikahan yang disarankan untuk laki-laki berkisar antara 20 hingga 30 tahun dan untuk perempuan antara 15 hingga 20 tahun. Namun, setelah Periode Negara-negara Berperang (475-221 SM), usia pernikahan untuk anak perempuan diturunkan karena kekurangan tenaga kerja akibat perang yang sering terjadi.

Selama Dinasti Wei dan Jin (220-420 M), pemerintah secara eksplisit menurunkan usia pernikahan menjadi 15 tahun untuk laki-laki dan 13 tahun untuk perempuan guna mendorong kelahiran dan mengkompensasi hilangnya populasi akibat perang dan kelaparan. Insentif diberikan kepada keluarga dengan lebih banyak anak perempuan. Dari Dinasti Song hingga Qing (abad ke-10 hingga ke-19), usia pernikahan ditetapkan pada 16 tahun untuk laki-laki dan 14 tahun untuk perempuan. Pernikahan anak juga merupakan hal yang lumrah di Tiongkok Kekaisaran.

Jenis Pernikahan Anak dan Motivasi Mereka

  • Tongyangxi (童養媳) atau “menantu perempuan yang dibesarkan sejak kecil” adalah tradisi di mana seorang gadis bergabung dengan rumah tangga calon suaminya saat keduanya masih di bawah umur. Pernikahan hanya akan terjadi setelah keduanya mencapai pubertas. Praktik ini umum di kalangan masyarakat miskin, menjamin seorang istri untuk anak laki-laki miskin dan membebaskan keluarga dari beban membesarkan anak perempuan yang pada akhirnya akan meninggalkan keluarga. Ini juga menyediakan tenaga kerja murah bagi keluarga suami dan menghemat biaya hadiah pertunangan, sementara keluarga istri menghemat biaya pengasuhan dan mahar.
  • Zhaozhui (招贅) adalah kebiasaan di mana keluarga kaya yang tidak memiliki ahli waris laki-laki akan mengadopsi seorang anak laki-laki, yang kemudian akan mengambil nama keluarga tersebut dan menikahi anak perempuan keluarga itu. Praktik ini, yang bertentangan dengan norma Tiongkok tradisional, memiliki status sosial yang lebih rendah tetapi menjadi umum selama Dinasti Qing untuk mempertahankan garis keturunan.

Pernikahan yang diatur juga umum, didorong oleh pertimbangan ekonomi dan sosial, dengan mak comblang profesional sering terlibat. Anak perempuan yang dinikahkan pada usia dini bukanlah hal yang tidak biasa, meskipun praktik tersebut dilarang oleh hukum.

Contoh Kekaisaran dan Masyarakat

Beberapa contoh pernikahan anak di Tiongkok kuno melibatkan keluarga kekaisaran dan masyarakat umum. Kaisar Wu dari Han: Istri pertamanya, Permaisuri Chen Jiao, adalah sepupunya. Dia sekitar 8-9 tahun lebih tua dari Liu Che (Kaisar Wu), yang berusia 5 tahun saat pertunangan mereka. Dia menjadi kaisar pada usia 15 tahun dan Chen Jiao menjadi permaisuri. Ini adalah pernikahan politik.

Permaisuri Wu Zetian: Dia menjadi selir Kaisar Taizong, kemudian menikah dengan putranya Kaisar Gaozong, dan kemudian memerintah sebagai permaisuri dengan haknya sendiri. Kenaikannya ke tampuk kekuasaan melibatkan manuver politik dan tantangan terhadap norma-norma tradisional. Meskipun dia sendiri bukan pengantin anak, kisahnya menyoroti sifat politik pernikahan kekaisaran.

Putri-putri Dinasti Qing biasanya dinikahkan antara usia 12 dan 20 tahun, seringkali dengan Mongol atau klan bangsawan Manchu untuk mengkonsolidasikan kekuasaan kekaisaran dan aliansi politik. Contoh pernikahan anak di kalangan bangsawan termasuk Permaisuri Xiaochengren (11 tahun) yang menikah dengan Kaisar Kangxi (11 tahun) pada tahun 1665, dan Permaisuri Xiaojingxian (9/10 tahun) yang menikah dengan Kaisar Yongzheng (12/13 tahun) pada tahun 1691.

