Fenomena diaspora etnis Jawa di Sumatera Utara, sebuah pergerakan demografi masif yang dimulai pada akhir abad ke-19 dan telah membentuk salah satu pilar utama multikulturalisme di wilayah tersebut. Keberadaan etnis Jawa di Sumatera Utara bukan hanya sekadar perpindahan geografis, melainkan sebuah narasi kompleks tentang adaptasi, perjuangan, dan pembentukan identitas baru di tengah lingkungan yang beragam. Analisis ini menyoroti bagaimana sejarah kedatangan yang penuh dinamika, konsolidasi populasi, dan interaksi budaya telah menciptakan identitas yang unik, dikenal sebagai “Jawa Deli”.
Tujuan utama laporan ini adalah menyajikan analisis komprehensif mengenai tiga pilar utama keberadaan etnis Jawa: (1) Sejarah kedatangan yang terbagi dalam dua gelombang besar, (2) Dinamika demografi dan peran organisasi komunitas, dan (3) Proses serta hasil akulturasi budaya dengan etnis lokal. Laporan ini mensintesis data historis, demografis, dan sosiokultural untuk memberikan pemahaman yang bernuansa tentang identitas yang terus berkembang ini. Laporan ini disusun berdasarkan tinjauan literatur dari berbagai sumber, termasuk artikel berita, laporan penelitian, dan arsip digital. Analisis akan berfokus pada interpretasi data untuk mengungkap hubungan sebab-akibat, pola tersembunyi, dan implikasi yang lebih luas dari keberadaan etnis Jawa di wilayah ini.
Gelombang Kedatangan: Dari Eksploitasi Kolonial hingga Migrasi Nasional
Kehadiran etnis Jawa di Sumatera Utara merupakan hasil dari dua gelombang migrasi besar yang memiliki motivasi, mekanisme, dan dampak sosial yang sangat berbeda. Memahami perbedaan fundamental antara kedua gelombang ini adalah kunci untuk mengurai lapisan-lapisan identitas yang kompleks dari komunitas Jawa di Sumatera Utara.
Gelombang Pertama: Kuli Kontrak di Zaman Kolonial
Kedatangan etnis Jawa ke Sumatera Utara tidak dapat dipisahkan dari sejarah kemajuan perkebunan besar Eropa di Tanah Deli, Sumatera Timur. Pada tahun 1880-an, perusahaan perkebunan kolonial Belanda (Onderneming) menghadapi kesulitan serius dalam mendapatkan tenaga kerja dari Tiongkok dan India, yang sebelumnya menjadi sumber utama kuli. Untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja ini, pemerintah kolonial mulai merekrut secara besar-besaran kuli kontrak dari Pulau Jawa untuk bekerja di perkebunan tembakau dan komoditas lainnya.
Kondisi kehidupan para kuli kontrak di bawah sistem Koeli Ordonantie sangat berat dan tidak manusiawi. Peraturan ini secara eksplisit dirancang untuk mengikat pekerja dan mencegah mereka melarikan diri sebelum masa kontraknya habis. Lebih dari sekadar kontrak kerja, sistem ini juga mencakup praktik eksploitatif yang cerdik. Para pemilik kebun sering kali mengadakan “pasar malam” pada malam gajian para kuli. Keramaian ini bukan semata-mata hiburan, melainkan siasat ekonomi yang brilian dan keji. Tujuannya adalah untuk membuat para kuli menghabiskan seluruh upah mereka di meja judi dan tempat pelacuran yang dikenakan pajak tinggi oleh pemilik kebun. Dengan demikian, para pekerja tetap berada dalam jeratan utang dan harus terus memperpanjang kontrak kerja mereka, sehingga pemilik perkebunan tidak perlu bersusah payah mendatangkan tenaga kerja baru. Pengalaman pahit sebagai kuli kontrak inilah yang menjadi fondasi awal identitas “Jawa Deli” (Jadel), sebuah identitas yang terbentuk dari penderitaan, kerja kolektif, dan keterikatan pada tanah perkebunan.
Gelombang Kedua: Program Transmigrasi Nasional
Setelah kemerdekaan, gelombang kedua kedatangan etnis Jawa ke Sumatera didorong oleh program transmigrasi nasional yang bertujuan mengatasi ketidakseimbangan populasi di Jawa dan memperluas lahan pertanian. Jika era kolonial didominasi oleh paksaan, program pasca-kemerdekaan ini menciptakan pola integrasi yang jauh lebih kooperatif dan organik.
Dalam pelaksanaannya, program ini mendapat dukungan besar dari kekuasaan lokal. Kasultanan Deli, Serdang, dan Langkat menyediakan lahan dan fasilitas yang sangat layak bagi para pendatang. Berbeda dengan era kuli kontrak, hubungan dengan elit lokal jauh lebih kooperatif, yang memungkinkan para pendatang bekerja dengan aman dan nyaman. Program ini bahkan melibatkan penduduk asli dengan alokasi khusus (APPDT – Alokasi Penempatan Penduduk Daerah Transmigrasi) sebanyak 10% dari total peserta, yang menciptakan hubungan gotong royong dan perkawinan antar-etnis. Hal ini menunjukkan adanya dinamika sosial yang jauh lebih harmonis, yang menjadi fondasi bagi akulturasi yang lebih mulus dan pembentukan komunitas yang lebih terintegrasi. Kedatangan etnis Jawa juga sering kali bersifat swakarsa, dengan bekal keterampilan dan jaringan yang luas, yang memberikan gambaran kompleks tentang migrasi yang tidak hanya didorong oleh kebijakan pemerintah, tetapi juga oleh inisiatif individu.
Tabel komparatif berikut merangkum perbedaan fundamental antara kedua gelombang kedatangan etnis Jawa di Sumatera Utara:
Faktor | Era Kolonial | Era Nasional |
Motivasi Utama | Memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah untuk perusahaan perkebunan Eropa. | Mengatasi ketidakseimbangan populasi dan memperluas lahan pertanian. |
Sistem Ketenagakerjaan | Kuli kontrak di bawah peraturan yang mengeksploitasi, seperti Koeli Ordonantie. | Transmigrasi umum dengan biaya ditanggung pemerintah dan bantuan awal. |
Hubungan dengan Elit Lokal | Dominasi dan kontrol oleh perusahaan kolonial. | Kerja sama dan dukungan dari Kasultanan setempat. |
Kondisi Sosial Awal | Lingkungan kerja yang tidak manusiawi dan penuh eksploitasi. | Integrasi yang lebih terencana, termasuk alokasi untuk penduduk asli. |
Dinamika Populasi dan Pembentukan Identitas Komunitas
Keberadaan etnis Jawa di Sumatera Utara telah meninggalkan jejak demografi yang signifikan dan memicu pembentukan organisasi komunitas yang kuat sebagai pilar pelestarian budaya dan pemberdayaan ekonomi.
Jejak Demografi Etnis Jawa di Sumatera Utara
Berdasarkan data, etnis Jawa merupakan populasi terbesar kedua di Sumatera Utara dengan persentase 32,62%, setelah etnis Batak yang mencapai 41,93%. Konsentrasi populasi ini tidak merata, melainkan sangat terfokus di wilayah-wilayah yang dulunya merupakan pusat perkebunan dan program transmigrasi. Sebagai contoh, di Kabupaten Deli Serdang, etnis Jawa menjadi kelompok etnis terbesar dengan populasi mencapai 35,5%.9 Konsentrasi yang tinggi juga ditemukan di Kabupaten Serdang Bedagai dan Langkat.
Konsentrasi populasi yang padat ini merupakan hasil langsung dari sistem perkebunan dan transmigrasi yang menempatkan mereka secara massal di wilayah tertentu. Fenomena ini menjadi prasyarat penting bagi pelestarian budaya. Dengan membentuk “kampung budaya” di mana komunitas etnis Jawa sangat homogen, seperti di Kampung Ibus di Serdang Bedagai di mana 99% penduduknya adalah etnis Jawa, ritual, kesenian, dan bahasa Jawa dapat tetap hidup dan berkembang. Keberadaan kantong-kantong etnis yang padat ini juga menjelaskan mengapa organisasi komunitas dapat memiliki basis massa yang kuat dan terorganisir.
Pujakesuma: Pilar Pelestarian Budaya dan Pemberdayaan Ekonomi
Dalam mengkonsolidasi identitas dan memberdayakan komunitasnya, etnis Jawa di Sumatera Utara memiliki peran vital dari organisasi Paguyuban Keluarga Besar Putra Jawa Kelahiran Sumatera (Pujakesuma). Organisasi ini berevolusi dari Ikatan Keluarga Jawa (IKJ) pada tahun 1979. Tujuan utamanya adalah untuk mensejahterakan warga Jawa, menggali, membina, dan melestarikan seni dan kebudayaan Jawa, serta berkolaborasi dengan organisasi sosial budaya lain.