Analisis Mendalam: Kebijakan Negara dan Pendorong Demografi

Usia pernikahan untuk anak perempuan diturunkan setelah Periode Negara-negara Berperang karena “kekurangan tenaga kerja”. Selama dinasti Wei dan Jin, pemerintah secara eksplisit mengurangi usia pernikahan untuk “mendorong kelahiran” dan mengatasi penurunan populasi yang disebabkan oleh perang dan kelaparan. Ini menunjukkan bahwa di Tiongkok Kuno, pernikahan anak tidak hanya praktik budaya atau ekonomi, tetapi juga secara aktif dipengaruhi dan bahkan diamanatkan oleh kebijakan negara sebagai respons terhadap tekanan demografi dan geopolitik. Negara menggunakan pernikahan dini sebagai alat untuk pertumbuhan populasi dan pengisian kembali tenaga kerja, menyoroti pengaruh top-down pada norma pernikahan.

Analisis Mendalam: “Pernikahan Minor” sebagai Adaptasi Sosial-Ekonomi

Praktik Tongyangxi melibatkan anak perempuan yang menjadi bagian dari rumah tangga calon suami sebagai anak di bawah umur, dengan konsumasi pernikahan terjadi setelah pubertas. Sistem ini “lebih umum di kalangan masyarakat miskin” dan berfungsi untuk “menjamin istri bagi anak laki-laki miskin” sekaligus “membebaskan keluarga dari keharusan menopang anak perempuan” dan menghemat mahar. Sistem Tongyangxi mewakili adaptasi sosial-ekonomi yang canggih terhadap kemiskinan dan ketidakseimbangan gender. Ini memungkinkan keluarga miskin untuk mengamankan calon istri bagi putra-putra mereka dengan biaya lebih rendah, secara efektif mengubah gadis-gadis muda menjadi bentuk tenaga kerja “pra-beli” dan calon penerus garis keturunan, sehingga mengurangi tekanan keuangan langsung pada keluarga asal dan keluarga angkat. Praktik ini menyoroti bagaimana kebutuhan ekonomi dapat membentuk bentuk-bentuk unik pernikahan anak yang berbeda dari pernikahan yang diatur secara sederhana.

Analisis Komparatif: Persamaan dan Perbedaan

Pola Lintas Budaya dalam Motivasi, Usia Hukum, dan Penerimaan Masyarakat

Praktik pernikahan anak di Romawi Kuno, India, dan Tiongkok menunjukkan pola-pola yang menarik, baik dalam persamaan maupun perbedaannya.

Persamaan

  • Motivasi Ekonomi dan Strategis: Di ketiga peradaban, pernikahan anak seringkali didorong oleh pertimbangan ekonomi (misalnya, mahar, tenaga kerja, pengentasan kemiskinan) dan aliansi keluarga yang strategis (misalnya, mengkonsolidasikan kekuasaan, kekayaan, status sosial).
  • Perbedaan antara Pertunangan dan Konsumasi: Praktik pertunangan dini dengan penundaan konsumasi hingga pubertas atau usia yang sedikit lebih tua adalah hal umum, menunjukkan pemahaman masyarakat tentang kesiapan biologis, meskipun usia hukumnya rendah.
  • Sistem Patriarki: Semua masyarakat menunjukkan struktur patriarki yang kuat di mana perempuan, terutama gadis-gadis muda, memiliki otonomi terbatas atas pilihan pernikahan mereka, dengan keputusan terutama dibuat oleh kepala keluarga laki-laki.
  • Usia Hukum/Adat yang Berfluktuasi: Meskipun ada batas usia minimum yang sah secara hukum, praktik sebenarnya dan norma masyarakat dapat bervariasi, seringkali dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti perang atau kondisi ekonomi.