Seiring waktu, Pujakesuma tidak hanya berfokus pada peran sosial-budaya, tetapi juga menunjukkan transisi yang signifikan ke dalam peran ekonomi melalui Koperasi Pujakesuma (KOPUJA). Ini adalah manifestasi nyata dari tujuan awal mereka untuk memperbaiki taraf ekonomi anggotanya. KOPUJA telah bertransformasi menjadi entitas ekonomi yang relevan dengan berbagai proyek kontemporer. Proyek-proyek tersebut mencakup kepemilikan lahan kelapa sawit seluas 550 hektar yang menjadi pemasok bahan baku, produksi Minyak Makan Merah yang baru-baru ini diresmikan oleh Presiden, hingga unit bisnis ritel Pujamart yang memberdayakan produk-produk lokal dari anggota.
Keberadaan tokoh-tokoh penting dari pemerintahan seperti Penjabat (Pj) Gubernur Sumatera Utara dan perwakilan Kapolda dalam acara pelantikan pengurus Pujakesuma menunjukkan bahwa organisasi ini kini menjadi aktor politik dan sosial yang diakui secara resmi. Kombinasi kekuatan demografi (populasi terbesar kedua) dan kapasitas ekonomi yang terorganisir memberikan Pujakesuma pengaruh yang signifikan dalam struktur kekuasaan lokal dan provinsi.
Tabel di bawah ini merinci proyek dan peran yang diemban oleh Koperasi Pujakesuma (KOPUJA) dalam mendukung komunitasnya:
Proyek/Inisiatif | Deskripsi |
Simpan Pinjam | Memberikan kemudahan pinjaman bagi anggota untuk menambah modal usaha, telah menyalurkan lebih dari Rp1 miliar. |
Perkebunan Sawit | Mengelola 550 hektar lahan sawit milik anggota sebagai penopang bahan baku industri. |
Industri Minyak Makan Merah | Memproduksi minyak makan merah sebagai kebutuhan pokok, pabriknya diresmikan oleh Presiden. |
Pujamart | Unit bisnis ritel yang dikembangkan untuk memberdayakan produk lokal dan memenuhi kebutuhan anggota. |
Produk Lainnya | Budidaya madu Akasia Trigona, produksi minyak gosok, dan sabun herbal. |
Akulturasi Budaya: Transformasi di Tengah Keragaman
Akulturasi budaya antara etnis Jawa dan etnis lokal di Sumatera Utara, khususnya Melayu dan Batak, adalah sebuah proses yang selektif dan kompleks, tidak terjadi secara seragam di semua domain.
Seni dan Pertunjukan: Harmonisasi Kesenian Jawa dan Batak
Dalam ranah seni, komunitas etnis Jawa telah berhasil melestarikan kesenian mereka secara gemilang. Pertunjukan seperti Kuda Kepang masih lestari dan sering ditampilkan dalam acara pernikahan atau hari-hari besar. Kesenian Jawa lainnya seperti wayang, ketoprak, dan gamelan juga telah diperkenalkan dan dikenal oleh masyarakat Sumatera Utara secara luas.
Proses akulturasi yang menarik juga terjadi dalam adopsi elemen budaya Batak oleh komunitas Jawa. Di Desa Malasori, Kabupaten Serdang Bedagai, masyarakat Jawa mulai menggunakan Gondang Batak dan Ulos dalam acara pernikahan dan sunatan mereka. Adopsi ini bukan sekadar asimilasi pasif, melainkan sebuah akulturasi yang didasari pertimbangan fungsional. Masyarakat Jawa mengadopsi Gondang setelah mereka melihat bahwa pesta adat Batak yang menggunakan instrumen ini berjalan dengan tertib dan sopan, bahkan hingga larut malam. Ini adalah contoh unik dari transfer budaya yang didasarkan pada pertimbangan normatif, bukan hanya kedekatan geografis. Proses ini menunjukkan bahwa akulturasi di bidang seni dan pertunjukan di Sumatera Utara tidak mengarah pada penghapusan identitas asli, melainkan penambahan dan koeksistensi, di mana pertunjukan Kuda Kepang dapat berlangsung berdampingan dengan Gondang Batak.