Perbedaan

Peran Negara di Tiongkok: Tiongkok Kuno menonjol karena kebijakan negara yang eksplisit yang kadang-kadang mewajibkan atau mendorong pernikahan dini untuk mengatasi tantangan demografi. Tingkat intervensi pemerintah langsung dalam usia pernikahan untuk pengendalian populasi ini kurang jelas disorot dalam data yang diberikan untuk Romawi atau India.

  • Lintasan Evolusi: Lintasan India menunjukkan pergeseran yang jelas dari periode Veda di mana pernikahan anak kurang umum dan perempuan memiliki lebih banyak otonomi, ke periode selanjutnya di mana praktik tersebut meluas dan status perempuan menurun. Data Romawi dan Tiongkok menunjukkan penerimaan pernikahan dini yang lebih konsisten, meskipun berfluktuasi, sepanjang sejarah kuno yang tercatat.
  • Bentuk Pernikahan Spesifik: Tiongkok mengembangkan bentuk-bentuk unik seperti Tongyangxi (menantu perempuan yang dibesarkan sejak kecil) sebagai adaptasi khusus terhadap kemiskinan dan kebutuhan tenaga kerja, yang tidak dijelaskan secara eksplisit di dua peradaban lainnya.

Perbedaan Utama dalam Implementasi dan Nuansa Budaya

  • Romawi: Penekanan pada batas usia minimum hukum (12 tahun untuk anak perempuan) tetapi fleksibilitas praktis bagi keluarga elit yang menggunakan pertunangan dini untuk aliansi.
  • India: Pengaruh kuat teks-teks agama dan interpretasi yang berkembang, di samping tekanan ekonomi seperti mahar, yang mendorong usia pernikahan menurun seiring waktu.
  • Tiongkok: Perpaduan hierarki keluarga Konfusianisme, kebutuhan ekonomi (misalnya, tenaga kerja, kemiskinan), dan intervensi langsung negara untuk pengelolaan populasi.

Analisis Mendalam: Spektrum “Anak” dan “Kematangan”

Data secara konsisten menunjukkan usia minimum hukum atau adat untuk pernikahan yang jauh lebih rendah daripada standar modern (misalnya, Romawi 12, India 6-8 pada periode selanjutnya, Tiongkok 13-15 pada beberapa periode). Bersamaan dengan itu, ada tema berulang tentang konsumasi yang sering ditunda hingga pubertas atau usia yang sedikit lebih tua, dan diskusi seputar “kematangan”. Ini menyoroti bahwa definisi “anak” dan “kematangan” untuk pernikahan di masyarakat kuno secara fundamental berbeda dari pemahaman kontemporer, yang terutama terkait dengan pubertas biologis dan kapasitas untuk bereproduksi, daripada perkembangan kognitif, emosional, atau sosial. Konteks historis ini sangat penting untuk memahami mengapa praktik yang sekarang dianggap berbahaya diterima sebagai norma, mencerminkan prioritas masyarakat dan pemahaman biologis yang berbeda.

Analisis Mendalam: Pernikahan sebagai Mekanisme Transaksional

Di ketiga peradaban, motivasi untuk pernikahan anak secara konsisten mencakup “aliansi keluarga,” “properti,” “kekayaan,” “kesulitan ekonomi,” “tenaga kerja,” dan “garis keturunan”. Persetujuan, khususnya untuk anak perempuan, seringkali dianggap sudah ada atau tidak secara eksplisit dicari. Pola ini mengungkapkan bahwa pernikahan anak, jauh dari sekadar ikatan romantis atau pribadi, berfungsi sebagai mekanisme transaksional fundamental dalam struktur sosial kuno. Ini adalah alat utama bagi keluarga untuk mengelola sumber daya, mengamankan status sosial, memastikan kelangsungan hidup, dan mengurangi risiko, seringkali dengan mengorbankan otonomi individu dan kesejahteraan anak-anak yang terlibat, terutama anak perempuan. Sifat transaksional ini menggarisbawahi peran instrumental pernikahan dalam masyarakat pra-modern.

Tabel 1: Tinjauan Komparatif Usia Pernikahan Hukum/Adat untuk Anak Perempuan di Peradaban Kuno

Peradaban/Periode Usia Minimum Hukum/Adat untuk Anak Perempuan Praktik Umum/Usia Rata-rata untuk Anak Perempuan (jika tersedia) Motivasi Utama untuk Pernikahan Dini
Romawi Kuno 12 tahun (legal) Pertengahan hingga akhir usia belasan (kelas menengah); 12 tahun atau lebih muda (elit) Aliansi keluarga, properti, kekayaan, status sosial, menjaga keperawanan
India Kuno (Periode Veda) Tidak ada batas usia spesifik, ditekankan kematangan Dewasa dan matang Tidak lazim, menekankan pilihan pasangan dan pendidikan
India Kuno (Pasca 1000 SM – Abad Pertengahan) Diturunkan; 5-6 tahun (interpretasi “nagnika”) Semakin umum 6-8 tahun Beban ekonomi (mahar lebih rendah), aliansi, tradisi, keyakinan bahwa pemahaman meningkat jika dikenal sejak kecil
Tiongkok Kuno (Pra-Qin) 15-20 tahun Awal dua puluhan (laki-laki), akhir belasan (perempuan) Nilai Konfusianisme, motif ekonomi, status sosial
Tiongkok Kuno (Pasca Negara Berperang – Wei/Jin) Diturunkan; 13 tahun Tidak spesifik, tetapi didorong oleh kebijakan negara Kekurangan tenaga kerja, dorongan kelahiran (setelah perang/kelaparan), insentif pemerintah
Tiongkok Kuno (Song – Qing) 14 tahun Tidak spesifik, tetapi Tongyangxi umum di kalangan miskin Tongyangxi (menjamin istri murah, tenaga kerja, hemat mahar), Zhaozhui (mempertahankan garis keturunan), aliansi politik

Tabel 2: Contoh Pernikahan Anak yang Melibatkan Tokoh Terkemuka/Bangsawan

Nama Tokoh/Bangsawan Peradaban/Periode Usia Dilaporkan saat Menikah (Pengantin Anak) Usia Pasangan (jika ada perbedaan signifikan) Konteks/Motivasi
Julia (putri Kaisar Augustus) Romawi Kuno Dua kali sebelum 18 tahun Pasangan kedua seusia ayahnya Aliansi keluarga, penguatan kekuasaan
Quintilian Romawi Kuno Sekitar 12 tahun Tidak disebutkan, tetapi memiliki dua anak sebelum istri meninggal di usia 18 Norma sosial yang menerima pernikahan dini
Pliny the Younger Romawi Kuno 15 tahun 40 tahun Harapan memiliki anak, norma sosial
Ruqaiya Sultan Begum India Kuno (Mughal) 9 tahun (disahkan 14) Akbar (14) Sepupu pertama, aliansi keluarga
Kasturba Gandhi India Kuno (Kolonial) 14 tahun Mahatma Gandhi (13 tahun) Tradisi dan pengaturan keluarga
Anandibai Joshi India Kuno (Kolonial) 9 tahun Gopalrao Joshi (27/28 tahun) Tradisi dan pengaturan keluarga
Rukhmabai India Kuno (Kolonial) 11 tahun Dadaji Bhikaji (19 tahun) Tradisi, memicu perdebatan hukum
Helena (putri Seleucus Nicator) India Kuno (Maurya) Remaja (15-16 tahun) Chandragupta Maurya (sekitar 39 tahun) Aliansi politik untuk memperkuat hubungan
Permaisuri Chen Jiao Tiongkok Kuno (Han) Usia lebih tua 8-9 tahun dari Liu Che (5 tahun) Liu Che (Kaisar Wu) (5 tahun saat pertunangan) Pernikahan politik untuk aliansi keluarga
Permaisuri Xiaochengren Tiongkok Kuno (Qing) 11 tahun Kaisar Kangxi (11 tahun) Aliansi kekaisaran
Permaisuri Xiaojingxian Tiongkok Kuno (Qing) 9/10 tahun Kaisar Yongzheng (12/13 tahun) Aliansi kekaisaran
Putri-putri Qing Tiongkok Kuno (Qing) 12-20 tahun Bervariasi Konsolidasi kekuasaan kekaisaran, aliansi politik