Dinamika Bahasa: Pergeseran dan Terciptanya ‘Jawa Deli’
Salah satu produk akulturasi linguistik adalah Bahasa Jawa Deli (Jadel), sebuah fenomena bahasa campuran antara Bahasa Jawa (khususnya ragam ngoko) dan Bahasa Melayu Deli. Dalam komunikasi sehari-hari, sering terjadi gejala campur kode dan alih kode antara Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia.
Namun, studi linguistik menunjukkan bahwa akulturasi bahasa ini tidak berlangsung secara seimbang. Ada temuan yang mengindikasikan bahwa transmisi Bahasa Jawa dari generasi tua ke generasi muda menunjukkan penurunan yang drastis. Etnis Jawa di Sumatera Utara cenderung lebih memilih menggunakan Bahasa Indonesia dalam komunikasi sehari-hari sebagai konsekuensi dari pembauran dengan budaya lokal, terutama Melayu. Faktor-faktor yang menyebabkan pergeseran bahasa ini adalah lingkungan sosial yang lebih mengutamakan Bahasa Indonesia dan kurangnya kebijakan pendidikan yang mendukung bahasa daerah. Keberadaan ini menunjukkan adanya disparitas dalam proses akulturasi; sementara elemen budaya yang terlihat dan performatif seperti seni pertunjukan tetap lestari, identitas linguistik inti menghadapi ancaman kepunahan.
Perpaduan Kuliner: Koeksistensi dan Integrasi Pasar
Dalam ranah kuliner, perpaduan yang terjadi lebih mengarah pada koeksistensi daripada fusi resep yang mendalam. Masakan Jawa seperti nasi goreng dan sate telah menjadi bagian dari pilihan kuliner sehari-hari di Tanah Deli. Kehadiran rumah makan khusus Jawa seperti Ayam Jingkrak Satrio Jowo dan RM Jenar menunjukkan bahwa kuliner Jawa memiliki basis pasar yang kuat di Sumatera Utara.
Analisis terhadap kuliner khas Sumatera Utara menunjukkan bahwa makanan seperti Bika Ambon, Mie Gomak, dan Lontong Medan digambarkan sebagai entitas budaya yang berbeda, tanpa ada indikasi akulturasi dari etnis Jawa. Ini menunjukkan bahwa lanskap kuliner di Sumatera Utara beroperasi berdasarkan pola integrasi pasar, di mana masing-masing etnis melestarikan masakan mereka sendiri, yang kemudian dapat ditemukan dan dinikmati oleh semua etnis, tanpa harus terjadi perpaduan resep yang mendalam.
Kesimpulan: Sebuah Identitas yang Terus Berkembang
Laporan ini menyimpulkan bahwa identitas etnis Jawa di Sumatera Utara adalah sebuah fenomena multidimensional yang dibentuk oleh sejarah migrasi yang keras dan kebijakan nasional yang berbeda. Komunitas ini berhasil membangun pilar ekonomi dan sosial yang kuat melalui organisasi seperti Pujakesuma, yang telah bertransformasi dari sebuah paguyuban tradisional menjadi entitas ekonomi yang signifikan.
Proses akulturasi yang mereka alami bersifat selektif dan tidak seragam. Di satu sisi, elemen-elemen budaya performatif seperti seni dan pertunjukan telah berinteraksi dan berakulturasi secara positif, menciptakan lanskap budaya yang kaya. Di sisi lain, identitas linguistik inti mereka menghadapi tantangan serius, dengan adanya pergeseran bahasa dari Bahasa Jawa ke Bahasa Indonesia di kalangan generasi muda.
Secara keseluruhan, identitas “Jawa Deli” bukanlah entitas statis atau sebuah asimilasi total. Sebaliknya, ia adalah sebuah konstruksi dinamis yang terus berkembang, hasil dari dialog dan adaptasi berkelanjutan antara warisan budaya Jawa dan lingkungan sosiokultural Sumatera Utara. Identitas ini dicirikan oleh resiliensi dan kemampuan untuk beradaptasi tanpa harus menghilangkan akar budaya mereka. Namun, tantangan terbesar di masa depan adalah pelestarian bahasa. Jika pergeseran bahasa terus berlanjut, identitas “Jawa Deli” mungkin akan lebih ditentukan oleh faktor ekonomi dan ikatan sosiologis daripada oleh elemen budaya tradisional, sebuah transisi yang layak untuk dipelajari lebih lanjut di masa mendatang.
Daftar Pustaka :
- Putra Jawa Keturunan Sumatera Tidak Bisa Dipisahkan Dari …, diakses September 7, 2025, https://www.kompasiana.com/daudginting/637a14ccc76ba04bb24c72a2/putra-jawa-keturunan-sumatera-tidak-bisa-dipisahkan-dari-sejarah-kemajuan-perkebunan-sumatera-timur-zaman-kolonial
- Sejarah Datangnya Orang Jawa Di Sumatera | PDF – Scribd, diakses September 7, 2025, https://id.scribd.com/document/700868599/Sejarah-Datangnya-Orang-Jawa-di-Sumatera
- Sejarah Orang Jawa di Tanah Deli Sumatera, diakses September 7, 2025, https://ruangbudaya.org/sejarah-orang-jawa-di-tanah-deli-sumatera/
- Festival Koeli Kontrak, Pengingat Sejarah Perkebunan Tembakau Deli – Validnews.id, diakses September 7, 2025, https://validnews.id/kultura/festival-koeli-kontrak-pengingat-sejarah-perkebunan-tembakau-deli
- KEHIDUPAN KULI KONTRAK JAWA DI PERKEBUNAN TEMBAKAU SUMATERA TIMUR TAHUN 1929-1942 – E-Journal Unesa, diakses September 7, 2025, https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/21033/19295
- Sociolinguistic Representation of The Deli Java Community’s Culture in North Sumatra Province, diakses September 7, 2025, https://esiculture.com/index.php/esiculture/article/download/1167/632/1978
- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara …, diakses September 7, 2025, http://scholar.unand.ac.id/5303/2/upload%202%20BAB%201.pdf
- Sejarah Transmigrasi Dari Jawa ke Sumatera – Liputan68, diakses September 7, 2025, https://www.liputan68.com/2021/02/12/sejarah-transmigrasi-dari-jawa-ke-sumatera/
- Kabupaten Deli Serdang – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, diakses September 7, 2025, https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Deli_Serdang
- Kampung Ibus Di Tetapkan Sebagai Kampung Budaya Jawa Sergai – SuaraLira.com, diakses September 7, 2025, http://suaralira.com/news/detail/19193/kampung-ibus-di-tetapkan-sebagai-kampung-budaya-jawa-sergai
- 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah berdiri nya Tebing Tinggi bisa pula kita tahu dari suatu memori tuan J. J Mendela, diakses September 7, 2025, https://digilib.unimed.ac.id/id/eprint/46648/13/9.%20NIM.%203173321040%20CHAPTER%20I.pdf
- KOPUJA – Koperasi Puja Kusuma, diakses September 7, 2025, https://kopuja.com/
- Pelantikan DPW Dan DPD Pujakesuma Sumut Masa Bakti 2024-2029, diakses September 7, 2025, https://www.timelinesinews.com/pelantikan-dpw-dan-dpd-pujakesuma-sumut-masa-bakti-2024-2029/
- Akulturasi Budaya Pernikahan Antara Masyarakat Batak dengan Masyarakat Jawa di Kecamatan Barumun Selatan – Innovative: Journal Of Social Science Research, diakses September 7, 2025, https://j-innovative.org/index.php/Innovative/article/download/13338/10987/27804
- Seni Pertunjukan Kuda Kepang di Sei Bamban – Media Center Serdang Bedagai, diakses September 7, 2025, https://mediacenter.serdangbedagaikab.go.id/2022/12/30/seni-pertunjukan-kuda-kepang-di-sei-bamban/
- analisis penyebab berkurangnya penggunaan bahasa jawa di kalangan generasi muda di sumatera utara – Jurnal Unigal, diakses September 7, 2025, https://jurnal.unigal.ac.id/literasi/article/download/18398/9549
- 10 Makanan Khas Sumatera Utara yang Terkenal Lezat, Tak Cuma Bika Ambon, diakses September 7, 2025, https://www.liputan6.com/hot/read/4352159/10-makanan-khas-sumatera-utara-yang-terkenal-lezat-tak-cuma-bika-ambon
- 12 Makanan Khas Sumatra Utara, Lezat dan Wajib Dicoba! – Sehat AQUA, diakses September 7, 2025, https://www.sehataqua.co.id/blog/makanan-khas-sumatra-utara/