Kesimpulan: Wawasan Utama dan Signifikansi Historis

Pernikahan anak merupakan institusi sosial yang mengakar kuat dan multifaset di Romawi Kuno, India, dan Tiongkok. Praktik ini didorong oleh interaksi kompleks antara kerangka hukum, kebutuhan ekonomi, hierarki sosial, dan kepercayaan budaya. Meskipun usia minimum legal ada, praktik sebenarnya sering melibatkan individu yang lebih muda, terutama untuk pertunangan, mencerminkan sifat pernikahan yang berpusat pada strategi keluarga.

Konsep “kematangan” sebagian besar terkait dengan pubertas biologis, yang membedakan pandangan kuno dari standar perlindungan anak modern. Evolusi praktik pernikahan anak, terutama di India, menggambarkan bagaimana perubahan masyarakat dan tekanan eksternal dapat secara signifikan mengubah norma-norma yang mapan mengenai status perempuan dan usia pernikahan. Bentuk-bentuk pernikahan anak yang berbeda, seperti Tongyangxi di Tiongkok, menyoroti adaptasi budaya yang unik terhadap tantangan sosial-ekonomi yang umum.

Memahami praktik historis ini memberikan konteks penting untuk diskusi kontemporer tentang pernikahan anak secara global, mengungkapkan akar sejarahnya yang dalam dan beragam motivasi di luar sekadar tradisi budaya. Ini menggarisbawahi perjuangan historis yang panjang untuk otonomi individu, khususnya bagi perempuan dan anak-anak, dalam keputusan perkawinan. Data historis berfungsi sebagai pengingat kuat tentang bagaimana struktur masyarakat, kondisi ekonomi, dan keharusan politik dapat membentuk dan melanggengkan praktik yang sekarang diakui sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

 

Daftar Pustaka :

  1. A path towards ending child marriage | UNICEF, diakses Juli 14, 2025, https://www.unicef.org/blog/path-towards-ending-child-marriage
  2. Roman Girls and Marriage in Ancient Rome – World History …, diakses Juli 14, 2025, https://www.worldhistory.org/article/2675/roman-girls-and-marriage-in-ancient-rome/
  3. in the First Century. The Roman Empire. Life In Roman Times. Weddings, Marriages & Divorce | PBS, diakses Juli 14, 2025, https://www.pbs.org/empires/romans/empire/weddings.html
  4. General standards of ancient Chinese marriage: Age | Keats School, diakses Juli 14, 2025, https://keatschinese.com/china-culture-resources/general-standards-of-ancient-chinese-marriage-age/
  5. A Study on Marriageable Age Laws and Reforms in Islamic Law – Scholarship @ Claremont, diakses Juli 14, 2025, https://scholarship.claremont.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1004&context=lux
  6. Was marriage to prepubescent children in the 7th century actually normal/accepted like i am seeing claimed on social media? – Reddit, diakses Juli 14, 2025, https://www.reddit.com/r/AskHistorians/comments/1i16ki9/was_marriage_to_prepubescent_children_in_the_7th/
  7. Betrothal and Childhood in Ancient Rome – Lucius’€™ Romans – Kent blogs, diakses Juli 14, 2025, https://blogs.kent.ac.uk/lucius-romans/2016/02/13/betrothal-and-childhood-in-ancient-rome/
  8. The age of marriage :: Life and Times – Internet Shakespeare Editions, diakses Juli 14, 2025, https://internetshakespeare.uvic.ca/Library/SLT/society/family/marriage.html
  9. Child Marriage: Its Origin and Prevalence in India, diakses Juli 14, 2025, https://www.ijareeie.com/upload/2014/september/79_Child.pdf
  10. PAPER-3, MODULE- 6 – e-PG Pathshala, diakses Juli 14, 2025, https://epgp.inflibnet.ac.in/epgpdata/uploads/epgp_content/women_studies/gender_studies/03._women_and_history/06._early_age_marriages_in_india-_a_historical_perspective/et/6256_et_et_6.pdf
  11. Akshaya Tritiya: Hotbed of child marriages | Features – Al Jazeera, diakses Juli 14, 2025, https://www.aljazeera.com/features/2012/5/4/akshaya-tritiya-hotbed-of-child-marriages
  12. EARLY AND CHILD MARRIAGE IN INDIA – American Jewish World Service, diakses Juli 14, 2025, https://ajws.org/wp-content/uploads/2015/05/EarlyChildMarriageinIndia_LandscapeAnalysis_FULL.pdf
  13. Child Marriage – SPUWAC, diakses Juli 14, 2025, https://spuwac.in/childmarriage.html
  14. Ashok’s fight for gender equality, diakses Juli 14, 2025, https://worldschildrensprize.org/ashokstory
  15. Mysterious Indian Queen — Helena Maurya | by DD Mishra – Medium, diakses Juli 14, 2025, https://ddmishra.medium.com/mysterious-indian-queen-helena-maurya-732d096eaf4f
  16. When Helena Married Sandrocottus, or Chandragupta Maurya – The Citizen, diakses Juli 14, 2025, https://www.thecitizen.in/index.php/en/NewsDetail/index/7/19336/When-Helena-Married-Sandrocottus-or-Chandragupta-Maurya–
  17. READ: The Mauryan and Gupta Empires (article) – Khan Academy, diakses Juli 14, 2025, https://www.khanacademy.org/humanities/whp-origins/era-3-cities-societies-and-empires-6000-bce-to-700-c-e/36-the-growth-of-empires-betaa/a/read-the-mauryan-and-gupta-empires-beta
  18. Exploring the Historical Context of Child Marriage in China – Youth Foundation, diakses Juli 14, 2025, https://youthfoundation.org.uk/exploring-the-historical-context-of-child-marriage-in-china.html
  19. [Changes of marriage age in ancient China] – PubMed, diakses Juli 14, 2025, https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/12285484/
  20. 2: Women in Ancient China – Humanities LibreTexts, diakses Juli 14, 2025, https://human.libretexts.org/Courses/American_River_College/HUM_300%3A_Classical_Humanities_Textbook_(Collom)/08%3A_Ancient_China/8.02%3A_Women_in_Ancient_China
  21. Women in Ancient China – World History Encyclopedia, diakses Juli 14, 2025, https://www.worldhistory.org/article/1136/women-in-ancient-china/
  22. Chen Jiao – Wikipedia, diakses Juli 14, 2025, https://en.wikipedia.org/wiki/Chen_Jiao
  23. Emperor Wu of Han Facts for Kids, diakses Juli 14, 2025, https://kids.kiddle.co/Emperor_Wu_of_Han
  24. Reign of Empress Wu | EBSCO Research Starters, diakses Juli 14, 2025, https://www.ebsco.com/research-starters/history/reign-empress-wu
  25. The Marriage Mission-Behold the Gungju! Princesses in Qing Archives, diakses Juli 14, 2025, https://theme.npm.edu.tw/NPMPrincesses/en/page-4
  26. [Solved] Which one of the following statements about the Gupta period – Testbook, diakses Juli 14, 2025, https://testbook.com/question-answer/which-one-of-the-following-statements-about-the-gu–5be01ff09235ce735887b640
  27. diakses Januari 1, 1970, https://tribratanews.reslabuhanbatu.sumut.polri.go.id/

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

3 + = 4
Powered by MathCaptcha